Sejarah Pendidikan Baru: Cakupan dan Prospek

Oleh:
HELIUS SJAMSUDDIN

 Pengantar

Dalam pidato pengukuhan berjudul, Sejarah Pendidikan: Cinderella Dalam Pengajaran dan Historiografi Indonesia (1996), saya telah mensinyalir tentang perhatian yang kurang terhadap penelitian dan pengajaran sejarah pendidikan, tidak saja di jurusan sejarah yang mengkaji dan meneliti ilmu sejarah, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK) yang seharusnya mengajarkan sejarah pendidikan untuk semua fakultas atau jurusan. (Sjamsuddin, 1996).

Sejarah Pendidikan menurut Dieter Lenzen, presiden dari Freie Universität Berlin (1994) “telah dimulai jutaaan tahun yang lalu atau pada akhir 1770.” (http://en.wikipedia.org/wiki/Education). Mengapa Lenzen menyebut tahun 1770 tidak jelas, tetapi sebagai orang Jerman ia melihat tahun itu merupakan tahun kelahiran tokoh-tokoh filosof dan komponis Jerman terkemuka seperti G.W.F. Hegel, Ludwig Beethoven, dan J.F. Schubert. Tetapi apapun alasannya, “jutaan tahun yang lalu” sebagai awal dari sejarah pendidikan masuk akal juga jika kita menerima asumsi bahwa manusia pertama telah mengenal pendidikan sejak awal-awal kelahirannya (informal).

Sebagai sains, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tradisi-tradisi pendidikan yang telah ada sebelumnya. Pendidikan adalah sebuah jawaban alamiah sejak awal-awal peradaban ketika manusia berjuang untuk bertahan hidup dan menghasilkan sebuah budaya. Orang-orang dewasa melatih anak-anak muda dari masyarakatnya dalam pengetahuan dan ketrampilan-keterampilan yang mereka perlukan untuk mereka kuasai dan pada akhirnya melanjutkannya lagi.  Evolusi budaya, dan manusia sebagai sebuah sepesis yang tergantung pada praktek pengalihan (transmitting) pengetahuan ini.

Di dalam masyarakat-masyarakat yang belum mengenal aksara (pre-literate) ini dapat dicapai melalui cara-cara lisan dan peniruan (imitasi). Tradisi-lisan (story-telling) berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Bahasa lisan berkembang ke dalam simbol-simbol tertulis dan aksara-aksara. Kedalaman dan keluasan pengetahuan yang dapat dilestarikan dan diteruskan bertambah luar biasa. Ketika kebudayaan meluaskan pengetahuan mereka di luar keterampilan-ketrampilan dasar berkomunikasi, tukar-menukar, mengumpulkan bahan-bahan makanan (food gathering), praktek-praktek keagamaan, dll, maka pendidikan formal (formal education), dan sekolah (schooling) akhirnya menyusul.  Sekolah dalam pengertian ini sebenarnya sudah ada di Mesir antara tahun 3000-500 SM. (http://en.wikipedia.org/wiki/Education)

Sejarah dan Pendidikan

Sejarah dan pendidikan atau pendidikan dan sejarah tidak dapat dilepaskan satu sama lain karena kedua-duanya mempunyai nilai guna (use value) intrinsik yang sama. Meskipun di kalangan sejarawan sendiri tidak ada sebuah definisi yang secara aklamasi disepakati bersama, namun ada dua definisi yang cukup representatif dalam hubungan dengan diskusi kita di sini. Pertama menurut James Harvey Robinson dalam bukunya The New History, “sejarah dalam arti kata yang luas adalah semua  yang kita ketahui tentang setiap hal yang sudah manusia lakukan, atau pikirkan, atau rasakan.” (Robinson,1912: xi-xii). Kedua dari Richard J. Evans dalam bukunya In Defence of History, “Sejarah…sebagian terbesar dapat dilihat sebagai sebuah sains…sebuah batang tubuh pengetahuan yang terorganisasi yang diperoleh  melalui penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan metode-metode yang disepakati umum, dipresentasikan dalam laporan-laporan yang dipublikasikan, dan menjadi pokok yang direviu oleh pakar mitra.” (Evans, 1997: 73).  Dari definisi pertama kita ketahui bahwa dengan pikirannya, manusia menghasilkan karya-karya ilmu pengetahuan dan/atau teknologi, dan dengan perasaannya manusia menghasilkan karya-karya bernilai estetika dan/atau spiritual. Ketika manusia melaksanakan apa yang dipikirkan dan dirasakan dalam praxis, maka tindakannya ini merepresentasikan apa yang telah dipikirkan dan dirasakannya itu. Selanjutnya dari definisi kedua kita ketahui bahwa sejarah merupakan ”batang tubuh pengetahun” (body of knowlege) yang sistimatis yang diperoleh melalui sebuah penelitian ilmiah dengan menggunakan metode sejarah yang khas, dipublikasikan dan menjadi wacana bagi pakar sejawat atau siapapun yang berminat.

Mengenai pendidikan, mencakup pengajaran (teaching) dan pembelajaran (learning) untuk keterampilan keterampilan-keterampilan khusus, dan juga sesuatu yang kurang dapat disentuh (less tangible) tetapi lebih mendalam (more profound) seperti mengajarkan atau mengkomunikasikan pengetahuan, pengambilan keputusan yang positif dan kebijakan yang lapang dan baik. Pendidikan mempunyai salah satu aspek fundamental  untuk mengajarkan budaya dari generasi ke generasi. Pendidikan berarti ”menarik ke luar” (to draw out), memfasilitasi realisasi potensi-diri dan bakat-bakat laten dari seseorang individu. Ia merupakan penerapan dari pedagogi, sebuah batang tubuh teori dan penelitian terapan yang berkaitan dengan pengajaran dan pembelajaran yang bersumber dari berbagai disiplin [ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan ilmu-imu alam]  ( http://en.wikipedia.org/wiki/Education)

Sejarah Pendidikan Baru

Segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, mempunyai sejarah. Begitu juga dengan sejarah dari pendidikan. Sejarah pendidikan adalah salah satu tema dari sejumlah besar tema sejarah yang sebenarnya merupakan representasi dari segala aspek kegiatan manusia yang luas dan kompleks (pikiran, perasaan, dan perbuatannya), Maka kita kenal  misalnya sejarah politik, sejarah diplomasi, sejarah militer, sejarah nasional, sejarah regional, sejarah lokal, sejarah kota, sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah lembaga, sejarah demografi, sejarah intelektual, sejarah kebudayaan, sejarah etnis, sejarah keluarga, sejarah agraria, sejarah petani, sejarah buruh, sejarah wanita (women’s history), sejarah kulit hitam (black history), sejarah pendidikan, dan sebagainya.

Seperti juga tema-tema sejarah lain, sejarah pendidikan juga mengalami perkembangan sehubungan dengan perkembangan metodologinya. Sejarah pendidikan ”lama” (the ”old” history of education) dapat ditandai dengan kajian-kajian utama pemikiran filosofis, tokoh-tokoh pendidikan dan pemikiran-pemikiran teoritis mereka, sejarah sekolah-sekolah, dengan cara-cara pemaparan dan penyampain yang selain deskriptif juga diakronis-ideografik-linier. Dalam historiografi pendidikan di Indonesia, misalnya, masih digunakan model klasik I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlands-Indie (1938), dimulai dari masa pendidikan Hindu-Buddha, masa Islam sampai kepada masa pemerintahan kolonial Belanda. (Brugmans, 1938)  Buku ini dijadikan rujukan juga oleh Soegarda Poerbakawatja meskipun tekanannya setelah Indonesia merdeka yaitu di dalam bukunya Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. (Poerbakawatja, 1970).

Kemudian buku-buku mengenai sejarah pendidikan di setiap propinsi di Indonesia yang dibiayai oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD, Depdikbud) tahun 1980-an, menggunakan sistematika yang seragam, sejak dari pendidikan tradisional khas daerah masing-masing yaitu zaman Hindu-Buddha, masuk Islam, kedatangan bangsa-bangsa Barat, Jepang, sampai dengan masa kemerdekaan dan sesudahnya. Umumnya sejarah pendidikan di Indonesia sesudah kemerdekaan yang diterbitkan tahun 1993 atas biaya Proyek IDSN (Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional) dalam periodesasi masih tetap menggunakan urutan kronologis sejarah politik. Di Indonesia, antara pendidikan dan politik memang tidak dapat dipisahkan, bahkan politik masih sangat dominan.

Dalam sejarah pendidikan ”baru” (the ”new” history of education), topik-topik yang seacam itu bukan tidak ada lagi, akan tetapi telah ditambah dan diperluas cakupannya sesuai dengan semakin kompleksnya masalah pendidikan dalam menghadapi perubahan sosial dan budaya. Selain daripada itu paradigma penelitiannya juga mengalami perubahan menurut perkembangan metodologis.

Mengenai peran dan perkembangan Sejarah Pendidikan [Baru], Manuel de Puelles Benitez menulis,

Hari-hari ketika sejarah pendidikan hanya terbatas pada pemerian revolusi pikiran pedagogis atau bahkan menghasilkan sejarah sekolah telah lama berlalu. Sekarang, mempelajari sejarah pendidikan telah menjadi tugas yang menarik dan kompleks dalam mencoba menjelaskan bagaimana pendidikan telah menjadi suatu realitas institusional dengan mendalam terinsiprasi oleh proses yang bersifat sosial, ekonomi, dan politik. Sejarawan pendidikan tidak dapat mengelak hubungan antara proses-proses ini dengan fakta pedagogis. (1992: 485-486)[1]

Penelitian dan penulisan sejarah pendidikan baru Indonesia perlu ditangani lebih serius oleh sejarawan yang berminat dan mempunyai kepedulian juga terhadap pendidikan. Sejarah pendidikan baru ini sudah menjangkau ruang lingkup yang lebih luas mengenai bagaimana dunia dan lembaga pendidikan berada dalam “jaringan laba-laba” dari proses sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang telah dan sedang berlaku.  Tidak seperti sejarah pendidikan tradisional yang semata-mata kronologis-diakronik-ideografik dengan penyajian yang linier, deskriptif, dan naratif saja, maka sejarah pendidikan baru perlu dikemas kembali menurut perkembangan metodologi sejarah dan isi serta ruang lingkup yang baru sesuai dengan temuan-temuan informasi baru atau dengan interpretasi dan penjelasan baru.  Singkatnya dalam historiografi pendidikan baru perlu ada semacam “renaissance,” meminjam istilah Robert L. Church. (1971: 417)

Dalam historiografi pendidikan baru, cara-cara khas sejarah yang diakronis-ideografis-partikularistik perlu dipadukan untuk kepentingan analisis dengan cara-cara yang umum dilakukan dalam disiplin-disiplin ilmu sosial yang sinkronik-nomotetik-generalistik. (Sjamsuddin, 2007: 155-239; 299-305)  Oleh sebab itu sejarah pendidikan baru ditandai oleh cara-cara pendekatannya,  baik interdisiplin, komparatif, dan/atau problematik.

Pertama, interdisiplin.  Perkembangan ilmu sejarah pada bagian kedua abad ke-20 sampai dengan abad ke-21 ini ditandai oleh kerjasama yang saling mendekat antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial (rapprochement). (Sjamsuddin, 2007: 299-305). Apalagi objek kajian sejarah maupun ilmu-ilmu sosial adalah sama yaitu manusia.  Sejarah memerlukan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu menganalisis masalah-masalah yang sifatnya sinkronik.  Sebaliknya ilmu-ilmu sosial juga memerlukan sejarah karena metodenya.  Karakteristik sejarah yang diakronik diperlukan oleh ilmu-ilmu sosial untuk memperoleh pemahaman genesis dari objek kajiannya.

Dengan menggunakan pendekatan yang lazim disebut interdisiplin, kualitas penelitian dan penulisan sejarah pendidikan menjadi lebih meningkat.  Analisis menjadi semakin tajam karena sejarawan menggunakan beberapa ilmu sosial yang relevan sebagai alat bantu analisisnya.  Di antara yang paling dekat dengan sejarah pendidikan tentu saja beberapa ilmu sosial seperti: Politik (pendidikan), Sosiologi (pendidikan), Antropolgi (pendidikan), dan Psikologi (pendidikan), atau ilmu-ilmu lain yang terkait. (Sjamsuddin, 1996: 13)

Kedua, komparatif.  Untuk historiografi pendidikan Indonesia, sejarawan dapat melakukan kajian banding mengenai pelaksanaan pendidikan di berbagai daerah di Indonesia; atau perbandingan lintas bangsa dengan negara-negara lain, terutama dengan Asia dan Afrika dalam suatu periode tertentu.  Banyak faktor yang dapat dibandingkan yang mempunyai dampak besar dalam pendidikan, misalnya faktor alami seperti keragaman kelompok etnis, kemajemukan budaya dan bahasa daerah, tingkat kehidupan ekonomi yang berbeda, kedudukan geografis kota, pedesaan, pesisir, pedalaman, kepulauan, daerah terpencil, dan sebagainya; faktor-faktor agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha); faktor-faktor politik, ideologi, isme yang ada dan/atau pernah ada seperti Islam, nasionalisme, sosialisme, komunisme, dan sebagainya.  Jika melintas bangsa/negara, untuk periode kolonial di Asia dan Afrika, misalnya, dapat dibandingkan berbagai karakteristik penjajah seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Jerman, Belgia, dan bagaimana dampak sikap mereka terhadap politik pendidikan di daerah jajahan mereka; untuk periode kemerdekaan dapat dibandingkan usaha-usaha dari berbagai bangsa baru itu dalam mencapai identitas bangsa dengan merumuskan bentuk dan isi sistem pendidikan nasional yang dianggap dapat membawa kepada tujuan kemerdekaan nasional masing-masing.

Dengan pendekatan komparatif ini, sejarawan pendidikan dapat melihat keunikan dari sistem pendidikan Indonesia, melihat kelebihan dan kekurangannya, keberhasilan dan kegagalannya, dibandingkan dengan apa yang telah dialami oleh bangsa-bangsa lain dalam mengelola pendidikan.  Dari perspektif sejarah komparatif ini kita dapat belajar banyak tentang apa yang telah dan sedang berlangsung dalam pendidikan kita. (Sjamsuddin, 1996: 14)

Ketiga, problematik. Orientasi baru dalam perkembangan sejarah modern akhir-akhir ini ialah kepada problema karena dimungkinkan oleh perkembangan metodologi sejarah sendiri.  Historiografi pendidikan baru juga demikian. Pengalaman sejarah di Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan telah melahirkan sejumlah besar masalah yang bersifat sementara atau berkepanjangan, ada yang berhasil dipecahkan tetapi ada pula yang masih tetap merupakan benang kusut. Sejarawan pendidikan perlu menandai, menginventarisasi, kemudian melakukan seleksi terhadap masalah-masalah tersebut untuk dijadikan pokok kajian penelitian dan penulisannya.  Isu-isu yang perlu diangkat ialah masalah-masalah yang dianggap abadi (perennial), artinya yang seringkali berulang-ulang.  Meskipun tidak harus persis sama dengan apa yang telah dan sedang dialami oleh pendidikan di Indonesia, ada baiknya melihat dan membandingkan problema pendidikan di Barat yang disebut oleh John S. Brubacher dalam bukunya A History of the Problems of Education (1966), misalnya mengenai perkembangan tujuan-tujuan pendidikan, tenaga-tenaga sosial utama yang turut menentukan pendidikan seperti politik dan ekonomi; filsafat dan psikologi pendidikan yang mempunyai dampak terhadap kualitas proses pendidikan; bagaimana tujuan, tenaga-tenaga sosial, filsafat, dan teori psikologi mempengaruhi metode dan kurikulum; masalah pendidikan agama dan moral; praktek-praktek pendidikan; perkembangan lembaga-lembaga pendidikan; perkembangan dari badan-badan pendidikan informal dan formal; sekolah-sekolah umum (negeri) dan swasta; administrasi dan supervisi sekolah-skolah; dan sebagainya. (Sjamsuddin, 1996: 14-15)

 Ruang lingkup dan Prospek

Adapun yang menjadi pokok kajian sejarah pendidikan ialah bagaimana masyarakat mengalihkan kebudayaan kepada generasi berikutnya, dan bagaimana pikiran-pikiran, kepercayaan dan keyakinan telah diajarkan baik kepada generasi muda maupun kepada generasi yang telah jauh berusia. (Church, 1971: 415).

Sejarah pendidikan mencoba mendeskripsikan, menafsirkan dan menjelaskan (analisis dan sintesis), proses perubahan dan perkembangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dalam dimensi waktu dan tempat yang berbeda-beda. Objek kajian sejarah pendidikan – untuk mudahnya – meliputi segala aspek perangkat lunak dan perangkat keras dari pendidikan dengan segala jaringan dan tali-temalinya.

Kajian sejarah pendidikan dapat memberikan sumbangan bagi pembentukan manusia terdidik, baik sebagai suatu kajian utama maupun sebagai pelengkap terhadap lapangan kajian lain.  Sejarah pendidikan merupakan bagian yang juga tidak dapat dipisahkan dari pendidikan ilmu-ilmu kemanusiaan (Humaniora) yang dapat melatih daya umum berpikir, memberikan kesadaran kepada kita akan nilai-nilai yang telah manusia lahirkan dan temukan melalui pikiran, perasaan, atau perbuatannya.  Sejarah pendidikan memberikan pengalaman yang luas mengenai kehidupan manusia pada tempat yang berbeda-beda dan waktu yang berbeda-beda pula.  Pada pihak lain sejarah juga termasuk salah satu ilmu sosial karena ia berbicara tentang masyarakat manusia dalam perspektif waktu, berbicara tentang masalah-masalah yang telah dihadapi oleh masyarakat dalam interaksi mereka satu sama lain, dan bagaimana mereka telah berhasil atau gagal dalam menghadapi dan mengatasinya.

Ruang cakup sejarah pendidikan sebenarnya hampir seluas sejarah pada umumnya.  Dasar, fungsi, tujuan pendidikan, jenis, jenjang pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, tenaga pendidik, kurikulum, sumber daya pendidikan (Sistem Pendidikan Nasional), semuanya dapat menjadi fokus kajian sejarah pendidikan.

Sejarah pendidikan tidak saja perlu bagi mahasiswa pendidikan dan sejarah, bagi pakar-pakar pendidikan dan sejarawan pendidikan, juga perlu bagi para pengambil keputusan dalam pendidikan. Mereka akan melihat dan menyadari betapa peliknya masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia; betapa pendidikan karena pertimbangan-pertimbangan politik dan/atau ekonomis kadang-kadang ditangani oleh orang-orang yang bukan akhlinya; bagaimana pendidikan menjadi objek eksperimen dan proyek yang hanya melihat pendidikan sebagai lahan subur untuk “berladang.”  Model ”slash and burn” dalam perladangan pendidikan, atau praktek-praktek “ranjang Procrustes” (Procrustean bed) dalam kebijakan pendidikan dan penyusunan kurikulum, misalnya, akan menjadi menarik untuk dikaji, diteliti, dan dituliskan oleh sejarawan pendidikan. (Sjamsuddin, 1996: 7-8)

Penelitian serta penulisan sejarah pendidikan di Indonesia masih belum banyak mendapat perhatian serius, tidak seperti sejarah politik atau sejarah sosial yang mendapat perhatian besar di kalangan sejarawan Indonesia.  Pengalaman sejarawan pendidikan di luar negeri justru menunjukkan bahwa sejarah pendidikan dapat menjadi bahan masukan pula bagi sejarah sosial apalagi sejarah intelektual dan sejarah kebudayaan.

Substansinya sejarah pendidikan adalah masalah-masalah yang telah dan sedang dihadapi pendidikan, tentang pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan dan keberhasilan yang telah dicapai oleh dunia pendidikan.

Ruang lingkup yang dapat dikaji dan diteliti oleh sejarawan serta yang dapat dosen-dosen atau guru-guru ajarkan dan/atau dibelajarkan pada siswa dan/atau mahasiswa sangat luas. Kita bisa menelusurinya melalui pendidikan menurut tingkat (level): pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, pendidikan menengah atas, sampai kepada perguruan tinggi.

Jika kita mau mengkaji menurut sektor, maka kita dapat mengkaji pendidikan orang dewasa, pendidikan alternatif, pendidikan umum, dan pendidikan swasta.

Jika kita mau mempelajari pendidikan menurut spesialisasi atau departemental, maka kita dapat mengkaji: pendidikan pertanian, pendidikan seni, pendidikan bisnis, pendidikan sains, pendidikan kimia, pendidikan matematika, pendidikan fisika, pendidikan bahasa, pendidikan jarak jauh, pendidikan anak-anak berbakat, pendidikan kedokteran, pendidikan musik, pendidikan agama, pendidikan khusus, pendidikan seks, pendidikan kejuruan dll. Setiap departemen yang ada di Indonesia yang juga menyelenggarakan pendidikan untuk rekrutmen pegawai atau tenaga akhli di departemen terkait dapat ditelusuri sejarahnya, masalah-masalah yang dihadapi dlsb.

Jika ingin mengkaji pendidikan dari setiap negara juga dapat terutama negara-negara besar, maju dan terkemuka sebagai contoh. Ini ada hubungannya dengan kajian komparatif karena dapat lintas negara dan lintas waktu.

Kita juga dapat mengkaji masalah-masalah yang dihadapi dunia pendidikan, misalnya, pengadaan dosen dan guru, mahasiswa dan murid, pengadaan sarana dan prasarana sekolah atau perguruan tinggi, pengadaan buku-buku teks, perpustakaan, metode-metode yang digunakan dalam pengajaran dan pembelajaran, penyusunan kurikulum, anggaran belanja pendidikan, masalah kualitas atau mutu pendidikan. Kita juga dapat meneliti masalah-masalah pendidikan wajib (compulsory education), e-learning, pendidikan kejuruan, sampai kepada masalah komersialisasi pendidikan dan pendidikan swasta. Jadi sebenarnya banyak yang bisa dikaji dan diteliti tentang sejarah pendidikan ini dan pada gilirannya nilai dan manfaat yang bisa dipetik dengan harapan kita tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang seharusnya dapat kita elak. Singkatnya sejarah pendidikan merupakan lahan terbuka dan subur untuk penelitian, penulisan dan pembelajarannya bagi para sejarawan, dosen-dosen sejarah maupun guru-guru sejarah pendidikan.

Referensi:

Benitez, Manuel de Puelles. (1992). Paedagogica Historica: International Journal of the History of Education, xxviii, 3.

Brubacher, John S.. (1996). A History of the Problems of Education. New York: Mc Graw-Hill Book Company, 2nd ed..

Brugmans, I.J.. (1938). Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlands-Indie.

Groningen-Batavia: J.B. Wolters.

Church, Robert L.. (1971). “History of Education As a Filed of Study” dalam The Encyclopedia of Education. The Macmillan Company & Free Press.

Evans, Richard J. 1997. In Defence of History. London: Granta Books..

Nasution, S. (1987). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jemmars.

Paedagogica Historica: International Journal of the History of Education, No.2, XXX (1994).

Porbakawatja, Soegarda. (1970). Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka.

Djakarta: P.T. Gunung Agung.

Robinson, James Harvey. (1912/’65). The New History. New York: The Free Press.

Silver, H.. (1985). “Historiography of Education” dalam The International Encyclopedia of Education, Vol.4. Oxford: Pergamon Press.

Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sjamsuddin, Helius. 1996. Sejarah Pendidikan: Cinderella Dalam Pengajaran dan Historiografi Indonesia? Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Sejarah. IKIP Bandung.

Sjamsuddin, Helius. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Proyek IDSN. Jakarta.

Supriadi, Dedi. 2002. Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia. Membangun Manusia Produktif. Depdiknas. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Supriadi, Dedi. 2003. Guru di Indonesia. Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi.

http://en.wikipedia.org/wiki/Education, 14-03-2008

http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_basic_education_topics, 14-03-2008

Bandung, 20 Maret 2008

[1]The days when the history of education was confined to describing the revolution of pedagogical thought or even producing a history of schooling are long gone.  Nowdays, studying the history of education has become fascinating and complex task in its attempt to explain how education has become an institutional reality deeply imbued with process of a wider social, economic, and political nature.  The historian of education cannot avoid the connection between these processes and the pedagogical fact.”  Lihat Manuel de Puelles Benitez dalam Paedagogica Historica: International Journal of the History of Education, xxviii, 3 [1992], hlm.485-486.

 

 

Comments are closed.