Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah untuk Menumbuhkan Berfikir Kritis Siswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah

Oleh: Encep Supriatna

ABSTRAK

Implementasi kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah hakekatnya adalah pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi lembaga dan terutama guru di persekolahan untuk mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pada setiap lembaga akan tetapi dengan tetap mengindahkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Penerapakn kurikulum baru tersebut gtidak akan berarti apa-apa apabila guru kurang mengindahkan proses pembelajaran dan mengubah cara dan gaya belajarnya dari yang konvensional kearah yang inovatif, kreatif dan menyenagkan siswa sehingga pembelajaran menjadi menarik dan tidak lagi membosankan apalagi pada pelajaran IPS yang berisi fakata-fakta, dan teori-teori belaka.

Di sinilah guru dituntut untuk mengembangkan kreativitasnya agar tujuan pembelajara dapa tercapai. Salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran di kelas ada dengan pendekatan konsrtuktivisme dengan model pembelajran yang berbasis masalah. Dengan penerapan model pembelajaran ini siswa diharapkan dapat menemukan sendiri materi yang diperlukannya sesuai dengan minat dan kemampuan awal yang mereka miliki, untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang baik guru juga dituntut untuk menggunakan alat evaluasi yang beragam selain test, antara lain yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan proses siswa secara komprehensif yaitu melalui portofolio assessment.

Kata Kunci: Berfikir Kritis, Pembelajaran Konstruktivisme, Persekolahan.

Pendahuluan

Adanya kebijakan pemerintah untuk memberikan kewenangan yang besar, proporsional dan bertanggungjawab bagi sekolah untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan institusi dan daerah masing-masing dalam bentuk Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (2006), merupakan kesempatan “emas” bagi guru dan manajemen sekolah untuk mengembangkan kebutuhan kurikulum dan materi pelajaran sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing terutama dengan dinamika budaya local setempat yang dapat diangkat menjadi bahan atau materi pembelajaran lokal. Namun acapkali cita-cita besar tersebut kandas di tangan guru yang berkedudukan sebagai “director of learning”, tidak mampu menyajikan pembelajaran  yang menarik bagi siswa, sehingga dalam pembelajaran sejarah siswa merasakan adanya kebosanan, tidak menarik, parsial, dan hampa akan nilai, sebagaimana yang disinggung oleh  Soemantri dalam pembelajaran sejarah, masih banyak guru yang menggunakan metode  ekspositori dalam menyampaikan pelajaran IPS (Soemantri, 2001). Metode ceramah yang tidak menarik, membuat siswa menjadi pasif dan tidak merangsang daya pikir siswa, metode konvensional ini dalam pemakaiannya  hendaknya dibatasi, dan sebaiknya guru lebih banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan kemampuannya untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Suwarma (1991) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pelajaran pendidikan IPS tidak merangsang siswa untuk terlibat secara  aktif dalam proses belajar mengajar. Demikian pula penelitian yang telah dilakukan oleh Rochiati Wiriaatmadja (2001/2002), yang mengemukakan bahwa salah satu kelemahan guru sejarah dalam pembelajarannya adalah kurang nampak upaya mengaktifkan siswa, atau “mentolelir budaya diam” yang berlangsung di kelas. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Supardan (2001 ;107) mengatakan kreatifitas  guru sejarah di lapangan masih sangat rendah, sehingga perlu lebih ditingkatkan. Kemudian penelitian Sutarjo meneliti faktor kegagalan pendidikan ilmu-ilmu sosial disebabkan karena guru hanya menjejalkan informasi-informasi hapalan dan tidak menyentuh pembentukan watak, moralitas, sikap atau proses berfikir peserta didik (Sutarjo, 2000 : 71). Saat ini pembelajaran IPS, khususnya pendidikan sejarah mengundang banyak kritik dari para ahli pendidikan. Sebagai contoh kritik yang dikemukakan Stopsky dan Sharon Lee (1994) yang mengatakan sebagai berikut : 1) Mata pelajaran yang hanya berisi fakta, nama, dan peristiwa masa lalu, 2) Mata pelajaran yang membosankan, 3) Tidak ada kontribusi dalam masyarakat, karena hanya membicarakan masa lalu, 4) Pembelajaran hanya bersumber pada buku teks, 5) Guru tidak dapat membelajarkan ketrampilan berfikir, 6) Guru IPS cenderung berasumsi bahwa tugas mereka adalah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan yang pada dirinya ke kepala siswa secara utuh (transfer knowledge to the brain of the student).

Belajar pada dasarnya belajar  adalah proses yang bermakna untuk mencapai kompetensi atau kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup merupakan kebutuhan setiap orang, karena itulah belajar merupakan kegiatan untuk membentuk, mengembangkan dan menyempurnakan kecakapan hidup. Hanya mereka yang memiliki kecakapan hiduplah yang akan dapat bertahan dalam hidupnya dan menjadikan hidupnya lebih bermakna. Makna kehidupan terjadi dalam konteksnya, oleh karena itulah pelajaran akan menjadi bermakna bila dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata siswa.

Pembelajaran kontekstual  adalah pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran (content) dengan situasi dunia nyata siswa (context) dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual dilandasi oleh premis bahwa makna belajar akan muncul dari hubungan antara konten dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada konten (Johnson, 2002).

Ada berbagai cara untuk mengaitkan konten dengan konteks, salah satunya adalah melalui pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Model ini juga dikenal dengan nama lain seperti project based teaching, experienced based education, dan anchored instruction (Ibrahim dan Nur, 2004). Pembelajaran ini membantu siswa belajar isi akademik dan keterampilan memecahkan masalah dengan melibatkan mereka pada sistuasi masalah kehidupan nyata.

Pembelajara berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuan (Gijselaers, 1996). Psikologi kognitif modern menyatakan bahwa belajar terjadi dari aksi pembelajar, dan pengajaran hanya berperan dalam memfasilitasi terjadinya aktivitas kontruksi pengetahuan oleh pembelajar. Guru harus memusatkan perhatiannya untuk membantu pembelajar mencapai keterampilan self directed learning.

Problem based learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi keperluan ini (Schmidt, dalam Gijselaers, 1996). Masalah-masalah disiapkan sebagai stimulus pembelajaran. Pembelajar dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, dan guru hanya berperan memfasilitasi terjadinya proses belajar dan memonitor proses pemecahan masalah.

Pembelajaran sejarah Indonesia akan menantang apabila diawali dengan masalah, atau apa yang dikenal sekarang dengan Problem Based Learning, dalam pengembangan strategi pembelajaran sejarah, murid atau siswa peserta didik di tingkat sekolah dasar  dan sekolah lanjutan, harus ditempatkan sebagai subyek yang telah memiliki pengetahuan sosial yang melekat pada dirinya. Oleh karena itu, strategi pembelajarannya harus merupakan kesinambungan pengetahuan sosial yang telah dimiliki siswa dengan materi yang disajikan dalam proses pembelajaran. Dalam pengembangan strategi pembelajaran sejarah, para siswa harus diperlakukan sebagai anggota masyarakat (makhluk sosial) yang telah terbina dalam keluarga, teman sebaya, teman sepermainan,  para tetangga, dan seterunya. Suasana pembelajaran harus tetap seperti suasana yang telah dialami secara actual oleh peserta didik. Pengembangan strategi pembelajaran sejarah, harus berpijak pada potensi dorongan dasar peserta didik, yang meliputi sense of curiosity, sense of discovery, sense of interest, sense of reality, sense of adventure, dan sense of challenge.

Pembelajaran Kognitif

Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak

Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol.

Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; dan (4) Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36).

Pembelajaran Konstruktivisme

Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas terlihat.

Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.

John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.

Konstrukivisme Piaget dan Vygotsky

Pembelajaran berbasis masalah  dikembangkan diatas pandangan konstruktivis –kognitif (Ibrahim dan Nur, 2004).  Pandangan ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget pengetahuan adalah konstruksi(bentukan)  dari kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi. Pengetahuan tumbuh dan berkembang pada saat pembelajar menghadapi pengalaman baru. Pengalaman baru ini memaksa mereka untuk membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Setiap pengetahuan mengandalkan suatu interaksi dengan pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkonstruksi pengetahuannya.

Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang  dan ketika mereka berusaha untuk  memecahkan masalah yang dimunculkan  oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur, 2004). Untuk memperoleh pemahan individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki.

Piaget memandang bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual individu dilalui tanpa memandang latar konteks sosial dan budaya individu. Sementara itu,  Vygotsky memberi tempat lebih pada aspek sosial pembelajaran.  Ia percaya bahwa interaksi social dengan orang lain mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky dalam pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan guru dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari guru atau teman sejawat yang lebih mampu, siswa bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur, 2004).

Bruner dan Belajar Penemuan

Bruner adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar  kognitif. Ia telah mengembangkan suatu model  instruksional kognitif  yang sangat berpengaruh yang disebut dengan belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar

penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan  hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah dan pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna    (Dahar, 1998). Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui partisipasi  secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya pembelajar penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya melalui  penemuan pribadi.

Menumbuhkan Berfikir Kritis Siswa dalam Proses Pembelajaran.

Berbicara mengenai berfikir kritis ada enam ciri dalam pembelajaran IPS-Sejarah yaitu (1) Sensitivity to context, memiliki kepekaan terhadap kontek permasalahan sehingga dapat menggunakan permasalahan pada kontek yang tepat, (2) Suspending Judgement, mampu mengambil keputusan yang tepat dan terarah, (3) Lookating or Asssesing basis of info, Siswa mampu menempatkan dan mengevaluasi sumber informasi yang dipergunakan untuk kepentingan pembelajaran yang bermakna baginya, (4) Sensitivity bias, Siswa mampu memahami diri sendiri dan terakhir (5) Self – Critical, mampu melakukan introspeksi diri, terhadap kekurangan dan kelebihan pada dirinya. (6) Transferable, apabila siswa mampu mengkontekstualisasikan satu kondisi dengan kondisi yang lain, hal ini lazim juga diterangkan tentang konstruksi pengetahuan. Untuk mengetahui dengan benar bagaimana cara belajar kita, siswa harus mampu menghubungkan apa yang sudah dimiliki oleh kemampuan siswa dengan pengetahuan baru.

Menseleksi informasi yang masuk ke dalam kelompok group dan menambahkannya  ke dalam skema yang sudah tersedia di dalam memori/otak siswa untuk kemudian  dipahami secara mendalam dan dari koneksi yang baru tersebut siswa mengulang apa yang sudah dipelajarinya. Mengajar dan belajar  adalah bukan kejadian yang terpisah dan terasingkan. Siswa yang bekerja keras mengerjakan tugas, “bertanya dalam benaknya, kapan saya akan mempergunakan informasi yang saya pelajari selama ini?,  sesungguhnya belum dapat keterkaitan  apa yang siswa pelajari dengan kehidupan nyata siswa. Mengajar siswa agar mampu menggunakan kurikulum yang terintegrasi dengan pendekatan yang terintegrasi pula akan mampu membantu siswa melihat bagaimana pengetahuan dapat dibangun dengan disiplin sebagai alatnya untuk mengakses konsep, ide, isu, atau pertanyaan. Belajar mampu menunjukkan  bahwa kurikulum atau materi pembelajaran itu terintegrasi mampu memnunjukkan kemampuan belajar reflektif,  motivasi siswa dan guru keduanya, dan menyediakan berbagai macam pembelajaran. (Peter H. Martorella, et all, 2005). (7) Implicity and indirectly, yaitu apabila guru mengajar siswanya belajar bagaimana dia berfikir, karena biasanya siswa pada saat bertanya terbuka dalam bertanya. (Alec Fisher, 2001:1). Untuk itu ke depan arah pendidikan IPS di sekolah yang lebih menekankan aspek pengembangan berfikir kritis peserta didik. Pendidikan IPS untuk tingkat sekolah dapat diartikan sebagai; Pendidikan IPS yang menekankan pada tumbuhnhya nilai-nilai kewarganegaraan, moral ideology Negara, kesejarahan sebagai memory kolektif bangsa dan nilai agama; Pendidikan IPS yang menekankan pada isi dan metode berpikir ilmuwan sosial, dan pendidikan IPS yang menekankan pada reflektif inquairy.

Pendidikan IPS lebih berorienasi pada hubungan-hubungan sosial dan persoalan kemasyarakatan yang lebih luas bahkan telah mengglobal dan dilanjutkan pada masalah-masalah lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkannya pada tingkat lokal, regional, nasional dan global. Pembahasan mengenai proses pendidikan IPS di sekolah, akan selalu terkait dengan perkembangan ilmu sosial, teori pembelajaran yang digunakan, serta kurikulum yang menyertainya. Analisis terhadap pelaksanaan proses pendidikan IPS di sekolah dapat dilakukan melalui pendekatan yang menekankan pada perkembangan dan perubahan konsepsional dari IPS-sejarah di sekolah itu sendiri yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.  Tulisan ini membahas mengenai pembaharuan pendidikan IPS-sejarah, terutama dalam pendekatan dari manajemen strategic, futurology, dan keterampilan proses. Digunakannya  pendekatan dari sudut manajemen strategic ini karena manajemen sesungguhnya menggabungkan fungsi-fungsi dalam rangka pengambilan keputusan-keputusan lembaga pendidikan secara strategis guna mencapai tujuan masa depan. Kelebihan dan kebaikan Manajemen Strategik juga dapat dikutip dari pendapat Samuel C. Centro dan J. Paul Peter bahwa: “Strategic Management is a continous interactive prosess aimed at keeping the organization appropriately matched to its environment”.

Pendekatan dari sudut futurologi juga diperlukan, karena baik pendidikan maupun sejarah seharusnya “berorientasi kepada kepentingan peserta didik di masa depan”.  Selanjutnya pendekatan keterampilan proses juga tepat digunakan, karena Ilmu sejarah sebagai bagian dari IPS sesungguhnya sejak awal hingga kini merupakan suatu disiplin dari hasil penelitian yaitu memalui proses “inquiry”. Sejarah sebagai bagian dari IPS dalam proses pembelajarannya senantiasa dikaitkan dengan  nilai guna (use value) bagi kehidupan umat manusia sebagai individu dan/atau  masyarakat. Itulah sebabnya sejarah menduduki posisi yang unik karena berdiri di atas dua kaki sebagai “hybrid discipline”, kerena merupakan bagian dari ilmu-ilmu kemanusiaan (Humaniora) dan bagian dari ilmu-ilmu sosial  (Social Studies) di sisi lain. Bagian lain dari berfikir kritis adalah berupa ruang lingkup pembelajaran social skill terdiri atas: diskusi, model, praktik dan bermain peran dengan feedback selanjutnya aplikasi dengan feedback. Elemen-elemen pembelajaran social skill yang efektif dapat dimulai dengan mendefinisikan skill dan tahapan proses pembelajaran, mendefiniskan tujuan, rasional, mendeskripsikan aktifitas fisik, mendeskripsikan aktifitas mental, mendeskripsikan bagaimana mengingat tahapan-tahapan dari proses dan terakhir situasi mana yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh siswa.

Pada tahap pemodelan komponen yang efektif dapat digunakan adalah; Demonstrasi dengan tahapan proses, berfikir secara mendalam, problem solving, dan terakhir memonitor diri sendiri dengan cara refleksi. Tahapan ketiga dalam pembelajaran social skill ini adalah melaksanakan bermain peran dengan balikan, guru memfasilitasi murid untuk mengingat dan memahami setiap tahapan dari proses pembelajaran, selanjutnya guru mendampingi siswa dalam bentuk percakapan, untuk selanjutnya secara otomatis pada tahapan dialog yang lebih sukar dengan percobaan. Guru meminta siswa untuk  secara verbal mengelaborasi apa yang didengar dan dilihat dalam setiap tahapan untuk memastikan pemahaman siswa terhadap apa yang didialogkan. Langkah terakhir dalam pembelajaran social skill menurut buku ini adalah aplikasi dengan feed back, yaitu guru mendiskusikan situasi yang dengan ketrampilan yang bias digunakan di luar kelas. Pekerjaan rumah dipersiapkan untuk diberikan dan siswa harus mengerjakannya di atas setengah kertas kerja dengan beberapa informasi yang jelas tentang apa yang harus diisi di setengah kertas kerja tentang apa, kapan dan bagaimana mereka dapat mempraktekannya di kelas. Sementara setengah bagian dari kertas kerja diperisiapkan dengan beberapa informasi yang menggambarkan mereka benar-benar mengerjakan tugas tersebut dengan senang setelah di beritanda tangan oleh guru, dan jangan lupa guru memonitor secara serius tahapan ini.

Tahapan Pembelajaran yang Berbasis Masalah

Pembelajaran IPS-Sejarah Berbasis Masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Secara singkat kelima tahapan  pembelajaran PBL adalah sebagaimana berikut:

  1. Tahap Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Guru mendiskusikan rubric asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/hasil karya siswa
  2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
  3. Membimbing penyelidikan individu mauoun kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
  4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagintugas dengan temannya.
  5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdul Karim, Aim.(2008).Model Keterampilan Berfikir dalam Pembelajaran IPS. dalam Jurnal JPIS, Nomor. 30 Tahun XVI Edisi januari-Juni 2008. Bandung:FPIPS Press.
  2. Burden, Paul R. and David M. Byrd. (1992).Effective Teaching. Boston, London: Allyn and Bacon.
  3. Bruce Joyce., Marsha Weil. (2000).Model of Teaching. Boston: Allyn and Bacon
  4. Bruner, Jerome S. (1963). The Process of Education. New York: Vontage Books
  5. Davis, Russel G. (1980). Planning Education for Development: Volume Issue and Problem in The Planning of Education in Developing Countries. Cambridge Massachusetts.
  6. Evan, David R. (1979). Games and Simulations in Literacy Training. Ciudad Universitaria, Madird 3, Spain: International Institute for Adult Literacy Methods.
  7. Gardner., White Blythe (1992). Multiple Mdalities of Learning (Multiple Ontelligences). USA: Cord Communications, Inc.
  8. Ismaun, (2001).Paradigma Pendidikan Sejarah yang Terarah dan Bermakna. Dalam jurnal Historia, Bandung: Historia Utama Press.
  9. Martorella, Peter H. and Candy Beal & Cheryl Mason Bolick. (2005). Teaching Social Studies in Middle and Secondary Schools, New Jersey Columbus, Ohio: Pearson Merill Prentice Hall.
  10. Maureen, May. [eds.] (1992). Social Skills Instruction Guide. SSD Louis County: Curriculum Development.
  11. Neo, Wee Keng [et.all] (2002). Authentic Problem Based Learning. Singapure: Prentice Hall.
  12. Supriatna, Nana. (2002). Mengajarkan Keterampilan Sosial yang Diperlukan Siswa dalam Memasuki Era Global. Jurnal JPIS No. 19 Tahun XI. Bandung: FPIPS Press.
  13. Stearns, Peter N. & Peter Seixas and Sam Wineburgh. (2000). Knowing Teaching & Learning History. New York and London: New York University
  14. Wineburg, Sam (1984). Historical Thingking; And Other Unnatural Acts. Philadephia: Temple University
  15. Abdul Karim, Aim.(2008).Model Keterampilan Berfikir dalam Pembelajaran IPS. dalam Jurnal JPIS, Nomor. 30 Tahun XVI Edisi januari-Juni 2008. Bandung:FPIPS Press.
  16. Maureen, May. [eds.] (1992). Social Skills Instruction Guide. SSD Louis County: Curriculum Development.
  17. Martorella, Peter H. and Candy Beal & Cheryl Mason Bolick. (2005). Teaching Social Studies in Middle and Secondary Schools, New Jersey Columbus, Ohio: Pearson Merill Prentice Hall.
  18. Neo, Wee Keng [et.all] (2002). Authentic Problem Based Learning. Singapure: Prentice Hall.
Comments are closed.