Pendidikan Multibudaya

Oleh: Prof. Dr. Dadang Supardan

ABSTRAK

Tulisan ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa pendidikan multibudaya memiliki use value secara luas meliputi any set of processes by which schools work with rather than against oppressed groups. Melalui pendidikan multibudaya, dapat dikembangkan suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif. Multibudaya meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Pendidikan multibudaya pada hakikatnya memiliki dua makna; (1) ia merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang heterogen, di mana dari segi ini sebanyak 95 % negara-negara di dunia pada dasarnya adalah bersifat multibudaya yang secara etnis dan budaya bersifat plural; (2) pendidikan multibudaya telah diangkat sebagai suatu keyakinan, ideologi, sikap, maupun kebijakan yang menghargai pluralisme etnik dan budayanya sebagai sesuatu yang berharga, potensial, harus dipelihara dan ditumbuhkembangkan. Adapun usur-unsur pendidikan multibudaya meliputi; (1) pemahaman identitas kultural orang lain” tidak diartikan ataupun menegaskan bahwa semua aspek kebudayaan itu seluruhnya “baik”, seperti yang banyak dikhawatirkan oleh beberapa kritikus multibudaya; (2) “menghormati kebudayaan-kebudayaan orang lain”, merupakan kelanjutan yang penting bagi fokus kegiatan pertama. Pemahaman tersebut dimaksudkan tidak sekedar sesuatu yang bisa ditolerir apalagi dibenarkan, melainkan diperlukan suatu tanggapan yang kritis dari pihak-pihak eksternal untuk berperanserta dalam memberikan dukungan, alasan-alasan, pengakuan, penghargaan, penilaian, penguatan, dan empati dalam kebersamaan hidup sebagai bangsa secara integral; (3) “memandang keanekaragaman budaya itu sebagai sesuatu kebaikan yang positif untuk dihargai, diterima, dan dipelihara dalam komunitasnya”. Ekspresi nilai budaya tersebut bisa dilakukan melalui tiga bentuk. Pertama; dengan penerimaan etnis dan budayanya tegabung dalam kelompok bangsa itu untuk mempelajari kebudayaan nenek moyang tentang asal usul kelompok etnis, bangsa, atau peradabannya. Kedua, dengan mempelajari pengalaman sejarah dari kelompok etnis tersebut. Pengalaman-pengalaman sejarah, cara hidup, kemenangan-kemenangan dan kemunduran, kesenian, sastera, serta kontribusi-kontribusi perjuangan kepada bangsa yang didiaminya dibahas secara rinci. Ketiga; mempelajari pengembangan kebudayaan-kebudayaan etnis masa kini mencakup ritual-ritual etnis keluarga, makanan, kebiasaan-kebiasaan tentang peran-peran dan interaksi dalam keluarga, nilai-nilai, pilihan musik, falsafah hidup, dan lainnya.

Jargon-jargon“E Pluribus Unum” dengan kebijakan affirmative action-nya di Amerika dan Kanada dengan sistem “mozaic-nya”, ataupun jargon “unity in diversity”, sedangkan Indonesia dengan motto “Bhinneka Tunggal Ika”, telah mengingatkan kita bahwa secara filosofi bangsa Indonesia memiliki apresiasi budaya tinggi. Adanya kekhawatiran-kekhawatiran pendidikan multibudaya, bila dirunut jauh ke belakang itu bersumber dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan profan, apalagi di era globalisasi itu, arus global dan keterputusan di antara arus-arus tersebut yang mencakup; ethnoscapes, technoscapes, financescapes, mediascapes, dan ideoscapes atau serangkaian imaji harus mampu memberi makna dalam kehidupannya sendiri.

Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Multibudaya

Istilah “multibudaya” (multiculture) jika ditelaah asal-usulnya mulai dikenal sejak tahun 1960-an, setelah adanya gerakan hak-hak sipil sebagai koreksi terhadap kebijakan asimilasi kelompok minoritas  terhadap melting pot  yang sudah berjalan lama  tentang kultur dominan Amerika khususnya di New York dan California (Banks, 1984: 3, 164; Sobol, 1990: 18). Istilah multibudaya tersebut selalu melekat dengan pendidikan, yang mempunyai arti secara luas meliputi any set of processes by which schools work with rather than against oppressed groups (Sleeter, 1992: 141). Pendapat tersebut  sejalan dengan pernyataan Will Kymlicka, profesor filsafat pada Queen University Canada dalam bukunya Multicultural Citizenship, bahwa multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya (Kymlicka, 2002: 8, 24),. Sedikit berbeda dengan Stavenhagen (1986), yang memandangnya bahwa konsep “multibudaya” mengandung dua pengertian.

Konsep pertama; ia merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang heterogen. Pernyataan dari segi ini sebanyak 95 % negara-negara di dunia pada dasarnya adalah bersifat multibudaya mengingat secara etnis dan budaya bersifat plural. Konsep kedua; multibudaya telah diangkat sebagai suatu keyakinan, ideologi, sikap, maupun kebijakan yang menghargai pluralisme etnik dan budayanya sebagai sesuatu yang berharga, potensial, yang harus dipelihara dan ditumbuhkembangkan.

Yudistira K. Garna (2003; 164), Antropolog Universitas Pajajaran berpendapat bahwa dalam masyarakat majemuk (plural society), terdapat dua tradisi dalam sejarah pemikiran sosial. Pertama; bahwa kemajemukan itu merupakan suatu keadaan yang memperlihatkan wujud pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bergabung atau bersatu, dan rasa menyatu itu dibangun melalui dasar kesetiaan (cross-cutting) kepemilikan nilai-nilai bersama dan perimbangan kekuasaan (Peh, 1985: 77-79). Kedua; dalam masyarakat majemuk dikaitkan dengan relasi antar ras/etnik, bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok ras/etnik yang berada dalam satu sistem pemerintahan, oleh karena itu sering mengalami konflik dan paksaan (Garna, 2003: 164-165).

Implikasi dari adanya masyarakat majemuk tersebut menurut Smith (1965) juga memiliki berbagai kelompok budaya yang beragam. Masyarakat yang memiliki budaya beragam ini maka terminologi multibudaya sering didiskusikan baik sebagai respons menghadapi tantangan realitas sosial itu, maupun sebagai pengakuan atas diversitas budaya majemuk tersebut. Pendidikan multibudaya dalam perkembangannya sebagai suatu  sikap, praktik sosial, dan kebijakan pemerintah, yang sekarang ini telah meluas ke arah suatu keyakinan atau kebijakan politik pemerintah semacam ‘penanaman dan pemeliharaan ideologi’ dalam pengembangan kebudayaan menciptakan masyarakat yang sehat. Berry, Poortinga, dan  Segall (1998: 577-580) dalam karyanya Cross-cultural psychology: Research and applications, menyebutnya multikulturalisme pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat mengembangkan  identitas yang sehat dan secara timbal-balik mengembangkan sikap-sikap positip antar kelompok.

Kymlicka (2003: 13-15) maupun Harjanto (2001: 89-90) yang menghubungkan multibudaya dengan integrasi bangsa dalam tulisannya berjudul Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan, menyatakan bahwa bukannya pendekatan ethnocultural nationalism/ethnic nationalism maupun civic-nationalism, melainkan sebaiknya multicultural nationalism. Mereka berpendapat, melalui pengembangan multicultural nationalism tersebut dapat dipelihara dan dikembangkan integrasi bangsa yang lebih handal. Sebab, menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama; menghargai keragam etnis serta berkomitmen terhadap kesamaan antar kelompok akan memungkinkan terwujudnya suatu social and political ideal of togetherness in difference (Young, 1990: 175). Prestasi persatuan bangsa yang menghargai perbedaan ini, pernah dicontohkan oleh Perdana Menteri Trudeau keturunan Prancis Kanada yang sering dijadikan model multikultuarlisme yang konsisten  dengan kebijakan “mosaic-nya” (Marger, 1985: 252; Supardan, 2002: 34). Kemudian Marger (1985: 258) lebih lanjut menyatakan  bahwa:

The Canadian ideology, in contrast, has historically favored a more pluralistic outcome of the massing of various ethnic groups. There has been and remains a greater awarness and tolerance of ethnic separateness. A simplified view is “unity in diversity”. Canada in this ideal view, is mosaic, the various pieces of which fit together within common political and economic framework.

Pendidikan multibudaya yang sarat dengan penghargaan, penghormatan, dan kebersamaan dalam suatu komunitas yang majemuk inilah yang oleh Blum (2001: 16), , menyatakan bahwa:

Multibudaya meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat  mengekspresikan  nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Kata kunci dalam pendidikan multibudaya tersebut, yakni pengakuan adanya perbedaan dan penghargaan, dua kata yang selama ini sering dikontraskan. Karena itu dalam pendekatan multibudaya tidak sesungguhnya berlandaskan pada pemilikan yang mengisaratkan pada memiliki atau dimiliki budaya tertentu, tetapi berlandaskan pada kesadaran untuk menghargai dan menghormati yang mampu bernegosiasi tentang rumusan-rumusan realitas yang ada. “Ia tak seutuhnya merupakan bagian ataupun sama sekali terpisah dari budayanya, alih-alih ia berada di perbatasan” (Adler, 1982: 389). Keanekaragaman budaya bukan faktor penentu pemecah-belah bangsa, melainkan diharapkan mampu menjadi “bumbu kehidupan” bagi perekat bangsa-bangsa di dunia.

Elemen-elemen pendidikan multibudaya, menurut Blum (2001:19) mencakup tiga sub-nilai sebagai berikut; (a) menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai  warisan budaya seseorang, (b) menghormati dan berkeinginan untuk memahami  serta belajar tentang etnik / kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya; (c) menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok budaya  yang berbeda dalam masyarakat  seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai dan dipelihara. Pendapat Blum tersebut lebih jelasnya  akan diuraikan di bawah ini.

Pertama, pengertian suatu “pemahaman identitas kultural orang lain” tidak diartikan ataupun menegaskan bahwa semua aspek kebudayaan itu seluruhnya “baik”, seperti yang banyak dikhawatirkan oleh beberapa kritikus multikulturalisme. Suatu pemahaman identitas kultural orang lain dalam hal ini tidak menghalangi kritik berdasarkan standar-standar dari kebudayaannya yang mungkin dilanggar oleh kebiasaan-kebiasaan khusus dalam kebudayaan tersebut, maupun berdasarkan norma-norma eksternal bagi kebudayaan itu (Schramm, 2001: 7; Spradley, 1997: 13-15). Penggunaan standar eksternal untuk sesuatu kebudayaan adalah sah (misalnya suatu standar khusus tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang diambil dari tradisi Barat yang liberal), walaupun merupakan sebuah isu yang kompleks. Konsep multibudaya selalu memperingatkan untuk menyalahkan kebudayaan itu sebagai suatu yang universal, seperti dengan menyatakannya “tidak layak” atau “mendiskualifikasikannya” sebagai sumber pengetahuan moral bagi mereka yang berada di luar kebudayaan itu.  Oleh karena itu dalam multibudaya tidak perlu dan tidak harus mengidentifikasi dirinya dengan pandangan bahwa para anggota suatu kebudayaannya tidak pernah memiliki kedudukan moral untuk membuat kecaman tentang kebiasaan-kebiasaan dari kebudayaan lain (Blum, 2001: 19). Pandangan terpenting dari pengenalan atau pemahaman terhadap budaya orang lain itu adalah bagaimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat mengekspresikan nilai-nilai bagi para anggotanya sendiri (Harris dan Moran, 2001: 57, Blum, 2001: 16).

Kedua, pendidikan multibudaya itu “menghormati kebudayaan-kebudayaan orang lain”, merupakan kelanjutan yang penting bagi fokus kegiatan pertama. Pemahaman tersebut dimaksudkan tidak sekedar sesuatu yang bisa ditolerir apalagi dibenarkan, melainkan diperlukan suatu tanggapan yang kritis dari pihak-pihak eksternal untuk berperanserta dalam memberikan dukungan, alasan-alasan, pengakuan, penghargaan, penilaian, penguatan, dan empati dalam kebersamaan hidup sebagai bagian bangsa secara integral.  Sebab adanya toleransi, pengakuan, dan penghargaan dari etnis dan budaya lain, akan berkontribusi dalam memberikan rasa aman dan tentram, yang pada gilirannya harga diri-pun meningkat karena ada rasa percaya diri (self-confidence). Identitas  budaya individu merupakan unsur dirinya yang benar-benar berarti, dalam memahami budaya sendiri harus menjadi bagian yang vital dari tugas pendidikan. Pemahaman atas kebudayaan seseorang dari pendukung budaya lain akan menjadi sumbangan yang berarti bagi individu dan masyarakat tertentu tentang kebudayaan mana yang merupakan bagian daripadanya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur yang pertama dalam pendidikan multibudaya tersebut.

Pemerintahan yang bijak dalam mengahadapi masyarakat yang majemuk tingkat kemajuannya, dapat melakukan berbagai kebijakan baik pemberian kesamaan kesempatan maupun hasil bahkan sekalipun bersifat protektif, terutama kepada kelompok/etnis yang “belum setara”. Penghargaan terhadap etnis dan budaya lain ini di negara lain, contohnya memerlukan bantuan khusus melalui kebijakan preferensial (Weiner,1996: 441). Kebijakan preferensial, mengacu kepada hukum/peraturan, ketentuan administratif, pengadilan, dan intervensi publik lainnya untuk memberikan kebaikan publik dari kebaikan privat tertentu (seperti; untuk memasuki sekolah/ perguruan tinggi, pekerjaan, kenaikan pangkat, dan sebagainya). Di Amerika Serikat  kebijakan ini disebut Tindakan Afirmatif atau Kebijakan Konpensasi, suatu sebutan bagi para pendukungnya, sedangkan bagi para penentangnya disebut “Tindakan Diskriminasi Terselubung”.

Seymour Martin Lipset, yang merupakan President of the American Political Science Association and the American Sociological Association dalam karyanya The First New Nation: The United States in Historical & Comparative Perspective, menyebutkan bahwa kontroversi tajam antara nilai-nilai egalitarian dan individualistik di Amerika makin mereda dengan munculnya anggapan persetujuan itu semata-mata untuk menciptakan persaingan yang lebih adil untuk mencapai “kesamaan kesempatan” dan “kesamaan hasil” karena orang kulit hitam pernah mengalami diskriminasi masa lalu, untuk perbaikan nasib masa depan (Lipset, 1994:  xliv). Di India politik ini sering disebut kebijakan “diskriminasi protektif” ataupun “reservasi (Weiner, 1996: 441).

Alasan perlu adanya tindakan afirmative bertolak dari prinsip buta – warna” (tesis yang menganggap bahwa tidak ada hukum atau kebijakan publik yang dirancang untuk memperlakukan orang secara berbeda karena perbedaan warna kulit) dan beranggapan bahwa “kesadaran warna” itu invalid, pandangan demikian adalah salah. Sebab secara empirik, tidak bisa dipungkiri dalam hubungan “hitam-putih”, orang kulit hitam sendiri mengakui bahwa warna kulit hitam itu buruk dan jelek, walaupun ia berusaha mengurangi efek-efek konsesi ini dengan menegaskan bahwa yang hitam itu hanyalah kulitnya. Namun upaya penghiburan yang diberikan kenyataannya tidak berguna atau hanya sementara. Karena, kenyataannya pula orang hitam tidak dapat memilih untuk tidak menjadi hitam. Jadi beberapa orang hitam maupun putih mencurigai kepalsuan slogan “hitam itu indah” , “hitam itu manis” dan serupa lainnya.

Boxil penulis Black and Social Justice, mengatakan walaupun Russel dan Brand (1979: 187) dalam bukunya Second Wind  yang menuliskan slogan cukup liberal I din’t notice (Saya tidak memaklumatkan), walaupun diucapkan “manis tanpa dosa”, namun sesungguhnya karena penulisnya kulit putih sering berekspresi penuh kebanggaan, sama saja dengan memaklumatkannya. Tetapi Boxil juga keberatan jika affirmative action tersebut dikaitan dengan kebijakan Jim Crow yang sekarang telah dihapuskan, karena bertujuan mensubordinasikan kulit hitam yang memiliki label pemalas, irasional, dan sifat-sifat buruk yang melekat lainnya (Boxil, 2001:  104-106).

Perbedaan persepsi seperti itu memang sulit dihindari, atau dalam penggunaan terminologi itu sering mengungkapkan sudut pandang dan kepentingan para penulis, karena itu sangat sulit untuk memperoleh pandangan yang benar-benar netral. Namun dengan adanya pengakuan dan penghargaan identitas budaya individu lain untuk diakuai sebagai individu dan kelompok yang memiliki hak serupa, merupakan unsur vital tugas dalam pendidikan. Penghargaan terhadap budaya seseorang sangat berkontribusi besar terhadap pengakuan budaya suatu anggota masyarakat tertentu tentang budaya mana yang merupakan bagian integral dalam suatu masyarakat luas, merupakan bagian yang berarti dari unsur-unsur multikultarilsme tersebut.

Komponen ketiga adalah, “memandang keanekaragaman budaya itu sebagai sesuatu kebaikan yang positif untuk dihargai, diterima, dan dipelihara dalam komunitasnya”. Blum (2001: 20-21) berpendapat bahwa manifestasi penerimaan keragaman budaya sebagai sesuatu kebaikan yang diterima dan dipelihara itu untuk mengekspresikan nilai tersebut bisa diwujudkan lebih konkrit dari tindakan nomor dua. Ekspresi nilai budaya tersebut bisa dilakukan melalui tiga bentuk. Pertama; dengan penerimaan etnis dan budayanya yang tegabung dalam kelompok/bangsa itu untuk mempelajari kebudayaan nenek moyang tentang asal usul kelompok etnis, bangsa, atau peradabannya. Kedua, dengan mempelajari pengalaman sejarah dari kelompok etnis tersebut. Pengalaman-pengalaman sejarah, cara hidup, kemenangan-kemenangan dan kemunduran, kesenian, sastera, serta kontribusi-kontribusi perjuangan kepada bangsa yang didiaminya perlu dibahas secara rinci (Blum, 2001:  21). Dapat dianalogikan, jika di Indonesia bisa dikaji bagaimana sejarah kontribusi perjuangan etnik; Jawa, Sunda, Batak, Cina, Maluku, Minahasa, dan seterusnya terhadap perjuangan bangsa khususnya zaman kolonial Belanda. Para pendukung multibudaya (Barat) dalam menanggapi terhadap contoh pernyataan serupa itu, pada umumnya sangat setuju atas pelajaran semacam itu diajarkan di sekolah-sekolah (Saunders, 1982: 121-122). Manusia dan pendukung kebudayaan inilah yang dapat disebut “manusia interkultural”, yang dipengaruhi oleh lebih dari satu kebudayaan tertentu, walaupun ada persamaan seperti kebudayaan nenek moyangnya, namun dengan memiliki kebenarannya sendiri ia dapat beradaptasi (Gudykunst dan Kim, 1984: 229-235).

Gudykunst dan Kim (1984: 237) lebih jauh menjelaskan bahwa manusia interkultural atau antar budaya itu adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya yang kognisi, afeksi, dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang melewati parameter-parameter psikologis suatu budaya. Mereka memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap budaya tersebut. Mereka juga memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi terhadap budaya orang lain tanpa harus mengorbankan budaya sendiri.

Ketiga; kebudayaan-kebudayaan etnis masa kini dalam kelompok-kelompok yang telah dibahas itu. Hal ini merupakan dimensi yang langsung terwujud pada diri generasi mudanya sebagai anggota kebudayaan tersebut. Kebudayaan etnis masa kini, mencakup; ritual-ritual  etnis keluarga, makanan,  kebiasaan-kebiasaan tentang peran-peran  dan interaksi dalam keluarga, nilai-nilai, pilihan musik, falsafah hidup, dan lainnya (Blum, 2001: 20). Departemen Pendidikan Nasional, khususnya di lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam pengembanagan budaya seperti itu belakangan ini telah  menerima perempuan pemeluk agama Islam untuk memakai seragam jilbab di sekolah-sekolah sebagai bagian hak asasi individu. Hak asasi ini ironisnya untuk pakaian-pakaian etnis/adat seperti; pakaian adat Sunda, Jawa, Minang, Minahasa, dan seterusnya hampir tidak pernah ada upaya enkulturasi yang konsisten diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Satuan-satuan pendidikan yang mengenalkan identitas tersebut terbatas di TK dan SD, itu-pun hanya berlaku pada perayaan/hari besar bersejarah saja seperti Hari Kartini dan di luar itu tidak pernah.

Alasan pemerintah tidak melaksanakan kebebasan seperti itu jika dirunut lebih jauh bisa berdalih untuk kepatutan, keseragaman, dan kesederhanaan (Dikdasmen, 1984). Persoalan yang muncul: Pertama, apakah kepatutan dan kesederhanaan tidak ada tempat dalam ketidakseragaman? Kedua; apakah dibenarkan hanya untuk legitimasi keseragaman, maka dibolehkan meniadakan identitas budaya yang dimilikinya? Jadi, untuk menumbuhkan penghargaan dan penerimaan dalam budaya etnis yang beragam seringkali dituntut  menunjukkan keberanian langsung untuk menjadi satu bagian dari kebudayaan tersebut dengan membiarkan untuk mengekspresikan budayanya secara lugas  dan penuh “tanggung jawab” (Blum, 2001: 21-22).

Larry May (2001: 156) profesor filsafat pada Washington University di St. Louis, menambahkan dengan menyatakan bahwa “tanggung jawab” moral atas kejahatan-kejahatan rasial-pun dipikul oleh semua anggota komunitas, termasuk oleh mereka yang secara tidak langsung melakukan kejahatan itu. Artinya bahwa betapa perbedaan-perbedaan bawaan itu dapat menjadi suatu khasanah dalam menuju kebersamaan. Karena itu sangat relevan sebagai kata kunci dari pernyataan di atas adalah adanya “keragaman” dan “penghargaan”. Jika dalam Islam mengajarkan “rachmatan  li al-‘alamin” menjadi  mediator bagi perbedaan-perbedaan budaya  tersebut (Jandra, 2003: 71-72), mestinya kita sebagai bangsa Indonesia  yang memiliki motto Bhinneka Tunggal Ika, betul-betul menghargai keragaman sosio-budaya bangsa, sebab ia hakiki dan mengungkapkan sebuah kebenaran historis, antropologis, sosiologis, dan teologis.

Tradisi dalam pemikiran kita yang kuat walaupun sering menyesatkan adalah bahwa manusia hanya merasakan perasaan sebagai komunitas ketika mereka menganggap diri mereka sama dengan anggota-anggota lainnya dalam suatu masyarakat (Blum, 2001: 25). Bellah dan rekan-rekannya dalam Habits of the Heart:Individualism and Commitment in American Life, menyatakan  bahwa jenis komunitas yang diperlukan di Amerika Serikat adalah komunitas yang pluralistik, komunitas yang meliputi rasa keterikatan dan hubungan yang berasal dari aktivitas, keadaan, tugas, lokasi bersama dan sebagainya, terutama didasarkan pada pengalaman kemanusiaan bersama, namun dengan mengakui dan menilai perbedaan-perbedaan budaya dan perbedaan-perbedaan lainnya juga (Bellah, 1985 : 51). Perlunya penghargaan keragaman etnis dan budaya dalam masyarakat majemuk ini juga dikemukakan oleh sejarawan Amerika Serikat yang sedikit angkuh dan bangga, Michael Kammen dalam karyanya People of Paradox. Kammen (1977: 133) menyatakan bahwa :”Saya tidak percaya bahwa keragaman merupakan sifat khas Amerika. Tetapi saya sungguh meyakini bahwa keragaman yang demikian meluas adalah khas Amerika”.

  1. Pendidikan Multibudaya Sebagai Keniscayaan dalam Kebijakan Sosial-Politik

Bangsa Indonesia meupakan bangsa yang pluralis, bahkan mungkin yang paling pluralis dunia. Bangsa ini terdiri ratusan etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah (Koentjaraningrat, 1970, 21-33; Thohari, 2000: 129). Pluralisme multidimensional ini telah membentuk mozaik ke-Indonesia-an yang sangat indah dan mempesona, tetapi sekaligus rawan terhadap konflik. Ketidakmampuan mengelola pluralisme inilah bisa mendorong terjadinya gejolak sosial politik yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) yang  terjadi separatis di akhir-akhir ini.

Indonesia bukan satu-satunya bangsa dan negara yang memiliki pluralisme etnis. Bangsa Amerika contohnya, juga dikenal sebagai bangsa sangat pluralistik secara etnik. Karena pluralistiknya Amerika menjadikan “E Pluribus Unum” sebagai jargonnya. Kemudian bangsa Kanada, memiliki kebijakan multikulturalisme dengan “mozaic-nya”, dengan jargon “unity in diversity” (Marger, 1985: 258, Supardan, 2002: 34), sebuah semboyan yang mirip “Bhinneka Tunggal Ika” yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bangsa Singapura juga menyebut dirinya sebagai bangsa pluralis, meski etnik Cina memiliki jumlah yang lebih dominan. Demikian juga dengan bangsa-bangsa lain. Sedikit sekali negara yang dihuni oleh satu etnis saja. Singkatnya, pluralisme bukanlah eksklusif milik kita saja, melainkan merupakan fenomena umum yang bisa ditemukan di mana saja.

Pendidikan multibudaya sebenarnya merupakan suatu keharusan kebijakan sosial-politik. Karena fakta pluralitas etnik dan budayanya tersebut tidak saja dibenarkan secara historis, sosiologis, antopologis, tetapi juga teologis. Selain itu pluralisme juga merupakan akibat logis dari gelombang urbanisasi dan globalisasi yang terjadi di dunia. Catatan yang perlu dihindarkan dalam pendidikan multibudaya ini adalah kecenderungan eksklusifisme dan fanatisme etnis yang sempit. Pasalnya fanatisme etnis akan menyulut konflik secara potensial memang selalu ada dan inheren dalam masyarakat yang multietnis baik yang disebabkan oleh stereotipe maupun prasangka-prasang sosial lainnya.  Secara sederhana masalahnya adalah bagaimana agar sesuatu yang potensial dalam arti negatif, tidak menjadi aktual. Artinya bahwa diperlukan untuk mengatur agar kebutuhan dan kebenaran pendidikan multibudaya itu menjadi penetapan ideologis sebagai bangsa Indonesia dari semua etnis, golongan agama, budaya, bahasa yang beraneka ragam itu merasakan satu bangsa yang benar-benar dihayati, dan diamalkan, tanpa menghilangkan identitas “primordial” yang kaya dengan perbedaan itu.

Jawaban yang diajukan untuk menjawab permasalah tersebut juga tidak mungkin dengan menghilangkan identitas “primordial” itu dengan menindas identitas yang kaya dengan keragaman sekalipun dengan maksud memperkuat persatuan  nasional.  Hal ini sama halnya dengan “mati secara sosial dan budaya(Magnis-Soeseno, 2000, 30). Dari atropi (penyusutan) sebuah identitas asli, tidak mungkin muncul identitas baru. Jadi tidak mungkin tercapai kesatuan bangsa yang terdiri atas banyak komponen, dengan meniadakan kemajemukan itu. Bangsa Indonesia tidak mungkin dilarutkan identitasnya sebagai orang Jawa, Sunda, Batak, Minang, Dayak, Bugis, Ambon, Islam, Hindu, Kristen, Budha, dan seterusnya. Sebab tindakan itu tidak akan dapat menciptakan identitas Indonesia yang sesungguhnya, melainkan hanya akan menghancurkan identitas yang sebenarnya. Bangsa Indonesia tidak mungkin dapat dibangun oleh selain orang Indonesia sendiri. Walaupun ironisnya banyak pemimpin dan penguasa kita mengambil jalan pintas seperti itu. Persatuan bangsa yang dicapainyapun hanyalah sebuah persatuan semu yang dibangun oleh identitas atas ritus-ritus kenegaraan yang kosong (Piliang, 2001: 227; Magnis-Suseno, 2000: 31).

Individu maupun kelompok dalam perannya sebagai manusia memiliki identitas keunikannnya yang tak pernah tergantikan dalam personalitasnya, walaupun selalu berusaha menserasikan seluruh pengetahuan, persepsi tentang realitas dalam sosialitasnya. Sebagai bangsa yang pluralis, mestinya dapat  memahami hakikat apa itu primordialisme. Kalau saja seseorang memiliki akar dalam lingkungan sosialnya yang termasuk primordial, lalu ia bekerja sesuai dengan bobot dan tanggung jawabnya masing-masing, itu bukan berarti primordialisme. Karena ketertanaman sosio-kultural, justru merupakan syarat keutuhan personal dan psikis seseorang. Berbeda dengan suatu keterikatan primordial (yang wajar) kemudian menjadi primordialistik (tidak wajar) yang melampaui lingkaran primordial dengan kata lain menjadi “eksklusif”, seseorang dengan mengidentifikasikan diri hanya dengan salah satu unsur primordial saja. Hal itu jelas pada orang tersebut terjadi desosialisasi, suatu pemiskinan sosial karena tidak mampu lagi merasakan solidaritas dengan  orang lain sebagai manusia  dalam kesatuan bangsa. Sikap semacam ini bahkan dapat menjadi primordialistik fanatik yang sempit apabila salah satu  keterikatan primordial, misalnya pada salah satu suku, maupun agama  menjadi sedemikian dominan. Keluarga dan nilai-nilai dominan umum akhirnya menjadi tidak lagi dirasakannya. Primordialisme semacam itu dapat dikategorikan “pathologi psikis” jika menyangkut individu, dan pathologi sosial jika menyangkut kelompok (Horton & Hunt, 1999: 195-197). Primordialisme yang seperti itu pula yang merupakan suatu regresi, suatu penolakan terhadap keterbukaan.

Pendidikan multibudaya memang sepintas dalam banyak hal dapat menimbulkan rasa khawatir terhadap hubungan antara agama dan kebudayaan. Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dijawab secara sederhana; bahwa agama adalah ciptaan Tuhan yang permanen dan universal, sedangkan kebudayaan adalah buatan manusia yang temporal dan spatial. Bila dirunut ke belakang, kekhawatiran itu bersumber dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan profan (Eliade, 2001: 274-275; 2002: 211). Secara ekstensial, bila ke-Tuhanan  (agama) dipahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian melahirkan apa yang disebut “aktualisasi”, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan dalam perilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Dengan demikian agama sebagai yang sakral menjadi substansi atau inti kebudayaan (Abdullah, 2003: xii). Ironisnya, tidak semua pemeluk agama memahami masalah ini dengan benar. Mereka agak phobia memahami budaya lokal. Kekuatan hegemoni agama formal yang didukung oleh otoritas ortodoksi menundukkan budaya lokal termasuk seni tradisi vis a vis otoritas keagamaan. Kuntowijoyo (2003: 16) sejarawan dan budayawan Universitas Gajah Mada yang merasa prihatin terhadap fenomena tersebut, menyebutnya tidak sedikit orang yang memandang agama telah menjadi “buldoser  kultural atas pluralitas ekspresi kebudayaan. Tradisi budaya lokal padahal sarat akan pesan-pesan filosofis, baik dalam aspek spiritual, moral, mentalitas, maupun pesan dan kritik sosial (Abdullah, 2003: xiii). Para pengamat seni bahkan berpendapat bahwa,  seni-lah satu-satunya  wilayah yang sulit dikooptasi oleh institusi kenegaraan (Mack, 2001: 7-11; Dickie, 1971: 27; Peransi, 1985: 8-9). Seni merupakan ekspresi hidup dan kehidupan serta sumber inspirasi gerakan spiritual, moral, dan sosial dalam mencairkan ketegangan sosial. Di balik keterbatasannya pranata lokalnya, seni  juga mengandung makna universal yang dapat paralel dengan agama bagi keluhuran budi manusia

Kemajemukan etnis dan budaya sebetulnya baik secara historis maupun antropologis yang ada di Indonesia itu sudah sangat kondusif bagi penerapan  pendekatan pendidikan multibudaya. Indonesia yang memiliki motto kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika, adalah hakiki dan mengungkapkan kebenaran historis yang tidak dapat disangkal lagi sejak zaman kerajaan dahulu. Kerajaan Majapahit memiliki politik hubungan antar kerajaan yang terungkap dalam semboyan “mitreka satata” yang berarti “persahabatan dengan dasar saling menghormati” dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya seperti Champa, Syam, Burma.  Pujangga Empu Tantular pernah melukiskan kehidupan beragama dengan baik sekali dalam karangannya Sutasoma dengan kalimat “bhinneka tunggal ika tan hana darma mangrua” yang berarti ‘walaupun berbeda, satu adanya, tidak ada agama yang tujuannya berbeda” (Darmodihardjo,1985: 17). Empu Tantular sudah mendudukkan motto tersebut sebagai falsafah kerajaan/pemerintahan pada zamannya.

Secara antropologis, bangsa Indonesia yang kaya akan keragaman etnis, budaya, agama, bahasa, adat-istiadat yang hidup di tengah masyarakat plural, semuanya tergantung dari local genius yang bersifat primordial (Sumardjo, 2002: 23). Lokal genius yang primordial itu ditentukan oleh genesis infra struktur penghidupan masyarakatnya. Kalau saja menurut Kluckhohn (1953) terdapat tujuh unsur kebudayaan itu, baik yang kecil, terisolasi-sederhana, maupun yang besar kompleks-maju. Ketujuh unsur itu adalah bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 83). Melalui evolusi dan transformasi yang beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun , jika saja kita mau belajar, maka organisasi sosial politik kita dalam berbangsa dan bernegara, segala kekurangan-kekurangannya akan tampak di hadapan kita. Kalau ini memang yang sedang terjadi, dapat dibayangkan bahwa kemandekan dalam kesadaran sejarah tidak bisa dihindarkan, sebab kesadaran  relevance, merupakan awal mutu kehidupan. Dalam profesi dan peran sosial apapun, jika sedang mengalami “sense of relevance”, kehadirannya bisa menjadi teralienasi dari keharusan zaman dan tuntutan masyarakat (Abdullah, 2001: 218, 260).

Seorangpun tidak ada yang berharap, konflik etnis ini akan terus menjadi awan kelam bagi masa depan politik Indonesia. Semua orang tidak mengendaki seperti api dalam sekam, di mana unsur etnik sewaktu-waktu siap membakar setiap bangunan politik Indonesia. Sekalipun konflik etnis ini sempat terpusat di Kalimantan dan Maluku, tetapi secara sporadis tetap khawatir mencuat di daerah lain, khususnya kawasan perkotaan yang padat penduduk. Harapan kita,  pluralisme etnis itu menjadi pengikat kaum urban, terutama di kawasan yang premanismenya begitu kuat sebagai basis ekonomi kelompok pendatang (Suparlan, 2001: 2-3; Piliang, 2002:  232). Taufik Abdullah (2001: 93-94) bahkan berpendapat, bahwa huru-hara sosial ataupun anarki sosial yang kita alami akhir-akhir ini, merupakan pantulan yang keras dari masyarakat majemuk yang berada dalam “kesunyian” tanpa perlindungan sistem kepemimpinan lokal dan masyarakat madani yang sehat dan fungsional.

Setelah kita memahami beberapa kendala/kemandekan dalam upaya mewujudkan masyarakat multibudaya yang harmoni, maka ada baiknya kita perlu memahami juga peluang dan perkembangannya di dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Pembahasan sebelumnya telah menyebutkan bahwa, “More than 95 % of the world’s countries are ethnically heterogeneous… According to some estimates, there are close to 5.000, diverse ethnic group in the world” (Jandt, 1998: 419). Fakta heterogenitas ini dalam realitasnya, ternyata tidak sepenuhnya menerima ataupun menolak kebijakan multikulturalisme tersebut. Menurut Supriadi (2001: 37) terdapat empat kemungkinan kombinasi tentang multikulturalisme itu:

Pertama, negara yang realitas etnik dan budayanya heterogen serta menerima ide dan menerapkan kebijakan multibudaya. Contohnya; Kanada, Amerika Serikat, Australia, Brazilia, Mexico, Malaysia. Kedua; negara dengan realitas etnik dan budayanya heterogen, tetapi kebijakan pemerintahannya cenderung mengarah ke monokulturalisme, contohnya RRC dan Prancis. Ketiga: negara dengan realitas etnik dan budayanya relatif homogen, dan kebijakannya cenderung mengarah ke monokulturalisme, contohnya Israel. Keempat; negara dengan realitas etnik dan budayanya homogen, tetapi kebijakan pemerintahannya menerapkan kebijakan multibudaya, contohnya Jepang.

Indonesia yang secara konsepsional memiliki motto “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai falsafah kehidupan bernegara, secara teoretik dapat dikategorikan ke yang pertama. Akan tetapi jika dilihat dalam implementasinya terutama zaman Orde Lama dan Orde Baru, dapat dikategorikan dalam kelompok kedua, karena walaupun bersemboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, namun dalam realitasnya lebih cenderung pada uniformitas (keseragaman) budaya. Wiriaatmadja (2002: 221) menyebutnya bahwa keragaman dalam kesatuan ini pada paruh lima dekade dalam perjalanan kemerdekaan negara-bangsa, lebih ditekankan pada aspek kesamaan dan kesatuannya yang mengakibatkan pengikisan secara kuantitas dan kualitas budaya lokal khususnya Bahasa Daerah yang makin mundur dan kehilangan daya gunanya secara pragmatik. Sedangkan Abdullah (1999: 19;  2001: 72) menyebutnya bahwa nasionalisme pada era Orde Baru telah diambil alih oleh negara dan kurang menghargai pengembanagan identitas budaya lokal yang menuntut kewajaran serta kesamaan dalam keluarga-bangsa.

Pendidikan multibudaya sebetulnya sekarang ini sangat memungkinkan untuk berkembang terutama dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah. Sebab dalam multibudaya, menuntut pengembangan budaya lokal secara wajar serta tumbuhnya pemikiran yang sangat kaya dengan keunikan masing-masing budaya. Semua elemen itu tidak mungkin dapat diapresiasi dengan pendekatan terpusat (top down), melainkan hanya dengan mengembangkan pendekatan bottom up yang desentralistik. Melalui pengembangan potensi daerah yang desentralistik tersebut, diharapkan pemikiran pluralistik etnis, budaya, agama, seni, bahasa, dapat melakukan respons kreatif yang signifikan dengan tuntutan transformasi masyarakat yang terjadi (Asy’ari, 2003: 234-235).

  1. Landasan Teoretik Peranan Pendidikan Multibudaya dalam Integrasi Bangsa

Terminologi “integrasi bangsa” merupakan penyatuan secara terencana dari berbagai golongan, etnik, agama, bahasa, budaya yang berbeda-beda menjadi suatu kesatuan yang serasi atau satuan dalam satu kesatuan kehidupan berbangsa/bernegara (Bachtiar, 2001: 45; Shadily, 1980: 1461). Integrasi bangsa Indonesia sampai sekarang masih merupakan masalah yang dianggap kompleks, rumit, dan menuntut kesungguhan penuntasannya. Kompleksitas permasalahan yang muncul dalam integrasi bangsa tersebut juga bisa terjadi karena upaya pemerintah sendiri yang kurang serius untuk menangani masalah itu. Menurut Bachtiar (2001: 51), seorang sosiolog Universitas Indonesia, menyatakan , bahwa

Dalam upaya memperkuat integrasi bansa ini kiranya belum ada rencana ataupun program yang besar, seperti halnya rencana pembangunan ekonomi yang dibuat Bappenas. Program integrasi bangsa yang hendak mengusahakan persatuan dan kesatuan bangsa ini, pada dasarnya bukan tugas perseorangan atau golongan-golongan tertentu saja, melainkan adalah tugas semua pihak yang menyatukan diri dalam ikatan nasional Indonesia, atau bangsa Indonesia. Paling sedikit masing-masing orang atau golongan dengan cara masing-masing diharapkan ikut memperjuangkan integrasi nasional yang merupakan kepentingan kita bersama.

Pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak memprogramkan secara ekplisit, sebagaimana program-program pembangunan yang biasanya direncanakan secara rinci. Kemungkinan lain mungkin maksudnya pemerintah juga begitu percaya dengan pendekatan yang persuasif terutama kepada individu-individu anggota keluarga, maupun anggota bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan integrasi bangsa, terutama bila kita hendak berusaha memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.  Integrasi bangsa, bukan merupakan sesuatu peristiwa yang berdiri sendiri dan muncul tanpa sebab. Terjadinya suatu proses integrasi bangsa didahului oleh sebab-sebab yang mendukungnya. Tidak mungkin suatu bangsa mencapai suatu bentuk integrasi bangsa yang sempurna manakala tanpa sesuatu yang menjadikannya sebagai prasyarat. Beberapa pengamat sosial berpendapat bahwa suatu bangsa, dapat bertahan, diterima dan didukung  oleh semua  warganya, apabila ia menyediakan beberapa kondisi minimal bagi warganya.

Pendapat Hertzler (1965: 231), Profesor Sosiologi dalam karyanya A Sociology of Language bahwa  kondisi seperti itu meliputi:

… such economic condition as wide markets and non-discrimination in employment; wide and ready physical mobility in the pursuit of desirable regional, economic and other  life conditions; opportunity for  political participation; freedom from rigid social stratification and social distance and, conversely, freedom of social opportunity and social mobility; acces to all levels of educational opportunity. As in the case of group unity and unification, language is also of the facilitator of all these conditions.

Kondisi ekonomi, politik, sosial, memberikan arti penting untuk menciptakan susana kondusif bagi persatuan bangsa. Hertzler bahkan selanjutnya berkeyakinan bahwa faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam “kesadaran bersatu” (consciousness of unity). Oleh karena itu hakekat persamaan bahasa (Bahasa Indonesia) merupakan contoh potensi sentripetal bahasa yang disadari atau tidak oleh para pemuda pada tahun 1928 itu telah digunakan sebagai salah satu alat dalam melahirkan bangsa Indonesia. Kesatuan dan persatuan untuk kasus Indonesia, menurut Hertzler bisa dicapai lebih mudah karena melalui penguasaan dan pemahaman satu bahasa (Bahasa Indonesia) yang merupakan bahasa resmi dan persatuan, akan menjadi katalisator yang memberikan kontribusi dalam integrasi bangsa, seperti yang dinyatakan Hertzler (1965: 229).

What is more, with the acquisition of the common language (its lexicon, syntac, idioms, the conception of reality and Weltanschauung evidenced by its peculiar structure), there comes the learning of subler aspects of the surrounding cultural and social world: the underlying values and attitudes, the elements of the “spirit” and “style” behind the ways of larger social life… Assimilation becomes easier and more rapid, the greater the similarity of mental and social equipment of persons in both the dominant and foreign groups. Linguistic similarity and compatibility— a common Sprachgefuhl— is the key expediting agency. In general, the enculturation of person  is  only possible as they learn to speak and understand the language of the cultural community.

Kutipan di atas bermakna dan dapat kita terapkan di Indonesia dalam usaha memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan menghilangkan pengertian  dominant groups bangsa Indonesia  sebagai kesatuan  yang lebih besar, maupun   foreign groups dengan satuan-satuan atau kelompok-kelompok yang lebih kecil yang menjadi unsur pembentuk bangsa Indonesia itu. Kondisi objektif di Indonesia yang menggambarkan paradoksal itu sebenarnya tidak selalu menampakkan sisi positif ataupun negatif. Namun yang jelas ada faktor-faktor kondusif yang bisa bekerja dalam mencapai integrasi bangsa yang diharapkan.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sosiolog Universitas Indonesia Sujatmiko (1999: 3), dalam karyanya Integrasi dan Disintegrasi Nasional, sebetulnya Indonesia mempunyai modal dasar integrasi bangsa yang kuat, yakni dengan adanya kesepakatan bersama yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maupun Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, hal itu dapat menjadi perekat integrasi bangsa. Tetapi Sujatmiko menambahkan bahwa sisi lain yang negatif bahwa Indonesia kini memasuki “masa kritis” (tahap 51-100 tahun) karena semakin hilangnya generasi pertama yang telah melakukan kesepakatan momentum historis tersebut. Generasi pasca 1945 (terutama kalangan intelektual / mahasiswa, maupun pemuda kelas menengah) lebih bersifat rasional, asertif, dan mereka tidak menerima “integrasi buta” atau “integrasi  tanpa reserve”. Pemecahan masalah terpenting dalam integrasi bangsa tersebut, maka perlu diimbangi dengan unsur keadilan dan memerlukan  “renegosiasi” antara pusat dan daerah dalam bidang politik-hukum, ekonomi, dan sosial-budaya. Pola once and for all social contract yang selama ini digunakan, tidak dapat dipertahankan lagi dengan ketergantungan ekonomi pada pemerintah pusat..

Sujatmiko (1999: 3) menambahkan bahwa pengembangan nasionalisme “dari  bawah” oleh masyarakat (popular nationalism) perlu ditingkatkan, bukan nasionalisme  “dari atas” oleh negara yang formal atau official nationalism yang dapat  mengarah kepada statism-militerism yang justru akan berfungsi sebagai disintegrator. Nasionalisme dari bawah ini diperlukan dalam pengembangan paradigma integrasi bangsa yang dilandasi keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Pendapat di atas sesuai dengan pandangan Buchanan dalam bukunya Secession: The Morality of Political Divorce from For Sumter to Lithuania and Quebec. Buchanan (1991: 115) mengemukakan bahwa alasan-alasan yang  sah, suatu daerah yang meminta memisahkan diri antara lain terancam kebebasan dan keragamannya. Mengalami redistribusi yang diskriminatif dan inefisiensi, mempertahankan budaya; bela diri, dan pemaksaan integrasi masa lalu. Di situlah pentingnya aspek kebebasan, penghargaan dalam kebersamaan bangsa.

Pentingnya penghargaan dan rasa kebersamaan tersebut selaras pula pandangan  Hirschman (1970: 133) dalam bukunya Exit, Voice, and Loyalty, dapat membantu memahami masalah integrasi bangsa. Hirschman berpendapat bahwa disintegrasi bangsa (exit) terjadi karena merasa tidak ada lagi rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa (loyalty). Namun protes daerah  (voice) janganlah selalu dilihat dari sebagai tanda  “tidak loyal”, melainkan  sinyal bahwa integrasi bangsa  yang berlangsung dianggap tidak adil. Voice yang ditanggapi  dengan baik  dapat mempertahankan integrasi bangsa ¾ bahkan meningkatkan loyalty. Namun voice yang diabaikan dapat mengarah kepada exit (Hirscman,1970: 337).

Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam integrasi bangsa adalah faktor interaksi antar etnis. Peranan interaksi antar etnis juga merupakan faktor penting dalam proses integrasi bangsa. Beberapa sosiolog ternama maupun ahli sosiologi-politik, telah mengingatkan kita bahwa untuk terjadinya suatu bentuk integrasi bangsa yang optimal, maka faktor “interaksi budaya maupun antar etnis yang bermakna” merupakan prasyarat dalam membentuk integrasi tersebut (Svalastoga, 1989: 98; Knapp, 1985: 99; Duverger, 1985: 354). Adanya aktivitas interaksi yang efektif dapat mendorong antar anggota untuk bekerjasama lebih akrab. Kaare Svalastoga, Sosiolog Denmark dalam bukunya Social Diferentiation, menyatakan bahwa integrasi lebih besar kemungkinannya ditemukan dalam masyarakat yang perubahannya lambat, ketimbang di dalam masyarakat yang berubah cepat (Svalastoga, 1989: 99). Perubahan masyarakat yang lambat dapat dipahami karena memungkinkan dengan cukup waktu tersedia, seseorang maupun kelompok berkesempatan untuk menempati posisi yang setara  dengan yang lainnya.

Pendapat yang lebih jelas dikemukakan oleh Sosiolog Knapp (1985: 17-28) dalam bukunya “Social Intercourse: From Greeting to Goodbye”. Ia menjelaskan tahapan-tahapan interaksi antar etnis secara rinci dari tahapan memulai (initiating), menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying), menyatupadukan (integrating), dan terakhir mempertalikan (bonding). Semua dari tahapan itu akan berkontribusi menuju pengembangkan integrasi bangsa yang menjadi bagian kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia dalam berintegrasi satu sama lainnya jelas merupakan suatu naluri sebagai mahluk sosial. Duverger (1985: 354) seorang ahli sosiologi-politik Prancis dalam bukunya The Study of Politics, berkaitan dengan pentingnya interaksi sesama manusia, lebih jauh menyatakan bahwa “interaksi” pada hakekatnya merupakan suatu naluri yang paling dalam yang mendorong para anggotanya untuk hidup bersama.

Tinggi rendahnya integrasi suatu bangsa, tingkatannya dapat diamati dari berbagai indikator seperti; berkembangnya stereotipe dan faktor-faktor penghambat persatuan bangsa lainnya. Lippman (1922: 1-16), yang merupakan orang pertama merumuskan konsep stereotipe dalam bukunya Public Opinion, menyatakan bahwa stereotipe adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang disederhanakan secara negatif. Hayakawa (1950: 209) juga mengemukakan pendapat serupa, bahwa stereotipe merupakan informasi yang salah yang dianut secara luas lawan dari sosiotip yang ilmiah dan teliti.

Di Indonesia tentang tingginya stereotipe yang menghambat rendahnya tingkat interaksi antar etnis dalam integrasi bangsa, dapat dikemukakan adanya  beberapa indikator di bawah ini. Peristiwa Ambon sejak 19 Januari 1999, kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit di Kalimantan Barat dan Tengah, Peristiwa Poso, dan beberapa masalah SARA lainnya menunjukkan betapa saratnya peristiwa itu sebagai akumulasi strereotipe antar etnis, budaya, maupun agama. Papilaya (2000: 38-39), yang merupakan pembicara perwakilan Protestan dalam seminar “Pertahanan dan Konsolidasi Perdamaian Bagi Masyarakat Indonesia Timur” mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya kerusuhan SARA di Ambon sejak 19 Januari 1999, adalah hancurnya budaya lokal terutama rendahnya hubungan (interaksi) antar etnik “pribumi” dengan “pendatang”, yang didasari kecurigaan akibat rendahnya hubungan sosial-ekonomi termasuk antar pemeluk agama. Adat istiadat seperti Pella-Gandong yang telah lama mereka junjung, sebagai tali persaudaran telah begitu rapuh dan kehilangan makna. Pendapat senada dalam kajian yang berbeda disampaikan Ohoitimur (2001: 129-130), yang mengatakan;

… dialogue of discourse terasa sebagai kebutuhan mendesasak  karena di sana-sini ada terdengar suara sumbang bahwa ada agama yang membenarkan umatnya memerangi golongan agama lain. Dialogue of discourse merupakan perjumpaan interaktif para ahli agama-agama dalam rangka saling membagikan informasi mengenai ajaran dan keyakinan keyakinan religius masing-masing agama.

Munculnya anggapan-anggapan yang “membenarkan memerangi agama lain” tanpa sebab yang meyakinkan, merupakan akibat ketidaktahuan, ataupun minimnya informasi tentang agama lain yang dia tidak ketahui. Minimnya pengetahuan agama lain bisa terjadi karena tidak ada interaksi yang memadai dengan pemeluk agama lain maupun tidak mau tahu dengan agama lain itu.

Faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan integrasi bangsa adalah adanya rasa memiliki yang merupakan bagian dari rasa solidaritas bangsa (Svalastoga, 1989: 101). Teori Marx jika dibandingkan dengan teori Durkheim, akan nampak hubungan dan perbedaanya.  Rasa memiliki dan solidaritas ini mirip dengan teori “kesadaran kelas” Karl Marx, sedangkan dalam teori Emile Durkheim adalah terdapat “kesadaran kolektif”. Teori Marx tentang “kesadaran kelas” berasumsi adanya suatu ideologi bersama cenderung memperkuat solidaritas kelas tertentu (proletar), dan antagonisme terhadap kelas lain atau borjuis (Mills, 2003: 82; Giddens, 1986: 51-54; Zeitlin, 1995: 192). Pandangan yang berbeda dengan Durkheim tentang teori “kesadaran kolektif”, bahwa kesadaran kolektif berada pada level solidaritas mekanik yang menuju solidaritas organik.  Kesadaran kolektif itu timbul sebagai totalitas kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama karena memiliki sifat-sifat sama, kepercayaan sama, profesi sama, sehingga tidak berkembang individualitas yang normal (Johnson, 1986: 183; Giddens, 1986: 95).

Rasa memiliki (sense of belonging) yang merupakan bagian rasa solidaritas (sense of solidarity), dengan demikian sangat berbeda dengan “kesadaran kelas” dari Karl Marx maupun “kesadaran kolektif’ dari Emile Durkheim. Karena “solidaritas bangsa” tidak terpaut dan antagonisme pada kelas tertentu, serta tidak selalu mendeskripsikan keterikatannya pada level solidaritas mekanik yang tradisional, karena bisa juga terhadap masyarakat yang memiliki solidaritas organik yang lebih modern.

Harjanto (2001:86-87), Staf Analis Departemen Politik dan Perubahan Sosial,  yang menyoroti hubungan kebangsaan dan kewarganegaraan, menilai bahwa rapuhnya spirit integrasi bangsa Indonesia yang telah dibangun sejak abad 20, tampaknya karena lemahnya visi kebangsaan dan kekaburan mendasar dalam memandang ke-Indonesiaan ini. Pemahaman kebangsaan selama ini masih merujuk pada terminologi klasik Renansian, yaitu suatu bangsa adalah a daily plebicite yang tergantung pada kehendak warganya untuk hidup secara bersama dalam identitas kolektif baru yang melampaui garis-garis primordial – sektarian. Secara normatif, kebangsaan dalam komunalistik seperti itu memang mungkin dibangun. Kebangsaan Indonesia, masalahnya sekarang ini telah tereduksi  menjadi suatu konsepsi yang semakin kehilangan  makna filosofisnya, yang sering dipertentangkan dengan konsepsi politik keagamaan. Secara inheren padahal konsep tersebut sudah bermuatan konflik kepentingan antar anggotanya, karena perbedaan preferensi politik dalam menyikapi perkembangan. Kesadaran kewarganegaraan akibatnya seolah-olah kurang mendapat tempat untuk tumbuh. Kalaupun ada untuk itu, pemahamannya lebih terfokus pada kesadaran kewarganegaraan sebagai konsepsi hukum, bukan kekuatan untuk mentransformasikan masyarakat menjadi entitas politik modern yang demokratis. Kesadaran integrasi bangsa implikasinya lebih memiliki konotasi terbatas “eksternal” yang dikonstruksikan sebagai pembeda warganegara sendiri. Contohnya adanya label “warganegara keturunan”, bukan dalam pengertian yang lebih holistik-integratif termasuk “internal”.

Konsep kebangsaan (nationality) perlu dilakukan telaah lebih dahulu untuk klarifikasi menyelesaikan  persoalan ini.  Kebangsaan setidaknya akan didasarkan  pada dua prinsip utama, yaitu; berdasarkan keturunan (ius sanguinis) seperti di negara kita, atau tempat kelahiran (ius soli) seperti yang dianut Amerika Serikat. Varian lain dari dua hal  di atas, seperti melalui naturalisasi, pemberian suaka politik, dan sebagainya. Fieschi dan Varouakis (2001:22) berpendapat bahwa  prinsip keturunan (ius sanguinis) akan mengarahkan pada terbentuknya ethnic nationalism atau ethnocultural nationalism, sedangkan prinsip tempat kelahiran (ius soli) akan menuju ke penguatan civic-nationalism. Civic-nationalism sendiri dibangun atas “suatu kontrak sosial” individu dalam komitmen, loyalitas, dan kemauannya sebagai way of life untuk kepentingan bersama (Brown, 2000:127-128). Singkatnya, civic nationalism menawarkan visi tentang community of equal citizens.

Konsep civic-nationalism tersebut berbeda dengan ethnocultural nasionalism,  yang lebih didasarkan pada mitos-mitos mengenai kesamaan leluhur dan kepemilikan tanah air yang diwariskannya. Konsep ini mengutamakan adanya bukti konkrit sebagaimana tampak dalam atribut-atribut sosial seperti; bahasa, keyakinan/agama, ras, dan lainnya. Karakteristik tersebut akan membawa konsekwensi serius bagi struktur sosial. Sebab kebangsaan yang berdasarkan keturunan selain sering dipandang akan menciptakan masyarakat yang kurang demokratis dan kurang menghargai kebebasan individual, juga belum teruji secara kualitas (Kymlicka, 1999:132-133). Namun begitu, konsep civic-nationalism-pun tidak dengan serta merta akan menjamin terciptanya masyarakat demokratis, dan oleh karenanya bila perlu ditinggalkan. Apa sebabnya ? Apabila konsep ini merujuk pada ke sukarelaan, bagi individu yang netral secara etnik apalagi ia tidak ada preseden historisnya di masa lampau, maka masyarakat seperti itu akan susah untuk dipertahankan karena ketidakmampuannya untuk memberikan secara terus menerus rasa memiliki dan rootedness yang merupakan sumber kekuatan dari nasionalisme (Kymlicka, 2000: 51). Kenyataannya konsep ini sering dijadikan mitos yang dikreasi oleh suku mayoritas untuk menyamarkan (camouflage) bahwa segenap lembaga politik merefleksikan dan memajukan kepentingan kulturalnya sambil  melakukan sub-ordinasi terhadap minoritas (Brown, 2000: 51).

Dua model hubungan kebangsaan dengan kewarganegaraan tersebut, ternyata perlu dipertimbangkan keunggulan dan kelemahannya dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia ini. Pilihan ideal nampaknya di mana pilihan kebangsaan menjadi semakin relatif, artinya untuk ke depan lebih cocok “multicultural nationalism” (Kymlicka: 2002; Young: 1990; Harjanto, 2001; Rawls: 1971). Para penganjur teori ini berkeyakinan bahwa menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama, yang menghargai keberagaman etnis serta berkomitmen  terhadap kesamaan  antara kelompok dapat dilakukan sehingga terwujud suatu social and political ideal of togetherness in difference. Visi ini menggabungkan tujuan civic-nationalism untuk menciptakan  keadilan bagi setiap warganegara dengan ethnocultural nationalism yang menekankan pada pentingnya aspek komunitas masyarakat berdasarkan kesamaan keturunan dan sosiokulturalnya. Melalui sistem ini dengan demikian dapat tercipta suatu democratic pluralism yang mensyaratkan dua sistem tentang hak-hak azasi manusia: satu sisi mengenai hak-hak individu yang sama bagi semuanya, di sisi lain adalah sistem yang lebih spesifik yang berkaitan dengan kebijakan dan hak-hak komunal yang group-conscious.

Konsep “demokrasi” selama ini lebih menekankan pada kajian demokrasi liberal, yakni kebebasan individual serta menyampingkan demokrasi sosial, terutama hak-hak komunitas yang menekankan resiprositas dan kegiatan bersama tentang identitas dan simbol-simbol lain  (Gould, 1993: 69, 77-78; Howard, 2000: 8). Padahal  orde persaingan yang berasal dari kemerdekaan individual secara empirikal ternyata membonceng  polarisasi sosial. Hasil penelitian Herrnstein dan Murray (Simanjuntak, 2001: 61), yang menimbulkan kontroversi besar lewat Bell Curve, mengungkapkan adanya hubungan statistikal positif antara inteligensia dan sukses prestasi manusia Amerika dalam hidup. Kehidupan manusia jika hanya dipercayakan semata-mata pada persaingan yang melibatkan  perangai genetik, kesejahteraan bersama umat manusia akan semakin menjauh dari harapan dan keadilan Penelitian tersebut membuktikan bahwa ketimpangan sosial justru makin memburuk dalam peradaban yang semakin  padat pengetahuan. Suatu kenyataan yang sangat mengganggu karena ketimpangan sosial seperti itu akan muncul yang mendorong “pembalasan dendam” suatu ketika, seraya menyudutkan kebebasan itu sendiri (Howard,2000: 323).

Persoalan di atas menuntut jawaban terhadap ekses demokrasi liberal yang menimbulkan ketimpangan sosial dan menjauhkan integrasi bangsa  dapat dilacak dari pendapat para ahli. Etzioni (1992: vi; 54-55) yang membuka diri dengan pertanyaan-pertanyaan otokritik secara ekonomi, mempertanyakan: Apakah manusia itu pada dasarnya individualis, bersaing satu sama lain untuk memaksimumkan kesejahteraan masing-masing yang menyulitkan berintegrasi satu sama lain? Ataukah memang manusia itu pada dasarnya memiliki moral integratif sebagai mahluk sosial yang selalu hidup dalam komunal ?  Perbedaan antara dua paradigma ini, yakni paradigma neoklasik yang individualis dan paradigma sosial-konservatif yang komunalistik, menyajikan paradigma alternatif yaitu paradigma “Aku dan Kitayang didasarkan atas etika deontologis. “Aku”, yang bertindak rasional yang memajukan kepentingan sendiri, tetapi kemampuannya untuk bertindak demikian sangat dipengaruhi oleh kepentingan “Kita”, komunitas di mana ia menjadi anggotanya.

Sebagai pelengkap teoritik integrasi bangsa, sebenarnya banyak model integrasi bangsa yang ditawarkan oleh para sosiolog yang mungkin pula dapat diadaptasi oleh bangsa Indonesia. Model di bawah ini merupakan perpaduan dua pendekatan, yakni; pendekatan fungsionalisme-struktural (yang dikembangkan sejak Comte, Durkheim, serta Parsons) dan pendekatan konflik non-Marxis (Dahrendorf). Alasan peneliti menggunakan dua pendekatan tersebut, di samping sesuai degan pendapat van den Berghe (1967: 294-295), juga kebutuhan untuk mensintesiskan  kedua pendekatan tersebut bahwa keduanya sangat melengkapi satu sama lain.

Pendekatan fungsionalisme struktural, seperti yang dikemukakan oleh Parsons terdapat beberapa asumsi, sebagai berikut:

(1) Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem daripada elemen-elemen yang tidak terintegrasikan.

(2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi dari elemen tersebut bersifat ganda.

(3) Walaupun integrasi bangsa tidak dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis.

(4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya  akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses instititusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun  integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan mengarah ke proses itu.

(5) Perubahan dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian yang tidak revolusioner.

(6) Pada dasarnya perubahan  sosial itu terjadi melalui tiga hal: penyesuaian dalam sistem sosial terhadap perubahan dari luar, pertumbuhan proses diferensiasi struktural fungsional, penemuan baru anggota masyarakat.

(7) Dalam setiap masyarakat selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip dasar yang bersifat mutlak benar. Sistem nilai tersebut disamping merupakan sumber berkembangnya integrasi sosial, juga sekaligus merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial budaya itu sendiri (Nasikun, 2003: 11-12).

Parsons dan para pengikutnya telah berhasil membawa pendekatan fungsionalisme-struktural tersebut ke tingkat perkembangan yang sangat berpengaruh dalam teori sosiologi. Nisbet (1969: 262-266) menyatakan bahwa jelas teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad 20. Teori tersebut, sebaliknya telah menimbulkan perdebatan berkepanjangan. Lockwood (1973: 284), menganggap pendekatan Parsons tersebut terlalu bersifat normatif. Sedangkan perilakau-perilaku yang non-normatif hampir tidak mendapat tempat yang wajar, padahal dalam sistem sosial terdapat tata tertib yang normatif dan sub-stratum yang melahirkan konflik-konflik. Keduanya saling berpadu maupun bergantian dalam suatu stabilitas dan instabilitas. Setiap struktur sosial apapun akan memiliki kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik internal yang menjadi sumber perubahan sosial maupun visious circle atau “lingkaran yang merekat”. Selain itu, perubahan-perubahan sosial tidaklah selalu berjalan secara gradual, tetapi bisa revolusioner (van den Berghe, 1967: 297).

Pengabaian kenyataan-kenyataan di atas pendekatan fungsionalisme struktural  dapat dipandang sebagai pendekatan reaksioner, dan mengabaikan realita sosial (Nasikun, 2003: 15). Faktor itulah yang mendorong penulis memerlukan pendekatan konflik, terutama non-Marxist, dengan mengikuti pola Dahrendorf dalam Class and Class Conflict in Industrial Society. Dahrendorf (1959: 162) mengemukakan bahwa asumsi-asumsi yang dikembangkan sebagai berikut:

  1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat dalam setiap masyarakat.
  2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan perkataan lain konflik adalah gejala melekat setiap masyarakat.
  3. Setiap unsur suatu masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
  4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.

Kedua paradigma ini berpadu saling melengkapi, karena dalam struktur  masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik (Nasikun, 2003: 28). Pertama, secara horizontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan etnis, agama, adat-istiadat, dan kedaerahan.  Kedua, secara vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh perbedaan-perbedaan lapisan  bawah dan atas secara vertikal yang cukup tajam.

Perbedaan-perbedaan tersebut seperti yang dikemukakan oleh Furnival (1967: 446-469), tokoh yang pertama kalinya menyebut “masyarakat majemuk” (plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri beberapa elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain. Masyarakat Indonesia mulanya dalam bidang politik tidak ada kehendak bersama (common will), terpisah satu sama lain, dan lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada suatu kesatuan organis. Di bidang ekonomi, tidak ada  kehendak  bersama untuk menemukan bentuk permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masuarakat atau common social demand (Furnival, 1967: 309-312). Akibatnya hubunngan sosial diantara elemen-elemen masyarakat majemuk tersebut semata-mata dibimbing oleh  oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang. Contohnya orang-orang Belanda memiliki keahlian perkebunan, penduduk keturunan Cina dalam bidang perdagangan, dan orang-orang pribumi di bidang pertanian, yang semuanya itu sebenarnya memiliki potensi konflik. Potensi konflik ini menemukan sifatnya yang lebih tajam karena perbedaan kepentingan ekonomi yang bersamaan dengan perbedaan ras (Furnival, 1967: 448). Implikasinya pada masa dahulu tersebut tidak ada kekuatan untuk berintegrasi.

Timbul pertanyaan, bagaimana dengan kondisi sekarang ?  van den Berghe telah melukiskan ciri-ciri masyarakat majemuk sebagai berikut: Pertama,  terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki sub-kebudayaan berbeda-beda. Kedua, memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi dalam lembaga-lembaga non-komplementer. Ketiga,  kurang mengembangkan konsensus terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar. Keempat, secara relatif sering konflik antar kelompok. Kelima,  secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di bidang ekonomi. Keenam,  adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain (van den Berghe, 1969: 67-68).

Karakteristik seperti itu juga serupa dengan kondisi di Indonesia, karena hampir semuanya terwakili. Mengikuti pandangan demikian, sustu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan berikut. Pertama, masyarakat akan terintegrasi di atas tumbuhnya konsesnsus yang dianggap fundamental. Kedua, setiap konflik yang terjadi  diantara suatu kesatuan  sosial dengan kesatuan sosial lainnya, segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cuting loyalities) dari para anggotanya terhadap berbagai kesatuan sosial baik yang sifatnya ideologis maupun politis (Nasikun, 2003: 63). Fakta inilah yang membenarkan relevannya teori konflik di mana Indonesia dari zaman penjajahan, mempertahankan kemerdekaan, sampai pembangunan, tidak lepas dari gejolak sosial yang terjadi dan menimbulkan berbagai perubahan. Sedangkan relevannya teori fungsionalisme struktural adalah bahwa bagaimanapun unsur “pemaksaan” tersebut  akan tetap berada di dalam batas konsensus tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang fundamental. Penulis berkeyakinan jika dilakukan di luar itu hubungan-hubungan kekuasaan  akan melahirkan  perpecahan bahkan kehancuran.

  1. Landasan Empiris Peranan Pendidikan Multibudaya dalam Integrasi Bangsa: Lintasan Sejarah

Mungkin agak asing kedengarannya jika seseorang berjuang mencapai kemerdekaan malalui perjuangan kebudayaan bangsanya. Cabral (1973: 41), seorang pahlawan kemerdekaan di Guine-Bissau Afrika yang menulis  buku Return to the Source, ia menegaskan bahwa kebudayaan menjadi unsur perlawanan terhadap dominasi asing: “manifestasi yang kuat di bidang ideologi atau idealis dari realitas fisik dan historis masyarakat yang didominasi”. Selanjutnya pernyataan Cabral (1979: 143) dalam buku yang lain, yakni Unity and Struggle, menegaskan bahwa kebudayaan adalah unsur vital dalam proses pembebasan. Pembebasan nasional diekspresikan sebagai tindakan kebudayaan, ekspresi politik dari rakyat yang sedang melakukan perjuangan. Kebudayaan dengan demikian bisa berpengaruh positif terhadap rakyat dan kondisi mereka.

Lebih militan lagi Franz Fanon (1979: 143), seorang pejuang Aljazair berprofesi sebagai psikiater yang sangat disegani dan berjaya karena berhasil merintis revolusi  kemeredekaan, dalam bukunya berjudul The Wretched of the Earth,  mengatakan bahwa

… klaim kebudayaan nasional di masa lalu tidak hanya mampu merehabilitasi bangsa itu dan berfungsi sebagai pembenaran bagi harapan akan kebudayaan nasional masa depan. Dalam tataran  keseimbangan jiwa-afektif, kolonialisme  mestinya bertanggung jawab  atas perubahan penting pada pribumi…. Keteguhan dalam mengikuti bentuk-bentuk kebudayaan yang sudah punah itu merupakan demonstrasi nalsionalitas; namun demonstrasi itu kini merupakan kemunduran ke hukum kelembaban. Tidak ada ofensif dan tidak ada redifinisi tentang hubungan-bungan itu. Yang ada hanyalah konsentrasi pada inti kebudayaan kita yang makin layu, diam, dan kosong.

Pendapat serupa di atas, dikemukakan juga oleh Edward Said (1996; 13), seorang intelektual humanis, perintis Teori Postkolonial, dan kritikus budaya terkemuka dunia dari Timur Tengah dalam karyanya Culture and Imperialism.  Ia mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan bangsa-bangsa terjajah dan identitas nasionalnya adalah masih merupakan entitas-entitas yang tunggal dan murni, melainkan telah dirusak oleh Barat.  Said (1996; 14) selanjutnya mengatakan:

… kebudayaan adalah semacam panggung sandiwara di mana berbagai kuasa politik dan ideologi saling terkait. Bukannya menjadi suatu lingkup kesantunan Apollonia yang tenang, kebudayaan bahkan dapat menjadi sebuah medan pertempuran di mana penyebab-penyebab itu menampakkan diri secara gamblang dan saling bertikai…. melainkan juga anggapan Barat bahwa kebudayaan itu dianggap lebih penting,  membiarkan terpisah dari dunia keseharian. Akibatnya kebanyakan humanis profesional tidak mampu menetapkan kaitan antara kekejaman yang berlarut-larut dan kotor dari praktik-praktik seperti perbudakan, penindasan kolonial dan rasial, serta penaklukan imperial disatu pihak, dengan puisi, fiksi, dan filosofi masyarakat dilain pihak.

Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan penjelasan di atas; dapatkah kebudayaan yang heterogen (majemuk) dalam suatu bangsa menjadi suatu kekuatan positip  khususnya dalam meningkatkan integrasi bangsa ?  Sebab selama ini kita lebih terbiasa membenarkan pendapat sosiolog Durkheim (1964: 79) yang dituangkan dalam karya besarnya The Division of Labor in Society, bahwa kesamaan merupakan sumber terciptanya solidaritas sosial yang didorong oleh kesadaran kolektif (terutama oleh  solidaritas mekanik, yang berbeda dengan solidaritas organik). Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan  dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga  masyarakat yang sama itu. Jadi, tergantung dari individu-individu yang memiliki persamaan karakteristik, kepercayaan, dan pola normatif yang sama pula.

Berbeda dengan solidaritas organik, solidaritas itu muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar, sehingga tercipta suatu struktur masyarakat yang saling memiliki ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan  itu bertambah  sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan dan juga semakin menggairahkan perbedaan di kalangan individu (Johnson, 1986; 184-185). Solidaritas dengan demikian muncul karena perbedaan-perbedaan di tingkat individu ini yang merombak kesadaran kolektif tersebut.  Solidaritas organik, pada dasarnya sangat memungkinkan tercapainya solidaritas dan integrasi bangsa karena adanya tingkat ketergantungan anatar individu maupun etnis itu menjadi semakin tinggi. Pernyataan tersebut sejalan pula dengan contoh kesadaran masyarakat yang dibutuhkan di Amerika Serikat yang ditulis oleh Bellah (1985: 117), dalam buku Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, bahwa konsep kita tentang komunitas antar etnis/ras itu sendiri harus memungkinkan bagi adanya pengakuan tentang perbedaan. Tradisi dalam pemikiran kita yang kuat namun menyesatkan mengenai komunitas adalah bahwa manusia hanya merasakan perasaan sebagai komunitas ketika mereka menganggap diri mereka “sama” dengan anggota-anggota lain dari masyarakatnya. Namun di sini-lah Bellah  (1985: 118) menegaskan bahwa  jenis komunitas yang diperlukan di Amerika Serikat adalah komunitas yang pluralistik, komunitas yang meliputi rasa keterikatan dan hubungan yang berasal dari aktivitas, keadaan, tugas, lokasi bersama dan sebagainya ¾ dan terutama didasarkan pada pengalaman kemanusiaan bersama ¾ namun dengan mengakui dan menilai perbedaan-perbedaan budaya dan jenis-jenis perbedaan lainnya juga.

Penelitian Wiriaatmadja (1993: 87) dalam disertasinya yang mengkaji Peranan Pengajaran Sejarah Nasional dalam Upaya Peraihan Nilai-nilai  Integralistik, bahwa pengajaran sejarah nasional Indonesia yang multietnis dapat berhasil apabila diperteguh oleh dukungan masyarakat yang berbentuk upaya dalam tindakan dan sikap yang suportif, menerima, dan memberikan kesempatan secara konsisten. Sebaliknya prasangka sosial ataupun stereotype yang ada dalam masyarakat dapat meniadakan hasil-hasil pendidikan yang di sekolah yang diharapkan.

Tim Litbang Harian Terkemuka Ibukota, menyajikan hasil jajak pendapat pada tanggal 6-8 Agustus1998 dengan topik Indonesia dalam Krisis Kebangsaan ,melaporkan  bahwa sebanyak 60 % responden merasa tidak bangga sebagai bangsa Indonesia, 24, 3 % merasa bangga, 3,1 % tidak tahu, dan 12,6 % biasa saja (Kompas, 6-8 1998).

Sujatmiko (1999: 3), sosiolog Universitas Indonesia, dalam penelitiannya yang berjudul Integrasi dan Disintegrasi Nasional, melaporkan bahwa Indonesia akan memasuki masa kritis (tahap 51-100 tahun) karena semakin hilangnya generasi pertama yang telah melakukan kesepakatan-kesepakatan (Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan). Sujatmiko berpendapat, generasi pasca 1945 (utamanya kaum intelektual/mahasiswa dan para pemuda golongan menengah lainnya) akan berbeda dengan sebelumnya karena lebih bersifat rasional, asertif dan mereka tidak menerima “Integrasi Buta” atau “Integrasi Tanpa Reserve”.

Triardianto dan Suwardiman (2002: 321) yang secara rinci mengidentifikasi berbagai konflik disintegratif di Indonesia menyebutkan bahwa fenomena semakin banyaknya konflik telah membentuk suatu kurva yang menghubungkan variabel-variabel itu dengan bentuk khusus. Kurva itu kemudian disebut sebagai ‘atraktor aneh’ yang menjadi biang keladi kekacauan. “Atraktor aneh” ini bisa berupa “masalah-masalah yang dianggap kecil”, seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, maupun Ambon yang penyulutnya peristiwa pencurian maupun perkelahian pribadi. supir angkot dalam tragedi  Ambon. Selain itu atraktor aneh tersebut juga berupa keterlibatan para aparat keamanan dalam konflik tersebut.

Simbolon (2000: 2-6) mengemukakan bahwa krisis multidimensi Indonesia, telah membuka seluruh “topeng” sampai ke bagian-bagian yang tersembunyi. Ia dengan putus asa dan emosional penuh sinis serta sindiran terhadap Indonesia sebagi negeri yang serba seolah-olah, a heap of delusions, tidak ada lagi sebenarnya apa yang disebut nasionalisme, heroisme, keadilan, persatuan, kejujuran maupun kebanggaan.

Pendeknya, lembaga-lembaga lama bertahan kendati tanpa wibawa.  Indonesia membangun dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat, dengan politik yang seolah-olah stabil; dengan kesadaran selolah-olah bersatu; dengan pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan ABRI yang seolah-olah satria; dengan ahli hukum seolah-olah adil; dengan peengusaha yang seolah-olah captains of industri;… Semua tampak salah, ibarat gigi palsu yang memang lebih kemilau daripada gigi asli,…mirip kebohongan di atas kebohongan.

Pendapat Simbolon tersebut seperti dikemukakan sebelumnya bersifat emosional, oleh karena itu tidak sepenuhnya benar, tetapi gambaran itu juga tidak sepenuhnya salah, bahwa integrasi bangsa khususnya sedang mengalami krisis yang berbahaya.

Siswomihardjo (1998: 14) dalam hasil telaahannya yang dipaparkan pada Seminar Nasional, mengemukakan bahwa dewasa ini tampak bahwa dunia dan negara-negara bangsa  menghadapi permasalahan semakin kompleks. Modernisasi yang membawa implikasi transformasi yang sangat cepat dan mendasar, menjadi sumber utama permasalahan ini. Ia dengan mengamati kondisi aktual yang makin komleks, fragmentaris, dan disintegratif itu ia menyimpulkan bahwa “kesemuanya menjadi tidak pasti, dan yang pasti adalah ketidakpastian  itu sendiri”. Nasionalisme Indonesia-pun menjadi “mandeg” ,kehilangan aktualitas, terbelenggu  oleh kebekuan dogmatis dan penyempitan ideologis. Ironisnya dalam menyiasati kemungkinan seperti ini justru dianjurkan untuk tetap memperjuangkan nasionalisme dan integrasi bangsa Indonesia. Penulis menginterpretasikan bahwa semestinya terlebih dahulu diadakan  semacam redefinisi maupun revitalisasi konsep-konsep nasionalisme itu sendiri termasuk integrasi bangsa yang lebih aktual sesuai dengan tantangan zaman.

Tim Litbang Harian Ibukota Kompas 28 Oktober 2002 menyajikan hasil jajak pendapat tentang Ikatan Kebangsaan Mulai Renggang melaporkan bahwa justru di saat bangsa Indonesia tengah mengalami berbagai gempuran persoalan, ikatan kebangsaan di dalam kehidupan masyarakat saat ini dinilai semakin melemah. Masyarakat luas  sampai sejauh ini tidak terlihat upaya produktif yang membuat bangsa ini menjadi solid.  Data ini bisa ditunjukan dengan sebanyak 71 % responden yang dihubungi menganggap ikatan sosial yang terbentuk di masyarakat sekarang ini melemah. Tidak lebih dari 20 % responden lainnya menganggap masih kuat, 9 % tidak tahu / tidak menjawab. Kemudian dalam hal “keutuhan negara” sebagai satu kesatuan. Sebanyak 55 % khawatir bahwa keutuhan wilayah negara Indonesia akan buyar, terutama setelah lepas dan merdekanya Timor Timur. Aspek Kerukunan Antar Pemeluk-Agama, ternyata sebanyak 41 % responden mengatakan situasi  kerukunan antar pemeluk agama saat ini bertambah buruk, apalagi Indonesia saat ini mulai diusik  dengan tuduhan internasional sebagai sarang terorisme.. Hanya 29 % responden  yang masih bersikap optimis, terutama  adanya gerakan-gerakan  lintas agama yang mengedepankan  kepentingan bersama. Kemudian dalam aspek integrasi bangsa bahwa kaum muda menunjukkkan ketidak-berperanannya sebanyak 54 %. (Kompas, 28/10/2002)

Jajak pendapat Tim Litbang Harian Ibukota tentang “Generasi Muda Patutkah Kita Banggakan ?” Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 69 % responden menyatakan pengakuannya terhadap kekritisan para pemuda dalam mencermati kebijakan pemerintah dan lembaga tertinggi serta lembaga tinngi lainnya. Sisanya responden menyatakan mereka tidak kritis. Di bidang politik para responden sebagian besar (67 %) menyatakan peran pemuda masih kurang memuaskan, alasannya masih banyak pemuda yang terjebak yang tidak produktif bahkan kadang-kadang mereka meresahkan masyarakat. Kemudian dalam persoalan sosial, sebanyak 61 % responden menyatakan pemuda identik dengan persoalan sosial, seperti; terlibat berbagai kasus narkoba dan tawuran, sisanya masih memiliki kiprah positip. Sebanyak 55 % para menyatakan bahwa pemuda lebih terlibat seks bebas serta menyukai VCD porno, dan sebanyak 60 % citra kawula muda identik dengan gaya hidup yang konsumtif (Kompas, 29/10/2002).

Adam (2001: 3), sejarawan dan peneliti LIPI, yang melaporkan telaahannya dalam tulisan yang berjudul “Ancaman Disintegrasi Bangsa di Depan Mata”,  menjelaskan bahwa:

Di berbagai daerah untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, terdapat  gelombang  pengungsi  yang bukan  akibat bencana alam. Di Pontianak dan sekitarnya terdapat ribuan  keluarga Madura yang tinggal di “kamp-kamp pengusian” tanpa kejelasan dan nasib dan masa depannya. Di NTT menjadi tempat penampungan lebih dari seratus ribu warga  eks Timor Timur… Di Medan terdapat ribuan pengungsi Aceh. Menurut sebuah catatan, kini telah terdapat lebih dari sejuta pengungsi di seluruh Indonesia. Mereka adalah warga negara yang terlempar dari rumahnya akibat “perang saudara” dan menjadi suatu komunitas orang asing di negeri sendiri… belum lagi kasus-kasus Aceh, Poso, dan Irian Jaya, dan Ambon.

Adanya ketersingkiran sosial akibat berbagai kerusuhan dan kekerasan yang terjadi, maka dapat diindikasikan bahwa  makin menipisnya rasa aman serta kebanggaan sebagai bangsa. Nasionalisme dan integrasi bangsa yang telah kita capai, kini layak dipertanyakan kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya.

Hasil-hasil kajian di atas merupakan bukti empirik yang memperkuat keyakinan penulis bahwa kesadaran sejarah khususnya di kalangan pemuda sekarang ini menunjukkan titik lemah yang memprihatinkan. Implikasi  rendahnya kesadaran sejarah tersebut pada gilirannya menimbulkan rendahnya kesadaran nasionalisme dan integrasi bangsa. Fakta inilah yang mendorong penulis untuk tidak segan-segannya menghimbau secara reflektif, betapa pentingnya pendidikan multibudaya dalam menanamkan dan memelihara saling menghargai terhadap perbedaan budaya serta meningkatkan integrasi bangsa yang sekarang ini mengalami degradasi yang memprihatinkan.

Penelitian lain tentang peranan pendidikan multibudaya terhadap integrasi bangsa, menurut sumber-sumber lainnya dalam Educational Resources Information Center (ERIC), setidaknya pendidikan multibudaya berperan dalam; (1) mempromosikan kehidupan masyarakat yang selaras/harmonis, (2) mewujudkan model hubungan budaya yang sesesuai,(3) menghargai perbedaan-perbedaan,(4) memperbaiki munculnya prasangka-prasangka sosial, (5) menghargai keanekaragaman dan menumbuhkan  demokrasi (http://eric-web .tc. Columbia . edu / alerts / ia  35 . html). Matile (1996) dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang harmoni pada suatu kehidupan bermasyarakat, berdasarkan hasil penelitiannya  menyatakan, bahwa  “… these strategies offer opportunities to recognize and appreciate diversity; instill sensitivity; and appreciate the contribution of the varied ethnic, linguistic, and cultural groups of the city”. Upaya dalam mengenali, menghargai, dan menanamkan kepekaan keanekaragaman sosio-budaya ini dapat dikemukakan alasan-alasannya, sebagai berikut.

Pertama, prinsip dalam pembelajaran pendidikan multibudaya, sangat diupayakan pada pemahaman budaya yang berbeda-beda. Oleh karenanya timbul hasrat untuk mempelajari budaya etnis lain yang berbeda itu. Kedua, prinsip dalam pendidikan multibudaya mengajak hidup penuh menghargai terhadap keragaman etnik dan budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu jika konsep tersebut diimplementasikan secara konsekuen, hampir dapat dipastikan mampu mereduksi konflik-konflik horizontal antar etnik yang mungkin terjadi. Artinya dengan memperlakukan semua budaya lokal/etnik yang ada secara adil dan setara, maka jauh kemungkinan adanya dominasi budaya tertentu yang dapat menghambat pengembangan budaya minoritas sekalipun (Blum, 2001: 15-16).

Penelitian lain tentang peran pendidikan multibudaya untuk mewujudkan model hubungan budaya yang sesuai atau serasi, dikemukakan berdasarkan hasil penelitian  O’Mara (1996) yang mengadakan penelitiannya terhadap sejumlah film-film hiburan di Hollywood dalam kaitannya dengan pendidikan. Ia menegaskan “Show how entertainment media can support educational themes; concepts include the idea of a subculture, cultural values, and cultural model for appropriate interpersonal” Jadi dalam hal ini melalui pendidikan multibudaya dapat memperlihatkan bagaimana media pertunjukan itu dapat mendukung bidang-bidang pendidikan, sub-kultur, nilai budaya yang berkembang sebagai bagian dalam hubungan interpersonal.

Pernyataan tersebut dapat dipahami karena sajian film-film hiburan itu pada dasarnya memerlukan minimalnya tiga aspek yang harus dipenuhi, yakni aspek kemampuan ekspresinya, menganalisa, dan transformasi diri (Sitorus, 2002: xvi).  Pengembangan kemampuan ekspresi, berhubungan dengan fleksibilitas budaya yang dapat diterima secara universal. Artinya, penyajian film hiburan tersebut jika dianalogikan dalam suatu budaya tertentu sekalipun berbeda dengan budaya di sekitarnya, harus memiliki sifat nilai yang lentur (flexibility) dan adaptif yang tinggi. Sifat-sifat yang lentur dan adaptif ini akan menjadi pendorong mudah diterimanya nilai-nilai itu secara umum oleh masyarakat luas.

Pengembangan aspek kemampuan “menganalisa” berhubungan dengan aspek  “kelancaran” (fluency) dalam pencarian sebab dan implikasinya.  Dengan demikian aspek fluency merupakan bagian penting dalam kreativitas pemeranan kebudayaan dalam menggali kekayaan-kekayaan potensi yang dimilikinya.  Sedangkan aspek “transformasi diri” ini berhubungan dengan orisinalitas (originality). Dalam arti kemampuan memberi makna berdasarkan bakat dan naluri yang dimilikinya. Menurut Stanislavsky dalam An Actor Prepares, menyarankan: “Jangan sampai kehilangan dirimu di atas panggung, dan bertindaklah selalu berdasarkan pribadimu. Begitu kau kehilangan dirimu di atas panggung, maka kamu tidak akan lagi dapat menghayati peranmu dengan sesungguhnya” (Stanislavsky, 1989; 189). Jika kemampuan tarnsformasi seorang aktor ini dapat dianalogikan sebagai “pertunjukan budaya”, maka buatlah agar budaya tersebut dapat menarik orang lain untuk belajar lebih jauh karena memiliki keunikan dan karakteristik lainnya yang orisinal.

Pendidikan multibudaya pada bagian lain dapat berperan untuk menghargai perbedaan budaya.  Padersen (1995), seorang konselor telah melakukan penelitian ini yang mengadakan penelitiannya  di Sekolah Dasar. Hasil temuan penelitiannya bahwa; “a base for understanding cultural bias, and provides practical strategis to promote child development in a multicultural society“. Pedersen berpendapat bahwa pembelajaran multikultural tersebut sangat berguna dalam memahami berbagai bias budaya yang ada di masyarakat. Sebab, tidak menutup kemungkinan apa yang siswa dengar dari masyarakat tentang budaya suatu etnis tertentu, ternyata berbeda sekali setelah ia pelajari dari budaya etnis tersebut yang secara langsung ia pelajari sesungguhnya. Melalui pembelajaran multikultural, bias budaya dapat dihindari jika secara dini dipelajari di sekolah.

Pembelajaran multibudaya juga dapat berpengaruh terhadap upaya untuk  menghargai perbedaan budaya serta dapat berpengaruh sebagai wahana pemicu dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Ploumis-Devick (1996) seorang peneliti yang mengadakan penelitiannya di Sekolah Dasar Amerika, kesimpulan temuan penelitiannya menunjukkan bahwa Provides general backround on cultural diversity and its impact; descriptions of successful programs; and strategies, activities, and resources for classroom use.  Hasil penelitian di atas sebenarnya tidak begitu mengejutkan, sebab dengan memperkenalkan dan membelajarkan siswa melalui berbagai ragam budaya yang ada di sekitar komunitasnya, siswa  akan mengenal dan mempelajari budaya tersebut, yang pada gilirannya akan menghargai keragaman budaya yang ada. Pembelajaran multikultural  selain itu juga akan berusaha untuk memperlihatkan eksistensi budayanya yang memerlukan pengakuan dalam lingkungan pergaulannya. Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan pendapat Maslow (1954: 72) yang dikenal dengan teori “Hirarki Kebutuhan” (Hierarchy of Needs) dapat dikategorikan sebagai kebutuhan “penghargaan sosial.

Pendidikan multibudaya juga di sisi lain dapat mengurangi sifat prasangka dan apriori terhadap budaya etnis lain. Ponterotto (1995), mengadakan penelitiannya yang menghasilkan kesimpulan bahwa pembelajaran multibudaya berperan untuk: Describes theoris to explain the increase of insidents of intergroup conflict and the role of the teacher in multicultural awareness and prejudice prevention  programs”. Pembelajaran multibudaya itu dapat berperan sebagai pencegahan meningkatnya prasangka dan konflik antar kelompok, karena melalui pembelajaran multikultural siswa belajar menghargai setiap budaya etnis yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahannya, yang pada akhirnya siswa akan menerimanya bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna maupun sama sekali tidak memiliki kebaikan atau manfaatnya. Bahkan menurut aliran kelompok “fungsionalis kebudayaan” atau  a functional theory of culture Malinowski yang ditulis dalam karya akhir yang monumental A scientific Theory  of  Culture and Other Essay, bahwa  segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud  memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah  kebutuhan manusia (Kaberry, 1957: 82).

Pendidikan multibudaya juga berperan untuk mempersatukan budaya bangsa. Penelitian ini dilakukan oleh Ravitch (1996) yang meneliti perspektif multikultural dalam hubungannya dengan persatuan budaya Amerika. Ia menjelaskan bahwa Compare California’s pluralistic and New York’s particularistic approaches; argues for an education that appreciates diversity and supports commitment to a unified American  culture. Melalui pendekatan perbandingan komunitas New York dan California yang pluralistik, mereka menganggap bahwa pentingya gerakan multibudaya untuk pendidikan yang menghargai  keanekaragaman dan dukungan tanggung jawab untuk suatu persatuan budaya Amerika. Pendidikan multibudaya juga berperan dalam upaya mempersatukan budaya bangsa tersebut, sesuai dengan motto kenegaraan mereka E Pluribus Unum atau Unity in Diversity, yang serupa dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya di Indonesia (Marger, 1985: 258; McLemore: 1980: 35; Supardan 2002: 34).

E. Pendidikan Multibudaya dan Globalisasi

Manusia memang makhluk Tuhan yang unik dan istimewa. Ia tidak hanya mempunyai hari lampau seperti makhluk lainnya, tetapi juga mempunyai konsepsi tentang hari lampaunya itu. Ia tidak sekedar mempunyai hari esok, tetapi ia berusaha memberi gambar terhadap hari esok itu. Kiekergard (Abdullah, 1999: 4; Solomon dan Higgins, 2002: 451-452) seorang filosof eksistensialis Denmark mempertautkan pentingnya hari esok  dengan hari lampau. Ia menyatakan: “Hidup ini dijalani ke depan, tetapi dipahami ke belakang”. Itulah sebabnya bagi seorang pendidik sejarah maupun sejarawan sangat penting menyadari bahwa wujud dan isi cita-cita serta nilai-nilai suatu bangsa, tidak bisa dipahami tanpa referensi sejarah dan kesadaran pengalaman bangsa itu. Beberapa pendidik sejarah (Wineburg, 2000: 310; 2001: 12; Lowenthal, 2000: 74; Boix-Mansila, 2000:391), menyadari manusia dalam sejarah pada hakekatnya merupakan proses pengungkapan dan pandangannya tentang hari depan, terdapat kait mengait antara masa lampau dengan kini, dan inilah yang merupakan bagian kesadaran sejarah.

Soedjatmoko (1976: 9-15; 1985: 48; 1995: 368-369) mengemukakan bahwa kesadaran sejarah, merupakan suatu refleksi kontinu tentang kompleksitas perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi dialektis masyarakat yang ingin melepaskan  diri dari genggaman realitas yang ada. Kesadaran sejarah juga membantu untuk waspada  terhadap pemikiran-pemikiran yang terlalu sederhana, analogi yang dangkal, serta  penerimaan-penerimaan pola hukum yang terlalu mudah mengarahkan jalannya sejarah ataupun berada dalam cengkraman determinisme sejarah (Soedjatmoko, 1976: 14; Supardan, 2000: 4).

Sebagaimana sebelumnya telah diungkapkan, bahwa menurut Jandt (1998: 419)  sebanyak 95 % negara di dunia  pada dasarnya adalah multibudaya karena secara etnis dan budaya bersifat heterogen.  Ia selanjutnya memberikan contoh-contohnya bahwa, Amerika Serikat, India, RRC, Indonesia, adalah negara-negara  berpenduduk  banyak yang memiliki diversitas etnik dan budaya yang heterogen serta luas wilayahnya. Keragaman etnik/budaya itu dalam kenyataannya tidak selalu diterima oleh kelompok  mayoritas atau pemerintah yang berkuasa sebagai realitas sosial yang perlu dipelihara. Bias sosial inilah yang perlu diluruskan bahwa dalam pengertian yang kedua; pendidikan multibudaya berarti keyakinan atau kebijakan yang menghargai pluralisme budaya sebagai khasanah kebudayaan yang diakui dan dihormati keberadaannya (Suparlan, 2003: 31; Bennet, 1995: 115). Jadi, kata kunci dalam pendidikan multibudaya ini adalah “perbedaan” dan “penghargaan”, dua kata yang selama ini sering dikonfrontasikan.

Pendidikan multibudaya sebagai praktik sosial dan kebijakan pemerintah, dewasa ini telah diterima di banyak negara sebagai sesuatu yang penting. Berry  dkk (1998: 576) menyebutkan multibudaya bahkan menjadi semacam ideologi dalam pengembangan kebudayaan serta upaya menciptakan masyarakat yang sehat. Multibudaya pada hakekatnya dimaksudkan untuk menciptakan suatu konteks sosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan kesehatan jati diri dan secara timbal-balik mengembangkan sikap-sikap antar kelompok yang positif demi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan masyarakat (Suparlan, 2002: 99; 2003: 35). Proses  untuk menapaki  jalan menuju pengakuan  tersebut, adalah  sebuah pendakian yang terjal, dan sikap terhadap realitas multibudaya masyarakat/bangsa mengalami fluktuasi perkembangan sepanjang  sejarah.

Padahal, multibudaya pada masa lampau dipandang sebagai suatu yang tidak berguna, dan pandangan yang anti pluralisme ini justru bekembang di negara-negara Barat. Dewey (Westbrook, 1991), bahkan menganggap multibudaya hanya menciptakan garis pemisah yang kuat antar kelompok dalam masyarakat; karena itu apa yang seharusnya terjadi adalah asimilasi. Dworkin (2001: 68) dan Kymlicka (2002: 50-51) berpendapat, bahwa jika ditinjau dari aspek hak-hak azasi manusia (HAM) maka pendidikan multibudaya di samping melindungi hak-hak individu, mencakup hak-hak kolektif ataupun budaya komunitas. Jadi, tidak beralasan jika kaum liberal merasa ketakutan bahwa hak kolektif yang dituntut oleh kelompok etnis tertentu dianggap berlawanan dengan hak perorangan. Kedua jenis tuntutan dan hak azasi itu dapat dipandang sebagai upaya melindungi stabilitas komunitas bangsa. Howard (2000: 315) dan Gould (1993: 69-70) berkeyakinan bahwa dalam gerakan multibudaya mencakup apa yang disebut demokrasi sosial, yaitu suatu jenis liberalisme tersendiri yang menjembatani jurang anatara hak-hak indivividu dengan komunitas.

Demokrasi sosial secara politis berkomitmen memberikan dan melindungi seluruh hak azasi manusia. Pandangan demikian ini agak berbeda dengan  definisi  yang sering dijadikan standar  tentang demokrasi sosial sebagai “suatu etos dan cara hidup yang dicirikan oleh penghapusan perbedaan-perbedaan status secara umum” (Sartori, 1968: 113).  Howard (2000: 316), lebih jauh menjelaskan bahwa dalam demokrasi sosial tidak mensyaratkan adanya penghapusan perbedaan ekonomi secara radikal. Sebab penghapusan itu menghalangi inisiatif yang diperlukan untuk kemajuan ekonomi pada tingkat kolektif dan individu, bahkan bisa  mengakibatkan standar kehidupan masyarakat merosot secara umum, seperti yang banyak terjadi pada masyarakat bekas komunis Eropa Timur. Demokrasi sosial dengan demikian bukan menghapuskan kapitalisme, melainkan memperbaiki kapitalisme radikal.

Trudeau seorang Perdana Menteri Kanada berdarah Prancis, merupakan tokoh politik humanis yang memiliki jangkauan jauh kedepan untuk kalangan elite politik internasional. Ia seorang pionir yang secara berturut-turut memberlakukan Bilingualism tahun 1974, Constitution Act tahun 1982, dan Canadian Charter of Right and Freedoms pada tahun 1982. Isi pokok kebijakkan tersebut adalah memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan fundamental, hak-hak demokrasi, hak bermukim dan bekerja, hak-hak hukum, pemakaian bahasa resmi Inggeris dan Prancis, termasuk  hak-hak pendidikan bahasa yang digunakan kaum visible minorities Kanada (Howard, 2000: 323-335, Supardan, 2002: 34).

Perkembangan selanjutnya pendidikan multibudaya tersebut cepat meluas. Gerakan pendidikan multibudaya sekarang telah berkembang menjadi semacam keyakinan, sikap, dan kebijakan. Pendidikan multibudaya tidak hanya sekedar semboyan, retorika  politik, atau  hanya pengakuan  simbolis terhadap kekayaan realitas sosial. Pendidikan multibudaya telah menjadi pengakuan sejati terhadap identitas kelompok yang mendukung dan selaras dengan identitas nasional. Supriadi (2001:37) dan Supardan (2002:35) berpendapat bahwa terdapat empat kemungkinan kombinasi multikulturalisme. Pertama; negara dengan realitas  etnik dan budaya yang heterogen serta menerima ide multikulturalisme. Kedua; negara dengan realitas etnik dan budaya yang heterogen, tetapi kebijakan pemerintahannya cenderung mengarah ke monokulturalisme. Ketiga;  negara dengan realitas etnik / ras yang homogen dan memelihara kebijakan yang  monokulturalistik. Keempat; negara dengan derajat homogenitas etnik/ras  yang tinggi tetapi  sangat menghargai multikulturalisme. Amerika Serikat, Kanada, India, Auastralia, Malaysia, adalah contoh negara kelompok pertama. RRC adalah contoh kelompok negara kedua. Israel  yang mempercayai keunggulan ras Yahudi sebagai “Umat Terpilih Tuhan” dapat dimasukkan dalam  kategori ketiga.

Indonesia, dengan demikian masuk ke mana ? Secara teoritis dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika termasuk kategori pertama, seperti Amerika Serikat yang bersemboyan E Pluribus Unum (Unity in Diversity), tetapi dalam praktek-praktek  kebijakan publik terutama sebelum reformasi, Indonesia  cenderung berada pada kategori kedua (Coppel, 2003: 13; Suryadinata, 2003: 5-6). Fenomena masih adanya stereotipe, prasangka sosial, dan rasisme di Indonesia hingga kini masih menguat (Supriadi, 2001: 29). Misalnya adanya ungkapan-ungkapan “Padang Bengkok”, “Batak Rentenir dan Tukang Copet”, “Cina Licik”, “Jawa Koek”, dan sebagainya. Sedangkan untuk bukti nyata adanya rasisme dapat difahami dengan meletusnya “Tragedi Ambon” di maluku Selatan, “Sambas dan Sampit” di Kalimantan,  maupun tragedi “Poso” di Sulawesi baru-baru ini yang terjadi.

Naisbitt (1994: 15) sebagai tokoh futuris ternama, telah memprediksi bahwa masalah suku bangsa ataupun etnis dapat menjadi bumerang bagi bangsa yang kurang arif dalam melakukan kebijakan politiknya. Kelompok minoritas ini bisa menjadi korban intimidasi dari kelompok mayoritasnya, bisa menjadi ancaman bagi perkembangan demokrasi, maupun konflik terbuka sesama etnik minoritas  itu sendiri. Toffler (1992: 10).menyatakan:

Di masyarakat industri massal, rasisme secara khas membentuk mayoritas yang menindas minoritas. Bentuk pathologi sosial ini masih merupakan ancaman terhadap demokrasi….sedang dalam proses  menjadi terorisme domestik. Selain konflik tradisional antara mayoritas dan minoritas, pemerintah demokratik juga sekarang harus berusaha mengatasi perang terbuka antara berbagai kelompok minoritas yang saling bersaing.

Toffler menambahkan bahwa betapa penting golongan minoritas yang selama ini sering dianggap kecil artinya atau dipandang sebelah mata tanpa mengabaikan mayoritas. Masyarakat dalam sistem dan struktur apapun, apakah itu sistem kimiawi, negara, komputer, lalu lintas, kalau terlalu jauh aturan-aturan tradisional dilaluinya berarti itu melanggar dan bertindak dengan aneh. Kerangka acuan bagi keadilan sosial kini dapat diibaratkan  telah menjadi api dalam sekam yang siap meledak jika dibakar. Toffler (1992: 13-16) berpendapat bahwa demokrasi yang sehat karena itu harus toleran terhadap keragaman seluas mungkin, dan tidak ada sesuatu yang tidak biasa atau sangat menakutkan mengenai eksistensi kelompok-kelompok kecil seperti itu ¾ sejauh sistem politik tetap seimbang..

Naisbitt (1994: 15) juga memberikan tanggapan serupa, ia mencemaskan beberapa fenomena yang muncul dewasa ini. “Tribalisme dimasukkan kembali dalam kosakata dunia pada tahun 1993, terutama dengan konotasi negatif yang mengerikan dan berkembang karena kebrutalan, perkosaan, pembantaian, dan bentuk-bentuk lain pembersihan etnis di bekas negara Yugoslavia”. Naisbitt menambahkan bahwa dalam globalisasi ekonomi, banyak hal yang akan menjadi universal. Konsep globalisasi juga tetap memelihara hal-hal yang bersifat “kesukuan” akan menjadi lebih penting dan lebih kuat ¾ suatu paradoks lain yang merupakan aspek penting dalam Global Paradox: “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan” yang juga berarti bagian-bagian yang lebih banyak dan lebih kecil (Naisbitt, 1994:20).

Pendapat di atas sejalan dengan pendidik sejarah Boix-Mansila (2000: 391) yang dapat dianalogikan dengan di Indonesia, bahwa jika diberikan cukup intensif pembelajaran multibudaya, setidaknya dapat mereduksi konflik-konflik sosial-budaya  antar etnik, di samping siswa sendiri akan memiliki rasa bangga dan diakui eksistensi etnis serta budayanya. Mereka seyogyanya bukan sebagai objek dalam pembelajaran apapun, sebaliknya siswa akan memiliki rasa tanggung jawab yang kokoh, terhindar dari stereotipe dan prasangka sosial yang mengahambat integrasi bangsa, sebagai respons atas pemberian penghargaan yang layak kerena semua kelompok berperan mengemban misi kebangsaan. Hal itu menunjukkan pentingnya pembahasan pembelajaran multibudaya di samping faktor-faktor lain yang menunjukkan betapa menarik pembelajaran multibudaya tersebut karena sifatnya yang komprehensif dengan pendekatan yang interdisipliner.

Hidayah (2001: 303) penulis Enskiplopedi Suku Bangsa di Indonesia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak menghargai realitas sosial yang ada bahwa terdapat 662 suku bangsa Indonesia yang tersebar dalam pulau-pulau besar dan kecil. Pembelajaran multibudaya yang hanya diajarkan secara implicit dalam berbagai kurikulum sebelumnya dan sekarang, merupakan bias pembelajaran yang hanya berorientasikan pada cerita etnik-etnik mayoritas atau dominan tertentu. Sebaliknya, tentang multibudaya yang melibatkan perkembangan etnik-etnik minoritas lainnya tidak banyak diberikan dalam pembelajaran dalam sejarah di sekolah. Komentar Deutch (1984: 18) mengemukakan bahwa Tribes have merged to form peoples; and peoples have grown into nation, adalah suatu pernyataan yang perlu dihargai, terutama peranan suku bangsa.

Motto Bhineka Tunggal Ika mestinya mengakomodasi atas keragaman dalam maysarakat bangsa Indonesia dalam suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan agama.  Ironisnnya keragaman dalam kesatuan budaya bangsa dalam perjalanan kemerdekaan  negara/bangsa lebih ditekankan pada aspek kesamaan untuk membentuk solidaritas bangsa. Implikasinya, budaya lokal yang kaya denga perbedaan banyak mengalami erosi atau pengikisan baik secara kuantitas mapun kualitas terutama penggunaan bahasa daerah mengalami kemunduran maupun kehilangan daya gunanya secara pragmatik (Wiriaatmadja, 2002: 221).

Pengembangan nilai-nilai budaya lokal dan primordial seperti stereotipe, etnosentrisme dan sebagainya, memang dapat menimbulkan perpecahan  yang berbahaya. Tetapi konsep primordialisme itu sendiri memerlukan kajian yang lebih proporsional. Adanya ikatan “lokal-tradisional”, sering dirasakan sebagai suatu realitas sosial-kultural itu diperlukan sebagai pengisi identitas diri dan kelompoknya yang terasa hampa,  memerlukan keakraban karena lebih bersifat naturalistik dan bukan rekayasa. Apalagi akibat proses globalisasi, kita sering terasa “sepi” dan memerlukan ikatan komunitas lama yang akrab (Abdullah, 1999: 19). Itulah sebabnya pada batas tertentu yang relevan, bisa dipahami kemunculan gerakan-gerakan indigenous people yang telah marak terjadi di banyak negara. Gerakan indigenous people ini, seperti gerakan Quebec di Kanada maupun etnis Kurdi di Timur Tengah.

Featherstone (2001: 269), mengemukakan bahwa essentially memoryless yang kurang terakomodasi oleh pemerintah, juga tergilas gerakan homogenisasi  pop culture  ataupun common culture akibat globalisasi. Terdapat beberapa kecemasan para sosiolog mencermati perkembangan sosio-budaya sekarang ini. Featherstone (2001: 270) dalam bukunya Consumer Culture and Posmodernism, mengatakan fenomena kehidupan yang berkembang sekarang ini sangat destruktif bagi agama dan kebudayaan dalam kaitannya dengan penekanannya pada hedonisme, pengejaran kesenangan di sini dan saat ini (here and now)  penanaman gaya hidup ekspresif, pengembangan narsistik dan tipe kepribadian egoistik. Gerakan mengenai kapitalisme multinasional, Amerikanisasi, imperialisme media serta budaya konsumen, seolah-olah telah mengasumsikan bahwa perbedaan  lokal-tradisional terhapus oleh beberapa kekuatan universal tersebut.

Menurut Harsja Bachtiar, bukankah sebenarnya cita-cita kita bersama sebagai bangsa Indonesia adalah sederhana tetapi mulia; yaitu untuk membentuk suatu masyarakat di mana semua golongan atau etnis dapat hidup rukun, mengembangkan diri tanpa merugikan  golongan lain, bahkan dapat membantu atau mendukung golongan lain, sehingga terwujud suatu masyarakat yang adil dan makmur (Bachtiar, 2002: 45). Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan tercapainya cita-cita yang demikian itu tidaklah mudah. Ia memerlukan banyak pengorbanan, waktu, energi, dan kesabaran. Mengingat untuk mencapai masyarakat yang memiliki persatuan yang kokoh, serta adil dan makmur, bukan semata-mata merupakan tugas sekelompok orang tertentu saja, melainkan seluruh bangsa Indonesia.

Svalastoga (1989: 92), Professor Sosiologi Universitas Kopenhagen Denmark dalam bukunya Social Differentiation, menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat heterogen untuk mencapai suatu negara yang memiliki derajat integrasi bangsa yang kokoh, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat adanya interaksi antar etnis yang intensif dan bermakna. Ia menambahkan  bahwa pola interaksi positif yang menunjang integrasi bangsa tersebut harus didukung oleh pola interaksi menyenangkan dan dilandasi rasa saling percaya dan saling menguntungkan. Pengertian menguntungkan di sini bukan sekedar keuntungan secara materiil akan tetapi juga termasuk pengakuan dan penghargaan atas kesetaraan hak dan kewajiban sebagai bangsa (Svalastoga,1989: 93). Knapp seorang Sosiolog dalam karyanya Social Intercourse: From Greeting to Goodbye, ia lebih rinci lagi menjelaskan tahapan-tahapan interaksi itu mencakup tahap initiating, experimenting, intensifying,  integrating,  sampai ke tahap bonding (Knapp, 1978: 17-28) sebagai prasyarat sebelum faktor lainnya. Menurutnya, baru setelah syarat pertama itu dipenuhi, perlu adanya pemenuhan syarat-syarat lainnya sangat tergantung pada perkembangan  organisasi otonom yang dapat menjembatani antara kelompok primer dan pemerintah.

Organisasi otonom yang dapat berfungsi sebagai penengah tersebut, merupakan organisasi berdasarkan ikatan profesi maupun organisasi sosial politik yang memiliki kesadaran berbangsa/bernegara yang tinggi. Poespowardojo (1999: 74-75) dalam  kaitannya dengan perlunya kesadaran bangsa, mengemukakan bahwa semangat kebangsaan perlu diterjemahkan ke dalam empat nilai eksistensial, dengan rumusan sebagai berikut: Pertama; integrasi bangsa menuntut perlakuan persamaan hak bagi semua dan setiap warganegara. Pernyataan tersebut diartikan tidak ada diskrimasi ras yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kekuatan-kekuatan yang bisa menekan dan memperkecil hak serta kewajiban kelompok minoritas. Kedua; integrasi bangsa menuntut jaminan keadilan bagi semua dan setiap warga negara serta berlaku baik secara vertikal maupun horizontal. Kejujuran dan kewajaran, menjadi kunci dalam merealisasikan keadilan dalam bentuk komunikatif maupun distributif. Ketiga; integrasi bangsa menuntut dukungan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara. Prinsip  demokrasi yang dirumuskan sebagai kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, harus menjadi komitmen setiap warga masyarakat. Keempat; integrasi bangsa menuntut sikap keterbukaan. Keterbukaan (tranparansi) dan keadilan pemerintah akan meningkatkan legitimasinya, sejauh memiliki komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Seorang sejarawan bernama Paul Kennedy dalam karyanya Preparing for the Twenty-First Century, deskripsinya telah mengingatkan kita yang cukup mencemaskan,  bahwa akan ada sekelompok negara-negara yang muncul sebagai pemenang (winner) dan sekelompok lain tertinggal sebagai  yang  kalah (loser), ketika proses perubahan yang fundamental dan revolusioner itu terjadi (Kennedy, 1995 290-292). Adanya pengelompokan winners dan losers tersebut disebabkan oleh ketidaksamaan persepsi dan respons tiap negara dan bangsa terhadap perubahan (globalisasi) yang revolusiener tersebut. Terdapat beberapa negara yang mampu dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan (fast adjusters) yang sekaligus mengadakan reformasi yang berani. Sedangkan yang lain muncul sebagai slow adjusters karena ketidak-siapan itu dalam menghadapi perubahan tersebut. Di dunia ini tidak adak satu bangsapun yang ingin menjadi kelompok negara dan bangsa sebagai the loser. Akan tetapi yang menjadi pokok persoalan bukan soal ingin dan tidaknya, melainan soal siap dan tidaknya. Pertimbangan inilah bahwa perlu pendidikan berperspektif multibudaya dalam kaitan dengan makin terasanya globalisasi.

Penjelasan sejarah global dan globalisasi yang sederhana tersebut, ternyata proses  globalisasi lebih menekankan kepada dua hal. Pertama, adanya upaya  yang makin kuat mendorong globalisasi untuk mempercepat prosesnya yang sedang terjadi. Kedua, adanya kenyataan peningkatan kesadaran kolektif mengenai kehidupan masyarakat global yang meliputi segenap bangsa dan seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Pengertian pertama mengacu kepada adanya fenomena percepatan globalisasi dewasa ini, sedangkan dalam pengertian kedua mengacu kepada tuntutan pengembangan perspektif global melalui pendidikan multibudaya secara global, agar siswa memiliki pengetahuan, sikap, serta keterampilan kesiapan dalam partisipasinya di berbagai bidang kehidupan. Mereka diharapkan dapat menempatkan diri dan memaknainya dalam berkontribusi terhadap masa kini dan mendatang (Diaz, 1999: 37-38). Penyikapan konfrontatif untuk globalisasi tersebut, suatu hal yang mustahil dan hanya akan menimbulkan masalah baru jika kita dalam menyikapinya melalui cara-cara yang emosional apalagi tanpa disertai persiapan-persiapan nyata melalui peningkatan sumber daya manusianya.

Pemahaman secara seksama jika kita cermati dalam perkembangan sejarah, maka nampak jelas bahwa proses globalisasi berhubungan dengan makin menguatnya kembali faham /ideologi liberalisme. Fakih (2001: 218-219) menyebutnya faham ini sebagai neoliberalisme. Faham inilah yang disosialisaikan secara intensif oleh negara-negara industri maju-liberal, diterapkan melalui penekanan kebijakan pasar bebas, investasi modal asing, privatisasi, dan semangat ‘laissez faire laissez passer’. Wallerstein (1996: 539-540), seorang Sosiolog dan Direktur  Fernand Braudel Pusat Studi Ekonomi dan Sistem-sistem Sejarah State Universitu of New York di Binghamton terkemuka, menyatakan bahwa dalam ekonomi dunia  kapitalis membentuk “satu sistem sejarah seperti itu. Wallerstein (1996: 540), selanjutnya menyatakan:

Ekonomi dunia kapitalis membentuk satu sitem sejarah seperti itu. Menurut saya ekonomi dunia kapitalis mulanya ada di Eropa pada abad ke 16. Ia adalah sebuah sistem yang didasarkan pada keinginan untuk mengumpulkan modal, persyaratan politis mengenai tingkat harga, (modal, komoditi dan tenaga), dan polarisasi  yang terus menerus mengenai kelas dan daerah (pusat/pinggir) sepanjang waktu. Sistem ini telah berkembang dan meluas ke seluruh bumi ini pada abad selanjutnya. Dewasa ini telah mencapai suatu titik, di mana sebagai akibat dari perkembangannya yang komprehensif itu, ia mengalami krisis terus menerus.

Mickletwait dan Wooldridge (2000: 29), dalam Future Perpect: The Challenge and Hidden Promise of Globalization, melihat globalisasi dari sisi yang berbeda. Mereka berpendapat  sebagai motor yang menggerakan globalisasi sehingga proses globalisasi itu sendiri begitu cepat menembus batas antar bangsa/negara, terdapat three engines globalization yang menggerakkan  globalisasi, yaitu:

… technology, the capital market, and management… Each of these forces is powerful enough in  its own right, but what has given them their apparent invincibility in recent years is the fact that they all fit together so neatly. Free-flowing capital makes it essier for companies in even the most out-of-the-way places to buy new technology. New technology makes it easier to move capital to similary obscure places. And management ¾ by which we mean the spread of common management methods, the growth of the management industry of consultants and business schools, and the development of new cadre of professional multinational managers ¾ alerts companies to the clever ways in which they can use capital and technology.

Ritzer dan Goodman (2004: 588) dalam karyanya yang berjudul Modern Sociology Theory, globalisasi  yang begitu luas cakupannya, menurutnya dapat dianalisis secara kultural, ekonomi, politik ataupun institusional. Masing-masing bidang kajian, kunci perbedaannya adalah; apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas ? Pada titik ekstrim, globalisasi secara kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transisional dari praktik bersama (homogenitas), ataupun sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dengan global berinteraksi mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas), maupun kearah imperialisme kultural (Ritzer dan Goodman, 2004: 588).

Ritzer dan Goodman (2004: 589), maupun Stiglitz (2002: 34) berpendapat bahwa kajian yang menekankan faktor ekonomi, cenderung menekankan arti penting ekonomi dan efeknya yang bersifat homogenizing ke arah ekonomi pasar ke seluruh dunia, tanpa melihat perbedaan nasional dengan pendekatan “one-size-fits-all” yang menyisakan sejumlah keresahan dan kesenjangan. Hardt dan Negeri (2000: 133) dalam karyanya Empire menyampaikan pandangan yang berbeda karena menekankan pada aspek politik/institusional, bahwa terdapat penyebaran model nation-state di seluruh dunia yang lebih serupa. Kajian budaya, ekonomi, maupun politik, baik secara populer dan akademik, masalah globalisasi menjadi semakin manarik untuk dikaji. Keaneka-ragaman pemahaman globalisasi ini mendorong berkembang berbagai teori globalisasi yang muncul sebagai akibat dai serangkaian perkembangan  internal teori sosial, seperti halnya terhadap modernisasi.

Berbagai teori globalisasi yang berkembang hingga kini adalah; teori Techno-Capitalism dari Kellner (2002: 287) dalam karya terakhirnya Theorizing Globalization yang menekankan hubungan dialektis  antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis atau tekno-kapitalisme. Teori Runaway World dari Giddens (2000: 23) dalam bukunya Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives yang pembahasannya memfokuskan pada kaitan erat globalisasi dan risiko, khususnya dengan munculnya manufactured risk. Giddens (2000: 37) selanjutnya menyatakan bahwa “Kita tak akan pernah mampu menjadi penguasa sejarah kita sendiri, tetapi kita dapat dan harus mencari  cara untuk membuat dunia yang tak terkendali ini menjadi terkendali”.

Teori Perang-Ruang dari Bauman (1998: 9) dalam bukunya Globalization: The Human Consequences, melihat bahwa globalisasi diwarnai oleh faktor kemampuan “mobilitas” yang menjadi faktor terbentuknya stratifikasi yang paling dominan. Ia beranggapan, hanya  mereka yang “mobile” yang mampu menguasai dunia dalam proses memaknai dirinya sendiri. Sebaliknya kaum ‘pecundang’ tidak hanya berada dalam kekurang-mampuan mobilitas, tetapi terkurung dan tidak mampu memberi makna kehidupannya sendiri. Bauman (1998: 97) berasumsi bahwa pemenang adalah “hidup dalam waktu” karena baginya ruang bukan masalah. Tidak berarti semua orang mampu untuk mobile, bahkan sebagian besar orang hidup di antara dua titik ekstrim, mereka merasa tidak pasti, sebagian mereka tidak bisa melihat cahaya esok hari.

Teori Globalization of Nothing dari Ritzer (2004) yang disajikan dalam buku Globalization of Nothing: Why So Many Make So Much Out of So Little. Suatu metateori yang menganalogikan “nothing” sebagai bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral yang sebagian “kosong” dari isi yang distingtif dan mengglobal. Terdapat empat subtipe nothing; (1) non-places, seperi pusat perbelanjaan mall, (2) non-things seperti kartu kredit, (3) non-people, seperti karyawan yang diasosiasikan telemarker, (4) non-servis seperti ATM.

Teori Lanscape Appadurai, yang menurut Ritzer dan Goodman (2004: 597) merupakan teori globalisasi paling populer dan banyak dikutip oleh banyak para ahli. Teori ini dimuat dalam buku Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Appadurai mengemukakan bahwa terdapat arus global dan keterputusan di antara arus-arus tersebut yang mencakup; pertama, ethnoscapes (kelompok turis dan pekerja tamu), kedua technoscapes (teknologi tinggi mekanistik dan informasional yang mengglobal), ketiga financescapes (pasar bursa saham dan pasar modal), keempat mediascapes (koran, majalah, televisi, internet), dan kelima ideoscapes atau serangkaian imaji yang bersifat politis pro dan kontra (Appadurai, 1996: 33-36).

Daftar Kepustakaan

Abdullah, H.M. Amin, (2003) Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press.

Abdullah, Taufik (1984) “Kesadaran Sejarah Masa Kini: Perdebatan Tentang Hari Sumpah Pemuda” dalam William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia”,  Jakarta: LP3ES.

Abdullah, Taufik (1999) “Nasionalisme Indonesia: Dari asal-usul ke prospek masa depan” dalam Sejarah , 8, Jakarta: MSI dan Arsip Nasional RI.

Abdullah, Taufik (2001) Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Satya Historika.

Adam, Asvi, W. (2001) “Ancaman Disintegrasi di Depan Mata”, dalam Kompas, 16 Agustus 2001.

Adler, P.S (1982) “Beyond Cultural Identity: Reflection on Cultural and Multicultural Man” dalam L, Samovar dan R Porter, ed., Intercultural Comunication: A Reader. Ed -3 , Belmont: Wadsworth.

Alexander, Jeffrey (1982) Theoretical Logic in Sociology’, Vol. 1, Positivism, Presuppositions, and Current Controversies, Berkeley:University Press.

Anderson, Benedict (1983) Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: The Thetford Press Ltd.

Appadurai, A. (1996) Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization, Minneapolis: University of Minnesota Press.

Bachtiar,W.Harsja (2001) “Integrsai Nasional Indonesia” dalam Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Banks, James (1977) Teaching Strategies for The Social Studies: Inquiry, Valuing, and Decision–Making, Philippines: Addison-Wesley.

Banks, James (1984) Teaching Strategies for Ethnic Studies, Newton: Allyn and Bacon.

Bauman, Zygmunt, (1998) Globalization: The Human Consequences, New York: Columbia University Press.

Bellah, Robert N.et all (1985) Habit of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, Barkeley: University of California Press.

Berry, J.W, Ed. (1999) Psikologi Lintas Budaya Riset dan Aplikasi, Alih Bahasa: Edi Suhardono, Jakarta: PT Gramedia.

Blum, A. Lawrence, (2001) Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai  yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Boxil, Benard (2001) “Prinsip Buta-Warna” dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Boix-Mansila, V. (2000) “Historical Understanding Beyond the Past and into the Present” dalam Peter N. Stearns, Peter Seixas, dan Sam Wineburg, Knowing, Teaching, and Learning History National and International Prespectives, New York: New York University Press.

Brown, David (2000) Contemporary Nationalism: Civic, Ethnocultural and Multicultural Politics, London: Routledge.

Buchanan A. (1991) Secession: The Morality of Political Divorce from For Sumter to Lithuania and Quebec, New York: Basic Books.

Cabral, Amilcar, (1973) Return to the Source: Selected Speeches of Amilcac Cabral, disunting oleh Africa Information Service, New York: Monthly Review Press.

Cabral, Amilcar, (1979) Unity and Struggle: Speeches and Writing, terjemahan bahasa Inggeris oleh Miichael Wolters, New York : Monththly Review Press.

Coppel, Charles, A.(2003),  “Kendala-kendala Sejarah dalam Penerimaan Etnis Cina di Indonesia yang Multikultural”, Jurnal Antropologi Indonesia, UI-Yayasan Obor.

Dahrendorf, R. (1959) Class and Class Conflict in Industrial Society, Stanford-California: Stanford University Press.

Darmodiharjo, D. (1985) Pancasila   dalam  Beberapa  Perspektif,  Jakarta:  Aries Lima.

Dhakidae, Daniel, (2002) Indonesia dalam Krisis 1997-2002,  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Diaz, C.E. Massialas, B.G. & Xanthopoulos, J.A.(1999) Global Perspective for Educator, Boston, London: Alyn & Bacon.

Dickie, George (1971) Aesthetics, An Introduction, New York: Pegasus Traditions in Philosophy.

Durkheim,E. (1964) The Devision of Labour in Society, translated by George Simson, New York: Free Press.

Duverger, Maurice (1985) Sosiologi Politik, Penerjemah: Daniel Dhakidae, Jakarta: CV. Rajawali.

Dworkin, Ronald (2001) “Menganggap Serius Masalah Hak”, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Eliade, Mircea (2001) “Realitas yang Sakral” dalam Danie L. Pals, Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Taylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C.Geertz, Alih Bahasa Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam.

Eliade, Mircea (2002) Sakral dan Profan, Penterjemah Nuwanto, Yogyakarta: Fajar  Pustaka Baru.

Etzioni, Amitai (1992) The Moral Dimension Toward a New Economic, New York The Free Press A Division of Macmillan, Inc.

Etzioni-Halevy (1981) Social Change: The Advent and Maturation of Modern Society, London: Routledge & Kegan Paul.

Fakih, Mansour (2001) Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta; Insist Press.

Fanon, Frantz, (2000) Bumi Berantakan: Buku Pegangan Untuk Revolusi Kulit Hitam yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ahmad Asnawi, Jakarta:  C.V. Adipura.

Featherstone, Mike (2001) Posmodernisme dan Budaya Konsumen, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fieschi dan Varouxakis (2001) “Citizenship and Nationality” dalam Athena S. Leoussi, Encyclopadia of Naturalism, New Brunswick: Transaction Publishers.

Friedman, Jonathan  (1994) Cultural Identity and Global Processes, London: Sage

Furnivall, J.S. (1956) Colonial Policy and Practice; A Comparative Study of Burma and Netherlands India, New York : New York University Press.

Furnivall, J.S. (1967) Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The University Press.

Garna, Judistira, K. dan Kartawinata, Ade,.M. (1999) Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Suatu Renungan Pembentukan Indonesia Merdeka Ke Arah Kebudayaan Kebangsaan, Bandung Primaco Akademika.

Garna, Judistira, K. (2003) Ilmu-ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Primaco Akademika

Giddens, A. (1986) Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber, Penerjemah: Soeheba Kramadibrata, Jakarta: Universita Indonesia Press.

Giddens, A. (1990) The Consequences Modernity, Stanford, Calif.: Stanford  University Presss.

Giddens, A. (2000) Runway World: How Globalization Is Reshaping Our Live, New York, Routledge.

Gould, Carol C. (1993) Demokrasi Ditinjau Kembali, Penerjemah Samodra Wibawa, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Gudykunst dan Kim (1984) Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication, Reading: Addison Wesley.

Hardt, Michael dan Negeri, Antonio, (2000) Empire, Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Harjanto, Nico T. (2002) “Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan” dalam Indra J. Piliang (Eds) Merumuskana Kembali Kebangsaan Indonesua, Jakarta: CSIS.

Harris, Philip R & Moran, Robert.T. (2001)” Memahami Perbedaan-perbedaan Budaya” dalam Deddy Mulyana dan Jaluddin Rakhmat Ed. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Hayakawa, S.I. (1950) Recognizing Stereotypes as Substitutes for Thought, Etc: Rev Gen. Sematics.

Harjanto, Nico,T.,(2001) “Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan” dalam Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Hetzler, Joyce O., (1965) A Sociology of Language, New York: Random Huose.

Hidayah, Zulyani (2001) Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Hirschman, Albert, O. (1970) Exit, Voice, and Loyalty, Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Horton & Hunt, (1991) Sosiologi, Penerjemah Aminuddin Ram dan Tita Sobari, Jakarta: Erlangga.

Howard, Rhoda E. (2000) HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,  Penerjemah: Nugraha Kartjasungkana, Yogyakarta: Grafiti

Jandra, M. (2003) “Islam dalam Konteks Budaya dan Tradisi Plural” dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadyah University Press.

Jandt, Fred E. (1998) Intercultural Communication An Introduction, Thousand Oaks: Sage Publication.

Johnson, Doyle.P., (1986) Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia.

Kammen, Michael, (1977) Bangsa yang Penuh Paradox, Penerjemah Mochtar Pabotinggi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kellner, Douglass (2002) “Theorizing Globalization” dalam Sociology Theory 20: hlm. 285-305.

Kennedy, P. (1995) Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke 21, Diterjemahkan Oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Kluckhohn, F. dan Strodtbeck, F.L. (1961) Variations in Value Orientation, Evanston: Row, Peterson & Company.

Knapp, Mark, L. (1978) Social Intercource: From Greeting to Goodbye, Boston: Allyn and Bacon.

Knapp, M.L. (1985) “Tahap-Tahap Interaksi” dalam Pengantar Sosiologi, Sebuah Bunga Rampai, Penerjemah Kamanto Sunarto, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, (1970) Manusia dan Kebudayaannya di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Koentjaraningrat, (1986) Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed. , Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.

Koentjaraningrat, (1987) Sejarah Teori Antropologi, Jilid I dan II, Jakarta, Universitas Indonesia Press.

Koentjaraningrat, (1995) “Penggunaan Metode-metode Antropologi dalam Historigrafi Indonesia” dalam Soedjatmoko et al Historiografi Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo (2003) “Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadyah dan Budaya Lokal”, dalam Amin Abdullah, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Universitas Muhammadyah Press.

Kymlicka, Will (1999) “Misunderstanding Nationalism” dalam Theorizing Nationalism, diedit oleh R. Beiner, Albany: State University of New York.

Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES.

Lippman, Walter, (1998) Public Opinion, Penerjemah S.Maimoen, Jakarta: Yayasan Obor Indoinesia.

Lipset, Seymor M. (1994) Amerika Serikat Bangsa Baru yang Pertama: Dalam Perspektif Sejarah dan Komparatif, Terjemahan Hermawan Soelistyo, Jakarta: Sinar Harapan.

Lockwood, David (1973) Some Remarks on The Social System, dalam N.J. Demarth III, New York: Harper and Row Publisher.

Lowenthal, David (2000) “Dilemmas and Delights of Learning History” dalam Peter N. Stearns, Peter Seixas, dan Sam Wineburg, Knowing, Teaching, and Learning History National and International Perspectives, New York: New York University Press.

Mac, Dieter (2001) Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, Yogyakarta: Artline

Magnis-Suseno, F. (1992) “Filsafat Sebagai Ilmu Kritis”, Pustaka Filsafat, Jakarta: Kanisius.

Magnis-Suseno,F. (2000) Kuasa & Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Marger, Martin N. (1985) Race Ethnic Relations: American and Global Perspektive, Belmomont California: Wadworth, Inc.

Maslow, A.H. (1954) Motivation and Personality, New York:  Harper & Row Publisher.

May, Lary (2001) “Pembagian Tanggungjawab Atas Rasisme” ,dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

McLemore, S. Dale (1980) Racial and Ethnic Relations in America, Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Miclethwait, J. & Wooldridge, A. (2000) Future Perfect: The Challenge and Hidden Promise of  Globalization, New York: Random House, Inc.

Mills, C.Wright (2003) Kaum Marxis: Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangan, Imam Muttaqim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Naisbitt, John (1994) Global Paradox, Alih Bahasa : Budijanto, Jakarta: Binarupa Aksara.

Naisbitt, John (2001) High Tech High Touch: Pencarian  Makna di Tengan Perkembangan Pesat Teknologi, Penerjemah Dian R. Basuki, Bandung: Mizan.

Nasikun, (2003) Sistem Sosial Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Ohoitimur, Yong (2001) “Panggilan Bersama Membangun Persahabatan Sejati”, dalam Th.Sumartana, dkk. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Papilaya, M.Y. (2001) Persepsi Lokal Tentang Konflik dan Kekerasan di Ambon, Jakarta: The Geo-East Institut.

Peacock, James L. (2005) Ritus Modernisasi Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, Penerjemah Eko Prasetyo, Depok: Desantara.

Peh, T.C. (1985) Konsep Asas Sosiologi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.

Peransi, D.A. (1985) “Retradisionalisasi dalam Kebudayaan”,  Prisma No.6 Jakarta: LP3ES.

Piliang, Indra J. (2001) Dari Masyarakat Aliran ke Masyarakat Etnik” dalam  Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Poespowardojo, Soerjanto, (1999) Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan, Jakarta: Sejarah, 8. LP3ES.

Rawls, John (1971) A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press.

Ritzer, George (1995) Expressing America; A Critique of the Global Credit Card Society, Thousand Oaks, Calif; Pine Forge Press.

Ritzer, George (2000) The McDonaldization of Society: New Century Ediotion, Thousand Oaks, California: Pine Forge Press.

Ritzer, George (2004) The Globalization of Nothing: Why So Many Make So Much Out of So Little, Thousand Oaks, Calif.,: Pne Forge Press.

Ritzer, dan Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Terjemahan  Alimandan, Jakarta: Prenada Media.

Robertson, Roland (1992) Globalization: Social Theory and Global Culture, London: Sage.

Russel, B. dan Brand, T., (1979) Second Wind, New York: Random House.

Said,Edward.W. (1996) Kebudayaan dan Kekuasaan, Terjemahan Rahmani Astuti,  Bandung : Mizan.

Sartori, Giovani (1968) “Democracy” dalam David L. Sills, editor, International Encyclopedia of Social Sciences, vol.4, New York: Macmillan and Free Press.

Saunders, M. (1982) Multicultural Teaching: Aguide for the classroom, London: McGraw-Hill Company.

Schramm, Wilbur (2001) “Perihal Membangun Jembatan” dalam Deddy Mulyana dan Jaluddin Rakhmat Ed. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Shadily, Hassan, Ed. (1980) Ensiklopedia Indonesia, 3, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project.

Simbolon, Parakitri. T (2000) “Indonesia Memasuki Milenium Ketiga”, dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Siswomihardjo, K.W. (1998) “Wawasan Kebangsaan dalam Era Reformasi”, Jurnal Filsafat Pancasila, No. Th.II Desember, hlm. 3-14.

Sleeter, C.E. (1992) “Restructuring Schools for Multicultural  Education”, dalam Journal of Teacher Education 43, halm. 141-148,

Sobol, T. (1990) “Understanding Diversity” dalam Education Leadership, 48 (3), hlm.27-30.

Soedjatmoko (1976) “Kesadaran Sejarah dan Pembangunan” dalam Prisma, 7, Jakarta: LP3ES.

Soedjatmoko (1995) “Sejarah Indonesia dan Zamannya” dalam Soedjatmoko (Ed), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia.

Spradley, James, (1997) Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Stanislavsky, Konstantin (1989) An Actor Prepares, New York: Routledge/Theatre Arts Books.

Stavenhagen, R.(1986) Problems and Prospects of Multiethnic States, Tokyo: United Nations University Press.

Stiglitz, G. (2002) Globalization and Its Discontents, New York: W.W. Norton.

Sujatmiko, Iwan, G. (1999) “Integrasi dan Disintegrasi Nasional” dalam Harian Umum Kompas, 20 Desember 1999.

Supardan, Dadang (2000) Kreativitas Guru Sejarah dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Deskriptif-Analitis terhadap Guru dan Implikasinya untuk Program Pengembangan Kreativitas Guru Sejarah SMU di Kota Bandung), Tesis Untuk Memperoleh  Gelar Magister Pendidikan, Pascasarjana UPI Bandung.

Supardan, Dadang (2002) “Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya: Studi Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Global”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Bandung: FPIPS UPI.

Supardan, Dadang (2003) “Turbulensi dan Bahaya Kekerasan dalam Pendidikan”, Dalam Helius Sjamsuddin & Andi Suwirta, Historia Magistra Vitae: Menyambut 70 Tahun Prof.Dr.Hj. Rochiati Wriaatmadja, M.A, Bandung: Historia Utama Press.

Supardan, Dadang (2005) Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, dan Global dalam Integrasi Bangsa, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Tidak dipublikasikan.

Supardan, Dadang (2007) Pengantar Ilmu Sosial: Suatu kajian Pendekatan Struktural, Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah.

Suparlan, Parsudi, (2002) “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”, Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi, (2003a)  Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.71, Jakarta: Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi (2003b) “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72, Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indonesia.

Supriadi, Dedi, dan Mulyana, Rochmat, Compiled (1996) Multicultural Education: What Do the Theory and  Research Say ?, Bandung: Institut of Teaching and Educational Science (IKIP).

Supriadi, Dedi, (2001) Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Bimbingan dan Konseling UPI,  Bandung,

Suryadinata, Leo, Arifin, Evi N. dan Ananta, Aris (2003a) Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik, Jakarta: LP3ES.

Suryadinata, Leo, (2003b)  Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor

Svalastoga, Kaare (1989) Diferensiasi Sosial, Terjemahan Alimandan S.U, Jakarta: Bina Aksara.

Tim Litbang Kompas, Jakarta; 29 Oktober 2001.

Tim Litbang Kompas, Jakarta; 28 Oktober 2002.

Thohari, Harijanto Y. (2000) “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Toffler, Alvin (1992)  Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan Di Penghujung Abad ke 21 (Bagian Kedua),  Alih Bahasa: Hermawan Sulistyo dkk. Jakarta: PT Pantja Simapti.

Triardianto,Tweki. dan  Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Tye, K.A. (ed). (1991) Global Education, From Thought to Action, Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.

Tye, K.A.. and Tye, B.B. (1992) Global Education: A Study of School Change, New York: State University of New York Press.

van den Berghe, Pierre, L. (1967) “Dialectic and Fucntionalism: Toward a Synthesis”, dalam N.J. Demerath III et. Al., eds, System, Change, and  Conflict, New York: The Free Press.

van den Berge Pierre, L. (1969) “Pluralism and the Polity: A Theoritical Exploration”, dalam Leo Kuper dan M.G.Smith eds. Pluralism in Africa, Berkeley and Los Ageles: University of California Press

Wallerstein, Immanuel (1996) “Ekonomi Dunia Kapitalis”  dalam Roy C. Macridis & Bernard E. Brown, Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan, Alih Bahasa Henry Sitanggang, Jakarta: Erlangga.

Weiner, Myron (1996) “Kebijakan Preferensial” dalam Roy C. Macridis dan Benard E. Brown, Perbandingan Politik, Alih Bahasa A.R. Henry Sitanggang, Jakarta: Erlangga.

Westbrook, R.B. (1991) John Dewey and American Democracy, Ithaca, NY: Cornell University Press.

Wineburg, Sam (2000) “Making Historical Sense” dalam Peter N. Stearn, Peter Seixas, dan Sam Wineburg, Knowing Teaching, and Learning History: National and International Perpspectives, New York: New York University Press.

Wineburg, Sam (2001) Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future af Teaching the Past, Philadelphia: Temple University Press.

Wineburg, S. dan, Wilson, Suzanne, M (2001)”Peering at History Through Differen Lenses: The Role of Disiplinary Perspectives in Teaching History”, dalam Wineburg Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future af Teaching the Past, Philadelphia: Temple University Press.

Wiriatmadja, Rochiati (1992) Peranan Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia dalam Pembentukan Identitas Bangsa (Upaya Peraihan Nilai-nilai Integralistik dalam Proses Sosialisasi dan Enkulturasi Berbangsa di Kalangan Siswa SMK I  BPK penabur di Bandung), Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung.

Wiriaatmadja, Rochiati (2002) Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press.

Young, Iris Marion (1990) Justice and the Politics of Differnce, New Jersey: Pricenton University Press.

Zeitlin, Irving M. (1995) Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Penerjemah: Anshori dan Juhanda, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Zuhdi, Susanto (1999 “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah”, Jurnal Pendidikan  dan Kebudayaan, Tahun Ke 5 No.019, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Depdikbud.

*) Dadang Supardan adalah Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah – Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial – Universitas Pendidikan Indonesia.

Comments are closed.