Sejarah Tradisi Malam Selikuran

Malem Selikuran merupakan salah satu tradisi ritual Islam Jawa, termasuk masyarakat Keraton Kasunanan Surakarta. Tradisi Malem Selikuran berasal dari bahasa Jawa yaitu Malem artinya malam dan Selikuran yang artinya dua puluh satu, maka arti Malem Selikuran adalah malam ke-21. Secara istilah Malem Selikuran merupakan malam ke dua puluh satu di bulan Ramadhan.

Tradisi yang merupakan adaptasi ajaran Islam ke dalam kebudayaan Jawa ini merupakan salah satu ajaran Walisongo pada saat melakukan dakwah. Pada masa Sultan Agung, tradisi sinkretis ini menjadi bentuk yang lebih baku dengan dikombinasikannya penanggalan Arab Islam dan Jawa dan juga melakukan pembakuan beberapa ritual Islam dalam bingkai kebudayaan Jawa. Sultan Agung Hanyokrokusuma merupakan raja Mataram yang banyak berjasa dalam memberikan warna Islam di Jawa. Pribumisasi Islam oleh Sultan Agung ini kemudian dilanjutkan oleh Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegara dan Kadipaten Pakualaman.

Salah satu tradisi yang dikembangkan oleh Sultan Agung yaitu tradisi menyambut malam lailatul qadr. Tradisi Malem Lailatul Qadr ini berisi ritual keagamaan yang digelar pada saat malam-malam ganjil di 10 malam terakhir dibulan Ramadhan. Tradisi ini kemudian disebut juga sebagai tradisi Malem Selikuran. Dengan demikian, terlihat jelas secara historis, tradisi Malem Selikur6an dilakukan pertama kali oleh Sultan Agung. Disebut dengan nama Malem Selikuran karena tradisi Lailatul Qadr diawali pada malam ke-21 dibulan Ramadhan. Namun, dalam perkembangannya tradisi Malem Selikuran mengalami pasang surut, dan di Kasunanan Surakarta mulai dikembangkan lagi pada saat Sri Susuhunan Pakubuono IX.

Comments are closed.