Mengembangkan Materi Kontemporer Dalam Pembelajaran Sejarah

Oleh: Dr. Agus Mulyana

Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembelajaran sejarah adalah materi yang disampaikan materi yang berhadapan dengan fakta-fakta di masa lalu. Ada suatu kecendrungan dalam pembelajaran sejarah di lapangan bahwa mengajarkan fakta-fakta di masa lalu sangat kering, karena tidak berkaitan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Pembelajaran sejarah menjadi tidak hidup. Materi sejarah yang disampaikan hanya rentetan waktu dan peristiwa belaka. Dengan demikian timbul pertanyaan bagaimana mengajarkan sejarah menjadi lebih menarik ?

Banyak berbagai faktor yang menyebabkan pengajaran sejarah menjadi tidak menarik. Faktor-faktor tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya media yang digunakan, metode pembelajaran yang pasif, pengembangan materi yang kurang kreatif, dan sebagainya. Dalam makalah ini akan dicoba dikupas bagaimana pengembangan materi yang bersifat kontemporer dalam pembelajaran sejarah. Pengertian kontemporer yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah melihat fenomena yang terjadi pada masa kini menjadi bahan pembelajaran sejarah. Jadi tidak berarti materi-materi yang terjadi di masa lalu menjadi hilang.

Konsep Kesinambungan dalam Sejarah

Sebelum memahami bagaimana materi kontemporer dikembangkan terlebih dahulu harus memahami apa yang dimaksud dengan kesinambungan. Pemahaman ini penting karena materi kontemporer yang dikembangkan oleh guru tidaklah berarti bahwa materi sejarah hanya berupa fakta-fakta sekarang saja. Dalam mengembangkan materi kontemporer yang terpenting adalah bagaimana guru melihat fenomena sekarang dapat dilihat sebagai kesinambungan sejarah.

Untuk memahami konsep kesinambungan sejarah, seorang guru harus memahami terlebih dahulu ciri penting dari ilmu sejarah yaitu konsep waktu dan ruang. Kedua konsep ini memiliki hubungan keterkaitan yang sangat erat dalam memahami pengertian kesinambungan. Sejarah sebagai ilmu memiliki ciri penting yang membedakan dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya yaitu konsep waktu dan ruang. Konsep waktu dalam sejarah yaitu proses kelangsungan tertentu (duration) yaitu kesatuan dan kelangsungan waktu berdimensi tiga : waktu yang lalu, menyusul waktu sekarang, dan berlanjut waktu yang akan datang (the past, the present, and the future).[1]   Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa waktu dalam sejarah bersifat sinambung artinya waktu masa lalu sangat menentukan terhadap apa yang terjadi pada masa sekarang, dan masa sekarang akan menentukan terhadap apa yang terjadi pada masa yang akan datang.

Kesinambungan janganlah dipahami sebagai pengulangan. Pengulangan yang dimaksud adalah peristiwa sejarah akan terulang kembali. Hal ini tidak mungkin terjadi, tidak ada istilah peristiwa berulang. Peristiwa yang telah berlangsung pada masa lalu hanya terjadi satu kali saja. Misalnya pada tahun yang lalu terjadi kerusuhan pada suatu daerah, kemudian pada tahun berikutnya terjadi kerusuhan kembali. Peristiwa pada tahun berikutnya tidaklah dianggap sebagai sejarah berulang, karena mungkin saja orang-orang yang terlibat berbeda dengan tahun yang lalu atau mungkin orang-orang yang dulu terlibat kembali tetapi mungkin saja ada orang-orang yang baru terlibat, walaupun mungkin saja penyebab kerusuhan tersebut sama dengan kerusuhan tahun yang lalu. Hal yang bisa dilihat kesamaan dari kedua kerusuhan tersebut adalah fenomena yang sama.

Memahami suatu fenomena peristiwa sejarah dapat melihat adanya suatu kesinambungan. Dalam melihat fenomena terhadap peristiwa adalah melihat struktur “dalam”-nya dari peristiwa tersebut. Untuk melihat struktur “dalam” tersebut dibutuhkan adanya kemampuan menggunakan teori dalam sejarah. Teori sangat esensial dalam mengkaji  suatu fenomena atau gejala, baik feomena pada masa lampau maupun masa sekarang.[2] Kemampuan melihat fenomena dalam sejarah sangat tergantung kemampuan melakukan abstraksi dari guru dalam melihat fakta sejarah. Sebab teori itu bersifat abstrak, lahir berdasarkan kontemplasi imajinatif dari realitas.[3]  Dengan demikian fakta dalam sejarah jangan dipahami sebagai barang mentah, tetapi fakta sejarah harus dipahami sebagai suatu realitas yang diciptakan oleh struktur koginsi guru.

Kesinambungan yang dimaksud dalam sejarah adalah melihat adanya fenomena atau gejala yang sama. Misalnya contoh kedua kerusuhan sebagaimana telah dikemukakan, perlu menggunakan teori dalam penjelasannya. Kerusuhan secara teoretis dapat dijelaskan sebagai suatu konflik. Banyak sekali teori yang menjelaskan tentang sebab-sebab dan bagaimana proses terjadinya konflik. Mungkin saja kedua kerusuhan tersebut memiliki kesamaan sebab-sebab penyebab penyulutnya. Misalnya ada suatu teori yang menjelaskan bahwa suatu konflik atau gejolak terjadi disebabkan oleh adanya hak-hak yang mapan yang dimiliki oleh individu atau kelompok diganggu oleh orang atau kelompok lain.[4] Individu atau kelompok itu kemudian akan berkonflik dengan orang atau kelompok yang mengganggunya. Misalnya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di daerah-daerah ketika menjelang berakhirnya Orde Baru.

Proses kesinambungan dalam sejarah dapat pula terjadi antara sejarawan atau peneliti sejarah dengan  faktanya. Edward Harlott Carr mendefinisikan sejarah adalah suatu proses interaksi antara sejarawan dengan fakta-fakta yang ada padanya; suatu dialog tiada henti-hentinya antara masa sekarang dengan masa silam. Interaksi dalam pengertian ini bahwa sejarawan merupakan orang yang akan merekonstruksi peristiwa sejarah. Untuk merekonstruksi tersebut maka sejarawan menggunakan fakta-fakta sebagai sumbernya. Fakta-fakta yang berserakan dan terpisah-pisah dapat menjadi hidup dengan rekonstruksi peristiwa sejarah. Seperti cerita tentang adanya kerajaan Purnawarman di Jawa Barat. Sejarawan menemukan fakta-fakta sejarah berupa prasasti-prasasti yang berada di beberapa tempat yang terpisah-pisah. Secara fisik prasasti-prasasti tersebut merupakan benda mati yang tidak bisa berbicara. Tetapi dengan kemampuan merekonstruksi yang dimiliki oleh sejarawan prasasti-prasasti tersebut menjadi hidup. Tersusun suatu cerita bagaimana kerajaan itu berdiri, siapa rajanya dan bagaimana kehidupan masyarakatnya. Gambaran kehidupan masyarakat masa lalu akan memberikan fenomena tersendiri yang mungkin fenomena tersebut akan ada dalam kehidupan di masa-masa yang akan datang. Berdasarkan definisi Carr tersebut maka sejarawan akan senantiasa berinteraksi dengan sumber sejarah, karena sejarawan tidak bisa menyusun cerita sejarah apabila tidak ada sumber. Masa lalu akan senantiasa berhubungan dengan masa sekarang.

Konsep waktu dalam sejarah dapat menunjukkan adanya suatu perubahan. Perubahan ini dapat dilihat karena objek studi sejarah pada dasarnya adalah masyarakat. Dalam penelitian sejarah, masyarakat harus dilihat sebagai suatu struktur yang berubah. Perubahan masyarakat dalam konteks waktu dapat dilihat dari berbagai pola tindakan yang dilakukannya. Misalnya perubahan dari masyarakat yang tradisional menuju ke arah moderen. Para ilmuwan sosial dapat mengamati perubahan ini secara langsung masuk ke dalam realitas kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Pendekatan yang digunakan dalam memahami realitas tersebut dikenal dengan cara verstehen yang merupakan cara kerja dalam metode hermeneutika.[5].Hal yang dapat diteliti dari perubahan tersebut adalah bagaimana proses perubahan itu berlangsung dan aspek-aspek apa saja yang menentukan terhadap keberlangsungan perubahan tersebut.

Tindakan dan perilaku individu dalam sejarah, selain dilihat dalam konteks waktu, juga dilihat dalam konteks keruangan. Keruangan yang dimaksud dengan adalah spasial dimana indidividu-individu atau kelompok itu ada. Spasial dapat dilihat dalam konteks lokalitas. Lokal dapat dipahami sebagai “tempat” yang ditentukan oleh si penulis sejarah.[6] Dengan demikian keruangan memiliki makna yang luas. Batasan keruang bisa berdasarkan administrasi pemerintahan, misalnya propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan sebagainya. Keruangan dapat pula dibatasi dengan batasan-batasan lainnya, yang penting si penulis sejarah memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Dalam konteks pembelajaran, aspek spasial dapat berupa dimana para siswa melakukan aktvitas, misalnya di sekolah,  rumah, lingkungan tetangga dan lain-lain.

Realitas Dalam Sejarah

Tujuan dari ilmu pengetahuan adalah menjelaskan kenyataan atau realitas. Ilmu sejarah berfungsi untuk menjelaskan kenyataan dalam konteks historis. Sebagaimana telah dikemukakan, ciri dari sejarah adalah adanya konteks waktu dan ruang, maka ilmu sejarah selalu berpijak dari konteks waktu dan ruang dalam menjelaskan kenyataan.

Dalam pandangan yang empiris logis, kenyataan adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh kasat mata. Sesuatu yang kasat mata dapat berupa informasi yang ada dalam dokumen atau arsip. Misalnya laporan-laporan kolonial mengenai keadaan kehidupan kaum pribumi dapat dijadikan kenyataan sejarah. Suatu sumber sejarah dapat dijadikan kenyataan sejarah melalui kemampuan membaca terhadap dokumen yang  dilakukan oleh peneliti sejarah. Dalam membaca dokumen seorang peneliti menggunakan teori untuk menjelaskan isi dokumen tersebut.

Dalam menciptakan realitas sejarah dalam dokumen atau arsip, seorang peneliti mencipatakan struktur dalam kognisinya. Struktur adalah bangunan abstrak yang terbentuk oleh sejumlah komponen yang satu sama lain saling berhubungan.[7] Struktur merupakan suatu yang abstrak berarti struktur itu berada dalam kognisi manusia. Penciptaan struktur dalam kognisi manusia dilakukan dengan menggunakan teori dalam menjelaskan realitas sosial. Dengan demikian struktur dibangun oleh kognisi peneliti.

Pengertian struktur sebagaimana dikemukakan di atas sebenarnya merupakan suatu cara pandangan yang konstruktivis dalam melihat realitas sosial. Dalam model ini,  strategi penelitian diletakkan dalam hubungan subjek dengan realitas dalam kesadaran subjek peneliti. Realitas dalam kesadaran subjek itu bisa bermula dari hasil pengamatan, partisipasi dalam interaksi, dialog mendalam, membaca, dan sebagainya. Orientasi penemuannya bukan pada proposisi-proposisi yang sistematis sebagai good science, melainkan pada pemahaman verstehen, yakni pemahaman atas makna realitas yang mengatasi kenyataan kongkret realitas itu sendiri. Pembentukan pemahaman tersebut kuncinya terletak pada daya refleksivitas dan indeksikalitas. Daya refleksivitas mengacu pada kemampuan menemukan dan merefleksikan dunia pengalaman. Indeksikalitas mengacu pada kemampuan membahasakan kembali refleksi dunia pengalaman ke dalam lambang-lambang kebebasan guna memahami pertalian maknanya dengan objek pemahaman secara asosiatif.[8]

Realitas sejarah sesungguhnya tidak hanya ada dalam dokumen atau arsip saja. Kehidupan sehari-hari pada dasarnya dapat dijadikan realitas sejarah oleh peneliti sejarah. Sebagaimana telah dikemukakan, kemampuan peneliti dalam menciptakan realitas sejarah tergantung pada kemampuan mengkontruksi dalam kognisi peneliti. Misalnya, seorang peneliti sejarah ketika melihat aktivitas manusia yang ramai di pusat perbelanjaan, akan mengkonstruksinya sebagai bagian dari sejarah ekonomi. Aktivitas manusia di pusat perbelanjaan tersebut dapat dikonseptualisasikan dengan teori ekonomi, misalnya kapitallisme. Mengapa kapitalisme dapat menjelaskan aktivitas manusia di pusat perbelanjaan tersebut ? karena pertama teori kapitalisme merupakan bagian dari sejarah pemikiran dan kedua fakta-fakta yang ada di pusat perbelanjaan tersebut bisa menjelaskan teori kapitalisme, misalnya ciri dari kapitalisme adalah adanya akumulasi modal, kebebasan (liberalisme), dan mencari keuntungan (profit). Apabila guru memiliki pemahaman yang mendalam terhadap teori tersebut maka Guru mampu menjelaskan tentang fenomena kapitalisasi pada zaman sekarang dan memiliki hubungan yang sinambung dengan kapitalisasi pada masa lalu. Dengan demikian aktivitas manusia di pusat perbelanjaan, oleh seorang peneliti sejarah dapat direkonstruksi menjadi realitas sejarah.

Berbagai aktivitas manusia dalam kehidupan sejarah sesungguhnya dapat menjadi suatu realitas sejarah. Seorang peneliti sejarah dalam menciptakan berbagai aktivitas manusia menjadi realitas sejarah dengan cara menetapkan tema sejarah yang akan dibahas dalam berbagai aktivitas manusia tersebut. Tema-tema tersebut misalnya sejarah ekonomi, sejarah sosial, sejarah kebudayaan, sejarah politik, sejarah pendidikan dan sebagainya. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dapat diangkat menjadi sejarah politik ; kegiatan anak-anak sekolah dapat diangkat menjadi tema sejarah pendidikan ; kegiatan petani di sawah dapat diangkat menjadi sejarah sosial ; aktivitas manusia di pusat perbelanjaan dapat diangkat menjadi sejarah ekonomi ; aktivitas masyarakat membuat kerajinan dapat diangkat menjadi tema sejarah kebdayaan. Dengan demikian realitas sejarah sangatlah luas.

Pembelajaran Bermakna

Fenomena Kehidupan yang bersifat kontemporer dapat menjadi materi sejarah. Materi tersebut harus disajikan di kelas dengan pendekatan  pembelajaran yang bermakna. Ciri penting dari pembelajaran yang bermakna adalah materi yang disampaikan kepada siswa harus berhubungan atau berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana telah disampaikan bahwa ilmu sejarah memiliki karakteristik adanya konsep waktu. Waktu dalam sejarah dapat berupa masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Apakah materi yang berkenaan dengan masa lalu dapat dihubungkan dengan kehidupan sekarang ?. Sudah barang tentu bisa, mengajarkan kehidupan di masa lalu janganlah dipahami mengajarkan sesuatu yang mati, kering dari kehidupan sekarang. Waktu dalam sejarah dapat dipahami sebagai garis yang linier yang memiliki hubungan dengan zaman sekarang.

Model pembelajaran sejarah yang dapat diterapkan agar materi memiliki kaitan dengan kehidupan sehari-hari yaitu Contextual Teaching and Learing (CTL).Elaine B Johnson  memberikan definisi CTL adalah :

Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan kompnonen berikut :membuat keterkaitan-keterkaitan yang  bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan nilai yang autentik.[9]

Berdasarkan definisi tersebut, dalam pembelajaran CTL  materi yang disampaikan harus  dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran sejarah dapat bermakna bagi siswa. Bagaimanakah cara menghubungkan materi sejarah dengan kehidupan sehari-hari ?.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa seorang guru sejarah harus mampu mennguasai konsep-konsep penting yang dapat menjelaskan fakta-fakta sejarah. Konsep tersebut, kemudian dijadikan alat analisis dalam menghubungkan fakta-fakta sejarah dengan kehidupan sehari-hari yang dapat dialami langsung oleh siswa. Misalnya, materi sejarah mengenai Sistem Tanam Paksa. Terdapat beberapa konsep yang dapat dikembangkan dalam materi Sistem Tanam Paksa.

Pada umumnya guru menyampaikan materi sejarah dengan pandangan yang bersifat normatif dan hitam putih. Sejarah Indonesia dilihat dengan pandangan yang dikhotomis antara penjajah dan pribumi (bangsa Indonesia). Materi-materi zaman kolonial pada umumnya dilihat pada pandangan yang dikhotomis, penjajah adalah sosok yang jahat dan pribumi adalah sosok yang tertindas. Sehingga pembelajaran yang ditanamkan lebih bersifat indoktrinasi. Berpikir kritis yang ada dalam kognisi siswa tidak dikembangkan.

Sistem Tanam Paksa harus dipahami sebagai materi sejarah ekonomi. Konsep-konsep ekonomi dapat diterapkan dalam menjelaskan materi Sisten Tanam Paksa. Misalnya konsep kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu paham atau ideologi yang bercirikan yaitu (1) kebebasan atau liberal, (2) akumulasi modal yang besar (investasi), (3) persaingan, (4) profit atau mencari keuntungan. Dalam konteks sejarah, kapitalisme memberikan kontribusi yang sangat besar dalam melatarbelakangi lahirnya kolonialisme. Kapitalisme menjadi salah satu pendorong lahirnya imperiallisme.

Dalam Sistem Tanam Paksa sudah terjadi kapitalisasi ekonomi yang dilakukan oleh penjajah dalam melaksanakan eksploitasi di Hindia Belanda (Indonesia). Tanaman-tanaman ekspor mulai banyak ditanam di Hindia Belanda sehingga muncullah sebuah model produksi pertanian yang bersifat massal yaitu perkebunan. Walaupun, perkebunan sudah ada sejak zaman VOC, masa sebelum Tanam Paksa. Lahirnya perkebunan-perkebunan tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam pola produksi pertanian, yaitu dari sistem pertanian yang berskala kecil dan tradisional menjadi skala yang lebih besar dan massal bahkan moderen.

Bagaimanakah dalam fenomena yang muncul dalam sistem tanam paksa dapat kita kaitkan dengan kehidupan sehari-hari ?. Ciri penting pada masa Sistem Tanam Paksa adalah ditanamnya tanaman-tanaman ekspor, artinya tanaman-tanaman yang akan dijual di pasar dunia. Fenomena sejarah yang bisa dilihat saat itu adalah Indonesia sudah masuk dalam bagian jaringan perdagangan dunia bahkan Indonesia menjadi negara yang memasok barang-barang penting bagi perdagangan dunia.

Dalam konteks sekarang kita bisa melihat sebuah fenomena perdagangan dunia. Kapitalisme mengalami perkembangan yang begitu luas, merambah ke berbagai belahan dunia bahkan sampai ke Indonesia. Indonesia menjadi salah negara yang kebanjiran barang-barang ekspor. Tumbuh pusat-pusat perdagangan besar yang mengalahkan pasar tradisional. Indonesia telah kebanjiran barang-barang impor, mulai dari makanan hingga produk-produk teknologi. Dengan demikian kapitalisme dunia telah memarginalk an perdagangan kecil.

Fenomena kapitalisme pada masa Sistem Tanam Paksa dan Perdagangan besar sekarang merupakan tema yang menarik untuk didiskusikan. Pada masa Sistem Tanam Paksa negeri kita menjadi pengekspor  barang-barang produksi dalam negeri, sedangkan pada masa sekarang Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. Hal ini sudah barang tentu tidak memberikan keuntungan secara ekonomi bagi banngsa Indonesia. Tema seperti ini dapat menjadi bahan diskusi siswa di kelas.

Pengembangan materi sebagaimana dicontohkan di atas, dapat menampilkan materi sejarah yang bersifat kontemporer, artinya materi tersebut berkaitan dengan isyu-isyu kekikinian yang dialami langsung oleh anak-anak. Kegiatan anak-anak yang biasa pergi ke tempat-tempat pusat perbelanjaan dapat menjadi tema yang menarik, ketika guru mengajarkan materi Sistem Tanam Paksa. Materi sejarah ditampilkan tidak menjadi sesuatu yang mati. Nilai-nilai yang harus ditanamkan kepada siswa tidak bersifat indoktrinasi dan sejarah tidak dilihat dari kaca mata hitam putih, tetapi nilai-nilai itu tertanam setelah siswa diajak untuk berfikir kritis dalam melihat kenyataan.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu ciri dalam pembelajaran CTL adalah berfikir kritis dan kreatif. Kekritisan dalam diri siswa akan timbul setelah siswa dihadapkan pada kenyataan yang merupakan fenomena sejarah. Hendaknya dalam mengembangkan materi seperti ini siswa diharapkan dapat menemukan sendiri nilai-nilai yang harus tertanam dalam dirinya.

Penemuan sendiri oleh siswa terhadap nilai-nilai yang dapat dikembangkan, dalam metode pembelajaran dikenal dengan metode inquiri. Dalam metode ini sangat menekankan proses daripada hasil. Proses yang dimaksud adalah bagaimana proses siswa tersebut menemukan setelah melalui pengalaman belajar.[10] Proses menemukan merupakan hal terpenting dari hasil belajar. Misalnya setelah didiskusikan bahwa sekarang negara Indonesia lebih banyak kebanjiran barang-barang impor, sementara barang-barang produksinya dalam negerinya tidak banyak dijual ke luar negeri. Sikap apakah yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan seperti ini. Sudah baang tentu banyak pendapat yang dapat dikemukakan oleh siswa, misalnya harus mencintai produk dalam negeri, membangun jiwa mandiri, tidak tergantung kepada orang lain, membangun kemajuan, dan lain-lain.

Kesimpulan 

Materi sejarah yang diajarkan di kelas dipat dikembangkan menjadi materi yang bersifat kontemporer. Pengembangan materi seperti itu dapat dilakukan dengan cara guru harus memiliki kemampuan mengembangkan konsep-konsep penting dalam ilmu sejarah. Berdasarkan konsep-konsep tersebut, guru harus menemukan fenomena apa yang dapat dikembangkan dari materi sejarah tersebut. Fenomena tersebut kemudian dikaitkan dengan fenomena kehidupan yang ada pada saat ini yang dialami langsung oleh siswa. Dengan cara seperti ini maka pembelajaran sejarah akan dapat berkaitan dengan kehidupan langsung yang dialami langsung. Pembelajaran sejarah tidak bersifat indoktrinasi dalam menanamkan nilai-nilai, akan tetapi pembelajaran sejarah dapat membangun berfikir kritis dalam dalam siswa. Siswa akan menemukan nilai-nilai sendiri dari materi yang disajikan oleh guru yang bersumber dari kehidupan dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Benny H. Hoed,”Strukturalisme de Sausure Di Prancis dan Perkembangannya”, dalam Irzanti Sutanto & Ari Angngari Harapan, ed., (2003), Prancis dan Kita trukturalisme, Sejarah, Politik, Film dan Bahasa, Jakarta : Wedatama Widya Sastra.

E Sumaryono, (1993), Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius.

Elaine B Johnson, (2006), Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegitan Belajar Mengajar   mengasyikan dan bermakna,, Bandung : MLC.

Helius Sjamsuddin, (2007), Metodologi Sejarah, Yagyakarta : Ombak.

Ismaun, (2005), Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan, Bandung : Hitoria Utama Press.

Lynn Hunt, “Charles Tilly’s Collective Action”, dalam, Theda Skocpol, (1989), Vision and Method in Historical Sociology, Cambridge : Cambridge University Press.

Maryaeni, (2005), Metodologi Penelitian Kebudayaan, Jakarta : Bumi Aksara.

Taufik Abdullah, (1990), Sejarah Lokal di Indonesia, Jogyakarta : Gadjah Mada University Press.

William W. Joyce & Janet E. Alleman-Brooks, (1979),  Teaching Social Social Studies in the Elementary and Middle Schools, New York : Holt, Rinehart And Winston.

[1] Achmad Dasuki, (1974), Sejarah Sebagai Ilmu Dalam Teori dan Praktek, Bandung : FKIS IKIP Bandung, sebagaimana dikutip oleh Ismaun, (2005), Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan, Bandung : Hitoria Utama Press, hlm. 119.

[2] Helius Sjamsuddin, (2007), Metodologi Sejarah, Yagyakarta : Ombak, hlm. 63.

[3] Ibid, hlm. 60.

[4] Lynn Hunt, “Charles Tilly’s Collective Action”, dalam, Theda Skocpol, (1989), Vision and Method in Historical Sociology, Cambridge : Cambridge University Press ,hlm.  244-271.

[5] E Sumaryono, (1993), Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 32.

[6] Taufik Abdullah, (1990), Sejarah Lokal di Indonesia, Jogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm. 15.

[7] Benny H. Hoed,”Strukturalisme de Sausure Di Prancis dan Perkembangannya”, dalam Irzanti Sutanto & Ari Angngari Harapan, ed., (2003), Prancis dan Kita Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film dan Bahasa, Jakarta : Wedatama Widya Sastra, hlm. 2.

[8] Maryaeni, (2005), Metodologi Penelitian Kebudayaan, Jakarta : Bumi Aksara, hlm. 33.

[9] Elaine B Johnson, (2006), Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegitan Belajar Mengajar   mengasyikan dan bermakna,, Bandung : MLC. hlm 67.

[10] William W. Joyce & Janet E. Alleman-Brooks, (1979),  Teaching Social Social Studies in the Elementary and Middle Schools, New York : Holt, Rinehart And Winston.

Comments are closed.