Menyingkap Kembali Makna Kebangkiatan Nasional: Perspektif Pendidikan Kritis

Oleh: Dadang Supardan

Pendahuluan

Ada suatu aksioma, “semakin tinggi mendirikan suatu gedung, semakin dalam dan kokoh pula fondasi yang diperlukan”. Ibarat membangun sebuah gedung, pembinaan  suatu bangsa juga memerlukan fondasi yang kokoh pula untuk menunjang usaha-usaha pembangunannya. Semakin baik kita meneropong jauh ke belakang, semakin baik pula potensi kita untuk membuat perspektif jangka panjang. Barangkali inilah keunikan belajar sejarah yang memiliki tiga dimenssi yakni masa lampau, kini, dan mendatang. Mengingat kedudukan manusia yang teristimewa sebagai makhluk Tuhan, “ia tidak sekedar memiliki masa lampau, tetapi juga mempunyai konsepsi tentang masa lampaunya itu. Begitu juga ia tidak hanya memiliki hari esok, tetapi sebagai manusia ia senantiasa memberi gambar tentang hari esoknya  tersebut”.  Sebab paling tidak, kita mengenal tiga fungsi belajar dari peristiwa-peristiwa sejarah, yakni:

Pertama, sebagai cahaya kebenaran, saksi waktu, dan guru kehidupan: ”historia magistra vitae” sebagaimana dikatakan Cicero (Lucey, 1984: 15), dalam hal ini termasuk peran sejarah sebagai ”penggembleng jiwa manusia menjadi kuat dan tahan menghadapi teror serta kekacauan” dalam kehidupan (Barzun, 1974: 131). Dan, selain itu, belajar sejarah mempunyai pengaruh higienis terhadap jiwa kita kerena membebaskan dari sifat yang serba percaya belaka (Langlois dan Seignobos dalam Kartodirdjo, 1992: 21). Kedua, agar kita menjadi ”tahu diri” apa yang belum dan harus kita perbuat (Collingwood, 1956: 10), dan ketiga; agar kita memiliki ”kesadaran sejarah” yang merupakan kulminasi dari tujuan utama studi sejarah (Namier, 1957: 375).

Dalam kajian ini, penulis hendak menganalisis di mana kekuasaan pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Apple dalam bukunya Education and Power, (1982), pendidikan itu tidak sekedar memiliki kekuasaan intelektual transmitif, tetapi juga transformatif. Sebagai kekuasaan intelektual transmitif, mengacu pada upaya-upaya enkulturasi dan reproduksi kultural (Apple: 21). Dalam hal ini sebagai pelestarian nilai-nilai yang tetap perlu dikembangkan. Sedangkan sebagai kekuasaan intelektual transformatif, yaitu yang menganggap belajar dan mengajar sebagai aktivitas politik, yang menggugah kesadaran anak didik mampu meyingkap penindasan dan ketimpangan yang asimetris khususnya dalam kehidupan di jaman kolonial dalam mewujudkan sistem demokrasi yang partisipatoris. Oleh karena itu bagi seorang pemikir Giroux—tokoh pendidikan kritis yang radikal—pendidikan harus meretas batas-batas persekolahan, masuk dalam wilayah publik, dan bersifat politis. Tugas tersebut berarti membuat pedagogi menjadi lebih bersifat politis, dan membuat politis lebih bersifat pedagogis (Giroux, 1983: 242).

Dalam pendidikan kritis begitu melekat pengaruh pemikiran mazhab Frankfurt, khususnya Horkheimer, Adorno, Marcuse dan Habermas. Bagi mereka dalam pendidikan kritis bukan sekedar persoalan metodologi pembelajaran di kelas, tetapi sebagaimana Freire maksudkan—melampaui sekolah dan menjadi bagian dari pembebasan masyarakat terjajah, yang selanjutnya menggantikan ketimpangan sistemik dengan komunitas dan anak didik yang lebih berdaya.  Dalam hubungannya dengan menyingkap kembali makna Kebangkitan Nasional, maka fokus kajiannya adalah bagaimana upaya kita dalam mewujudkan kemerdekaan yang diliputi oleh kesejahteraan, kesetaraan, demokrasi, politik kebudayaan, pendidikan bagi masyarakat dan anak didik kita (Giroux, 1992; 11)

Belajar dari Momen Kebangkitan Nasional

Tengokan ke belakang tentang lahirnya Kebangkitan Nasional itu penting, untuk memahami masa lampaunya itu sendiri maupun dalam menggembleng jiwa menjadi ”kuat” dan ”tahan menghadapi teror” maupun ”mempunyai pengaruh higienis” terhadap jiwa kita. Mengapa demikian? Karena dengan belajar suatu peristiwa sejarah  Kebangkitan Nasional tersebut, berarti pada hakikatnya kita belajar berpikir kristis—seperti ”benarkah nilai-nilai yang dikembangkan dalam perjuangan Kebangkitan Nasional itu masih relevan? Tidakkah Budi Utomo sebagai organisasi pergerakan yang  pertama lahir itu lebih membatasi diri pada keanggotaan Jawa dan Madura saja? Di sinilah dengan belajar sejarah tersebut berarti kita harus menyadari bahwa dalam peristiwa Kebangkitan Nasional tersebut, dalam beberapa hal kita boleh berbeda pendapat atas berbagai fakta yang kita tafsirkan. Selain itu Kebangkitan Nasional yang sering digandengkan dengan Pergerakan Nasional bukan sekedar menyajikan tentang apa, siapa, kapan dan di mana, melainkan juga tentang “mengapa” dan “bagaimana”? Dalam interpretasi sejarah, mempunyai potensi untuk memunculkan kemampuan analisis tentang hubungan sebab akibat historis, maupun bagaimana prosesnya peristiwa itu terjadi (Supardan, 2007: 36). Selain itu juga dalam interpretasi sejarah, dapat mendorong kita untuk memahami kontinuitas peristiwa masa lalu dengan masa sekarang.

Berikutnya bahwa belajar sejarah itu pada hakikatnya agar kita ”tahu diri”, termasuk tujuan kita belajar tentang Kebangkitan Nasional ini. Tentu saja, di samping untuk pemuasan keingintahuan dan kebutuhan intelektual, juga untuk refleksi dan introspeksi agar kita “tahu diri” atau selfknowledge (Bahasa Inggris), “gnothi seuton” (Bahasa Yunani) maupun “cognose te ipsum” (Bahasa Latin). Menurut Collingwood ”tahu diri” berarti; (1) apa dan bagaimana manusia semacam kita ini; (2) menjadi manusia yang bagaimana; dan (3) mengetahui manusia tentang diri dan pribadinya itu (maksudnya jika dirinya dibanding tokoh-tokoh kebangkitan yang diperjuangkankannya), bukan diri dan pribadi orang lain”. Maka ”tahu diri” berarti mengetahui kemampuan diri yang diberikannya, yang berarti mengetahui apa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu menurut Collingwood, nilai sejarah ialah bahwa sejarah dapat mengerjakan kepada kita ”manusia apa dan bagaimana” kita itu. Dari sejarah dapat diketahui apa yang telah dilakukan dan dikerjakan oleh kita, sehingga dapat diketahui pula apa dan bagaimana tingkah laku kita semestinya itu (Colllingwood, 1956: 10).

Selain itu, fungsi kita belajar sejarah termasuk Kebangkitan Nasional ini, pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan ”kesadaran sejarah”. Dalam hal ini ”kesadaran sejarah” diartikan sebagai suatu refleksi kontinu tentang kompleksitas perubahan-perubahan yang terjadi (kontinuitas dan kemungkinan-kemungkinan diskontinuitas) yang ditimbulkan oleh interaksi dialektis masyarakat yang ingin melepaskan diri dari genggaman realitas yang ada (Soedjatmoko, 1985: 48; 1995: 358-369). Dengan ”kesadaran sejarah” manusia berusaha menghargai kerumitan upaya pengungkapan terhadap kejadian yang melingkupinya, menghargai keunikan masing-masing keadaan, dan bahkan dalam kecenderungan yang dikaji. Kesadaran sejarah membantu manusia untuk waspada terhadap pemikiran yang dangkal, analogi yang terlalu sederhana, serta penerimaan pola hukum dalam cengkraman determinisme sejarah. Kesadaran sejarah juga berarti mengelakkan kecenderungan-kecenderungan menghadapi fenomena-fenomena yang buta, atau utopianisme politik yang instant utopinism sebagai akibat frustrasi-frustrasi yang dalam (Soedjatmoko, 1976: 14; Kartodirdjo, 1990: 270). Bahkan Namier (1957) menyebutnya bahwa kesadaran sejarah merupakan suatu pemahaman intuitif mengenai bagaimana sejumlah hal tidak terjadi (bagaimana sejumlah hal terjadi merupakan masalah pengetahuan khusus) sebagai tujuan utama studi sejarah.

Kebangkitan Nasional yang sering dihubungkan dengan lahirnya organisasi pergerakan Budi Utomo 20 Mei 1908, telah diangkat ke dunia lambang sebagai sumber inspirasi perjuangan dan persatuan bangsa secara terorganisir dan modern khususnya untuk “mendidik massa agar sadar secara politik, membina persatuan bangsa, dan mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan”. Di mana para tokoh menyediakan diri sebagai “martyr” mereka siap untuk setiap kali mendengar ketukan pintu yang akan membawa mereka ke penjara atau ketempat pengasingan.. Pengorbanan yang begitu besar, luhur, di mana mereka bersedia mempertaruhkan jiwa dan raganya, maka mau-tidak mau kita harus menghargainya untuk kita kembangkan sebagai wujud dari nilai-nilai yang pusar pada heroisme, patriotisme, dan nasionalisme.

Perlu juga disadari bahwa Kebangkitan Nasional bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri dalam kontinuitas sejarah bangsa Indonesia. Dalam arti, timbulnya Kebangkitan Nasional itu sendiri tidak lepas dari sebab-sebab intern maupun ekstern. Sebab-intern berhubungan dengan eksploitasi ekonomi, dominasi politik, dan penetrasi budaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan yang merupakan sebab-sebab ekstern berkaitan dengan Gerakan Arabi Pasya di Mesir (1881-1882), Gerakan Katipunan di Filipina, Perjuangan Sun Yat Sen (San Min Cu I) di Cina, Gerakan Turki Muda Kemal Pasya (1906), maupun perjuangan Allan Octavian Hume dengan All Indian National Conggress-nya di India (1885) yang dilanjutkan oleh Mahatma Gandhi dan J.Nehru. Namun yang paling dominan adalah peristiwa menangnya Jepang melawan Rusia tahun 1904-1905 di Port Arthur yang dimenangkan Jepang sehingga merobohkan mitos-mitos bahwa bangsa kulit putih itu selalu menang menghadapi kulit berwarna

Budi Utomo Sebagai Organisasi Politik Kontroversial?

Tiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dengan demikian pemerintah Indonesia masih menempatkan arti simbolis pada Budi Utomo sebagai organisasi nasional pertama yang lahir di Indonesia. Namun sangat aneh bahwa pengakuan yang telah diberikan kepada Budi Utomo hampir selalu terbatas pada beberapa tahun pertamanya saja (Nagazumi, 1989:1). Para sejarawan asing maupun domestik nampaknya cenderung kehilangan minatnya terhadap Budi Utomo selama periode sesudah 1912, ketika organisasi-organisasi lain yang lebih berpengaruh seperti Indische Partij, Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang telah lahir lebih bersifat politis dan progresif. Ketika partai-partai itu lebih berani menuntut kemerdekaan Budi Utomo hampir-hampir terabaikan sama sekali, walaupun sampai tahun 1935 organisasi itu masih hidup, yakni ketika berfusi dengan organisasi lain membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra).  Berbeda dengan posisi partai-partai lain yang ketika itu telah berubah, Budi Utomo masih tetap tampil independen dibanding dengan organisasi-organisasi lain manapun semasanya (Nagazumi, 1989:2).

Ketimpangan tentang pembahasan Budi Utomo belakangan ini nampak dalam cara para sejarawan berusaha menjelaskan kegagalan-kegagalannya. Banyak penulis yang dengan mudah memberikan cap kepada organisasi ini sebagai ”elite”, ”aristokratik” atau paling untung cap ”progresif moderat”. Ia diberi ciri sebagai sebuah organisasi pendidikan-kebudayaan, dengan peranan politik yang kecil belaka pada masa-masa berikutnya. Ironisnya kata ”kebudayaan” sering ditafsirkan dalam arti sempit yakni sebatas seni dan tradisi yang melingkupinya, melainkan kebudayaan; (1) sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajarinya dengan fungsi primernya adaptasi dengan lengkngannya; (2) sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam kemampuan berfikirnyamanusia; (3) sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama; (4) sebagai sistem simbol yang besifat pubik (Kessing, 1974: 74-79).

Sebagai suatu perbandingan, walaupun mungkin agak asing kedengarannya jika seseorang berjuang mencapai kemerdekaan, ternyata mampu meraih cita-citanya malalui perjuangan kebudayaan nasional. Cabral (1973: 41), seorang pahlawan kemerdekaan di Guine-Bissau Afrika yang menulis buku Return to the Source, ia menegaskan bahwa kebudayaan menjadi unsur perlawanan terhadap  dominasi asing: “manifestasi yang kuat di bidang ideologi atau idealis dari realitas  fisik dan historis masyarakat yang didominasi”. Selanjutnya pernyataan Cabral (1979: 143) dalam buku yang lain, yakni Unity and Struggle, menegaskan bahwa kebudayaan adalah unsur vital dalam proses pembebasan. Pembebasan nasional diekspresikan sebagai tindakan kebudayaan, ekspresi politik dari rakyat yang sedang melakukan perjuangan. Kebudayaan dengan demikian bisa berpengaruh positif terhadap rakyat dan kondisi mereka.

Frans Fanon (1979: 143), seorang pejuang Aljazair berprofesi sebagai psikiater yang disegani dan berjaya karena berhasil merebut kemeredekaan, dalam bukunya berjudul The Wretched of the Earth,  mengatakan bahwa

… klaim kebudayaan nasional di masa lalu tidak hanya mampu merehabilitasi bangsa itu dan berfungsi sebagai pembenaran  bagi harapan akan kebudayaan nasional masa depan. Dalam tataran  keseimbangan jiwa-afektif, kolonialisme  mestinya bertanggung jawab  atas perubahan penting pada pribumi…. Keteguhan dalam mengikuti bentuk-bentuk  kebudayaan yang sudah punah itu merupakan demonstrasi nalsionalitas; namun demonstrasi itu kini merupakan kemunduran ke hukum kelembaban. Tidak ada ofensif dan tidak ada redifinisi tentang hubungan-bungan itu. Yang ada hanyalah konsentrasi pada inti kebudayaan kita yang makin layu, diam, dan kosong.

Pendapat serupa di atas, dikemukakan juga oleh Edward Said (1996; 13), seorang intelektual humanis, perintis Teori Postkolonial,  dan kritikus budaya terkemuka dunia dari Timur Tengah dalam karyanya Culture and Imperialism.  Ia mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan bangsa-bangsa terjajah dan identitas nasional adalah masih merupakan entitas-entitas yang tunggal dan murni, melainkan telah dirusak oleh Barat. Said (1996; 14) selanjutnya mengatakan:

… kebudayaan adalah semacam panggung sandiwara di mana berbagai kuasa politik dan ideologi saling terkait. Bukannya menjadi  suatu lingkup kesantunan Apollonia yang tenang, kebudayaan bahkan dapat menjadi sebuah medan pertempuran di mana penyebab-penyebab itu menampakkan diri secara gamblang dan saling bertikai…. melainkan juga anggapan Barat bahwa kebudayaan itu dianggap lebih penting,  membiarkan terpisah dari dunia keseharian. Akibatnya kebanyakan humanis profesional tidak mampu menetapkan kaitan  antara kekejaman yang berlarut-larut dan kotor dari praktik-praktik seperti perbudakan, penindasan kolonial dan rasial, serta penaklukan  imperial disatu pihak, dengan puisi, fiksi, dan filosofi masyarakat dilain pihak.

Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan penjelasan di atas; dapatkah kebudayaan yang heterogen dalam suatu bangsa menjadi suatu kekuatan positip  khususnya dalam meningkatkan integrasi bangsa?  Sebab selama ini kita lebih terbiasa membenarkan pendapat sosiolog Durkheim (1964: 79) yang dituangkan dalam karya besarnya The Division of Labor in Society, bahwa kesamaan merupakan sumber terciptanya solidaritas sosial yang didorong oleh kesadaran kolektif (terutama oleh  solidaritas mekanik, yang berbeda dengan solidaritas organik). Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan  dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga  masyarakat yang sama itu. Jadi, tergantung dari individu-individu yang memiliki persamaan karakteristik, kepercayaan, dan pola normatif yang sama pula.

Berbeda dengan solidaritas organik, solidaritas itu muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar, sehingga tercipta suatu struktur masyarakat yang saling memiliki ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan  itu bertambah  sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan dan juga semakin menggairahkan perbedaan di kalangan individu (Johnson, 1986; 184-185). Solidaritas dengan demikian muncul karena perbedaan-perbedaan  di tingkat individu ini yang merombak kesadaran kolektif tersebut.  Solidaritas organik, pada dasarnya sangat memungkinkan tercapainya solidaritas dan integrasi bangsa karena adanya tingkat ketergantungan anatar individu maupun etnis itu menjadi semakin tinggi. P

Pernyataan tersebut sejalan pula dengan contoh kesadaran masyarakat yang dibutuhkan di Amerika Serikat yang ditulis oleh Robert N.Bellah (1985: 117), dalam buku Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, bahwa konsep kita tentang komunitas antar etnik itu sendiri harus memungkinkan bagi adanya pengakuan tentang perbedaan. Tradisi dalam pemikiran kita yang kuat namun menyesatkan mengenai komunitas adalah bahwa manusia hanya merasakan  perasaan sebagai komunitas ketika mereka menganggap diri mereka “sama” dengan anggota-anggota lain dari masyarakatnya. Namun di sinilah Bellah  (1985: 118) menegaskan bahwa jenis komunitas yang diperlukan di Amerika Serikat adalah  komunitas yang pluralistik, komunitas yang  meliputi rasa keterikatan  dan hubungan yang berasal dari aktivitas, keadaan, tugas, lokasi bersama dan sebagainya¾dan terutama didasarkan pada pengalaman kemanusiaan bersama¾namun dengan mengakui dan menilai perbedaan-perbedaan budaya dan jenis-jenis perbedaan lainnya juga.

Jika dihubunan dengan organisasi Kebangkitan Nasional, seorang penulis menunjuk kegagalan Budi Utomo sebagai partai politik pada sifat keanggotaannya yang terbatas, yaitu terdiri dari ”kaum bangsawan Jawa”, pejabat pribumi, dan intelektual Indonesia” (Vlekke, 1959: 348). Lebih ekstrem lagi yang menanggalkan sama sekali Budi Utomo sebagai organisasi ”pra-politik”, nampaknya hendak menyimpulkan bahwa sungguh menyesatkan apabila memandang organisasi Budi Utomo sebagai pelopor nasionalisme Indonesia, mengingat kebangkitan nasionalisme Indonesia pertama-tama dan terutama adalah fenomena politik (Benda, 1958: 41).

Sebetulnya wajar juga  jika seruan kebangkitan nasional, pertama-tama terdengar dari kalangan orang-orang Jawa, oleh karena jika dibandingkan dengan kelompok etnik lainnya, mereka itu menerima akibat yang paling besar dari pemerintah kolonial Belanda. Selain itu dapat dipahami juga bahwa kaum bangsawan dan intelektual menunjukkan diri lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan sosial apabila dibandingkan dengan massa pada umumnya. Perlu dingat juga bahwa kehati-hatian ditempuh oleh semua pemimpin dari semua pemimpin organisasi nasional Indonesia pada permulaan itu, agar tidak terlalu nampak radikal di mata pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu mempersalahkan Budi Utomo karena tidak tampil sebagai organisasi politik, kiranya merupakan hal tidak relevan dengan situasi saat tersebut.

George Mc. Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, (1952), telah memberikan gambaran latar belakang ringkas nasionalisme Indonesia sampai tahun 1945. Akan tetapi tidak cukup banyak membahas tentang Budi Utomo. Begitu juga penulis Indonesia sendiri Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakjat Indonesia (1950) dan Sitorus dalam Sedjarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia (1947), mereka menunjukkan minatnya yang kecil  terhadap organisasi pergerakan nasional tersebut.

Mungkin di antara yang menunjukkan karya yang indah adalah Pluvier dalam Overzicht van de ontwikkeling der nationalisticche beweging in Indonesie (1953), yang mengkaji Budi Utomo secara rinci sampai setelah tahun 1930-an walaupun kurang mendalam pada periode awal. Satu karya lagi yang lebih holistik dari karya Petrus Blumberger dalam De nationalistische beweging in Nederlandsch-Indie (1931). Dalam kajiannya Blumberger menjelaskan tentang semua organisasi kebangsaan yang penting meliputi Budi Utomo mulai dari permulaan sampai tahun 1930-an pada zaman pemerintah kolonial Hidia Belanda berdasarkan pengalamannya langsung sewaktu ia menjadi pejabat penting. Selain itu, karya lain yang pantas mendapat dukungan adalah karya Leslie Palmier dalam Social Status and Power in Java (1960) dan karya Robert Van Niel dalam ”The Emergence of the Modern Indonesian Elite” (1960).

Dari kedua tulisan tersebut memberikan ulasan secara sosiologis yang brilian terhadap elite Jawa. Jika Palmier lebih bertumpu pada studi-studi terdahulu seperti yang dibahas Furnival (1944) dan Schrieke (1955). Sedangkan Van Niel bermula pada pembahasan evolusi sejarah yang mengkaji pada tumpuan perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan elite Jawa dari awal abad ke ke-20 sampai dengan pemberontakan Komunis di Sumatra tahun 1927 itu. Satu hal terpenting dari karyanya tersebut karena pembahasannya dititikberatkan pada peranan kaum bangsawan tradisional (priyayi) yang berjumlah kecil, dan dididik menurut peradaban Barat. Selain itu Niel mengemukakan bahwa arti pentingnya pejabat pemerintah pribumi yang disebutnya sebagai ”elite fungsional” yang berbeda dengan ”elite politik”, yang menurut pendapatnya telah dinilai berlebih-lebihan oleh kalangan sejarawan Indonesia (Niel, 1960: 240-241). Perubahan yang dikaji oleh Niel tersebut membawanya ia lebih cermat tentang peranan Budi Utomo yang memberikan gambaran lebih utuh meengenai perkembangan intektual Jawa.

Bercermin dari Krisis Multidimensi Berkepanjangan

Dalam ingatan kita masih segar bahwa krisis multidimensi yang berkepanjangan—puncaknya tahun 1997-2000—merupakan pengalaman terpahit dalam krisis ekonomi, politik, dan hukum pasca kemerdekaan Indonesia. Krisis yang dapat diibaratkan negara-bangsa yang turbulensi (chaos) di mana banyak pengamat menyebutnya sebagai  “A Country in Despair” suatu negara bangsa yang bukan sekedar dilterpa bencana, tetapi telah tenggelam dalam ketiadaan harapan yang mendalam (Dhakidae, 2002; xvii).

Simbolon (2000: 2-6) mengemukakan bahwa krisis multidimensi Indonesia, telah membuka seluruh “topeng” sampai ke bagian-bagian yang tersembunyi. Ia dengan putus asa dan emosional penuh sinis serta sindiran terhadap Indonesia sebagi negeri yang serba seolah-olah, a heap of delusions, tidak ada lagi sebenarnya apa yang disebut nasionalisme, heroisme, keadilan, persatuan, kejujuran maupun kebanggaan.

Pendeknya, lembaga-lembaga lama bertahan kendati tanpa wibawa.  Indonesia membangun dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat, dengan politik yang seolah-olah stabil; dengan kesadaran selolah-olah bersatu; dengan pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan ABRI yang seolah-olah satria; dengan ahli hukum seolah-olah adil; dengan pengusaha yang seolah-olah captains of industri;… Semua tampak salah, ibarat gigi palsu yang memang lebih kemilau daripada gigi asli,…mirip kebohongan di atas kebohongan.

Pendapat Simbolon tersebut seperti dikemukakan sebelumnya mungkin bersifat emosional, oleh karena itu tidak sepenuhnya benar. Tetapi gambaran itu juga tidak sepenuhnya salah, bahwa integrasi bangsa khususnya sedang mengalami krisis yang berbahaya.

Konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia sejak tahun 1997 barangkali dapat dijelaskan dengan teori chaos—yang mulai dikenal di kalangan sains pada penghujung abad 20. Secara sederhana fenomena chaos dapat digambarkan dengan ungkapan terkenal, ”Does the flap of a butterly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas” (Lorenz, 1993: 14). Atau ada juga yang mengatakan “Kepak sayap seekor kupu-kupu di pelabuhan Sydney sudah cukup menimbulkan angin taufan dua minggu kemudian di Jamaica”¾ soal-soal kecil dan spele bisa menimbulkan kekacauan besar.

Konflik-konflik yang terjadi di berbagai pulau-pulau besar—Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, Sumatera—salah satu buntutnya adalah pilihan penduduk untuk bertahan tinggal ataukah meninggalkan kediaman mereka yang telah berubah menjadi daerah konflik berkepanjangan. Sampai dengan tanggal 5 April 2002 menurut Sugiya (2002: 337) sudah 1.247.449 orang Indonesia hidup mengungsi di negerinya sendiri. Saat itu pengungsi tersebar di di 20 provinsi. Data sampai tanggal 5 April 2002 memperlihatkan Maluku sebagai provinsi yang paling banyak menampung pengungsi: 300.091 orang sekitar 24,06 persen.  Begitu juga korban konflik di Aceh menyebabkan 48.489 mengungsi ke Sumatera Utara. Kemudian korban konflik di Timor Timur sebagian besar mencari perlindungan di Nusa Tenggara Timur mencapai 26.196 keluarga atau 136.143 orang.

Di Kalimantan Barat dan Tengah memang provinsi yang rentan dengan konflik. Setidaknya sudah terjadi 11 konflik besar yang melibatkan etnik-etnik tertentu di daerah itu sejak tahun 1950 sampai 1999. Penyebab langsungnya hampir sama; soal-soal spele. Konflik terjadi di Sambas tahun 1999 misalnya, dimulai dengan terbunuhnya seorang pencuri dari salah satu etnik yang bertikai. Kapak sayap kupu-kupu ini kemudian berkembang dalam waktu relatif singkat menjadi perseteruan antaretnik. Tidak kurang dari 3.000 orang warga Desa Paritsetia yang tidak tahu-menahu dengan persoalan itu terpaksa mengungsi. Manakala derajat konflik membesar 68.000 jiwa dari etnik tertentu terpaksa mengungsi (Triardiantoro dan Suwardiman, 2002: 322).

Pola kepak sayap kupu-kupu itu pula yang terjadi di Maluku dan Poso. Sama-sama dimulai dengan perkelahian atau bentrokan antarwarga. Jika faktor pemicu di Kalmantan Barat adalah etnik, sedangkan di dua kawasan Indonesia Timur ini faktor pemicunya adalah penganut agama. Kerusuhan di Poso berawal dari konflik antarpemeluk agama di penghujung tahun 1998. Berlangsungnya selama seminggu, lalu reda, tetapi kambuh lagi pada pertengahan 1999. Bentrokan susul-menyusul sampai-sampai Poso lumpuh total. Tidak hanya aktivitas masyarakat yang terhenti, kantor-kantor pemerintah juga terpaksa ditutup untuk sementara waktu.

Kemudian kerusuhan di Maluku diawali dengan bentrokan antara seorang warga dan seorang sopir angkutan di Ambon pada pertengahan Januari 1999 (Triardianto, 2002: 32!). Bentrok itu berkembang menjadi konflik antaragama dan menjalar ke Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Sebetulnya upaya pemerintah dalam mengatasi konflik itu signifikan. Berakhirnya konflik di Sambas dan Sampit tidak lepas dari keseriusan pemerintah membentuk tim peneliti yang beranggotakan pakar berbagai kajian dsplin ilmu. Pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat dan Tengah oleh keempat etnik—Dayak, Melayu, Tionghoa, dan Madura—turut menghentikan konflik dengan menempatkan perselisihan antarwarga sebagai perselisihan perseorangan, bukan sebagai pertikaian antaretnik (Triardianto, 2002: 32!). Yang tampak lama adalah di Poso, Ambon, bahkan Aceh, dan Papua.

Sindhunata dalam tulisannya Demitologisasi Persatuan Nasional menyebutkan:

”… kelumpuhan terasa dalam ketidakberdayaan kita menghadapi fenomena perpecahan dan disintegrasi bangsa. Kita khawatir, bila Aceh jadi merdeka, jangan-jangan kita juga tidak mampu mencegah Ambon, Riau, Papua, Poso, bila mereka ikut-ikutan ingin merdeka. Di manakah kiranya akar dari kerapuhan dan kelumpuhan itu? (Sidhunata, 2000: 93).

Ketahanan integrasi bangsa kita di sini sedang diuji kehandalan karena kelalaiannya. Pemerintah Orde Lama, Orde Baru telah keliru dengan merasionalkan persatuan yang bersifat mitis itu menjadi suatu nasionalisme tanpa mewujudkan ke-mitis-an persatuan tersebut secara empiris. Maksudnya, pemerintah tidak memberi kesempatan bahwa masing-masing kelompok etnik untuk mengekspresikan keleluasaannya dalam persatuan bangsa ini. Ini sungguh mengerikan di mana orang tidak lagi menghargai bahwa perbedaan agama-budaya itu sebagai Rachmatan lil-Allamin. Bukankah negara ini juga dibangun atas dasar motto Bhineka Tunggal Ika? Yang digali sejak jaman Majapahit dahulu dari Mpu Tantular dalam Negara Kertagama “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Belum lagi gerakan-gerakan yang ingin memproklamirkan diri seperti kelompok GAM di Aceh, RMS di Ambon atau Maluku Selatan, dan Gerakan Papua Merdeka. Semuanya ini jika dibiarkan akan mencabik-cabik kesatuan dan persatuan bangsa. Hal-hal yang semacam inilah yang dalam bukunya Francis Fukuyama  dalam The Great Disruption si penulis buku terlaris abad ini The End History of Last Man,  bahwa Social Capital kita menjadi rendah karena tidak adanya rasa saling percaya antar etnik, budaya, agama, justru yang ada adalah rasa curiga yang dalam. Ini berbahaya jika tidak ada rasa percaya-mempercayai, harga menghargai antar anak bangsa yang ada.

Memang banyak generasi muda yang mampu mengukir prestasi seperti dalam berbagai lomba maupun olimpiade sains di berbagai negara yang telah diselenggarakan. Tetapi suatu hal yang memprihatinkan aktivitas generasi muda yang telah ditulis dan diteliti oleh beberapa Harian Terkemuka Ibu Kota, bahwa tidak sedikit anak-anak muda kita yang terjebak dalam “The Pursuit of Wow” mengejar kegemerlapan, mengedepankan kenikmatan-kepuasan, mengabaikan idealisme dalam arti lebih materialis dan idividualistik, serta sikap-sikap yang acuh tak acuh terhadap kemajuan negara-bangsa. Pendeknya tidak sedikit anak-anak muda yang lebih mengedepankan budaya hedonik yang ditandai oleh pengejaran kepuasan dan kenikmatan. Maraknya patologis seksual dan budaya kekerasan. Lebih mengerikan lagi dalam hasil penelitian tersebut siswa-siswi, mahasiswa, dan generasi muda umumnya banyak terlibat dalam tawuran, “kumpul kebo”, maupun pelecehan-pelecehan seksual lainnya dari perkosaan sampai dengan “berteman tapi mesra” tanpa merasa berdosa. Begitu juga di kalangan orang tua sekarang ini nampaknya penyakit masyarakat tentang, selingkuh, KKN, khususnya korupsi masih melekat dan merajalela di Indonesia, walaupun ironisnya hanya sedikit koruptor-koruptor yang tertangkap dan diadili dan itupun lebih banyak  kelas teri.

Sungguh menyedihkan, bangsa yang terkenal peramah, religius, dan menjunjung kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas, suka berkelahi dan saling membunuh. Nilai-nilai yang dahulu kita anggap agung, luhur, dan mulia, zaman sekarang ibarat binatang ”langka” yang hampir musnah ”mati suri” makin tidak berdaya. Penulis teringat akan penyair Latin Klasik Publius Ovidius yang telah menulis pada awal abad pertama Masehi: ”video meliora proboque, pejora autem sequor” (saya melihat hal-hal yang baik dan menyetujuinya, tetapi ternyata saya mengikuti juga hal-hal yang kurang baik). Kemudian Filosof Nietzche dengan caranya yang khas bahkan menulis bahwa ”der Irrtum hat aus Tirren Menschen gemacht” atau kekeliruanlah yang membuat hewan menjadi manusia—karena hewan tak bisa khilaf, sedangkan manusia sering keliru (Kleden, 2001: 27).

Ada semacam dugaan umum bahwa untuk menenganalisis stagnasi kajian nilai-nilai  Indonesia dewasa ini disebabkan adanya kesenjangan yang bersifat struktural dalam masyarakat sendiri. Kesenjangan itu mencuat tidak saja dengan hadir dan diintrodusirnya nilai-nilai budaya Barat dalam pola pikir dan tingkah laku, tetapi juga sekaligus diperuncing oleh ketidaksiapan dan ketidakmatangan budaya domestik, untuk merangkul dan memberi inspirasi terhadap apa yang disebut kemajuan dalam kemodernan (Bulkin, 16 Juli 1985)..

Di satu sisi nilai-nilai Barat yang hendak dikembangkan di Indonesia ternyata tidak mendapat dukungan yang kokoh dari struktur sosial, ekonomi, maupun politik. Tetapi di sisi lain, banyak contoh dan kasus yang menunjukkan bahwa situasi ekonomi, sosial, politik ini tidak bisa disimpulkan sepenuhnya bersandar pada nilai asli domestik, kendati usaha-usaha ke arah itu dirasakan sangat gencar dalam praktik pembangunan. Di lain pihak, dalam orasi ilmiahnya memperingati 25 tahun CSIS (18-19 September, 1996) Prof. Robert A. Scalapino mengatakan: nilai-nilai politik pada akhir-akhir ini telah memudar dan ada kekuatan-kekuatan (nilai-nilai) lain yang segera mengisi kekosongan ini, yaitu kesadaran etnik yang meningkat, dan di wilayah-wilayah tertentu oleh komitmen keagamaan yang meningkat. Dengan demikian, kita menjalani abad XXI dengan mempertanayakan ”Apa yang saya percayai?”(What do I belives?), dan ”Siapa saya ini sebenarnya?” (Who am I?). Kedua pertanyaan itu merupakan tantangan kembar di masa sekarang dan mendatang.

Daftar Pustaka

Apple, M.W. (1982) Education and Power, New York: Routledge, edisi ke-2 diperbaiki 1995; edisi pertama diperbaiki, Boston 1992.

Anderson, James D. (2003) “Lawrence A. Cremin” dalam Joy A Palmer, 50 Pemikir Pendidikan, Dari Piaget Sampai Masa Sekarang, Alih Bahasa Farid Assifa, Yogyakarta: Jendela.

Barzun, J. (1974) Clio and the Doctors, Psycho-History, Quanto-History & History, Chicago: The University of Chicago Press.

Benda, Harry J. (1958) The Cresent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Javanse Occupation of Java, 1942-1945, Den Haag: W. van Hoeve.

Blumberger, Th P. (1931) Denationalistische beweging in Nederlandsch-Indie. Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon.

Briggs, J. dan Peat, D. (1999) Seven Lesson of Chaos: Timeless Wisdom from the Science, New York: Harper Collins Publishers.

Collins, Randall (1977) “Some comparative principles of educational stratification”, Harvard Educational Review, 47: 1-27.

Collingwood, R.G. (1956) The Idea of History, London and New York: Oxford University Press.

Dhakidae, Daniel (2002) ”Indonesia dalam Krisis: Mengamati Gerak dan Krisis, Neo-Konservatisme, Menuju Tragedi”, dalam Indonesia dalam Krisisi 1997-2002, Jakarta: Penerbit Kompas, Halaman xvi-xxx.

Furnivall, John, S. (1944) Netherlanddds-Idia: Study of Plural Economy, Cambridge: University Press.

Giroux, H. (1992) Border Crossing: Cultral Workers and the Politics of Education, London: Routledge.

Giroux, M. (1981) Ideology, Culture and the Process of Schooling, London: Falmer Press.

Giroux, M. (1983) Theory and Resistance in Education, London: Heinamans.

Gottschalk, Louis (1975) Mengerti Sejarah, Terjemashan Nugroho Notosusanto, Jakarta: Penerbit UI Press.

Kartodirdjo, Sartono (1992) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia.

Keesing, R.M. (1974) Kin Groups and Social Structure, New York: Holt, Rinehart and Winston.

Kleden, Ignas (2001) Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Kompas.

Lucey, William, Leo, (1984) History Methods and Interpretation, New York & London: Garland Publisher, Inc.

Nagazumi, Akira (1989) Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Terjemahan KITLV-LIPI, Jakarta: Grafiti Press.

Niel, R.Van (1960) The Emergence of the Modern Indonesian Elite, Den Haag-Bandung: W.van Hoeve.

Palmier, Leslie H. (1960) Social Status and Power in Java, London School of Economics, Monograph on Social Anthropology, 20 London: Athlone Press.

Pringgodigdo, A.K. (1950) Sedjarah pergerakan rakjat Indonesia, Djakarta: Pustaka Rakjat.

Ricklefs, M.C. (2005) Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Scalapino, Robert,A. (1997) “Asia-The Past 50 Years and the Next Fifty Years”, dalam One Southeast Asia in A New Regional and International Setting, Hadi Soesastro, ed Jakarta: CSIS.

Schrieke, B.J.O (1955-57) Indonesian Sociological Studies: Selected Writings of B. Schrieke, 2 jilid.

Simbolon, Parakitri. T (2000) “Indonesia Memasuki Milenium Ketiga”, dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sjamsuddin, Helius (1996) Metodologi Sejarah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Sidhunata, (2000) ”Demitologi Persatuan Nasional” dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Penerbit Kompas.

Silalahi, Harry, Tjan (2001) ”Pemahaman Baru Kebangsaan”, dalam Mereumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Eds Indra J.Piliang, Jakarta: CSIS.

Simbolon, Parakitri (2000) Indonesia Memasuki Milenium Ketiga, dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Penerbit Kompas.

Sitorus, L.M. (1947) Sedjarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta.

Soedjatmoko, (1976) ”Kesadaran Sejarah dan Pembangunan” dalam Prisma No.7 Tahun V, Jakarta: LP3ES.

Soedjatmoko, (1985) Etika Pembebasan, Pilihan Kerangka Tentang Agama, Kebudayaan, Sosial dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, LP3ES.

Soedjatmoko, (1995) ”Sejarawan Indonesia dan Zamannya”, dalam Soedjatmoko (Eds) Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia.

Sugiya, Aritasius (2002) ”Sejuta Lebih Pengungsi” dalam Indonesia dalam Krisisi 1997-2002, Jakarta: Penerbit Kompas, Halaman 335-337.

Supardan, Dadang (1996) ”Kepeloporan Kartini Sumber Inspirasi Perjuangan Wanita Indonesia”, Artikel Harian Umum Meredeka, Jakarta: 20 April 1996.

Supardan, Dadang (1997) ”Menguak Makna Kebangkitan Nasional”, Artikel Harian Umum Pikiran rakyat, Bandung, 1997.

Supardan, Dadang (2003) ”Turbulensi dan BahasaKekerasan dalam Pendidikan”, dalam  Helius Sjamsuddin dan Andi Suwirta, Historia Magistra Vitae, Bandung: Historia Press.

Supardan, Dadang (2007) Pengembangan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah, makalah Seminar Internasional di Universti Kebangsaan Malaysia (UKM) 26 Juni 2007.

Triardianto dan Suwardiman (2002) ”Potret Konflik Indonesia” dalam Indonesia dalam Krisisi 1997-2002, Jakarta: Penerbit Kompas, Halaman 314-334.

Vlekke,B.H.M. (1959) Nusantara: A History of Indonesia, Den Haag-Bandung: W. van Hoeve.

Comments are closed.