Tradisi Malam Selikuran di Kasunanan Surakarta

Tradisi Malem Selikuran ini kemudian dilanjutkan oleh Pakubuwono X dan pada era Pakubuwono IX dan X dikenal sebagai era Jawanisasi Islam yang ditandai dengan penguatan serta pembakuan upacara tradisional pemerintahan maupun keagamaan, termasuk tradisi Malem Selikuran. Bahkan, cara dakwah dan kotbah yang semula bercorak Arab diubah menjadi bercorak Jawa. Khotbah-khotbah juga kemudian menggunakan bahasa Jawa. Tradisi Malem Selikuran pada masa Pakubuwono X dilakukan dengan cara melakukan pembacaan doa keselamatan kepada Allah SWT dengan uborampe yang disebut juga dengan tumpeng sebanyak 1000 buah untuk dibagi-bagikan kepada abdi dalem serta masyarakat setempat. Upacara ini dilakukan di Masjid Agung Surakarta. Setelah dibacakan doa di Masjid Agung Surakarta, tumpeng dibawa oleh para abdi dalem dengan arak-arakan (pawai) jalan kaki dengan menggunakan lampu (ting) menuju lapangan Sri Wedari.

Sejak masa Pakubuwono X, tradisi malem selikuran yang diselenggarakan Kraton Kasunanan dengan lampu (ting) dan 1000 tumpeng menuju Sri Wedari untuk memperingati Nuzulul Qur’an (Ariyanto : 2011,83). Lampu ting menjadi lambing dari obor yang dibawa oleh para sahabat ketika menjemput Rasulullah SAW usai menerima wahyu di Jabal Nur. Didalam tradisi malem selikuran, nasi tumpeng yang dibawa berjumlah 1000 yang melambangkan pahala setara dengan seribu bulan. Sejak tahun 2012, arak-arakan tumpengan menuju Masjid Agung Surakarta. Proses tradisi malem selikuran yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta berangkat dari Kantor Pemerintah Surakarta menuju taman Sri Wedari dengan prosesi yang bercorak tradisional. Dari dulu hingga sekarang, tradisi malem selikuran ini mendapatkan antusias yang luar biasa dari masyarakat di Vorstenlanden (Koentjaraningrat : 1998, 370). Akan tetapi, spirit malem selikuran sudah banyak yang dilupakan dan tidak dimengerti oleh masyarakat pada saat ini. Saat ini, tradisi tersebut hanya dipahami sebagai ritual seremonial dan bahkan hanya sebagai pasar malam dan sarana hiburan. Tradisi malem selikuran sebenarnya tidak sebesar tradisi grebeg yang lain seperti grebeg Maulud, grebeg Pasa (1 Syawal), grebeg Besar (Sajid, t. th.: 53). Hal ini terlihat dalam beberapa buku tentang keraton yang hanya sedikit menyebut tradisi malem selikuran ini. Hal tersebut menandakan bahwa tradisi selikuran bukanlah sesuatu yang bersifat pokok dalam struktur pemerintahan Kraton Kasunanan Surakarta.

Bahkan, di dalam arsip-arsip dokumen Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 juga tidak disebut-sebut adanya tradisi malem selikuran (Margana, 2003). Hal ini memperkuat asumsi bahwa tradisi malem selikuran merupakan kreasi baru. Namun, dari sisi transformasi sosial dan media dakwah, tradisi malem selikuran memiliki fungsi yang sama dengan grebeg Sekaten. Hanya saja, landasan hiostoris grebeg Sekaten lebih kuat dari pada tradisi malem selikuran. Dengan kata lain, tradisi malem selikuran, walaupun memiliki makna sosial keagamaan yang dalam, namun lebih sebagai tradisi sekunder di Kraton Kasunan jika dibanding dengan grebeg-grebeg yang lain.

Comments are closed.