Sejarah

1954, PTPG Bandung

Jurusan Pendidikan Sejarah didirikan pada tanggal 20 Oktober 1954 dengan nama Jurusan Sejarah Budaya.

1957, FKIP-Unpad Bandung

PTPG Bandung berubah menjadi FKIP-Unpad Bandung. Namun Jurusan Sejarah Budaya tidak berubah.

1963, IKIP Bandung

Sempat mengalami perubahan nama dari Jurusan Sejarah Budaya menjadi Jurusan Sejarah/Antropologi.

1999, UPI Bandung

Menjadi Departemen Pendidikan Sejarah dalam naungan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Departemen Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Sejarah didirikan pada hari Rabu tanggal 20 Oktober 1954, merupakan salah satu lembaga tertua di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan langsung dipimpin oleh Mohammad Yamin, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menetri PP dan K (Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan). Tokoh ini, di lingkungan akademis UPI, juga dipandang sebagai salah satu the founding fathers PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru), cikal-bakal lembaga UPI di Bandung. Ketika pertama kali lembaga ini didirikan, jurusan ini bernama”Jurusan Sejarah Budaya”, bersama-sama dengan empat jurusan lainnya di PTPG Bandung, yaitu: (1) Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pendidikan Jasmani; (2) Jususan Bahasa dan Kesusteraan Indonesia dan Inggris; (3) Jurusan Ilmu Pasti Alam; dan (4) Jurusan Ekonomi dan Hukum Negara.

Jumah mahasiswa Jurusan Sejarah Budaya angkatan pertama tahun 1954 adalah 35 orang, dari keseluruhan mahasiswa PTPG Bandung yang berjumlah 215 orang. Menarik untuk dicermati bahwa dari 35 orang mahasiswa tersebut perbandingan antara jumlah Pria dan Wanita adalah 27:8, tetapi juga karena mereka secara etnis, budaya, asal daerah, bahasa, dan kelas sosial beragam. Dengan perkataan lain, mahasiswa jurusan Sejarah Budaya tidak hanya terdiri atas etnis Sunda dan Jawa, tetapi juga ada Batak, Minang, Aceh, dan etnis lainnya di Indonesia, yang tentu saja secara langsung atau tidak membawa implikasi pada interaksi dan dinamika sosial di jurusan. Untuk tenaga Dosen dan asisten dosen di jurusan pada masa-masa awal jumlahnya masih terbatas, sekitar belasan orang saja, berasal dari latar belakang  yang beragam, baik secara etnis dan budaya maupun dari latar belakang kebangsaan. Selain orang Indonesia (Minang, Sunda, dan Jawa), tenaga dosen juga ada yang orang Belanda dan Cina. Komposisi tenaga dosen yang demikian, sudah barang tentu, menciptakan suasana akdemik di Jurusan  kondusif untuk terciptanya pembelajaran yang multikultural. Sampai dengan tahun akademik 1957/1958, nama-nama tenaga dosen dan asisten dosen di Jurusan Sejarah Budaya itu adalah sebagai: Prof. Mr.Muhammad Yamin, R.T.A. Soenaria, Drs. F.C.Wimmers, D.H.de Queljoe, Drs. Tan Pay Thjion, The Tjeng Sioe, Dachlan Mansur, Sie Tjoen Lay, Soeroto, Balnadi Sutadipura, Drs.J.F.Batenburg, Dra. Hartini Soewodo, Singgih Wibisono.

Struktur mata kuliah Jurusan pada masa-masa awal berdirinya juga masih sederhana. Mata kuliah dihitung dalam jumlah per minggu dan disebar pada tahun ke-1, 2 dan 3 untuk tingkat sarjna muda (B.A.) dan tahun ke 4 dan 5 untuk tingkat Sarjana Pendidikan (Drs.). Sementara itu, pada tahun 1957 PTPG Bandung berubah menjadi FKIP-Unpad (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Padjadjaran) Bandung. Namun Jurusan Sejarah Budaya tidak berubah, dan ketua Jurusan tetap dipegang oleh Muhammad Yamin. Pada bulan Desember 1957, Jurusan ini menorehkan sejarah penting ketika M.Yamin bertindak sebagai pembicara dalam sebuah konggres Sejarah Indonesia I di Yogyakarta.Tulisannya yang berjudul  “Tjatur-Sila Chalduniyah” menandai babakan penting tentang perlunya  sejarah Indonesia dikaji dan ditulis ulang dengan menggunakan pendekatan dan perspektif yang “nasional sentries”. M. Yamin meninggal dunia pada 1962; dan pribadinya dikenang sebagai tokoh nasional dengan kompetensi yang beranekaragam: ahli hukum, sastrawan, politisi, ahli sejarah, tokoh pendidik, dan peminat filsafat.

Suasana kehidupan jurusan pada tahun 1960-an, juga suasana Universitas dan Perguruan Tinggi lainnya, berada dalam “dualisme pendidikan”. Hal ini sebagai implikasi dari dipecahnya Kementrian PP dan K menjadi dua kementrian, yaitu Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM) dan kementerian Perguruan Tinggi dan ilmu Pengatahuan). Sementara FKIP berada dalam naungan Kementrian PTIP, Kementrian PDM juga mendirikan lembaga pendidikan yaitu IPG (Institut Pendidikan Guru). Keadaan semakin rumit, karena pimpinan dari masing-masing Kementrian tersebut juga memilki orientasi dan ideologi politiknya masing-masing. Hal inilah yang mendorong mahasiswa FKIP – khususnya dari jurusan Sejarah Budaya – berjuang untuk mengakhiri dualisme dalam pendidikan. Perjuangan itu nampaknya didengar juga oleh oleh Presiden Seokarno dan atas permohonan mahasiswa Jurusan Sejarah Budaya, Presiden menugaskan Roeslan Abdul Gani, salah seorang tokoh kepercayaan Presiden Soekarno pada tahun 1960-an, tidak hanya menjadi ketua jurusan Sejarah Budaya pada 1962 (menggantikan M Yamin), tetapi juga menjadi rector pertama IKIP (institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung sebagai fusi dari lembaga FKIP dan IPG pada tahun 1963.

Masalah  dualisme di bidang pendidikan untuk sementara waktu memang dapat diredam, namun muncul masalah lain yang juga merupakan imbas dari dinamika politik nasional, yaitu semua lembaga yang ada di Indoanesia, termasuk civitas akademika di perguruan Tinggi, untuk mengikuti arus Manipol USDEK (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi, dan Ekonomin Terpimpin, serta kepribadian Nasional) yang berporoskan NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perkuliahan di jurusan menjadi syarat dengan nuansa ideologi dan politik. Kebijakan yang bersifat nasional ini tidak bisa ditolak karena dari pemerintah dan Presiden Soekarno, sementara Roeslan Abdulgani sendiri harus memainkan peranannya sebagai Jubir USMAN (Juru bicara Usdek Manipol).

Dinamika itu juga dirasakan di IKIP Bandung pada umumnya dan jurusan khususnya, yang menyebabkan Dosen, mahasiswa, dan karyawannya terpolarisasi di antara kutub-kutub politik dan orientasi pemikiran ideologinya yang saling bertentangan. Bagi mereka yang berpandangan “nasionalis”, “agama”, atau “komunis”, tersedia organisasi-organisasi kesarjanaan dan mahasiswa dengan orientasi ideologi-politik yang berbeda-beda. Di kalangan mahasiswa IKP Bandung, organisasi yang bercorak nasionalisantara lain seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa NAsional Indonesia dan GERMINDO (gerakan Mahasiswa Indonesia); organisasi yang bercorak Islam seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah); serta organisasi yang berpaham komunis dan sosialis seperti CGMI (Centra Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan GEMSOS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) tumbuh dengan suburnya. Dalam derajat yang signifikan hal tersebut menjadikan suasana kehidupan akademik di Jurusan nyaris tergangu dan berantakan.

Kehidupan politik yang sarat dengan pertentangan dan konflik politik itu berakhir dengan meletusnya G-30-S (gerakan 30 Septemvber) tahun 1965. Dalam pandangan civitas akademika, khususnya mahasiswa yang anti komunis, peristiwa  tersebut di dalangi oleh PKI. Karena itu para mahasiswa yang anti komunis bergerak untuk membentuk KAMI (Kesatuan KAsi Mahsiswa Indonesia) dan melakukan serangkaian demonstrasi. Mereka menuntut kepada Presiden Soekarno agar PKI dan organisasi simpatisannya, seperti CGMI, dibubarkan. Dengan meletusnya G-30-s/PKI dan peristiwa-peristiwa lanjutannya maka kekuatan komunis  di Indonesia mulai hancur. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan mulai muncul kekuatan militer, dalam hal ini TNI-AD dibawah pimpinan Jenderal Soeharto.

Perubahan ini membawa implikasi juga bagi perubahan konfigurasi sosial dan politik. Dalam dunia pendidikan dan perguruan tinggi khususnya, yang tidak pernah kedap dari pengaruh kehidupan politik sauatu Negara juga merasakan mainstream perubahan itu. Konsekuensi dari peralihan ini – sebagaimana halnya sebuah revolusi – acapkali membawa korban dan memakan anak-anaknya sendiri. Dalam konteks ini banyak dosen, mahasiswa, dan karyawan IKIP bandung –termasuk di jurusan Sejarah Budaya – yang dinilai terlibat dan terindikasikan secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 kemudian diberhentikan, disuruh pindah kerja. Peranan mahasiswa Jurusan Sejarah Budaya dalam aksi pembersihan “orang-orang kiri” cukup signifikan.

Masalah  akdemik di jurusan yang nyaris terbengkalai setelah tidak lagi dipimpin Roeslan Abdulgani harus segera diatasi. Disinilah pemikiran dan kebijkan Harsojo patut dikemukakan. Pada masanya, bahkan ketika Harsojo masih menjabat sebagai wakil ketua jurusan, lembaga ini berubah namanya dari Jurusan Sejarah Budaya menjadi Jurusan Sejarah/Antropologi. Alasan perubahan nama ini sebagian karena tambahan kata budaya dinilai terlalu luas cakupannya, sedangkan “antropologi” lebih spesifik dan merupkan disiplin ilmu yang sudah jelas. Pada masa Harsojo pula, sebagai seorang antropolog, orientasi pemikiran di jurusan mengalami perubahan, yakni dari’ ideologis-politis’ menkadi “ilmiah-akademis”. Tugas utama civitas akademika di jurusan adalah melakukan penelitian, pendidikan, dan pengabdian yang tekun dan cermat sehingga mampu membangun perspektif ilmu yang komperhensif dan objektif.

Pada akhir tahun 1960-an, ketika jurusan dipimpin oleh Said Raksakusumah, nama Jurusan kembali mengalami perubahan, dari Jurusan Sejarah/Antropologi menjadi Jurusan Pendidikan Sejarah, sampai sekarang. Perubahan kali ini didasarkan atas pertimbangan karena jurusan merupakan bagian tak terpisahkan dari lembaga yang sejak awal berdirinya menjadikan”pendidikan” sebagai visi dan misi utamanya. Perubahan nama ini, bagi sejarah lembaga, adalah hal yang biasa agar tetap relevan dan fungsional dengan kebutuhan dan semangat jaman. Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa UPI sendiri mengalami perubahan nama beberapa kali: dari PTPG tahun 1954, FKIP-UNPAD tahun 1957, IKIP Bandung (1963, dan UPI tahun 1999. Begitu juga dengan nama ‘fakultas” dimana Jurusan Pendidikan Sejarah bernaung: dari FKIS (Fakultas Keguruan Ilmu Sosial) menjadi FPIPS (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial) seperti sekarang.

Jurusan Pendidikan Sejarah kemudian menghadapi perubahan sosial pada tahun 1970/1980/1990-an dengan respons yang dinamis sesuai tuntutan jaman. Yang menarik adalah bahwa sejak  tahun 1970-an Jurusan Pendidikan Sejarah dipimpin oleh Dosesn yang merupakan alumni dan putra terbaiknya di almamater. Ali Emran adalah mahasiswa Jurusan Sejarah Buadaya angkatan pertama (1954) kemudian menjadi tenaga dosen di almamaternya, dan terpilih sebagai ketua jurausan Jurusan Pendidikan Sejarah. Ketua-ketua jurusan selanjutnya  adalah Suwarno Kartawiriaputra (mahasiswa angkatan 1955); Helius Sjamsudiin (Mahasiswa anagkatan 1957); Ismaun (Mahasiswa angkatan 1957); Didih Sugandi (Mahasiswa angkatan 1966); Nana Supriatna ( mahasiswa angkatan 1980), dan Andi Suwirta (mahasiswa angktan 1985), Dadang Supardan (mahasiswa angkatan 1976).

Untuk memenuhi tenaga guru sejarah di SMP dan SMA, misalnya, pada tahun 1980-an Jurusan membuka program D-3. Setelah bekerja dan mengabdi di sekolah, alumni D-3 itu diberi kesempatan untuk melanjutkan program S-I di Jurusan. Para alumni Jurusan, sejak meluluskan sarjana muda tahun 1957 samapai dengan sarjana pendidikan tahun 2008 – tentu saja sudah cukup banyak, dan duperkirakan sekitar 5500 orang. Mereka, para alumni jurusan itu pada umumnya memang guru-guru sejarah di sekolah, namun tidak sedikit diantara mereka yang menajdi penjabat penting dilembaga pendidikan ataupun yang bergerak di bidang non kependidikan.

Memasuki tahun 1990-an jusurusan banyak mengalami perubahan, sementara Dosen-dosen senior mulai memasuki masa purnabhakti, dosen-dosen muda yang direkrut oleh Jurusan sejak tahun 1980-an mulai dipersiapkan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di Jurusan.  Mereka yang sekolah S-2 dan S-3, baik didalam maupun di luar negeri sejak tahun 1970/1980-an, baik di dalam maupun di luar negeri  mulai mengabdikan dirinya secara penuh di Jurusan. Pada tahun 1990-an juga Jurusan kembali memilki Guru Besar, yang tidak sedikit perannya dalam memabangun suasana akademis yang produktif di Jurusan. Dan ketika abad 21 tiba, Jurusan menyongsongya dengan semangat dan optimism yang besar, bahwa kemajuan adalah kata kunci untuk terus diupayakan sebagai proses pembelajaran yang tiada henti. Jika pada tahun 1954 jumlah mahasiswa Jurusan hanya 35 orang dari keseluruhan mahasiswa yang berjumlah 215 orang; maka pada tahun 2008 jumlah mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah telah mencapai 506, tentu saja perlu manajemen yang baik dan  profesional, termauk juga dalam kelengkapan fasilitas pembelajaran.

Sementara itu minat calom mahasiswa yang ingin memasuki Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI juga tetap tinggi. Dari sejak didirikan tahun 1954 samapi dengan sekarang, jurusan ini tetap diminati oleh masyarakat. Jurusan tidak pernah kekurangan calon mahasiswa yang ingin masuk di dalamnya. Jumlah dosen juga mengalami kemajuan yang berarti, jika pada tahuan 1954 Dosen Jurusan hanya berjumlah 13 orang dari keseluruhan dosen yang berjumlah 146 orang; maka pada tahun-tahun berikutnya, dosen di Jurusan pendidkan Sejarah terus bertambah,  jumlah dosen Jurusan Pendidikan Sejarah ada 21 orang dari jumlah keseluruhan dosen UPI yang berjumlah 1.300 orang. Dari jumlah tersebut  terdiri atas 1 orang Guru Besar dengan kualifikasi pendidikan Doktor, 3 orang Doktor yang belum guru besar, 11 orang berpendidikan Magister, dan 5 orang dosen yang sedang menempuh pendidikan magister. Dengan kualifikasi pendidikan Dosen yang semakin baik ini diharapkan berkorelasi positif dengan kualitas dan hasil pembelajaran di Jurusan.

Sementara itu,  struktur kurikulum di Jurusan mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Jika pada tahun 1954, struktur kurikulum  jurusan itu masih sederhana dan terbatas, maka kini ditahun 2009 struktur kurikulum itu lebih kompleks dan lebih luas. Perubahan kurikulum Jurusan sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional dan kebutuhan masyrakat. Stelah mengalami perubahan dan perbaikan kurikulum pada tahuan 1960-an, 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, maka kurikulum yang berlaku di Jurusan adalah kurikulum 2008. Dalam kurikulum yang baru, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah minimal harus menempuh antara 144-145 SKS untuk menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar Sarjana pendidikan (S.Pd). Pada umumnya masa studi para mahasiswa di Jurusan Pendidikan Sejarah adalah antara 5-5,5 tahun. Kedepan, perlu diupayakan untuk mempersingkat masa studi mahasiswa, dengan cara memberlakukan Semester  Pendek  pada masa liburan antra semester. Disamping, tentu saja, terus mempergiat kinerja PA (Pembimbing Akademik) di Jurusan agaer lebih bersemangat dan prefesional dalam membantu mahasiswa untuk mengatasi masalah-maslaah akdemik dan menyelesaikan studi.

Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi sendiri pada tahun 2001/2002 pernah diujicobakan dengan menerima tawaran kerjasama dengan kantor DEPAG Jawa barat, dimana sarjana-sarjana dari IAIN dididik untuk menjadi sarjana Pendidikan bidang studi pendidikan sosiologi –antropologi. Kurikulum untuk pendidikan Sosiologi-Antropologi sudah dibukukan oleh UPI. Namun, ketika Jurusan akan membuka penerimaan mahasiswa baru untuk Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi, pimpinan UPI belum memberikan izin. Solusinya, sejak tahun 2002, Jurusan Pendidikan Sejarah diberi jatah mahasiswa tambahan, yang biasanya 1 kelas (45 orang), menjadi 2 kelas (95 orang). Harapan untuk mewujudkan Jurusan sebagai lembaga akademik yang maju, modern, dan responsive terhadap perkembangan disiplin ilmu dan kebutuhan masyarakat terus diupayakan. Modal untuk itu sesungguhnya sudah ada, karena sejak tahun 2000, Jurusan mendapatkan penilaian dari BAN (Badan Akreditasi NAsional) dengan kualfikasi “A”, selain itu pada tahun ini juga Jurusan telah menerbitkan Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah; dan pada tahun 2003 Jurnal ini terakreditasi sebagai jurnal ilmiah nasional oleh Ditjendikti Depniknas RI. Upaya penerbitan di Jurusan mulai digalakan sejak tahun 2002 dan telah menghasilkan buku-buku bacaan ilmiah yang cukup baik. Para Dosesn muda di Jurusan juga cukup antusias dan  giat dalam menulis buku ajar untuk kepentingan pendidikan sejarah di sekolah dan mendapatkan kepercayaan dan penerbit tertentu. Sementara itu kerjasama dengan lembaga lain dilakukan, diantaranya dengan MSI (masyarakat Sejarawan Indonesia) cabang Jawa Barat dan dengan Asisten deputi Sejarah Kementerian Pariwisata dan budaya di Jakarta, dalam bentuk kegiatan seminar. Semua potensi yang ada di Jurusan tersebut, apabila dikelola dengan baik dan professional, akan menjadikan Jurusan ini mampu melakasanakan Tri dharma Perguruan Tinggi.