Pemberdayaan Perempuan pada Sektor Industri kecil dalam Mengatasi Ekonomi Keluarga

Oleh

Dr. Murdiyah Winarti, M. Hum

Drs. Ayi Budi Santosa, M. Si

Wawan Darmawan, S, Pd, M. Hum

Yeni Kurniawati, M. Pd

 

 

Abstrak:

Dalam konteks sosial- budaya, kesempatan wanita untuk bekerja diluar rumah relatif telah terbuka, tetapi pada kehidupan sehari-hari tetap saja ada sejumlah aturan yang harus dijinjung/ ditaati. Hal ini disebabkan peran utama mereka ada di sektor domestik/ rumah tangga, sehingga ketika mereka harus bekerja di luar rumah, muncullah istilah peran ganda sebagai konsekuensi atas apa yang dilakukan tersebut. Sayangnya sekali lagi aturan mana yang pantas dilakukan oleh wanita dan mana yang tidka sangat berhubungan dengan lingkungan sosial yang secara langsung telah ikut memposisikannya sebagai warga kelas dua. Oleh sebab itu peran yang ditampilkan sering kurang mendapat perhatian, sungguhpun hasil karyanya berupa produk kerajinan memberikan citra positif bagi daerah dimana industri itu berada. Sudah saatnya mereka, para wanita diberi kesempatan dan ditempatkan secara semestinya/ proporsional di dalam lingkungannya.

 

Kehidupan Sosial-Budaya Tenaga Kerja Wanita

Pembahasan mengenai kehidupan sosial-budaya di Jawa Barat tidak terlepas dari budaya Sunda yang memandang bahwa suami memiliki kedudukan paling tinggi sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab pada masalah ekonomi  dan kesejahteraan keluarga. Sementara istri mempunyai kuwajiban mengatur kehidupan di dalam rumah tangga. (Ekajati, 1995:201). Dipihak lain Agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduk di Jawa Barat ini menegaskan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Kondisi ini memperlihatkan adanya pola hubungan tertentu antara laki-laki dan wanita berdasarkan jenis kelamin (budaya patriarki). Sehingga tidak jarang konteks agama dipakai sebagai ”alat” untuk memperkuat pandangan umum yang sudah terbentuk lama lewat proses sosialisasi yang panjang dan telah diterima sebagai salah satu bentuk aturan berdasarkan tradisi yang ada.

Hingga akhir abad XX, ruang gerak mereka, yakni wanita  masih terbatas meskipun pada kenyataannya lingkungan keluarga, masyarakat maupun agama tidak lagi dipegang secara ketat (mulai berubah secara perlahan  dengan memberi peluang bagi wanita bekerja di luar rumah). Tampaknya desakan ekonomi menjadi faktor penentu disamping jaman yang sudah mulai berubah, dimana tidak lagi menganggap tabu bagi wanita untuk merangkap menjadi ibu rumah tangga sekaligus juga mencari nafkah untuk keluarganya. Peran atau keterlibatan mereka di industri kecil memang masih terbatas, umumnya di industri kerajinan. Pekerjaan membatik, menganyam, membuat topi dan kerajinan kulit merupakan pekerjaan yang dianggap cocok bagi wanita.

Konstruksi gender juga menyebabkan adanya kontruksi sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan oleh etika budaya setempat yang dikaitkan dengan kepantasan sosial menurut jenis kelamin secara biologis (Suryadi, 2004:34). Oleh karena itu pula seorang pekerja wanita tidak mau jika harus melakukan pekerjaan yang banyak meninggalkan rumah karena akan menyebabkan urusan rumah tangga dan anak-anak menjadi terlantar. Mereka sadar betul kedudukannya dalam rumah tangga, di rumah mereka mencuci, menyapu, menyetrika, dan lain sebagainya, terkadang juga tugas ini dibantu oleh suami, namun tidak banyak/ optimal.

Disinilah tampak ketidakadilan gender terjadi, dimana seorang wanita harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya sementara itu juga harus bekerja karena jika tidak dia dan keluarganya tidak dapat hidup layak. Padahal jika merujuk pada UU RI No. 7 Tahun 1984, tentang pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dinyatakan bahwa hak dan tanggung jawab sebagai suami istri maupun orang tua adalah sama. Tapi yang terjadi adalah ketimpangan yang diakibatkan oleh pandangan masyarakat (keluarga dan lingkungan sosial) dan kurang adanya pengertian dari suami. Hal ini juga menjadi alasan mengapa para wanita ini lebih menyukai pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah. Salah satu contohnya adalah Ibu Si’ul yang sebelum menikah menjadi pedagang batik namun setelah menikah Ibu Si’ul lebih memilih untuk bekerja di rumah saja sebagai pembatik agar dapat sekaligus mengurus anak-anaknya (Wawancara dengan Ibu Si’ul).

Faktor ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang cukup penting yang dapat menjadikan seorang wanita mencari pekerjaan di luar rumah (di industri kerajinan batik tulis, samak mending, kulit dan topi. Tanpa keterlibatan wanita berperan dalam mencukupi atau menambah penghasilan bagi keluarganya dengan bekerja di sector industry atau yang lainnya, niscaya kehidupan keluarga terasa berat. Oleh sebab itu aktivitas mereka diluar rumah bukan lagi menjadi perdebatan serius dikalangan keluarga maupun lingkungan sekitar. Umumnya pihak laki-laki atau suami memberikan toleransi, meskipun sering dengan persyaratan yakni, minimal perannya sebagai wanita atau ibu rumah tangga (memasak, menncuci, memelihara anak, dll) tidak diabaikan atau tetap menjadi prioritas yang utama.

Dewasa ini masalah gender tidak seharusnya diperdebatkan secara tajam khususnya yang berkaitan dengan peran wanita di sektor publik. Bagaimanapun juga keberadaan mereka sangat membantu ekonomi keluarga, toh pada kenyataannya seperti halnya didaerah penelitian mereka cukup terampil. Salah satunya adalah Ibu Parida, seorang pengrajin batik yang suaminya bekerja di pabrik rotan. Penghasilan suami yang pas-pasan mendorong Ibu Parida untuk membantu perekonomian keluarga. (Wawancara dengan Ibu Parida, Ibu Tumini, dan Ibu San’ah tanggal 15 September 2008).

Keadaan di atas menunjukkan bahwa beberapa wanita ternyata secara sadar ikut membantu suami maupun keluarganya agar hidup lebih baik. Sehingga tidak mengherankan bahwa karena faktor ekonomi para suami memberikan ijin istrinya untuk bekerja mencari tambahan penghasilan bagi keluarganya. Karena kemampuan mereka, para wanita terbatas baik pendidikan maupun ketrampilannya, maka “dunia industri kecil/ rumahan, salah satunya industri kerajinan.  Salah satu alasannya adalah umumnya tidak menuntut pendidikan yang tinggi, meskipun akibatnya upah yang diperoleh merekapun terbatas. Apapun itu yang mereka lakukan hasilnya telah ikut membantu ekonomi keluarga dan ikut menggerakkan kehidupan perekonomian daerah yang bersangkutan.

Rata-Rata Upah Yang Diterima Sekitar Tahun 1980-an

Jenis Kerajinan JumlahrRata-Rata Upah (rp),
Batik Tulis 10..000,- sampai 50.500,-
Samak Mendong 15.000,- sampai 30.000,-
Topi 10.000,- sampai 50.000,-
Kulit 5.000 sampai 35.000,-

Upah yang diterima bervariasi sesuai dengan jenis pekerjaan yang ditekuni tenaga kerja masing-masing, termasuk tingkat kesulitan dan jumlah barang/ produk yang berhasil diselesaikan. Seberapa besar upah yang dibawa bagaimanapun juga telah ikut membantu kehidupan ekonomi keluarganya. Sudah sepatutnya apa yang disumbangkan kepada keluarga tidak dikatakan membantu suami dalam mencari nafkah tetapi sejajar, bahkan ada diantara mereka yang penghasilannya lebih besar dibandingkan suaminya. Pilihan wanita baik yang sudah menikah maupun belum, untuk bekerja di sektor industri juga karena sebagian besar orang tuanya bekerja lebih dahulu sebagai pengrajin. Ketrampilan merupakan unsur penting telah ditanamkan sejak kecil, dan mereka menjadi terbiasa/ tidak canggung lagi memasuki dunia kerja. Di keempat industri ini ketrampilan, ketekunan dan kesabaran sangat diandalkan Asal ada kesempatan dan keinginan untuk bekerja dari dalam diri si wanita maka dapat segera terlibat di industri ini.

Transfer ketrampilan terjadi melalui lingkungan sosial-budaya yang ada yakni melalui lingkungan keluarga dan masyarakat/ sosial sekitar. Ketrampilan membuat topi, batik, samak mendong dan kerajinan kulit sudah ditanamkan sejak kecil karena dalam kehidupan sehari-hari mereka terbiasa melihat orang tuanya dan orang-orang disekitarnya menekiuni pekerjaan tersebut. dirinya. Tradisi budaya di Jawa Barat dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang ikut mendorong lahirnya wanita pekerja di sektor publik. Pekerjaan dipandang biasa, karena telah berlangsung lama, sehingga terlibatnya wanita dalam sektor publik bukanlah fenomena yang baru. Dengan proses sosialisasi seperti ini menyebabkan kerajinan batik, topi, anyaman mendong dan kerajinan dari kulit secara turun temurun dapat bertahan. Jadi lingkungan keluarga dan sosial secara bersamaan ikut menentukan seorang anak untuk belajar dan mencintai tradisi yang ada. Meskipun faktor ekonomi tidak dapat diabaikan begitu saja. Alangkah baiknya jika pemerintah daerah dimana industri kecil ini berada memberikan kemudahan berupa pelatihan-pelatihan secara cuma-cuma dan meluas untuk ketrampilan membatik, membuat topi, samak mendong dan kerajinan kulit. Berdasarkan data penduduk dan kelulusan jumlah wanita hampir sama dengan laki-laki, dan anak perempuan tidak cukup mengenyam pendidikan dibandingkan kelompok lainnya.

 

Kewirausahaan atau Ketidakberdayaan

Bergesernya perubahan atau tepatnya nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di masyarakat menjadikan wanita  memiliki tanggungjawab tidak hanya pada sektor domestik tetapi juga pada sektor publik. Hal ini dipertajam dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita yang kemudian memunculkan peran ganda bagi wanita itu sendiri. Peran ini mau tidak mau menyebabkan wanita memiliki jam kerja yang lebih lama, karena disamping perannya sebagai pekerja juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sehari-hari.

Sebagaimana telah dijelaskan di bagian atas, keberadaan industri kerajinan batik, samak mendong, topi dan kulit telah menarik minat wanita untuk terlibat didalamnya. Mereka juga diuntungkan dengan kondisi kerja yang fleksibel artinya bila keluar dari pekerjaannya tidak ada konsekuensi administrasi dan dengan mudah akan diterima kembali jika memang ingin kembali menekuni pekerjaan lamanya. Bahkan di industri batik, samak mendong, dan kulit mereka dapat menghentikan sementara pekerjaannya ketika tugas domestik memerlukan tenaganya/ perhatiannya. Selain itu berperan sebagai pekerja/ pengrajin di industri tersebut telah dianggap sebagai hal biasa yang sudah mentradisi, sebab telah berlangsung secara turun-temurun.

Pada akhirnya wanita memiliki peran yang cukup signifikan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, selanjutnya keterlibatannya telah mengindikasikan/ menandai adanya kesetaraan gender untuk masalah pencapaian semakin terbuka luas diperbolehkannya wanita bekerja di luar rumah. Akan tetapi karena wanita umumnya lebih bertanggungjawab terhadap urusan rumah tangga, sehingga segala sesuatu yang dilakukan wanita di sektor publik dianggap sebagai tambahan alias tidak untuk diperhitungkan. Padahal dengan perannya tersebut telah memberikan beban besar baginya sebagai suatu resiko/ tantangan?. Disatu sisi memberikan konstribusi positif dalam membantu ekonomi keluarga, sisi lainnya harus tetap tunduk pada tugas-tugasnya sebagai ibu dan istri sekaligus.

Melihat kondisi di daerah penelitian menunjukkan bahwa semangat tinggi dimiliki para wanita untuk berkiprah di sektor publik demi menegakkan ekonomi keluarga, namun sekaligus keadaan di atas menunjukkan ketidakberdayaan wanita. Ketika disuruh memilih tampaknya pekerjaan domestik lebih dipilih dibandingkan bekerja di luar rumah. Selain itu posisi tawar mereka rendah, tidak cukup berpendidikan, kesempatan mendapatkan pekerjaan juga terbatas,  sehingga berdampak upah yang diterimapun kecil. Sebaliknya jika melihat dari diri mereka  justru memiliki semangat tinggi, tidak kenal lelah, ulet, rajin, dll. Demi mendongkrak ekonomi keluarga. Jadi terlihat bahwa jiwa kewirausahaan tinggi, tetapi sekaligus memiliki sisi ketidakberdayaan untuk memilih jenis pekerjaan dan resiko yang dihadapi.

Sebenarnya beberapa pekerjaan rumah tangga dapat dengan mudah dilakukan oleh laki-laki, sebagai salah satu cara  meringankan bebannya. Tetapi karena kehidupan sosial budayalah yang kurang mendukung/ memungkinkan pekerjaan domestik sebagian diambil alih suami.  Sekali lagi ini bisa dikatakan bahwa wanita memiliki ketidakberdayaan dalam hal mendapatkan kesetaraan. Wanita cenderung mengalah pada laki-laki/ suami, disamping juga wanita sendiri yang tidak memandang bahwa kegiatan ekonomi sebagai tanggungjawabnya. Dari sini jelaslah bahwa baik laki-laki maupun wanita sendiri sama-sama secara aktif memunculkan ketimpangan gender.

Pekerja tidak memiliki daya tawar upah, meskipun mempunyai ketrampilan yang diperlukan jika bekerja di sektor industri terutama industri kecil. Upah yang minim akhirnya akan berpengaruh kepada tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarga, sehingga akan tercipta sebuah lingkaran setan dalam keluarga pekerja ini seperti: upah minimum, tingkat pendidikan rendah dan lapangan kerja terbatas. Berdasarkan hasil temuan dilapangan bahwa penghasilan yang diperoleh masih kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setelah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan minimal seperti membeli beras, minyak tanah dan minyak goreng, lauk pauk, gula dll masih sering kurang. Apa bila upah minimum regional dijadikan patokan untuk melihat tingkat kesejahteraan maka sebagian besar harus bekerja lebih giat,dengan mengerjakan jumlah produksi yang lebih banyak meskipun dampaknya waktu yang dibutuhkan lebih panjang dan butuh tenaga yang besar.karena pasti melelahkan. Hal ini akan menjadi agak berbeda bila suaminyapun bekerja dan jumlah yang menjadi tanggungan terbatas, dimana anaknya tidak banyak antara 1-2 saja.

 

Kesimpulan

Dalam kaitannya dengan para wanita di daerah penelitian tampaknya faktor sosial-budaya dan keadaan ekonomi yang sebenarnya menjadikan wanita bekerja mencari nafkah seperti halnya suaminya.  Sayangnya posisi tawar mereka rendah, meskipun begitu mereka tetap menekuni pekerjaannya, selain tidak ada pilihan lain juga karena faktor sosial-budaya yang ikut membatasi geraknya.

Bagi perempuan yang belum menikah/ berkeluarga, bekerja adalah untuk membantu orang tua, sedangkan bagi yang sudah berkeluarga pekerjaan ini merupakan suatu kegiatan penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan demikian kesetaraan gender (gender equality) bagi wanita untuk terlibat di sektor publik di lingkungan industri kerajinan di kabupaten daerah penelitian untuk beberapa hal memang tercapai, dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus diterimanya.

Di sisi lain, dalam menekuni sektor publik dengan bekerja di industri kerajinan memberikan konsekuensi tersesendiri bagi mereka. Disamping mendapatkan upah tentunya mereka juga harus memikul peran ganda (domestik dan publik) dalam kehidupan sehari-hari. Berikutnya keadaan ini menimbulkan masalah ketidakadilan gender, karena kaum laki-laki sebagai orang yang bertanggung jawab mencari nafkah umumnya belum secara suka rela membantu istri melakukan pekerjaan rumah. Lingkungan sosial-budaya masih berfihak pada kaum laki-laki, begitu pula mereka (laki-laki) belum cukup menyadari dan membuka diri atas adanya peran ganda yang ditanggung pihak wanita (istri). Padahal untuk urusan mencari nafkah bagi keluarga, pihak wanita dengan segala upaya dan keterbatasan ikut menanggungnya.

 

Daftar Kepustakaan

Budiman, Arief (1982). Pembagian Kerja Secara Seksual (Suatu Pembahasan

Sosiologis tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat). Jakarta:

Gramedia.

Boserup, Estrer. (1984). Peran Wanita Dalam Pembangunan Ekonomi.

(Terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Chotim, Erna E. (1994). Subkontrak dan Implikasinya Terhadap Pekerja

Perempuan (Kasus Industri Kecil Pekalongan). Bandung: Akatiga

Depdikbud. (1996). Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Perempuan: Studi Tentang

Peningkatan Peranan Wanita. Bandung: Pelita

Dharmawan, A. (1986). Aspek-aspek Dalam Sosiologi Industri. Bandung

Binacipta

Djojohadikusumo, Sumitro. (1973). Masalah Penduduk dan LApangan Kerja,

Pertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Internasional. Jakarta: Yayasan

Penyaluran dan Penerangan Perdagangan

Eddyono, Sri Wiyanti dan Hadiz, Liza. (2005). Pembakuan Peran Gender/ DAlam

Kebijakan-kebijakan Di Indonesia. Jakarta: LBH APIK

Ekadjati, E.S. (1984). Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung:

Girimukti Pusaka

…………….. (1995). Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta

: Pustaka Jaya

Gottslack, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta:  Yayasan Penerbit Universitas

Indonesia

Garraghan, Gilbert J. (1957). A Guide to Historical Method. New York: Fordham

University Press.

Hadiz, Liza (ed). (2004). Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru

(Pilihan Artikel Prisma). Jakarta: LP3ES

Ihromi, T. O. (1995). Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Koentjaraningrat. (1971). MAnusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta

Djambatan

Munandar, Utami. SC (ed). (1985). Emansipasi Dan Peran GAnda Wanita

Indonesia. Jakarta: UI Press

Murniati, A Nunuk P. (2004). Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam

Perspektif Sosial, Politik Ekonomi, Hukum dan Ham). Buku Pertama.

Magelang: Indonesia Tera

……………………. (2004). Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam

Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga). Buku Kedua. Magelang:

Indonesia TEera

Notopuro, Hardjito. (1974). Peranan Wanita DAlam Masa Pembangunan di

Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia

Parker, S.R.et al. (1993). Sosiologi Industri (Terjemahan). Jakarta: Rineka Cipta

RAtnawati, Etty. (2002). Pemberdayaan Pengusaha Dan Buruh Perempuan Pada

Industri MAkanan Dalaam Mengatasi MAsa Krisis Ekonomi. (Studi Kasus

Tentang Pendidikan dan Pelatihan Pengusaha dan Buruh Perempuan Pada

Industri Emping Melinjo di Desa Tuk, Kecamatan Cirebon Barat,

Kabupaten Cirebon). Tesis: Tidak diterbitkan

Sajogjo, Pudjiwati. (1985). Peran Wnita Dalam Perkembangan Desa. Jakarta: CV

Rajawali

Subadjo, Mario U dan Ihromi, T.O.(ed). (1986). Peranan dan Kedudukan Wanita

Indonesia (Bunga Rampai Tulisan-tulisan). Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Widja, I Gde. (1991). Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.

Bandung: Angkasa

Wiludjeng, Henny dkk. (2005). Dampak Pembakuan Peran Gender Terhadap

Perempuan Kelas Bawah di Jakarta. Jakarta: LBH APIK

 

Comments are closed.