Kuli dan Anemer: Keterlibatan Orang Cina dalam Pembangunan Jalan Kereta Api di Priangan (1878-1924)

Oleh: Dr. Agus Mulyana, M.Hum

Pengantar

Pada pertengahan abad ke-19 merupakan periode sejarah di Hindia Belanda yang ditandai dengan eksploitasi kolonial yang begitu meluas. Eksploitasi kolonial di Hindia Belanda  pada akhir abad ke-19 disebabkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat sebagai dampak dari adanya pembukaan lahan perkebunan. Pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sudah mulai nampak sejak pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan Sistem Tanam Paksa. Dampak pertumbuhan ekonomi tersebut yaitu membutuhkan sarana infrastruktur bagi kelancaran proses produksi dan pengangkutan hasil-hasil perkebunan. Salah satu infrastruktur yang penting dibangun adalah jalan kereta api.

Pembangunan jalan kereta api merupakan  proyek infrastruktur terbesar pada petengahan abad ke-19.[1] Selain itu, pembangunan jalan kereta api merupakan bagian dari penerapan teknologi Barat di Hindia Belanda.[2] Dalam proses pembangunannya membutuhkan kemampuan teknologi yang tinggi pada masa itu. Selain kemampuan teknologi, dibutuhkan pula pengerahan tenaga kerja yang sangat banyak. Ada tiga kelompok yang terlibat dalam pembangunan jala kereta api di Priangan, yaitu orang pribumi, Cina dan Eropa. Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan peran orang Cina dalam keterlibatan pembangunan jalan kereta api di Priangan. Keterlibatan orang Cina pada umumnya berperan sebagai kuli dan pemborong atau anemer.

Latar Belakang Pembangunan

Pembangunan jalan kereta api di Priangan dilatarbelakakangi oleh adanya dua kepentingan, yaitu kepentingan ekonomi dan pertahanan militer. Kepentingan ekonomi berkaitan dengan kesulitan pengangkutan hasil-hasil perkebunan. Eksploitasi kolonial pada pertengahan abad ke-19, membutuhkan sarana transportasi yang lebih meningkat. Jalan-jalan yang sudah ada, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan angkutan khususnya kebutuhan angkutan hasil-hasil perkebunan. Pada dekade ketiga abad ke-19 pemerintah kolonial membangun proyek besar yaitu diterapkannya Sistem Tanam Paksa. Sampai dengan tahun 1850-an terjadi peningkatan ekspor yang cukup tinggi dibandingkan periode sebelumnya.[3]

Perluasan perkebunan di Priangan semakin meningkat sejak dihapuskannya sistem tanam paksa dan berlakunya Undang-Undang Agraria 1870. Berdasarkan undang-undang tersebut, swasta diberikan kesempatan untuk menanamkan modalnya di sektor perkebunan. Banyak pihak swasta yang membuka lahan perkebunan di Priangan. Lahan perkebunan di Priangan semakin luas ketika masuknya para pengusaha perkebunan. Pada tahun 1870 ketika awal Sistem Tanam Paksa dihapuskan di Priangan terdapat 9 orang pengusaha perkebunan swasta yang membuka perkebunan. Luas lahan yang ditanami perkebunan pada tahun 1870 yaitu 3.789 bau dan 12 persil perkebunan. Perkebunan menyebar di 12 distrik.[4]

Sepuluh tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria jumlah perkebunan di Priangan meningkat sangat pesat. Pada tahun 1880, luas lahan yang dijadikan perkebunan seluas 19.191 bau dengan jumlah pengusaha perkebunan sebanyak 63 orang. Perkebunan-perkebunan tersebut tersebar di seluruh afdeling di Priangan dan berada di 57 distrik. Jenis tanaman yang ditanam yaitu kopi, teh, kina dan tembakau.[5]

Tanaman ekspor ditanam tidak hanya di perkebunan milik para pengusaha perkebunan. Penduduk pribumi yang berada di sekitar perkebunan oleh para pengusaha diminta untuk menanam tanaman ekspor di tanah milik penduduk. Para pengusaha perkebunan memberikan bibit tanaman kepada penduduk untuk ditanam di tanah milik penduduk. Tujuan pemberian bibit tanaman tersebut adalah untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor. Hasil tanaman penduduk tersebut kemudian dijual kepada para pengusaha perkebunan.

Pertumbuhan perkebunan yang begitu pesat, membutuhkan pembangunan infrastruktur bagi kelancaran produksi dan pengangkutan hasil perkebunan. Salah satu infrastruktur yang penting adalah sarana transportasi baik jalan maupun alat angkutnya. Sarana ini penting karena untuk mempercepat pengangkutan. Pengangkutan menghadapi masalah karena jarak antara perkebunan dengan pelabuhan cukup jauh. Pada umumnya, perkebunan berlokasi di daerah pedalaman dan ada yang di perbukitan-perbukitan.  Kondisi geografis yang demikian sangat sulit untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan dari perkebunan ke pabrik dan pelabuhan.

Jalan yang sudah ada masih menimbulkan masalah. Pada umumnya jalan tersebut masih berupa jalan tanah yang belum diperkeras. Masalah yang timbul adalah akan becek ketika musim hujan dan berdebu ketika musim kemarau. Jalan-jalan tersebut dibangun dengan menggunakan tenaga kerja wajib. Penduduk setempat yang berada di sekitar jalan tersebut memiliki kewajiban untuk memeliharanya. Pemeliharaan jalan dilakukan dengan cara kerja wajib oleh penduduk setempat. Hal yang memberatkan penduduk adalah jalan tersebut sering rusak sebagai akibat pengangkutan oleh pedati yang mengangkut hasil-hasil perkebunan. Kerusakan ini akan semakin memberatkan penduduk bagi pemeliharaan jalan.[6]

Selain jalan yang tidak memadai, alat angkut pun masih mengalami hambatan. Hasil perkebunan dari perbukitan biasanya diangkut dengan cara dipikul. Untuk mengangkut ke pabrik atau menuju ke sungai, diangkut dengan pedati. Dari sungai, dengan menggunakan perahu, hasil perkebunan diangkut ke pelabuhan. Kapal yang akan mengekspor, menunggu di pelabuhan.   Kendala penggunaan alat angkut tradisional tersebut seperti pedati sangat lambat dan daya angkut yang sangat terbatas. Begitu pula pengangkutan perahu, air pasang dari laut yang masuk ke sungai dapat menghambat.

Kelemahan lain dari alat angkut tradisional tersebut adalah membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk sampai di pelabuhan. Penggunaan alat angkut dengan hewan penarik seperti kerbau, sapi, dan kuda memiliki resiko yang cukup berat. Hewan penarik tersebut dapat terserang penyakit bahkan sampai mati. Kapal-kapal di pelabuhan menunggu lama. Lambannya pengangkutan dapat mengakibatkan banyak hasil bumi menumpuk di gudang-gudang di daerah pedalaman dan membusuk karena tidak terangkut.[7]

Kepentingan militer dalam pembangunan jalan kereta api di Priangan berkaitan dengan kondisi geografis yang merupakan daerah pegunungan atau dataran tinggi. Kondisi Priangan yang merupakan daerah pegunungan dan berada di pedalaman, merupakan kondisi yang startegis untuk membangun garis pertahanan antara daerah pantai dan daerah pedalaman. Kebutuhan ini terasa setelah selesainya pembangunan jalan kereta api Batavia-Buitenzorg (1869-1873) yang dibangun oleh Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM).[8] Hubungan langsung antara Priangan dengan Batavia menjadi terbuka setelah selesai pembangunan jalan kereta api Batavia-Buitenzorg.

Selain hubungan dengan pelabuhan Batavia, kepentingan militer perlu juga dibangun dengan pelabuhan-pelabuhan yang memiliki hubungan langsung dengan daerah pedalaman Priangan. Pelabuhan-pelabuhan tersebut adalah Cilacap dan Cirebon. Untuk memenuhi kepentingan pertahanan dengan pelabuhan Cilacap, maka dibangun lajur Priangan-Cilacap dan dengan pelabuhan Cirebon dibangun lajur Rancaekek-Sumedang. Lajur Rancaekek-Sumedang, semula akan dibangun Sumedang-Kadipaten-Cirebon.[9] Lajur ini tidak jadi dibangun sehubungan dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah. Pembangunan lajur-lajur kepentingan militer tersebut, dalam pelaksanaannya juga memiliki kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi pada lajur-lajur tersebut adalah pengangkutan baik perkebunan maupun hasil-hasil pertanian daerah-daerah yang dilewatinya.

Jalan kereta api yang dibangun di Priangan sangatlah unik. Keunikan tersebut bisa dilihat dari aspek geografisnya dan cara pembangunannya. Geografi daerah Priangan sebagian besar merupakan daerah pegunungan atau perbukitan. Pembangunan jalan kereta api pada daerah pegunungan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dibandingkan dengan pembangunan pada daerah yang datar. Jalan kereta api harus dibangun dengan posisi jalan atau rel yang datar, sebab apabila jalan itu menanjak akan memberatkan lajunya kereta api.  Untuk membangun agar kondisi tanah menjadi datar, pada daerah pegunungan bukanlah hal yang mudah. Berbagai cara dilakukan, mulai dari penggalian sampai dengan penimbunan agar menjadi jalan yang datar.

Kesulitan yang dihadapi oleh kondisi geografis daerah Priangan, berdampak pada teknologi dan tenaga kerja yang digunakan. Tekonologi yang digunakan sudah barang tentu teknologi yang tinggi pada masa itu.  Bahan-bahan berat terutama besi banyak sekali dibutuhkan. Untuk menyambungkan antara satu bukit dengan bukit yang lainnya dan daerah yang dipisahkan oleh sungai membutuhkan pembuatan jembatan. Jembatan tersebut dibangun dengan menggunakan besi.

Kesulitan pembangunan tersebut berdampak pula pada penggunaan tenaga kerja. Tenaga kerja yang terlibat dalam pembangunan jalan kereta api terdiri dari tenaga ahli atau para insinyur dan tenaga kerja kasar atau kuli. Tenaga ahli lebih banyak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan teknik, mulai dari merancang, hingga pembangunannya.Pekerjaan merancang misalnya jembatan, terowongan, arah jalan, mengukur kemiringan jalan, dan lain-lain. Tenaga kerja kasar atau kuli banyak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, misalnya pekerjaan penggalian dan penimbunan tanah, pengangkutan bahan-bahan material, dan lain-lain.

Seluruh lajur kereta api yang ada di Priangan dibangun oleh pemerintah yaitu Staatspoorwegen (SS), tidak oleh swasta, walaupun pihak swasta pernah mengajukan usulan konsesi untuk membangun beberapa lajur. Pihak yang membangun jalan kereta api di Priangan berbeda halnya dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, selain pemerintah yang membangun terdapat pula pihak swasta. Ada dua alasan utama mengapa di Priangan, pembangunan jalan kereta api dilakukan oleh pemerintah, tidak oleh swasta. Alasan tersebut yaitu pertama berkaitan biaya pembangunan dan kedua kepentingan pertahanan militer bagi pemerintah. Pembangunan jalan kereta api di Priangan membutuhkan biaya yang sangat besar, karena kondisi geografis yang relatif lebih sulit dibandingkan daerah lain di Hindia Belanda. Daerah yang dilewati pembangunan jalan kereta api di Priangan banyak berupa pegunungan atau dataran tinggi. Pihak swasta banyak yang membatalkan rencana pembangunan ketika pemerintah telah memberikan izin. Mereka tidak memiliki biaya yang cukup untuk pembangunan.[10]

Pembangunan jalan kereta api di Priangan terdiri dari lajur utama dan lajur simpangan. Lajur utama yang dibangun  yaitu Buitenzorg-Bandung-Cicalengka (1878-1884), Cicalengka-Garut (1887-1889), Warung Bandrek-Cilacap (1889-1893), dan Karawang-Padalarang (1898-1906). Sedangkan lajur simpangan yaitu Tasikmalaya-Singaparna (1910-1911), Banjar-Kalipucang-Cijulang (1911-1912), Bandung-Banjaran-Ciwidey (1916-1924), Citeureup-Majalaya (1920-1921) dan Rancaekek-Sumedang (1917-1921).

Kehidupan Orang Cina di Priangan

Jumlah orang-orang Cina yang tinggal di Keresidenan Priangan termasuk dalam jumlah cukup besar dibandingkan dengan beberapa Keresidenan lainnya di Jawa. Mereka pada umumnya banyak tinggal di ibu kota afdeling atau kabupaten. Di ibu kota afdeling atau kabupaten, orang-orang Cina tinggal di pusat-pusat pemukiman mereka atau pecinan.[11] Kegiatan mereka lebih banyak terlibat dalam bidang perdagangan. Perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina yaitu perdagangan barang dan perdagangan jasa.

Dalam kegiatan perdagangan orang-orang Cina ada yang langsung berhubungan dengan penduduk setempat melakukan transaksi perdagangan ada pula memiliki industri-industri pengolahan. Berbagai produk perdagangan diperjualkan oleh orang-orang Cina, baik produk pertanian maupun non pertanian. Produk non pertanian biasanya dijual kepada penduduk, misalnya kain, bahan besi, tembikar, bahan kaca.[12]  Sedangkan produk pertanian, pada umumnya oleh  orang-orang Cina dibeli dari penduduk. Produk-produk tersebut seperti beras, gula aren, ketela pohon, kopi dan lain-lain. Beras banyak dibeli pada saat harga masih murah kemudian dijual kembali ketika harga tinggi. Pembelian dilakukan oleh orang-orang Cina yang memiliki penggilingan beras.[13] Padi yang sudah digiling tersebut dijual ke Bogor, Banten dan Cirebon.[14] Sedangkan gula aren dibeli oleh orang Cina dari penduduk kemudian dijual ke Batavia.[15] Selain beras dan gula aren yang dibeli oleh orang Cina, produk tanaman lain yang dibeli oleh orang Cina dari penduduk adalah kopi.[16]

Hasil pertanian yang dijadikan bahan pabrik pengolahan milik orang Cina di antaranya adalah ketela. Bahan ini akan dijadikan tepung tapioka. Penduduk menanam ketela, kemudian hasil tanaman oleh penduduk disetorkan ke pabrik tapioka milik orang Cina. Biasanya, pembelian kepada penduduk dilakukan dengan cara borongan atau orang Cina terlebih dahulu memberi uang kepada penduduk sebelum ketela tersebut dipanen.[17] Tepung tapioka, oleh orang Cina diekspor sampai ke Singapura. [18]

Beberapa industri pabrik lainnya yaitu industri pembakaran kapur, pembuatan batu bata, pembuatan roti,  kecap, permen, sabun, percetakan dan lain-lain. Di sekitar Gunung Papandayan, orang-orang Cina juga mengolah penambangan belerang. Barang tambang ini dibeli melalui penduduk setempat yang melakukan penambangan secara tradisional. Kegiatan usaha penambangan tersebut mendapatkan izin dari pemerintah.[19]

Perdagangan jasa yang dilakukan oleh orang Cina di Priangan seperti tukang kayu, tukang cukur, tukang potong hewan, jasa borongan pembangunan rumah, dan lain-lain.[20] Jasa borongan pembangunan rumah dilakukan untuk membangun rumah-rumah penduduk pribumi yang kaya.[21] Penduduk pribumi yang tidak termasuk orang kaya, biasanya membangun rumah dibangun dengan tenaga sendiri atau atas bantuan para tetangganya. Mereka tidak memanggil tukang bangunan atau tukang kayu khusus. Bentuk bangunan mereka kebanyakan merupakan rumah panggung, yang bahan bangunannya banyak terbuat dari bambu dan kayu. Atap rumahnya tidak ditutup dengan genting, cukup dengan bahan injuk,[22] bahan yang biasa dijadikan untuk membuat sapu.

Kuli

Istilah kuli menunjuk kepada pekerja yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar atau fisik yang tidak membutuhkan suatu keahlian tertentu (unskilled).[23] Persyaratan utama bagi pekerja sebagai kuli cukup hanya memiliki tenaga fisik yang kuat dan mereka bekerja menggunakan alat-alat yang sederhana seperti cangkul, linggis, dan lain-lain.

Dalam pembangunan jalan kereta api, kuli yang terlibat dapat dikatagorikan dalam tiga bentuk, yaitu kuli wajib, kuli bebas tetap dan kuli musiman. Orang-orang Cina pada umumnya bekerja sebagai kuli bebas tetap dan kuli musiman. Sedangkan orang-orang pribumi, selain menjadi kuli bebas tetap dan kuli musiman, mereka menjadi pula kuli wajib.

Kuli wajib adalah kuli atau para pekerja yang dibebani oleh kerja wajib. Mereka bekerja dalam pembangunan jalan kereta api bersifat wajib, sebagaimana halnya wajib tanam dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Pengerahan tenaga kerja wajib dilakukan pada pembangunan jalan kereta api pada lajur Priangan-Cilacap. Pembangunan lajur Priangan-Cilacap dibagi dalam 5 seksi. Penggunaan tenaga kerja wajib dilakukan pada seksi kelima. Seksi kelima ini merupakan daerah antara Cilongkrang sampai sambungan di lajur Jogya-Cilacap pada halte Kesugihan dan sampai stasiun Maos.[24] Sekitar 700 orang buruh kerja wajib yang dikerahkan untuk membangun pada seksi kelima di lajur Priangan-Cilacap.[25]

Alasan utama digunakannya tenaga kerja wajib dalam pembangunan lajur Priangan-Cilacap di seksi 5, yaitu daerah yang akan dibangun merupakan daerah sulit terutama merupakan daerah  berawa. Pada daerah yang berawa memiliki resiko yang sangat besar bagi para pekerja pembangunan jalan kereta api.  Resiko tersebut adalah terserangnya penyakit malaria. Di mata penduduk saat itu, penyakit malaria merupakan penyakit yang menakutkan dan dapat membawa kematian. Akibat resiko tersebut, maka penduduk enggan bekerja sebagai kuli pembangunan. Keengganan penduduk tersebut merupakan faktor kesulitan bagi pihak SS untuk mendapatkan tenaga kerja atau kuli. Pihak SS biasanya menawarkan kepada penduduk untuk bekerja dengan status buruh bebas yang diupah. Walaupun status yang demikian, penduduk tetap enggan bekerja. Kalaupun penduduk mau bekerja, biasanya mereka meminta bayaran yang lebih tinggi. Bagi pemerintah (SS) tuntutan upah tersebut memberatkan anggaran, sebab biaya yang tinggi bukan hanya untuk membayar upah, juga bahan-bahan yang dibutuhkan sangat sulit. Pada daerah rawa selain sulit untuk mendapatkan bahan bangunan juga sulit dalam hal pengangkutan bahan-bahan tersebut ke lokasi pembangunan. Kesulitan ini, juga akan menambah anggaran pembangunan. Untuk menanggulangi kesulitan tersebut, baik memperoleh kesulitan tenaga kerja dan kesulitan membangun, maka penggunaan tenaga kerja wajib merupakan pilihan.

Selain pada lajur Priangan-Cilacap, penggunaan tenaga kerja wajib digunakan pula dalam pembangunan lajur Buitenzorg-Bandung-Cicalengka yaitu pada seksi 3 tepatnya dari daerah Sukaraja ke Cikaso. Penggunaan tenaga kerja wajib pada pembangunan lajur Buitenzorg-Bandung-Cicalengka, berbeda dengan lajur Priangan-Cilacap. Di dalam Kolonial Verslag tahun 1879 disebutkan bahwa pembangunan pada seksi 3 tepatnya dari daerah Sukaraja ke Cikaso, pekerjaan terlambat karena adanya kewajiban penduduk untuk menanam kopi. Pada waktu itu di Priangan masih ada kewajiban menanam kopi walaupun Sistem Tanam Paksa dihapuskan (1870). Menurut pandangan penulis, penduduk yang dimaksud adalah para buruh wajib yang diwajibkan untuk menanam kopi, tetapi juga tenaga mereka digunakan untuk kerja wajib dalam pembangunan jalan kereta api. Jadi ada semacam peminjaman kuli wajib perkebunan kopi pada pembangunan jalan kereta api.

Kemudahan penggunaan tenaga kerja wajib dalam pembangunan jalan kereta api, tidak lepas dari peran para pemimpin pemerintahan di daerah. Para kepala daerah memiliki peran.

Peran yang mereka lakukan adalah memberikan usulan terhadap rencana pembangunan dan terlibat dalam komisi pembebasan tanah. Dalam peran seperti inilah, para pemimpin pemerintahan di daerah memiliki kewenangan pula untuk mengerahkan penduduknya dalam pembangunan jalan kereta api.

Kuli bebas yang tetap pada umumnya adalah kuli yang bekerja pada pemborong dan mereka bekerja pada bangunan-bangunan atau bagian-bagian tertentu. Mereka diperoleh melalui pencarian yang dilakukan oleh para calo-calo pencari kerja. Cara yang dilakukan untuk memperoleh kuli bebas tersebut yaitu dengan cara mereka ditawarkan untuk bekerja. Kalau mereka mau, maka para kuli ini diikat dengan suatu kontrak dan mereka terlebih dahulu diberikan uang muka sebagai upah bekerja.[26] Kuli musiman adalah kuli yang bekerja pada saat-saat tertentu. Penggunaan jenis kuli ini biasanya dilakukan pada jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan pengerjaan lebih cepat dan jumlah tenaga kerja yang begitu banyak.

Pekerjaan pembangunan besar-besaran dan membutuhkan penyelesaian yang cepat biasanya pembangunan pada bangunan-bangunan yang mengalami resiko berat jika ada perubahan cuaca musim. Contoh pembangunan yang demikian adalah pembangunan jembatan dan terowongan.

Pembangunan jembatan dan terowongan akan mengalami kesulitan ketika dilakukan pada musim hujan. Jembatan yang dibangun di atas sungai harus membangun pilar yang terpancang masuk ke dasar sungai. Pemasangan pilar ini akan mengalami kesulitan apabila air sungai yang mengalir deras. Air sungai akan mengalir sangat deras apabila musim hujan. Aliran sungai yang sangat deras tersebut selain mempersulit pemancangan pilar dapat pula merusak pilar yang sudah terpasang. Peristiwa pembangunan jembatan seperti ini dalam pembangunan jalan kereta api di Priangan terjadi pada pembangunan jembatan Citarum di daerah Cianjur pada lajur pembangunan Buitenzorg-Bandung-Cicalengka

Pembangunan jembatan Citarum di daerah Cianjur dilaksanakan ketika musim hujan tiba. Untuk mempercepat penyelesaian pembangunan, maka kuli dikerahkan bekerja siang dan malam. Kuli yang dipekerjakan dalam pembangunan jembatan ini, selain kuli tetap yang dikordinasikan oleh para pemborong, juga didatangkan kuli musiman dari daerah setempat.[27] Pengerjaan pada malam hari digunakan penerangan lampu yang digerakkan oleh dynamo. Hujan yang sering turun menghambat pelaksanaan pekerjaan. Air yang mengalir dengan deras dan permukaan air meninggi. Untuk menangani masalah air tersebut, maka terpaksa pelaksanaan pembangunan mengalami penundaan menunggu surutnya air.[28] Apabila air telah surut maka pemancangan pilar akan lebih mudah.

Perpecepatan pengerjaan bangunan, selain oleh adanya masalah tantangan alam, ada pula dengan alasan target penyelesaian. Hal seperti ini dalam pembangunan jalan kereta api di Priangan terjadi dalam penyelesaian pembangunan di stasiun Bandung. Pelaksanaan pembangunan stasiun Bandung dilaksanakan siang dan malam. Seperti halnya pembangunan jembatan Citarum di Cianjur, dalam penyelesaian pembangunan stasiun Bandung digunakan penerangan lampu listrik. Dalam penyelesaian pembangunan stasiun di Bandung menuntut jumlah kuli yang sangat banyak. Semakin banyak kuli yang digunakan semakin cepat proses penyelesaian pembangunan. Percepatan penyelesaian pembangunan stasiun Bandung ini dikarenakan akan segera serah terima pengelolaan lajur kereta api kepada Dinas Eksploitasi dari Dinas Pembukaan yang bertanggung jawab dalam pembangunan jalan kereta api.[29]

Salah satu terowongan yang dibangun dalam pembangunan jalan kereta api adalah terowongan Sasaksaat. Terowongan ini dibangun pada pembangunan lajur Karawang-Padalarang.[30] Pembangunan terowongan ini dimulai pada tahun 1902. Sebelum pekerjaan pembangunan terowongan dimulai terlebih dahulu diadakan upacara sesajen tradisional.[31] Upacara ini diadakan bertujuan untuk meminta keselamatan agar dalam pembangunan terowongan tersebut tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang mempercayai bahwa pada tempat-tempat tertentu khusnya tempat-tempat yang dianggap angker, ada yang “menguasainya”.  Gunung yang dijadikan tempat pembuatan terowongan dianggap ada mahluk yang “menguasainya”.

Pengerjaan terowongan diserahkan kepada pemborong khusus orang Eropa. Hal ini dikarenakan membutuhkan pengerjaan dengan menggunakan teknologi yang tinggi. Teknologi yang digunakan untuk membangun terowongan ini yaitu teknologi Belgia. Berbagai resiko berat dihadapi, karena lahan yang ada dalam terowongan cukup sulit. Lahan di atas gunung memiliki kadar air yang tinggi yang berakibat air tersebut merembes ke dalam bagian bawah bangunan terowongan, bahkan bisa menimbulkan longsor. Untuk menanggulangi rembesan air dari atas, lapisan atas terowongan dilapisi dengan penyemenan. Bahan yang digunakan dalam penyemanan tersebut yaitu campuran semen portland, pasir dan kapur. Apabila air terus menerus mengalir, maka lapisan atas terowongan dilapisi dengan seng. Agar lapisan atas terowongan kuat, penyemenan yang dilakukan memiliki ketebalan 0,85 meter.[32]

Kesulitan lain yang dihadapi adalah adanya sebagian tanah yang digali dalam terowongan terdapat batuan cadas. Untuk menghancurkan cadas tersebut tidak bisa menggunakan dinamit sebab akan menimbulkan getaran yang dapat mengakibatkan  lapisan atas terowongan bergetar dan dapat longsor. Untuk menghindari resiko besar yang dihadapi, maka dilakukan dengan cara pengeboran. Pengeboran pun tidak bisa dilaksanakan dengan  mesin, karena khawatir dapat menimbulkan getaran. Untuk menghindari getaran tersebut, pengeboran dilakukan dengan menggunakan tangan.[33]

Untuk mempercepat penyelesaian, pembangunan terowongan Sasaksaat dilakukan siang dan malam.Untuk penerangan digunakan lampu yang digerakkan dengan dinamo. Agar sirkulasi udara di dalam terowongan tetap segar maka digunakan mesin yang digerakan pula dengan dinamo. Berbagai golongan tenaga kerja terlibat, mulai dari orang pribumi, Cina dan orang Eropa. Orang pribumi dan Cina kebanyakan mereka bekerja sebagai kuli. Sedangkan orang Eropa sebagai kepala cabang, mandor pekerja, pemborong dan teknisi.  Dalam pembangunan terowongan ini, terdapat 12 orang mandor Eropa dan 1 orang pengawas mesin. Wilayah pekerjaan dibagi ke dalam dua cabang atau bagian, yang masing-masing dipimpin oleh kepala cabang. Kedua cabang tersebut  yaitu pekerjaan sisi sebelah utara dan sisi sebelah selatan. Pekerjaan di cabang tersebut dilakukan secara bersamaan, jadi pekerjaan terowongan sisi utara dan sisi selatan dikerjakan secara bersamaan. Dalam pekerjaan terowongan ini tidak banyak memakan korban, hanya terdapat satu orang kuli pribumi yang meninggal karena tertimpa batu yang jatuh.[34]

Anemer

Anemer adalah istilah untuk menyebut pada pekerjaan sebagai pemborong. Pembangunan jalan kereta api di Priangan mengakibatkan jumlah kedatangan orang Cina semakin bertambah. Mereka berdatangan terutama di kota-kota kabupaten, seperti di Bandung, Cianjur, dan Sukabumi. Kepentingan kedatangan mereka lebih banyak berhubungan dengan perdagangan.  Bagi orang Cina, pembangunan jalan kereta api lebih banyak berhubungan dengan kegiatan ekonomi mereka.

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kehidupan orang Cina sebagai pemborong sudah dilakukan sebelum adanya pembangunan jalan kereta api di Priangan. Begitu pula dengan adanya pembangunan jalan kereta api di Priangan, orang Cina banyak berperan sebagai pemborong. Hal yang diborongkan kepada orang-orang Cina yaitu pekerjaan pembangunan, pemasok bahan-bahan yang dibutuhkan untuk bangunan jalan kereta api dan pengerahan tenaga kerja.

Pekerjaan borongan oleh pihak pengelola pembangunan jalan kereta api  dalam hal ini SS bisanya dilakukan lelang baik lelang secara umum maupun melalui lelang gelap. Lelang umum adalah lelang yang dilaksanakan secara terbuka. Pihak pelaksana pembangunan jalan kereta api dalam hal ini SS menawarkan berbagai pekerjaan dan bahan-bahan material yang dibutuhkan. Penawaran lelang langsung dilakukan oleh para Insinyur yang memimpin pembangunan jalan kereta api.

Lelang gelap dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh para Insinyur dengan pihak-pihak pemborong tertentu. Pelaksanaan lelang gelap biasanya dilakukan karena harga yang ditawarkan dalam lelang umum terlalu tinggi. Sedangkan lelang gelap dapat memberikan harga penawaran yang lebih murah. Bahkan dalam lelang gelap, biasanya Insinyur pembangunan jalan kereta api menunjuk seseorang untuk menjadi penghubung antara pihak pelaksana pembangunan dengan pemborong. Transaksi lelang biasanya dilaksanakan jauh dari kantor pembangunan. Apabila pekerjaan-pekerjaan atau barang yang dilelang dalam jumlah yag kecil, maka lelang dilaksanakan pada daerah dimana pekerjaan itu akan dilaksanakan atau bahan-bahan itu akan dipakai. Dalam hal lelang gelap, Insinyur pembangunan mengelola sendiri tidak melalui negara.[35]

Dalam pembangunan kereta api di Priangan pekerjaan yang dilelangkan kepada orang Cina misalnya pekerjaan membalikkan tanah. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan bagian bawah untuk meratakan tanah bagi fondasi rel kereta api. Pada tanggal 31 Mei 1881, dalam pembangunan lajur Buitenzorg-Bandung-Cicalengka telah diolah pembalikan tanah sebanyak 4.976.800 M3.  Pekerjaan pembalikan tanah tersebut diborongkan kepada pemborong Cina melalui lelang gelap.[36]

Jalan kereta api dibangun dengan lajur yang sangat panjang. Pengerjaan lajur tersebut dibagi secara bertahap atau seksi-seksi. Setiap pengerjaan seksi atau tahap itu dikerjakan dengan cara diborongkan kepada para pemborong. Biasanya, apabila telah selesai pengerjaan pada satu tahap akan dilanjutkan pada tahap berikutnya dan pengerjaannya akan diserahkan kembali kepada pemborong yang telah mengerjakan pada tahap sebelumnya.

Pembangunan jalan kereta api membutuhkan bahan-bahan untuk bangunan, baik bangunan, jembatan, dan gedung. Bahan-bahan tersebut seperti batu kali, batu bata, tanah liat, kayu, pasir, kapur, dan lain-lain. Apabila pada daerah yang dibangun rel tersedia bahan-bahan tersebut, maka tidak perlu membeli. Seperti pada saat penggalian tanah ditemukan pasir, batu atau di dekat sungai terdapat batu kali, atau melewati hutan terdapat kayu yang dapat ditebang. Akan tetapi ada kalanya bahan-bahan tersebut tidak diperoleh pada daerah lajur pembangunan, maka untuk memperolehnya dengan cara membeli melalui para pemborong.

Dalam pembangunan lajur Buitenzorg-Bandung-Cicalengka terdapat daerah yang kebutuhan bahan bangunannya diperoleh melalui pemborong Cina. Misalnya pada seksi 3, kebutuhan batu cetakan diperoleh dari pemasok Cina.[37] Begitu pula dalam pembangunan Priangan-Cilacap, pada seksi 2 kebutuhan batu sungai, pasir dan kapur dipasok oleh pemborong Cina.[38]

Bahan kapur banyak diambil dari daerah pegunungan yang terletak di sebelah barat Bandung. Daerah penghasil kapur di daerah ini yaitu Tagog apu, Gunung Masigit dan Cipatat. Di daerah ini banyak terdapat industri kapur yang diproses dengan cara pembakaran. Pembakaran dilakukan dengan cara tradisional, membuat tungku besar dan dibakar dengan menggunakan kayu bakar. Untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar, di daerah pegunungan kapur ini ditanam pula pohon. Penjualan kapur dari daerah ini meningkat ketika pembangunan jalan kereta api di Priangan sedang dilaksanakan.[39]

Pembangunan jalan kereta api membutuhkan tenaga kuli yang cukup banyak. Untuk mendapatkannya tersebut, maka dilakukan melalui suatu perantara orang yang berperan sebagai pengerah kuli. Orang-orang yang terlibat dalam pengerahan kuli tersebut biasanya adalah orang-orang Cina. Para pengerah kuli ini terlebih dahulu sudah mendapatkan uang muka dari Insinyur Kepala Proyek Pembangunan sebagai bayaran awal untuk mendapatkan tenaga kuli. Kuli yang diperoleh melalui pengerahan seperti ini termasuk dalam katagori kuli bebas yang tetap. Mereka dicari oleh para pengerah dari daerah tempat dimana lajur kereta api akan dibangun. Apabila di daerah tersebut tidak diperoleh tenaga kuli, maka akan dicari dari daerah lain.

Para kuli, sebelum bekerja dalam pembangunan jalan kereta api, mereka sudah mendapatkan uang muka terlebih dahulu dari para pengerah. Uang tersebut merupakan ikatan kontrak kerja. Di Priangan, penduduk mau menjadi kuli pembangunan jalan kereta api dikarenakan upah yang diberikan lebih besar daripada upah sebagai kuli pada bidang pekerjaan yang lainnya. Upah yang diterima kuli pada pembangunan jalan kereta api berkisar antara f. 1,50 sampai f. 2,00 perhari.[40]  Sedangkan upah tukang berkisar antara f.0,25-f.1,00 dan upah kuli berkisar f.0,20-f.0,30.[41]

Upah pembangunan jalan kereta api sangat mempengaruhi terhadap upah kuli bidang lainnya. Besarnya upah kuli pembangunan jalan kereta api sangat fluktuatif, tergantung kepada situasi proses keberlangsungan pembangunan dan medan yang dihadapi. Apabila awal pembangunan, biasanya membutuhkan banyak kuli. Kebutuhan kuli yang begitu banyak akan mengakibatkan upah yang diterima relatif besar. Upah akan menurun, apabila pembangunan sudah menuju tahap penyelesaian dan tenaga kerja tidak banyak dibutuhkan.[42]

Walaupun mereka diikat oleh suatu kontrak, status mereka tetap sebagai tenaga kerja bebas yang diupah. Dalam beberapa kasus, pembayaran uang muka yang telah diberikan kepada para kuli ini, dapat merugikan terhadap para pemborong yang telah mengontrak mereka. Faktor yang menyebabkan kerugian ini pertama bisa disebabkan ditundanya proyek pekerjaan, kedua kuli itu meninggalkan tempat pekerjaannya. Kasus tertundanya proyek pekerjaan seperti pembangunan kereta api Banjar-Kalipucang-Cijulang. Pembangunan lajur ini pernah tertunda disebabkan oleh adanya rencana membangun lajur Kalipucang-Kawunganten.[43] Penundaan pekerjaan hampir berjalan dua tahun yaitu dari tahun 1911 sampai 1913. Akibat penundaan ini, maka para pemborong yang akan mengerjakan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Cijulang merugi. Mereka telah membuat barak kuli dan telah memberikan uang muka kepada para kuli akan tetapi  uang tersebut oleh para kuli tidak dikembalikan lagi.[44]

Kesimpulan

Pembangunan jalan kereta api di Priangan memberikan suatu gambaran dinamika masyarakat di sekitar lokasi yang akan dilalui oleh lajur kereta api. Dinamika ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan mereka dalam pembangunan jalan kereta api. Salah satu kelompok masyarakat yang terlibat dalam pembangunan jalan kereta api di Priangan adalah orang Cina.

Pandangan umum selalu mengatakan bahwa aktifitas orang Cina dimana pun mereka berada selalu diidentikkan dengan kegiatan ekonomi. Pembangunan jalan kereta api di Priangan pun memberikan pengaruh kepada orang-orang Cina untuk terlibat. Keterlibatan mereka lebih berlatar ekonomis. Mereka terlibat dalam pembangunan jalan kereta api berperan sebagai kuli dan pemborong. Kebutuhan bahan-bahan untuk pembangunan sebagian dipasok oleh para pengusaha Cina.  Bahkan yang mereka pasok bukan hanya bahan baku pembangunan tetapi juga tenaga kuli yang dibutuhkan dalam pembangunan jalan kereta api.

Dalam kasus pembangunan jalan kereta api, kita bisa melihat aktivitas perdagangan orang-orang Cina masih dibutuhkan dalam memperluas eksploitasi kolonial di Hindia Belanda. Eksploitasi kolonial, memberikan dampak terhadap aktivitas ekonomi orang-orang Cina. Secara ekonomis, pembangunan jalan kereta api di Priangan memberikan keuntungan bagi orang-orang Cina. Keuntungan yang dapat mereka peroleh pertama orang-orang Cina dapat mendapatkan uang dari pekerjaannya sebagai kuli, dan kedua mereka dapat memperoleh uang dari hasil memasok bahan-bahan materil dan pengerahan kuli bagi kebutuhan pembangunan jalan kereta api.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel :

“De Stand Der Spoorwegen In Indie”, dalam, Tijdschrift voor Nedelandsch Indie, Tahun 1876, Jilid 2.

Doorn, J.A.A. van,(1995), De Laatste eeuw van  Indie Ontwikkeling en ondergang van een koloniaal project, Amsterdam : Uitgeverij Bert Bakker.

Houben, Vincent J.H. “Introduction The Coolie system in colonial Indonesia”, dalam Houben, Vincent J.H. and Lindblad, J. Thomas,Ed., (1999), Coolie Labour in Colonial Indonesia A Study of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940, Wiesbaden : Harraaowitz, hlm. 2.

Subarkah, Iman, (1992), Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita 1867-1992, Bandung : Yayasan Pusaka.

Lombard, Denys, (2000), Nusa Jawa : Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, Jilid 1, Jakarta : Gramedia.

Mulyana, Agus, (2005), MELINTASI PEGUNUNGAN, PEDATARAN, HINGGA RAWA-RAWA ; Pembangunan Kereta Api di Priangan 1878-1924, Ringkasan Disertasi, Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univeritas Indonesia.

Pieter Creutzberg & van Laanen, J.T.M, (1987), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Vleming J.R, J.L., (1912), Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch Indie, Batavia : Volkslectuur.

Arsip : Naskah dan Terbitan :

Agenda nomor 12414/15, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Algemeen Verslag Van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, 1884, 1890, dan 1891, dalam, Arsip Keresidenan Priangan nomor 7/10, 7/11, 7/4, 6/16, ANRI, Jakarta.

Besluit, 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Kolonial Verslag 1879-1894.

Laporan Anggota Komisi Kesejahteraan H. Janssen van Raay tentang Perawatan Jalan Kerja Wajib, Desember 1906, dalam, Onderzoek van Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking van Java en Madoera, Batavia : H.M. van Dorp en Co., 1909.

Nota Betreffende het ten aanzien der Staatspoorwegen in Nederlandsch-Indie in Verband met  de tydsomstan digheden te volgen algemeen beleid, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Onderzoek van Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking van Java en Madoera, Batavia : H.M. van Dorp en Co, 1909, hlm. 178.

Regerings Almanak voor Nederlandsch – Indie 1870-1880 (RA), Batavia : Landsdrukkerij.

Staatsspoorverslagen in Ned. Indie over Het Jaar 1892.

Verslag NISM 1873.

Verslag van de Dienst der Staatsspoorwegen op Java Over het Jaar 1881, Batavia : Ogilvie Co. 1882.

Verslag van de Staatsspoorwegen Over Het Jaar 1882, Batavia : Landsdrukkerij, 1883.

Verslag van de Staatsspoorweggen In Ned. Indie over Het Jaar 1902, ‘S Gravenhage : Hollandsche Boek en Handels Drukkerij 1904.

Verslag Der Staatsspoorwegen In Nederlandsch Indie Over Het Jaar 1913, Batavia : Landsdrukkerij, 1915.

[1] Doorn, J.A.A. van,(1995), De Laatste eeuw van  Indie Ontwikkeling en ondergang van een koloniaal project, Amsterdam : Uitgeverij Bert Bakker, hlm. 112.

[2] Lombard, Denys, (2000), Nusa Jawa : Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, Jilid 1, Jakarta : Gramedia, hlm. 139.

[3] Pieter Creutzberg & van Laanen, J.T.M, (1987), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, hlm. 116.

[4] Regerings Almanak voor Nederlandsch – Indie 1870 (RA), Batavia : Landsdrukkerij, hlm. 229-231.

[5] RA 1880, hlm. 314-319.

[6] Laporan Anggota Komisi Kesejahteraan H. Janssen van Raay tentang Perawatan Jalan Kerja Wajib, Desember 1906, dalam, Onderzoek van Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking van Java en Madoera, Batavia : H.M. van Dorp en Co., 1909.

[7] Iman Subarkah (1992), Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita 1867-1992, Bandung : Yayasan Pusaka, hlm. 5.

[8] Verslag NISM 1873, hlm. 34.

[9] Besluit, 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie, Arsip Nasional Republik Indonesia

[10] Agus Mulyana, (2005), MELINTASI PEGUNUNGAN, PEDATARAN, HINGGA RAWA-RAWA ; Pembangunan Kereta Api di Priangan 1878-1924, Ringkasan Disertasi, Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univeritas Indonesia, hlm. 8.

[11] Vleming J.R, J.L., (1912), Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch Indie, Batavia : Volkslectuur, 1912, hlm. 213.

[12] Algemeen Verslag van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, dalam Arsip Keresidenan Priangan No. 7.10, Jakarta : ANRI.

[13] Algemeen Verslag van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, dalam Arsip Keresidenan Priangan No. 7.7, Jakarta : ANRI.

[14] Ibid.

[15] Algemeen Verslag van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, dalam Arsip Keresidenan Priangan No. 7.10, Jakarta : ANRI.

[16]Algemeen Verslag van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, dalam Arsip Keresidenan Priangan No. 7.7, Jakarta : ANRI.

[17]Vleming J.R, J.L., Op. Cit.

[18] Onderzoek van Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking van Java en Madoera, Batavia : H.M. van Dorp en Co, 1909, hlm. 178.

[19]Vleming J.R, J.L., Op. Cit., hlm. 214.

[20] Algemeen Verslag van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, dalam Arsip Keresidenan Priangan No. 7.8, Jakarta : ANRI.

[21] Algemeen Verslag van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, dalam Arsip Keresidenan Priangan No. 7.11,  Jakarta : ANRI. Lihat pula Arsip Priangan no. 6.16 dan 7.12.

[22]Onderzoek van Mindere Welvaart…….., Op . Cit., hlm. 177.

[23] Houben, Vincent J.H. “Introduction The Coolie system in colonial Indonesia”, dalam Houben, Vincent J.H. and Lindblad, J. Thomas,Ed., (1999), Coolie Labour in Colonial Indonesia A Study of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940, Wiesbaden : Harraaowitz, hlm. 2.

[24] Staatsspoorverslagen in Ned. Indie over Het Jaar 1892.

[25] Kolonial Verslag 1893-1894, hlm. 149-150.

[26] Nota Betreffende het ten aanzien der Staatspoorwegen in Nederlandsch-Indie in Verband met  de tydsomstan digheden te volgen algemeen beleid, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[27] Kolonial Verslag 1881.

[28] Verslag van de Staatsspoorwegen Over Het Jaar 1882, Batavia : Landsdrukkerij, 1883, hlm. 23.

[29] Verslag Der Staatsspoorwegen In Nederlandsch Indie Over Het Jaar 1913, Batavia : Landsdrukkerij, 1915.

[30] Verslag van de Staatsspoorweggen In Ned. Indie over Het Jaar 1902, ‘S Gravenhage : Hollandsche Boek en Handels Drukkerij 1904, hlm.8-9.

[31] Ibid, hlm. 8.

[32] Ibid, hlm. 9.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] “De Stand Der Spoorwegen In Indie”, dalam, Tijdschrift voor Nedelandsch Indie, Tahun 1876, Jilid 2, hlm. 267.

[36] Kolonial Verslag 1881.

[37] Verslag van de Dienst der Staatsspoorwegen op Java Over het Jaar 1881, Batavia : Ogilvie Co. 1882, hlm. 23.

[38] Kolonial Verslag 1879, hlm. 135.

[39]Onderzoek van Mindere Welvaart…….., Op . Cit., hlm. 175.

[40] (AVR) Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1882, 1885, 1890, 1891, Arsip Keresidenan Priangan No. 7.9, 7.12,  6.16, 7.14, Jakarta : Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

[41] Ibid.

[42] Algemeen Verslag Van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1884, 1890, dan 1891, dalam, Arsip Keresidenan Priangan nomor 7/11, 7/4, 6/16, ANRI, Jakarta.

[43] Agenda nomor 12414/15, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[44] Nota Betreffende het ten Aanzien der Staatspoorwegen in Nederlandsch-Indie in Verband met  de tydsomstan digheden te volgen algemeen beleid, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Comments are closed.