Pesantren dan Kemandirian Santri: Kasus Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey Kabupaten Bandung

Oleh: Ayi Budi Santosa

ADALAH suatu realita bahwa tidak semua santri berasal dari keluarga yang mampu. Dari beberapa kasus pengalaman yang saya saksikan bahwa ada beberapa santri yang putus masantren dengan alasan tidak punya biaya, sehingga dengan berat hati orang tuanya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Demikian pula tidak semua alumni pesantren bisa mengembangkan diri melalui ilmu keagamaan semata. Bagi alumni pesantren yang tidak mempunyai bekal keterampilan di luar bidang keagamaan, begitu kembali ke masyarakat, mereka menghadapi masalah menyangkut mata pencaharian hidup. Kasus-kasus yang dialami warga masyarakat yang tidak mampu itu tentu merupakan masalah yang harus dicari pemecahannya.

Bertitik tolak dari pemikiran itu, mendorong keinginan saya untuk mengadakan serangkaian penelitian dengan fokus peranan pondok pesantren dalam mengembangkan kemandirian santri. Di samping itu, ada beberapa alasan lain yang terkait dengan peranan pesantren ini. Pertama, adanya kesenjangan antara output pondok pesantren dengan harapan masyarakat. Kedua, dinamika dan peran pesantren harus terus dikaji problematika dan pemecahannya, sehingga mampu mengubah citra masyarakat terhadap pondok pesantren dan alumninya. Ketiga, ingin pula diketahui persepsi sebagian masyarakat tentang pondok pesantren, kenapa timbul citra yang kurang menguntungkan bagi perkembangan pondok pesantren sebagai lembaga pengkaijan ilmu keislaman sesuai dengan misi dan visi yang diembannya.

Identifikasi Masalah

Dari uraian di atas terlihat adanya kesenjangan antara visi dan misi pondok pesantren dengan persepsi sebagian warga masyarakat, terutama yang menyangkut harapan yang disandarkan kepada pondok pesantren, antara lain masalah biaya hidup santri selama masantren dan pemenuhan kebutuhan hidup alumni kelak dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini bisa diupayakan dengan mengembangkan kemandirian santri melalui penerapan n Ach. Dengan demikian, santri yang  memang berasal dari kelompok tidak mampu melalui peran pondok pesantren diupayakan agar memperoleh suatu prestasi bagi dirinya, pondok pesantren, dan ummat. Oleh karena itu, ada tiga masalah penelitian yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

Pertama, bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh pondok pesantren Al-Ittifaq dalam mengembangkan kemandirian santri?

Kedua, bagaimana transformasi nilai-nilai agama dan sosial-budaya yang melandasi pondok pesantren Al-Ittifaq dalam mengembangkan kemandirian santri?

Ketiga, bagaimana peranan alumni pondok pesantren Al-Ittifaq dalam kehidupan bermasyarakat?

Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk menelusuri dinamika  pondok pesantren Al-Ittifaq secara langsung dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Penelitian ini, dengan demikian, bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal berikut: (1) Upaya-upaya  yang dilakukan oleh pondok pesantren Al-Ittifaq dalam mengembangkan kemandirian santri; (2) Transformasi nilai-nilai agama dan nilai sosial-budaya yang melandasi pondok pesantren Al-Ittifaq dalam mengembangkan kemandirian santri; dan (3) Peran alumni pondok pesantren Al-Ittifaq dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun penelitian ini diharapkan akan berguna untuk: (1) Memperkaya khasanah kajian Sosiologi-Antropologi, khususnya Sosiologi Pendidikan; (2) Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pembinaan dan pengembangan pondok pesantren; dan (3) Sebagai masukan bagi para pengambil keputusan dalam pelaksanaan pembangunan  masyarakat.

Kerangka Pemikiran

Peranan, seperti dikatakan oleh Turner, merupakan sebagian dari interaksi dalam sistem sosial yang sifatnya sementara.[1] Dalam artian bahwa setelah santri memperoleh ilmu agama dan keterampilan, santri tersebut akan kembali ke keluarga atau ke masyarakat dan mengembangkan ilmu dan keterampilan yang telah diperoleh. Interaksi yang dilakukan pondok pesantren Al-Ittifaq adalah interaksi keagamaan yang berupaya menyeimbangkan interaksi secara transendental terhadap Al-Khaliq dan interaksi sosial terhadap sesama makhluq.

Sementara itu, kemandirian mengandung pengertian hal atau keadaan dapat hidup sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Kemandirian dalam konteks ini diartikan sebagai potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri.[2] Kemandirian dapat pula bermakna sebagai usaha untuk mengenali potensi yang dimiliki, masalah yang dihadapi, dan kemudian memecahkan masalah tersebut sesuai dengan potensi yang dimilikinya.[3]

Dari kedua definisi tersebut terlihat jelas bahwa kemandirian bagi pondok pesantren Al-Ittifaq menunjukkan bagaimana upaya pondok pesantren tersebut mengelola sendiri berbagai sumber dana dan sumber daya agar tidak bergantung pada orang atau pihak lain. Dengan demikian, potensi alam, sosial dan budaya di lingkungan pondok pesantren Al-Ittifaq  dikelola demi kelangsungan hidup pondok pesantren yang diarahkan melalui pengembangan kemandirian santri.[4]

Pengembangan kemandirian santri di sini akan terkait dengan proses yang harus diikuti santri selama masantren  dengan, di samping mendalami ilmu agama sebagai bidang ajar yang pokok, mengikuti salah satu keterampilan yang ditawarkan pondok pesantren Al-Ittifaq melalui proses pembelajaran yang dikembangkan yaitu belajar sambil bekerja.

Dari proses pembelajaran seperti itu diharapkan menghasilkan alumni yang berkualitas dalam bidang agama sekaligus tidak menjadi beban orang lain dalam mengamalkan ilmunya bagi masyarakat. Dengan perkataan lain, diharapkan setiap santri  memiliki  potensi yang perlu dikembangkan guna memperoleh solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi baik selama masantren maupun kelak setelah berada di tengah masyarakat.

Terkait dengan kemandirian santri termaksud adalah misi dan visi pondok pesantren Al-Ittifaq. Misi yang dikembangkan adalah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada ummat untuk memperdalam ilmu agama; sedangkan visinya adalah kemandirian baik bagi pesantren maupun santri dan alumni. Misi dan visi tersebut  merupakan refleksi dari satu kenyataan untuk memberdayakan santri yang mempunyai latar belakang ekonomi kurang mampu. Oleh karena itu, pihak pondok pesantren Al-Ittifaq mencoba memberi peluang dan kesempatan sesuai dengan kemampuan, baik kemampuan yang dimiliki pondok pesantren maupun kemampuan yang ada pada santri untuk mengembangkan kemandirian.

Pondok pesantren sebagai suatu pranata yang menyelenggarakan penyerapan nilai ajar dari kyai oleh santri. Transformasi nilai yang diterapkan pada pondok pesantren akan terkait dengan interaksi antar berbagai unsur pembentuk pesantren terdiri atas pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri, dan kyai.[5] Namun demikian, menurut saya, pola-pola tersebut antara lain disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pondok pesantren masing-masing.

Dengan mengutip pendapat Johnson dan Adiwikarta,  paling tidak ada tiga tahap analisis sosiologis dalam mempelajari pendidikan yaitu tahap makro, tahap struktur atau messo, dan tahap mikro.[6]

Analisis yang juga akan sangat berguna dalam melihat peranan pesantren dalam mengembangkan kemandirian santri ini adalah perspektif modernisasi, yakni pandangan McClelland tentang virus mental n Ach (need for Achievement, kebutuhan untuk meraih prestasi).[7] Pokok pandangannya adalah suatu pikiran yang berhubungan dengan “melakukan sesuatu dengan baik” atau “melakukan sesuatu dengan lebih baik” dari pada yang pernah dibuat sebelumnya: lebih efisien dan lebih cepat, kurang mempergunakan tenaga, dengan hasil yang lebih baik, dan sebagainya.

Virus n Ach bisa dikembangkan dan ditularkan pada pondok pesantren dan kepribadian modern merupakan sikap mental sebagai dasar untuk mengaplikasikan n Ach. Dengan perkataan lain, pada hal-hal tertentu akan terdapat nilai budaya tradisional yang positif, seperti yang dikemukakan oleh Dove, tentang peranan kebudayaan tradisional Indonesia dalam modernisasi.[8] Demikian pula pendapat Koentjaraningrat, yang mengemukakan bahwa, “[…] terdapat nilai budaya tradisional yang merupakan pendorong pembangunan, yakni tahan penderitaan dan gotong royong”.[9] Dan bagi dunia pesantren, nilai budaya tersebut sudah melekat pada diri setiap santri, sebagaimana yang diungkapkan Wahid dan Horikoshi, yakni: “[…] memelihara yang baik dari tradisi lama, dan mengambil yang lebih baik dari perubahan baru”.[10]

Akhirnya, pendekatan dari sudut nilai keagamaan merupakan hal yang sangat penting karena sesuai dengan aktivitas kehidupan keseharian di pondok pesantren yang tidak terlepas dari nilai-nilai agama. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Dalam keadaan di mana pengaruh ajaran-ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem-sistem nilai kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut terwujud sebagai simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya.[11]

Secara spesifik, peranan pondok pesantren dalam mengembangkan kemandirian santri, antara lain, terkait dengan fungsi-fungsi tradisionalnya, yakni (1) transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; (2) pemeliharaan tradisi Islam; dan (3) reproduksi ulama.[12] Di samping itu peranan pesantren dalam pembangunan masyarakat Islam dan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat menyangkut hal-hal berikut. Pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukan subyek-subyek umum dan vocational. Kedua, pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal dan perjenjangan. Ketiga, pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren dan diversifikasi lembaga pendidikan. Dan keempat, pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan, dikembangkan sehingga juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.[13]

Hipotesis Kerja dan Metode Penelitian

Sebagai panduan dalam pelaksanaan penelitian digunakan hipotesis kerja sebagai berikut: (1) Kemandirian santri dikembangkan melalui keterpaduan pelaksanaan kurikulum keislaman dan keterampilan siap pakai, cenderung pondok pesantren Al-Ittifaq dapat berperan dalam melahirkan alumni yang mandiri; (2) Pengembangan kemandirian santri yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan nilai-nilai sosial-budaya cenderung memberikan kontribusi terhadap proses pembelajaran santri; dan (3) Peranan alumni pondok pesantren Al-Ittifaq dalam kehidupan bermasyarakat yang mampu mengembangkan kemandiriannya dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap citra pondok pesantren.

Sementara itu sesuai dengan judul penelitian, maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Para pakar penelitian kualitatif menyebut berbagai istilah, antara lain studi kasus, namun hakikat penelitian kualitatif adalah “berupaya guna memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa tak memerlukan kuantifikasi, atau karena gejala-gejala tersebut tak memungkinkan diukur secara tepat”.[14]

Pemilihan metode ini didasarkan kepada kondisi pesantren sebagai suatu pranata sosial secara sistemik. Sebagai studi kasus, metode ini tentu berupaya untuk memahami berbagai unsur, proses dan fungsi dari kesatuan sosial yang diteliti dan dianalisis dalam satu kesatuan sistemnya.

Sumber dan Cara Menentukan Data

Data yang diperlukan terdiri atas data primer yang diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi.

Sesuai dengan metode yang digunakan yakni metode deskriptif,  maka indikator-indikator yang ingin diteliti sesuai dengan peran pondok pesantren dalam mengembangkan kemandirian santri adalah indikator-indikator agama, sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan pendidikan.

Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data itu diperoleh. Karena penelitian ini dilakukan melalui studi kasus di pondok pesantren Al-Ittifaq, maka sumber datanya adalah sebagai berikut: (1) Pengurus pondok pesantren Al-Ittifaq, ustadz/ustadzah, dan santri; (2) Alumni Al-Ittifaq, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah setempat; dan (3) Kehidupan keseharian di pondok pesantren Al-Ittifaq.

Untuk memperoleh informasi tersebut ditentukan key person yang diharapkan tidak melakukan impression management, yaitu usaha untuk memberikan citra yang paling menguntungkan menurut anggapannya mengenai pondok pesantren Al-Ittifaq.

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Berbagai data yang ingin diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan melalui studi dokumentasi, observasi partisipasi, dan wawancara mendalam.

Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif induktif. Data yang ada dikelompokkan, dianalis secara langsung dan terus menerus untuk mencari jawaban terhadap masalah-masalah penelitian. Analisis yang dilakukan sepanjang penelitian ini juga bersifat terbuka bagi perubahan, perbaikan, dan penyempurnaan berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada pondok pesantren Al-Ittifaq yang berlokasi di kampung Ciburial, desa Alam Endah, kecamatan Ciwidey, kabupaten Bandung (37 km dari kota Bandung). Penentuan tempat/lokasi penelitian ini didasarkan kepada karakteristik pesantren tersebut yakni selain mendalami agama, para santri juga dibekali dengan keterampilan antara lain, dalam bidang-bidang pertanian, peternakan, dan jahit-menjahit; para santri tidak dipungut biaya selama menuntut ilmu di pesantren; dan penerapan teknologi tepat guna. Di samping itu belum ada penelitian dengan topik serupa di lokasi penelitian ini, sehingga hasilnya tidak menjadi plagiat penelitian. Penelitian ini dilaksankan sejak bulan Juli 2000 sampai bulan Mei 2001.

Pembahasan

Pondok pesantren Al-Ittifaq sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa subsistem yang, sesuai dengan fungsi masing-masing, satu sama lain saling terkait untuk mewujudkan misi dan visi dalam membentuk santri yang mandiri. Untuk mewujudkan santri mandiri itu harus memiliki persyaratan fungsional yang dikemukakan Parsons sebagai model A-G-I-L: Adaptation, Goal Attaintment, Integration, Latent Pattern Maintenance.[15] Analisis dengan menggunakan model ini tiada lain untuk menjelaskan peran pondok pesantren Al-Ittifaq secara optimal melalui sub-sub sistem berikut ini:

  1. Yayasan Al-Ittifaq

Yayasan Al-Ittifaq merupakan pengelola pondok pesantren Al-Ittifaq yang bertugas menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam rangka mewujudkan misi dan visi pondok pesantren. Yayasan yang didirikan pada tahun 1993 itu ditujukan untuk meningkatkan kinerja pengurus pesantren agar, meskipun dalam suatu pesantren itu kyai merupakan tokoh sentral, segala sesuatu tidak bergantung pada kyai. Dalam hal ini K.H. Fuad Affandi sebagai pimpinan pondok pesantren berupaya mengembangkan kemandirian bagi orang-orang di bawahnya. Selain itu juga diharapkan, bagaimanapun sibuknya kyai, jangan sampai menganggu aktivitas penyelenggaraan pondok pesantren.

  1. Pengembangan Agribisnis dan Koperasi

Agribisnis merupakan usaha yang dikembangkan selain untuk peternakan dan perikanan, juga untuk keterampilan menjahit. Namun karena agrobisnis ini merupakan core business dalam rangka pendanaan pondok pesantren, maka bagi Al-Ittifaq hal ini merupakan aktivitas yang dimasukkan dalam kurikulum pondok pesantren.

Ada lima alasan yang melatarbelakangi pengembangan agrobisnis ini, antara lain, sebagai berikut. Pertama, lingkungan sekitar pondok pesantren Al-Ittifaq merupakan lingkungan pertanian, oleh karena itu merupakan potensi yang perlu dikembangkan. Kedua, sampai pada dekade 1970-an tanah pertanian yang demikian potensial di Ciwidey dan sekitarnya dikelola oleh pengusaha Cina: Neng Apen, Neng Kimpang, Neng Amew, Ko Dede, Ko Anyan, dan One yang mendapat lahan dengan menyewa tanah pertanian penduduk. Ironisnya, penduduk di Kampung Ciburial dan sekitarnya, yang menyewakan tanah kepada para pengusaha itu, hanya bertindak sebagai buruh di lahan pertanian milik mereka dengan alasan terbentur masalah modal usaha. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi pondok pesantren guna  menggairahkan penduduk untuk menggarap tanah mereka sekaligus mengatasi salah satu masalah yang dihadapi yakni modal usaha yang terbatas. Ketiga, terkait dengan lahan pertanian sesungguhnya merupakan masalah juga bagi masyarakat petani karena dari waktu ke waktu lahan pertanian kian menyusut akibat berubah fungsi. Keempat, bidang agribisnis merupakan bidang yang dikembangkan dari pertanian tradisional yang telah digeluti oleh orangtua santri, sehingga pondok pesantren Al-Ittifaq berupaya bagaimana menjadikan santri semakin termotivasi untuk melakukan sesuatu secara lebih baik dibanding dengan sebelumnya. Dan kelima, dengan belajar sambil bekerja melalui agribisnis ini, para santri kelak bisa mengembangkan ekonomi tidak hanya sebatas self sufficient, melainkan menjadi suatu cara untuk mengatasi masalah kebutuhan hidup dalam rangka mengamalkan ilmu yang telah  diperoleh.

Kegiatan agribisnis tidak terlepas dari Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren) Al-Ittifaq yang diketuai oleh K.H. Fuad Affandi, sedangkan managernya adalah K.H. Apep Saepudin. Unit-unit usaha yang dikembangkan Koppontren Al-Ittifaq adalah unit pelayanan sarana produksi, unit produksi, unit pemasaran, unit pengendalian hama dan penyakit, unit kendaraan, dan unit pemanfaatan hasil.

C. Kyai dan Santri

Terminologi kyai yang dipakai dalam tulisan ini yang padanan dalam bahasa Sunda biasa disebut ajengan.[16] Karena begitu terhormat atau disegani, tidak jarang dipanggil Pak Ajengan, Mama Ajengan, atau Kersa Ajengan sesuai dengan nama tempat/ lokasi pondok pesantren berada. Untuk kasus ini terjadi pada K.H. Fuad Affandi yang biasa dipanggil Pak Ajengan Ciburial atau sebutan Mang Haji saja. Sebutan ini berasal dari pihak keluarga karena Ajengan Fuad merupakan anak bungsu. Namun kini sebutan Mang Haji juga dipakai oleh masyarakat setempat.

Kyai, pada suatu pondok pesantren, merupakan unsur yang sangat penting. Hal ini terlihat dari pola kepemimpinan dan kebijakan yang dijalankan, sehingga perkembangan suatu pesantren sering ditentukan oleh kemampuan pribadi kyai. Pada pondok pesantren Al-Ittifaq aktivitas keseharian, mengaji dan bertani, juga sangat terkait erat dengan kondisi geografis lingkungan alam pondok pesantren.

Demikian pula halnya dengan para ustadz/ustadzah, mereka berasal dari kerabat kyai dengan kriteria tertentu, antara lain, alumni pesantren dan menguasai beberapa kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren Al-Ittifaq. Ustadz Ahmad Syahid misalnya, dia adalah alumnus pondok pesantren Al-Ittifaq dan pesantren Cikalama, Cicalengka yang selain menguasai beberapa kitab klasik yang ajarkan, juga menguasai bidang agribisnis. Hal lain dalam upaya melestarikan pondok pesantren Al-Ittifaq adalah dengan mengembangkan agribisnis yang dikelola oleh para santri untuk membiayai operasional pondok pesantren melalui pengembangan kurikulum yang terintegrasi antara mengaji dan bertani.

Pondok pesantren Al-Ittifaq terutama ditujukan bagi santri dari kaum dhuafa yang merupakan bagian dari warga masyarakat. Keberadaan santri, berjumlah 300 orang, yang lemah secara materi perlu mendapat perhatian dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk memberdayakan mereka adalah menempatkan santri pada posisi yang wajar sesuai dengan statusnya sebagai anak didik.

Berbagai biaya hidup seperti makan, pakaian, dan keperluan lain termasuk ongkos pulang merupakan tanggung jawab orang tua asuh, dalam hal ini pondok pesantren Al-Ittifaq. Bahkan termasuk untuk keperluan biaya perkawinan, jika status mereka masih sebagai santri Al-Ittifaq. Pemenuhan berbagai kebutuhan ini mengingat kondisi santri yang berasal dari kaum dhuafa, kepribadian santri selama masantren, juga jerih payah santri yang dinilai telah berpartisipasi dalam membesarkan pondok pesantren Al-Ittifaq. Bagi Al-Ittifaq sendiri kebijakan yang dilakukan terhadap santri ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siapa saja yang memiliki kedisplinan dan etos kerja.

D. Kurikulum dan Proses Pembelajaran

Kurikulum yang dikembangkan di Al-Ittifaq merupakan sejumlah mata ajar baik bidang agama maupun keterampilan. Penerapan kurikulum yang terintegrasi ini dilatarbelakangi oleh realitas sosial yang menggejala dalam masyarakat bahwa pendidikan, termasuk di pondok pesantren, tidak bisa dilakukan dengan cuma-cuma. Berbagai keluhan pimpinan pondok pesantren telah menggugah kreativitasnya untuk berkiprah bagi mereka yang kebetulan secara ekonomi kurang mampu, dengan menciptakan sumber dana pondok pesantren dengan memanfaatkan tenaga santri yang tersedia sekaligus  bisa memberi manfaat ganda bagi santri: bagi para santri bisa mengatasi biaya selama menjadi santri dan diperolehnya ilmu vocational yang dapat dirasakan baik ketika masih menjadi santri maupun kelak setelah mereka tinggal di tengah-tengah masyarakat.

Kurikulum yang dikembangkan bertujuan untuk membentuk santri yang mandiri yakni santri yang mampu mewujudkan prinsip INPEKBI (Illahi, Negeri, Pribadi, Ekonomi, Keluarga, Birahi, dan Ilmihi), melalui implementasi kurikulum keislaman dan  keterampilan yang siap pakai secara integral. Implikasi dari kurikulum itu diselenggarakan dengan memadukan bidang keagamaan dan keterampilan, terutama agribisnis, sehingga proses pembelajaran berlangsung sesuai dengan jadwal harian santri yang pada intinya adalah mengaji sambil bertani.

Pelaksanaan mengaji biasa dilakukan setiap ba’da shalat fardhu: setelah selesai shalat Shubuh sampai pukul 06.30; setelah selesai shalat Zhuhur sampai pukul 14.00; setelah selesai shalat Ashar sampai pukul 16.30; setelah selesai shalat Maghrib sampai menjelang shalat Isya; dan setelah selesai shalat Isya sampai pukul 22.00. Namun perlu dikemukakan di sini bahwa jadwal di atas adalah jadwal secara umum. Berbagai kegiatan mengaji tentu disesuaikan dengan kemampuan individu dan kelas (kelompok) santri masing-masing. Selain itu, juga ada kegiatan khusus, misalnya untuk hari Senin ba’da Isya diselenggarakan Majelis Ta’lim yang diikuti oleh semua santri, alumni, dan warga masyarakat; hari Rabu ba’da Isya diisi dengan kegiatan seni dan dakwah; Kamis diadakan imtihan (evaluasi); dan hari Jum’at diisi dengan membaca shalawat nabi dan berziarah ke makam para pendahulu pondok pesantren.

Adapun pelaksanaan kegiatan agrobisnis di kebun dilaksanakan dari pukul 07.00 sampai pukul 11.00; kegiatan pemilihan dan pengepakkan serta kegiatan yang berlokasi di lingkungan pondok pesantren dilakukan dari pukul 16.30 sampai pukul 17.30, disesuaikan dengan jadwal mengaji dan dengan pilihan santri dalam melakukan kegiatan keterampilan dalam agribisnis.

Di samping jadwal di atas, ada hari dan jam tertentu bagi santri guna menambah ilmu pengetahuan umum melalui SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) Terbuka. Hal ini juga menuju suatu proses untuk selalu belajar dan bekerja tanpa mengganggu kegiatan utama sebagai seorang santri. Perlu dikemukakan pula bahwa proses pembelajaran yang dilakukan Al-Ittifaq memadukan transformasi nilai-nilai agama dan nilai sosial budaya.

  1. Peranan Alumni dan Persepsi Masyarakat

Keberhasilan Al-Ittifaq dalam mengembangkan kemandirian santri juga dapat dilihat dari kehidupan alumni ketika telah kembali ke dalam masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kemandirian santri selama di pondok pesantren hanyalah merupakan proses pembelajaran menuju ke kehidupan sesungguhnya di masyarakat. Dengan demikian, hal itu sesungguhnya bergantung pada pribadi santri masing-masing  selama mereka mondok.

Terpaan selama di Al-Ittifaq tentu membuat para alumni mengembangkan kreatifitas sesuai dengan ilmu yang dimiliki, baik yang terkait dengan masalah keislaman maupun yang berhubungan dengan penghidupan ekonomi. Hal ini merupakan suatu konsekuensi dari visi dan misi Al-Ittifaq dalam mengembangkan kemandirian.

Upaya-upaya Al-Ittifaq dalam menjadikan para santrinya sebagai ulama dalam artian tidak terpaku pada profesi kyai atau ustadz semata, melainkan juga sebagai seorang yang memiliki latar belakang ilmu pengetahuan beragam dengan dasar keagamaan yang kuat. Hal ini bisa dimaklumi karena bagaimanapun tidak semua alumni pondok pesantren menjadi kyai. Sebagaimana dimaklumi bahwa predikat kyai itu bergantung kepada integritas dan kepribadian seseorang, sehingga masyarakat secara alamiah melalui proses yang panjang memberikan gelar kyai kepada seseorang yang pantas untuk menyandangnya.

Pada masa yang lalu ada suatu persepsi bahwa jika  menyebut pondok pesantren pasti ada idiom santri budug. Hal ini terjadi akibat fasilitas yang ada pada pondok pesantren tidak memenuhi persyaratan kesehatan apalagi sarana belajar yang seadanya. Pada masa kini hal tersebut dapat dikatakan kasuistis karena ternyata telah terjadi perubahan, sebagaimana yang terjadi di Al-Ittifaq. Berbagai perbaikan pondok secara bertahap diharapkan bisa memberantas penyakit 3 R (rendah pendidikan, rendah kesehatan, dan rendah diri) yang dituduhkan terhadap santri.

Sedangkan dalam bidang kurikulum, Al-Ittifaq mencoba melakukan berbagai perubahan dengan memasukkan keterampilan, teristimewa di bidang agrobisnis. Akan tetapi mengingat Al-Ittifaq membebaskan biaya bagi para santri, sedangkan pihak santri langsung dikaryakan, belajar sambil bekerja, sehingga ada anggapan bahwa terjadi eksploitasi tenaga santri. Bagi mereka yang melihat sepintas dan tanpa tahu proses yang sebenarnya tentu akan menimbulkan persepsi yang negatif.

Berbagai kebijakan Mang Haji ternyata dilakukan melalui proses yang panjang. Ketika Al-Ittifaq dicanangkan sebagai pondok pesantren yang diperuntukkan bagi yang tidak mampu timbullah masalah untuk mengatasi dana operasional pesantren. Maka dicobanya untuk menggali potensi daerah sekitar pesantren yang merupakan daerah pertanian. Akan tetapi masyarakat sekitar pondok pesantren justru menyewakan tanah mereka kepada para toke, sedangkan mereka sendiri hanya berperan sebagai buruh pada tanah mereka sendiri yang disewakan itu. Hal ini menggugah keinginannya untuk menggarap tanah sendiri dan sekaligus untuk menopang dana operasional pondok pesantren.

Mempekerjakan santri di sela-sela waktu mengaji dicoba  dengan memberi upah kepada para santri. Akan tetapi hal itu ternyata banyak menimbulkan ekses negatif, ketika santri mendapat bayaran, mereka malah sering bolos mengaji. Oleh karena itu, diambil suatu kebijakan bahwa para santri tidak akan diberi upah kerja, melainkan segala keperluan untuk mondok, termasuk makan dan pakaiannya ditanggung pihak pondok pesantren.

Kondisi itu akhirnya melahirkan ide untuk memasukkan keterampilan agrobisnis ke dalam kurikulum pesantren karena bagaimanapun juga yang terpenting bagi santri itu tidak hanya belajar mengaji namun juga mempunyai bekal bertani. Bagi santri Al-Ittifaq, bekerja di ladang bukan semata-mata agar bebas membayar biaya masantren, melainkan diberi kesempatan untuk menimba ilmu melalui  praktek pertanian. Hal ini sekaligus menyanggah tuduhan pihak luar yang memandang pihak Al-Ittifaq mengeksploitasi tenaga santri.

Dalam mengembangkan kemandirian santri, pondok pesantren At-Ittifaq telah memiliki konsep yang terpadu, maksudnya, bukan hanya membina/mempersiapkan santri yang menguasai bidang ilmu keagamaan saja; akan tetapi mempersiapkan santri yang mampu memenuhi harkat hidup layaknya manusia pada umumnya. Namun bukan berarti konsep terpadu yang dikembangkan di pondok pesantren itu tidak memiliki kelemahan. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hal yang erat sekali berhubungan dengan unsur utama kajian ini yaitu membina kemandirian santri.

Kesimpulan

Dari uarian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, kemandirian santri ini diisi dengan kurikulum yang integral antara membaca ayat-ayat yang tertulis dan ayat-ayat tidak tertulis melalui mengaji dan belajar keterampilan, terutama agribisnis sesuai dengan sumber daya alam yang tersedia, dalam suatu proses pembelajaran.

Kedua, proses pembelajaran yang dilakukan Al-Ittifaq dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai sosial budaya melalui suatu transformasi yang mencoba memelihara yang baik dari tradisi lama dan mengambil yang lebih baik dari perubahan baru, dengan mengintegrasikan kurikulum vocational dalam kegiatan keseharian santri.

Ketiga, prosentase antara mengaji dan belajar sambil bekerja di kebun masing-masing 70% berbanding 30%, sehingga tidak mengabaikan tugas pokok pondok pesantren Al-Ittifaq sebagai pranata sosial keagamaan dalam menjalankan fungsi manifes dan fungsi latennya.

Keempat, proses pembelajaran dalam bidang agribisnis yang dilakukan sesungguhnya merupakan upaya pondok pesantren Al-Ittifaq dalam menyebarkan virus n Ach, kebutuhan untuk meraih prestasi.

Kelima, kemandirian alumni Al-Ittifaq itu juga sekaligus dapat menepis citra negatif pondok pesantren Al-Ittifaq oleh sebagian warga masyarakat.

Adapun saran-saran yang ingin dikemukakan adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam bidang penyelenggaraan agribisnis yang melibatkan santri agar dilakukan tinjauan terhadap pilihan para santri karena pada kenyatannya beberapa kasus menunjukkan adanya kecemburuan, agar benar-benar memanfaatkan kesempatan untuk menyerap berbagai pengalaman dan pelajaran dari kyai dan ustadz dan secara terbuka mengemukakan masalah yang dihadapi.

Kedua, kemandirian santri yang kini dikembangkan agar disosialisasikan kepada masyarakat agar dapat memahami proses yang sebenarnya dilakukan sehingga berbagai suara yang negatif  terhadap pondok pesantren dapat dimengerti.

Daftar Pustaka

Adiwikarta, Sudardja. 1988. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK.

Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Dove, Michael R. (Ed.). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Garna, Judistira K.. 1996. Metoda Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.

Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Terjemahan. Jakarta: Penerbit P3M.

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I. Jakarta: PT Gramedia.

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II. Terjemahan. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Kuntowijoyo. 1998. “Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa: Potret Sebuah Dinamika” dalam Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Penerbit Paramadina.

McClelland, David C.. 1994. “Dorongan Hati Menuju Modernisasi” dalam Myron Weiner (Ed.). Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mubyarto. 1993. Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Adityamedia.

Robertson, Roland (Ed). 1988. Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis.Terjemahan. Jakarta: CV Rajawali.

Turner, Jonathan H.. 1978. The Structure of Sociological Theory. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

Wahid, Marzuki, Suwendi, dan Saefuddin Zuhri (Ed). 1999. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Tranformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.

Zaidie, M. Fadillah dan Ahmad Sanusi. 1999. Kiat Sukses Pondok Pesantren Mandiri: Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Ittifaq, Ciwidey, Bandung, Jawa Barat. Jakarta: Departemen Agama RI.

**)Drs. Ayi Budi Santosa, M.Si. adalah Staf Pengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung.

[1]Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Homewood, Illinois: The Dorsey Press, 1978), hlm.362.

[2]Kuntowijoyo, “Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa: Potret Sebuah Dinamika” dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), hlm.249.

[3]Mubyarto, Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan (Yogyakarta: Adityamedia, 1993), hlm.4.

[4]Lihat M. Fadillah Zaidie dan Ahmad Sanusi, Kiat Sukses Pondok Pesantren Mandiri: Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Ittifaq, Ciwidey, Bandung, Jawa Barat  (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999).

[5]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1985), hlm.44-60.

[6]Lihat Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, Terjemahan (Jakarta: PT Gramedia, 1986), hlm.220; dan Sudardja Adiwikarta, Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dan Masyarakat (Jakarta: P2LPTK, 1988), hlm.11-2.

[7]David C. McClelland, “Dorongan Hati Menuju Modernisasi” dalam Myron Weiner (Ed.), Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Terjemahan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm.1-15.

[8]Michael R. Dove (Ed.), Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).

[9]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1981), hlm.75.

[10]Lihat Marzuki Wahid, Suwendi, dan Saefuddin Zuhri (Ed), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Tranformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).

[11]Roland Robertson (Ed), Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Terjemahan (Jakarta: CV Rajawali, 1988), hlm.vi-vii.

[12]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), hlm.xx.

[13]Ibid., hlm.xxii.

[14]Judistira K. Garna, Metoda Penelitian: Pendekatan Kualitatif (Bandung: Primaco Akademika, 1996), hlm.34.

[15]Sebagaimana dikutip oleh Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I (Jakarta: PT Gramedia, 1986), hlm.158.

[16]Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: Penerbit P3M, 1987).

Comments are closed.