Hubungan Etnis Dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia

Oleh: Agus Mulyana

Artikel disajikan dalam The International Seminar on Ethnics and Education, The Faculty of Education & Institute Research of Ethnicity Universiti Kebangsaan Malaysia, Kualalumpur,  27 Maret 2008.

Pengantar

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk baik secara etnis, budaya, dan agama. Etnis yang ada di Indonesia tersebar secara geografis dalam ribuan pulau-pulau. Setiap etnis memiliki budayanya tersendiri yang berbeda dengan etnis yang lain. Perbedaan etnis tersebut, dalam realitas sejarah tidak menjadi hambatan dalam pembentukan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal tersebut dapat dicapai dikarenakan pulau-pulau yang tersebar di Indonesia mengalami latar belakang sejarah yang sama yaitu dijajah oleh Belanda. Kolonialisme yang terjadi di Indonesia berdampak pada timbulnya nasionalisme, sebuah gerakan yang berkeinginan untuk membentuk negara bangsa atas dasar kesamaan latar belakang. Gerakan tersebut terwujudkan di Indonesia dengan lahirnya Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pendidikan Sejarah memiliki peran penting dalam pembentukan nasionalisme. Satu hal yang harus ditanamkan dalam nasionalisme Indonesia adalah adanya pengakuan terhadap realitas keragaman etnis. Hal ini penting dilakukan, karena eksistensi rasa kebangsaan tidak mengarah kepada primordialisme dan sukuisme. Peserta didik harus menyadari bahwa eksistensi negara Republik Indonesia dibangun atas dasar perjanjian bersama di antara etnis-etnis yang ada di Indonesia. Bagaimanakah semangat dan pengakuan terhadap keberagaman etnis ini bisa tertanam dalam pelajaran sejarah ?

Dalam makalah ini penulis akan mencoba menyoroti bagaimana muatan materi pelajaran sejarah yang dapat menanamkan adanya hubungan etnis. Mengingat sejarah Indonesia secara spasial adalah sejarahnya wilayah yang pernah dijajah oleh Belanda. Wilayah yang pernah dijajah oleh Indonesia adalah wilayah yang memiliki keragaman etnis, tersebar dalam ribuan pulau.

Semangat Keindonesiaan

Pendidikan sejarah merupakan mata pelajaran penting yang diberikan dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Kepeduliaan terhadap pentingnya pelajaran sejarah Indonesia sudah ada sejak awal kemerdekaan. Pada awal kemerdekaan para ahli sejarah dan pendidik sejarah sudah membicarakan bagaimana menanamkan semangat keindonesiaan dalam penulisan sejarah Indonesia. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat itu buku pelajaran sejarah yang beredar masih merujuk pada buku yang ditulis oleh pengarang Belanda yaitu Dr. FW. Stapel, yang lebih bersifat neerlandosentris.[1] Neerlandosentris adalah penulisan sejarah yang melihat dari kacamata penjajah Belanda. Dalam model penulisan sejarah ini penjajah Belanda ditempatkan sebagai subjek atau pemeran utama cerita sejarah, sedangkan bangsa Indonesia ditempatkan sebagai objek. Tokoh-tokoh Indonesia selalu ditempatkan dalam citra yang negatif.[2] Citra tersebut misalnya sebagai pembangkang, pemberontak, raja yang kejam, dan lain-lain. Dengan demikian diperlukan adanya penulisan sejarah yang indonesiasentris, yang melihat sejarah Indonesia dari kacamata orang Indonesia. Dalam penulisan yang indonesiasentris, bangsa Indonesia ditempatkan sebagai subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Perubahan penulisan sejarah dari neerlandosentris ke indonesiasentris merupakan upaya dekolonisasi historiografi Indonesia.[3]

Pentingnya penulisan sejarah yang indonesiasentris kemudian dibicarakan oleh para ahli, dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Indonesia I pada tanggal 14 s.d 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Isyu utama dalam seminar tersebut terutama masalah Historiografi Indonesia, tetapi masalah pengajaran sejarah di sekolah pun menjadi salah satu topik yang dibicarakan.[4] Topik yang dibicarakan dalam seminar tersebut meliputi :

  1. Konsep filosofis sejarah nasional
  2. Periodisasi sejarah Indonesia
  3. Syarat penulisan buku pelajaran sejarah nasional Indonesia
  4. Pengajaran Sejarah Indonesia di sekolah-sekolah
  5. Pendidikan Sejarawan
  6. Pendidikan dan pengajaran bahan-bahan sejarah.[5]

Menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional. Pembicaraan yang berkembang  dalam forum, seputar pendapat-pendapat tentang sejarah dan paham kebangsaan serta watak bangsa Indonesia tanpa didukung dengan fakta-fakta sejarah sekaligus tanpa kesadaran sejarah. Pembicaraan yang lebih menonjol lagi yaitu pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional.

Pembicaraan mengenai filsafat sejarah nasional terdapat dua pemikiran yaitu antara Sujatmoko dan Moh. Yamin. Menurut Sujatmoko pengertian filsafat sejarah nasional tidak layak dibicarakan dalam bidang ilmu sejarah atau filsafat sejarah. Penyelidikan sejarah harus bebas dari ikatan filsafat sejarah tertentu. Sejarah sebagai disiplin ilmu pengetahuan jangan mengabdi pada ideologi tertentu. Penyelidikan sejarah Indonesia harus berpangkal pada masyarakat Indonesia. Istilah filsafat sejarah nasional dilihat dari aspek filsafat kuranglah tepat. Filsafat sejarah, baru dapat dibicarakan sesudah hasil penelitian sejarah.[6]

Sedangkan menurut Moh. Yamin, setelah proklamasi kemerdekaan penyusunan filsafat Sejarah Indonesia (nasional) sangat perlu. Adanya filsafat sejarah nasional agar penulisan Sejarah Indonesia mempunyai sendi yang berdasarkan alam pikiran untuk menyusun Sejarah Indonesia kembali. Filsafat sejarah nasional bertugas mencari pembentukan sejarah, pengertian sejarah dan persatuan dalam makna hubungan umum dari kejadian-kejadian yang telah berlaku dalam masyarakat suatu bangsa. Suatu konsepsi sejarah nasional dibentuk untuk memberi petunjuk kepada pengajar dan cara mengajarkan atau penulis yang menuliskan sejarah bangsa.[7]

Pada tahun 1963 dibentuk sebuah panitia yang bertugas penulisan kembali sejarah Indonesia. Namun panitia ini tidak dapat melaksanakan tugasnya berhubung kondisi politik di dalam negeri yang tidak memungkinkan panitia tersebut bekerja. Keinginan penulisan kembali penulisan sejarah Indonesia yang Indonesiasentris diangkat lagi dalam Seminar Sejarah Nasional yang kedua di Yogyakarta pada tahun 1970. Pada tahun 1970, atas desakan para sejarawan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan Surat Keputusan (SK) N0.0173/1970 mengangkat Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah Nasional  Indonesia berdasarkan Pancasila yang dapat digunakan di Perguruan Tinggi dan sekaligus akan dijadikan bahan dari buku teks sejarah untuk sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas. Panitia ini berhasil menyusun buku teks Sejarah Nasional sebanyak enam jilid. [8]

Penyusunan keenam buku tersebut berdasarkan periodisasi sejarah Indonesia. Periodisasi Sejarah dari keenam jilid tersebut adalah :

  1. Jilid I jaman prasejarah di Indonesia.
  2. Jilid II jaman Kuno (awal masehi sampai 1600 M).
  3. Jilid III jaman pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia (1600 M – 1800 M).
  4. Jilid IV abad kesembilanbelas (1800 M – 1900 M).
  5. Jilid V jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda (1800 – 1900 M)
  6. Jilid VI jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1942 – sekarang).

Buku yang diterbitkan oleh pemerintah tersebut diberi nama sejarah nasional Indonesia. Pemberian nama nasional memberikan arti bahwa penulisan sejarah Indonesia versi pemerintah memiliki misi yaitu menanamkan nasionalisme. Sejarah dalam konteks ini lebih ditempatkan sebagai alat politik yaitu menanamkan semangat kebangsaan kepada anak didik.

Nasionalisme versus indentitas etnik

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa buku sejarah yang ditulis untuk kepentingan pendidikan di Indonesia adalah sejarah nasional. Pemberian nama ini mengindikasikan bahwa misi utama pelajaran sejarah adalah membangun nasionalisme. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu baik diberikan interpretasi sebagai peristiwa “miliknya” negara Indonesia. Ada semacam legitimasi terhadap fakta-fakta sejarah

Legitimasi sejarah bagi upaya pembangunan kesadaran berbangsa bagi pemerintah dianggap penting. Sebagaimana dikatakan oleh Eric Hobsbawn bahwa negara biasanya melakukan ideologisasi dan mitologisasi historis melalui kreativitas penulisan sejarah dalam rangka menemukan kesamaan warisan kultural, kesamaan pahlawan, kesamaan norma, kesamaan adat istiadat dan lain sebagainya.[9] Mitologisasi banyak dilakukan dalam materi sejarah Indonesia di sekolah. Kebesaran kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau dianggap sebagai proses menuju nasionalisme Indonesia. Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit dianggap sebagai bentukan miniatur dari Negara Republik Indonesia. Bahkan Sumpah Palapa Gajahmada dari kerajaan Majapahit dianggap sebagai upaya membangun persatuan wilayah Nusantara. Padahal beberapa masyarakat di luar Jawa berpendapat bahwa Sumpah Palapa Gajah Mada merupakan bentuk penjajahan Kerajaan Jawa ke luar Jawa.

Kalau lah kita perhatikan nasionalisme sebagai suatu ideologi yang dianut oleh negara-negara Asia dan Afrika, merupakan suatu fenomena sejarah yang muncul sekitar awal abad ke-19. Fenomena ini muncul sebagai sebuah gerakan kontra produktif terhadap kolonialisme. Pendidikan yang dilakukan oleh kaum kolonial terhadap kaum pribumi, telah membangkitkan kesadaran kaum pribumi bahwa mereka itu dijajah dan mereka menuntut untuk memerdekakan diri dan membentuk sebuah negara bangsa. Itulah sebabnya, dalam penulisan sejarah Indonesia terdapat sebuah periode yang disebut dengan jaman pergerakan nasional atau kebangsaan. Pada periode ini lahir sekelompok kaum terpelajar yang oleh Van Niel disebut dengan Elite Moderen. Bentuk perlawanan yang mereka lakukan melalui pembentukan organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Kontinuitas sejarah nampak terjadi sejak periode ini hingga lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebab para aktivis pergerakan inilah yang kemudian menjadi elite-elite yang mendirikan Republik Indonesia. Dengan demikian sangatlah naif, jika dikatakan bahwa periode sebelum zaman kolonial telah terbentuk suatu nasionalisme Indonesia. Terbentuknya kerajaan-kerajaan pra kolonial, lebih tepat disebut sebagai terbentuknya kerajaan-kerajaan tradisional, bukan suatu konsep negara moderen. Sebab saat itu konsepsi Indonesia sebagai nation belum ada.

Nasionalisme yang dibentuk pada misi pelajaran sejarah lebih menekankan pada penyatuan dan keseragaman daerah. Setiap daerah dicari dan ditampilkan dalam periode sejarah Indonesia, misalnya ditampilkan tokoh-tokoh pahlawan dari masing-masing daerah yang melawan penjajah. Ada pahlawan Cut Nyak Dien dari Aceh, Imam Bonjol dari Sumatera Barat, Sisingamaraja dari Sumatera Utara, Dipenogeoro dari Jawa, Patimura dari Maluku, Jelantik dari Bali, Hasanudin dari Makassar dan lain-lain. Penampilan nama-nama pahlawan tersebut lebih bersifat politik karena masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang tidak tercantum dalam penulisan sejarah Indonesia, dan penetapan nama pahlawan tersebut lahir dari suatu surat keputusan pemerintah. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh tersebut digambarkan sebagai bagian dari perlawanan bangsa Indonesia, bukan sebagai dinamika lokal yang terjadi di wilayah tersebut. Ada kesan, seolah-oleh para pahlawan tersebut sudah memikirkan tentang Indonesia sebagai nation di kelak kemudian hari. Padahal mereka adalah tokoh lokal yang melakukan perlawanan di daerahnya, dan tidak merasa sebagai bangsa Indonesia. Dengan demikian dinamika lokal dalam perlawanan tokoh-tokoh daerah menjadi terabaikan.

Penulisan sejarah bagi kepentingan pendidikan di sekolah lebih bersifat ideologis. Pengertian “sejarah ideologi” penulis ambil dari tulisannya Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo[10]. Kedua penulis tersebut membagi tiga jenis penulisan sejarah Indonesia. Pertama “sejarah ideologi”. Ciri utama dari model penulisan ini adalah pencarian arti subjektif dari peristiwa sejarah. Masa lampau dipelajari bukan demi pengetahuan mengenai masa lampau tetapi demi lambang yang bisa diadakannya untuk masa kini. Sejarah merupakan guru yang paling baik yang bisa mengajarkan cara menghindari kesalahan-kesalahan masa lampau. Hal yang ditekankan dari sejarah ialah nilai edukatif. Model karya saperti ini dapat dilihat dari karya-karya Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani dan Nughroho Notosusanto.

Kedua, jenis “sejarah pewarisan”. Ciri utama penulisan semacam adalah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya semacam ini adalah betapa patriot Indonesia berjuang menentang hambatan-hambatan serta menderita kesulitan fisik dan psikis demi mencapai kemerdekaan. Contoh model penulisan ini adalah karya AH. Nasution tentang “Sekitar Perang Kemerdekaan” yang dibuat sebanyak sebelas jilid. Selain itu terdapat pula dalam buku-buku sejarah daerah yang disusun melalui proyek pemerintah daerah.

Jenis ketiga, “sejarah akademik”. Penulisan sejarah ini menggunakan tradisi akademik. Sejarah yang ditulis tidak semata-mata dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat struktural. Eksplanasi terhadap peristiwa sejarah menggunakan konsep-konsep dari ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, politik dan lain-lain. Contoh karya jenis ketiga ini banyak dilakukan pada penulisan disertasi dan tesis sejarah di perguruan tinggi. Penulisan yang bersifat akademik merupakan tuntunan pada mahasiswa sejarah di perguruan tinggi.

Penulisan sejarah yang bersifat penyatuan dan keseragaman pada nasionalisme yang bersifat monokultural, menimbulkan masalah dalam hal identitas etnis. Monokultural yang dimaksud di sini adalah sejarah hanya ditafsirkan oleh satu versi pemerintah pusat. Terjadi proses sentralisasi tafsir sejarah oleh penguasa. Akibatnya adalah hilangnya identitas lokal. Ada semacam pemaksaan yang bersifat indoktrinasi terhadap pemahaman nasionalisme. Padahal semestinya pembentukan suatu bangsa harus berangkat dari dinamika lokal etnis yang terjadi. Peristiwa-peristiwa lokal yang terjadi harus ditempatkan sebagai peristiwa yang otonom dan memiliki keunikan, akan tetapi menjadi dasar bagi pembentukan suatu bangsa.

Proses menuju menjadi suatu bangsa dalam pandangan Sartono Kartodirdjo terjadi melalui suatu proses integrasi. Proses integrasi berkembang dengan pasang surut yang mengarah pada perwujudan unit-unit geopolitik. Proses integrasi terjadi sejak tahun 1500.[11] Menurut Deeutsch proses pertumbuhan bangsa terjadi melalui proses penggabungan suku-suku menjadi bangsa atau suku-suku tumbuh berkembang menjadi rakyat, dan rakyat berkembang menjadi bangsa atau nations. Nations adalah hasil transformasi dari rakyat, atau dari beberapa unsur suku dalam proses mobilisasi sosial.[12]

Nilai-nilai nasionalisme kemudian dipertanyakan ketika muncul beberapa konflik etnis, seperti yang terjadi di Sampit, Maluku, Poso, bahkan terjadi pula perlawanan etnis kepada kekuasaan pusat, seperti apa yang terjadi di Aceh, Maluku dan Papua. Fenomena ini merupakan bentuk dari kesadaran etnis yang tinggi yang mengarah pada primordialisme dan sukuisme. Memang pada umumnya konflik etnis tersebut terjadi disebabkan oleh persoalan ekonomi, kesenjangan sosial, adanya dominasi ekonomi dari etnis tertentu (khususnya etnis pendatang) pada etnis yang lain (etnis pribumi). Kesadaran etnis akan muncul sebagaimana telah diramalkan oleh para futurolog  seperti Toffler, Naisbit, Aburdene, serta Kennedy yang menyatakan bahwa kecendrungan etnik untuk menyatakan diri dalam ikatan hubungan primordial (keturunan, ras, bahasa, keyakinan, atau budaya) akan meluas secara global.[13] Konflik etnis yang terjadi akan mempertanyakan dimanakah letak persatuan bangsa yang merupakan akar terbentuknya nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme yang dibanngun atas dasar mitos sejarah hendaknya ditinjau ulang. Penyeragaman interpretasi terhadap peristiwa sejarah pada lokalitas tertentu harus ditinjau ulang. Lokalitas sejarah harus ditempatkan sebagai suatu peristiwa yang otonom sehingga identitas etnis yang ada pada lokalitas tersebut menjadi eksis. Lokalitas historis tidak dikooptasi pada interpretasi historis yang terpusat dan seragam.

Multikultikultarisme dan Sejarah Lokal

Realitas masyarakat Indonesia secara siciokultural adalah masyarakat yang plural baik secara etnis, budaya, dan agama. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa nasionalisme Indonesia muncul sebagai gerakan kontraproduktif terhadap kolonialisme. Akan tetapi, dalam perjalanannya kemudian nasionalisme yang bermakna penyatuan etnis dipertanyakan kembali, muncul berbagai konflik etnis dan adanya semangat kedaerah yang kuat. Bagaimanakah pendidikan sejarah di Indonesia mampu mengakomodir keberagaman yang ada di masyarakat khususnya masalah etnis.

Etnis di Indonesia biasanya memiliki identitas lokalitas tersendiri, misalnya etnis Sunda berada di Jawa Barat, etnis Jawa berada di Jawa Tengah dan Timur, etnis Batak di Sumatera Utara, etnis Ambon di Maluku, Etnis Bugis di Sumatera Selatan, dan sebagainya. Ada juga, satu etnis di Indonesia yaitu etnis Cina atau Tionghoa, yang tidak memiliki lokalitas tersendiri dan banyak tersebar hampir di seluruh lokalitas Indonesia. Pendidikan sejarah yang ditanamkan harus mengakui peran dari masing-masing etnis dalam sejarahnya. Jangan sampai ada dominasi peran dari satu etnis tertentu terhadap pembentukan sejarah bangsa. Hal yang harus dihindari pula adalah menafikan terhadap peran etnis-etnis lainnya dalam pembentukan sejarah bangsa.

Pendidikan sejarah, sebagaimana lazimnya pendidikan mata pelajaran lainnya, memiliki tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam menghadapi keragaman domain kognitif dapat memberikan pengetahuan tentang keragaman sejarah pada daerah masing-masing yang ada di Indonesia. Keragaman tidak hanya sebatas pada peristiwa politik yang terjadi di daerah-daerah, tetapi juga keragaman harus dipahami dalam konteks yang lebih luas yaitu adanya keragaman budaya, etnik, dan agama. Sejarah bisa menjelaskan bagaimana sejarah kebudayaan, etnik dan agama di  daerah-daerah tersebut. Dalam domain afektif, dapat menimbulkan sikap bahwa keragaman yang ada di Indonesia adalah suatu realitas objektif, yang harus diterima sebagai khasanah kekayaan bangsa. Keragaman dalam domain afektif, jangan dipahami secara dikhotomis, yaitu suatu pandangan yang melihat perbedaan kebudayaan yang dimiliki individu dengan kebudayaan lainnya dengan pandangan yang bertentangan. Misalnya seorang individu dari Jawa memandang kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang paling baik dan memandang kebudayaan di luar Jawa sebagai kebudayaan yang jelek.

Penulisan sejarah dalam rangka kepentingan hubungan etnis dapat dilakukan dengan pendekatan yang multikultural dan secara spasial dapat dikembangkan penulisan sejarah lokal. Pluralisme masyarakat Indonesia menuntut adanya suatu pandangan dalam diri individu masyarakat Indonesia yaitu multikulturalisme. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik.[14]

Akar penting dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan di sini harus dilihat pada fungsinya bukan pada konsep. Fungsi yang dimaksud adalah kebudayaan menjadi alat bagi kehidupan. Kebudayaan dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan. Keragaman budaya yang ada di masyarakat Indonesia harus lah diterima sebagai suatu realitas objektif. Dalam konteks masyarakat yang multikultural harus dihindari berbagai sikap stereotipe, prasangka sosial dan dikhotomis. Sikap-sikap seperti ini akan menjadi potensi penyebab terjadinya konflik-konflik sosial yang berbau etnis.

Dalam kehidupan masyarakat yang multikultural harus dihindari sikap monokulturalisme. Sikap ini pernah diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Ada penyeragaman terhadap kebudayaan dan menafikan kreativitas dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat yang beragam. Kebudayaan yang tumbuh dalam dinamika kehidupan masyarakat dikooptasi ke dalam politik kenegaraan. Sehingga muncul kebijakan pengertiaan kebudayaan yang bersifat politis yaitu “Kebudayaan nasional adalah puncak kebudayaan daerah”. Pernyataan ini memberikan kesan bahwa negara lah sebagai pemilik kebudayaan. Sentralisme kekuasaan yang dilakukan pada zaman Orde baru menimbulkan berbagai gejolak sosial terutama pada masa awal reformasi. Ada resistensi dari kekuatan daerah terhadap kekuasaan pusat.

Secara politis pemerintah mencoba mengakomodir kepentingan daerah, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah. Undang-undang ini pada dasarnya memberikan keleluasaan pada daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri khususnya di daerah tingkat II yaitu Kabupaten atau Kota. Akan tetapi, lahirnya kebijakan Undang-Undang ini secara sosio-kultural berdampak negatif. Timbullah semangat kedaerahan yang berlebihan. Primordialisme muncul bahkan sampai pada semangat “provinsialisme”. Sikap ini muncul terutama pada jabatan-jabatan birokrasi. Orang yang bukan putera daerah, sangat sulit untuk menduduki jabatan birokrasi di pemerintahan. Sudah barang tentu, semangat ini merupakan sikap yang bertentangan dengan ideologi multikulturalisme. Dalam dunia politik di daerah, telah menafikan aspek kultural, orang di luar kulturalnya dianggap tidak berperan. Pengakuan kesederajatan sebagaimana yang diinginkan dalam ideologi kulturalisme  tidak tercipta. Yang ada adalah pengingkaran kultural pada wilayah politik di daerah.

Sejarah memiliki peran yang penting dalam membangun hubungan etnis. Sebagaimana telah dikemukakan, sejarah yang diberikan di sekolah, pada umumnya adalah sejarah nasional yaitu sejarah “pusat” kekuasaan. Dinamika lokal yang terjadi pada lokalitas tertentu terabaikan. Hal ini dilakukan, karena kepentingan pusat kekuasaan yang ditonjolkan.

Agar identitas etnis suatu lokalitas tertentu berperan dalam sejarah perlu adanya penulisan sejarah lokal. Secara konsep sejarah lokal yang dimaksud adalah sejarah yang terjadi dalam lokalitas yang merupakan bagian dari unit sejarah bangsa atau lebih tepat negara.[15] Sejarah lokal yang dimaksud tidak hanya dalam batasan geografis adminstrasi pemerintahan seperti desa, kecamatan, kabuoaten, tetapi ruang lingkup yang lebih luas, meliputi unsur-unsur institusi sosial dan budaya yang berada dalam lingkungan itu, seperti keluarga, pola pemukiman, mobilitas penduduk, kegotong royongan, pasar, teknologi pertanian, lembaga pemerintahan setempat, perkumpulan kesenian, monumen dan lain-lain.[16]

Aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam lokalitas tertentu dapat ditulis dalam sejarah lokal. Sejarah lokal dan sejarah nasional memiliki hubungan yang saling terkait.Jangan dipahami bahwa sejarah nasional merupakan kumpulan sejarah lokal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada setiap daerah. Hubungan sejarah nasional dan sejarah lokal dapat dipahami dalam konteks hubungan makro dan mikro. Makna peristiwa sejarah lokal dapat dipahami dalam konteks makro sejarah nasional. Misalnya untuk memahami bagaimana kehidupan kaum buruh perkebunan di suatu daerah di Hindia Belanda pada awal abad ke kedua puluh, dapat dipahami dalam konteks nasional tentang kecendrungan perekonomian yang terjadi secara nasional saat itu, yaitu diterapkannya Undang-Undang Agraria 1870 yang berdampak pada liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi sebagai fenomena nasional saat itu di  Hindia Belanda, dapat dijadikan alat analisa dalam memami liberalisasi kehidupan buruh pada lokalitas tertentu. Dalam konteks ini, sejarah lokal dilihat dalam dinamika nasional. Begitu pula sebaliknya, sejarah nasional dapat dipahami ketika memahami dinamika lokal. Dalam menentukan sejarah lokal dalam konteks nasional bisa berdampak ke daerah-daerah lainnya.

Kurikulum yang berlaku di sekolah memberikan peluang bagi pengembangan sejarah lokal. Pengembangan sejarah lokal dimungkinkan, karena kurikulum yang berlaku saat ini adalah Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum yang dibuat oleh sekolah. Sekolah diberikan peluang yang besar dalam mengembangkan kurikulumnya. Sejarah lokal yang terjadi di daerah dimana sekolah itu berada dapat ditampilkan. Dengan cara seperti ini identitas etnis dapat muncul. Otonomi pada pengembangan sejarah lokal, harus dilihat pula dalam persepktif sejarah nasional yang berlaku saat itu. Secara nasional, terdapat rambu-rambu materi yang ada pada kurikulum yaitu Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Penetapan SK dan KD harus dipahami sebagai kebijakan pemerintah pusat yang memayungi sejarah dalam hubungan nasional. Sekolah secara lokalitas dapat mengembangkan materi sejarahnya sendiri dengan tidak lepas dari sejarah nasional sebagaimana materi yang ada pada SK dan KD. Dengan cara seperti ini, maka hubungan etnis dalam materi pelajaran sejarah dapat terakomodir dalam konteks hubungan berbangsa yang tercantum materinya dalam SK dan KD.

Kesimpulan

Pendidikan sejarah memiliki arti yang sangat penting dalam mengembangkan hubungan etnis di Indonesia. Pengembangan hubungan etnis dalam pendidikan sejarah dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat kultural, dan secara spasial dapat dikembangkan pada penulisan sejarah lokal. Penulisan sejarah lokal dapat mengakomodir pada kepentingan pengembangan identitas etnis, tetapi dalam kerangka pembangunan bangsa atau nasionalisme. Jadi etnisitas dan nasionalisme dapat terbangun secara paralel.

Daftar Pustaka

Agus Mulyana & Darmiasti, (2006), Historiografi Di Indonesia ; Dari Magis-Religius Hingga Structuris, Bandung : LP2H Press.

Bambang Purwanto, (2006), Gagalnya Historiografi Indonesiasentris, Jogyakarta : Ombak.

Himpunan Lengkap Kertas Kerja Seminar Sejarah Nasional Pertama 14-19 Desember 1957 Yogyakarta, PPIS-LIPI : Jakarta, 1976.

I Gde Widja, (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, Bandung : Angkasa.

Moh Ali, ”Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia”, dalam Sujatmoko, (1995), Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta : Gramedia.

Moh. Yamin,”Tjatur – Sila Chalduniah”, dalam, Himpunan Lengkap Kertas Kerja Seminar Sejarah Nasional Pertama 14-19 Desember 1957 Yogyakarta, PPIS-LIPI : Jakarta, 1976.hlm. 203-214.

Parsudi Suparlan,”Manuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, dalam Ki Supriyoko, (2005), Pendidikan Multikultural Dan Revitalisasi Hukum Adat Dalam Perspektif  Sejarah,  Jakarta : Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, hlm. 24.

Rochiati Wiriaatmadja, (2002), Pendidikan Sejarah Di Indonesia Perspektif Lokal, Nasional, Global, Bandung : Historia Utama Press.

Sartono Kartodirdjo, et. al., (1977), Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta : Balai Pustaka.

———————–, (1992), Pemikiran dan  Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, Jakarta : Gramedia.

———————–, (1992), Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Jilid 1 Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta : Gramedia.

Sudjatmoko,”Merintis Hari Depan” , dalam, dalam Sujatmoko, (1995), Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta : Gramedia, hlm. 183-201.

Taufik Abdullah & Abdurrahman Surjomihardjo, ed.(1985), Ilmu Sejarah dan Historiografi, Jakarta:  Gramedia, hlm. 27-29.

Taufik Abdullah, “Di Sekitar Penelitian Sejarah Lokal”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan, Ed, (2007),  Sejarah Lokal  Panulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salamina Press, hlm.17.

 

[1] Moh Ali, ”Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia”, dalam Sujatmoko, (1995), Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta : Gramedia, hlm. 1.

[2] Agus Mulyana & Darmiasti, (2006), Historiografi Di Indonesia ; Dari Magis-Religius Hingga Structuris, Bandung : LP2H Press.

[3] Sartono Kartodirdjo, (1992), Pemikiran dan  Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, Jakarta : Gramedia, hlm. 29.

[4] Himpunan Lengkap Kertas Kerja Seminar Sejarah Nasional Pertama 14-19 Desember 1957 Yogyakarta, PPIS-LIPI : Jakarta, 1976.

[5] Ibid

[6] Sudjatmoko,”Merintis Hari Depan” , dalam, Ibid, hlm. 183-201.

[7] Moh. Yamin,”Tjatur – Sila Chalduniah”, dalam, ibid, hlm. 203-214.

[8]Sartono Kartodirdjo, et. al., (1977), Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta : Balai Pustaka.

[9] Bambang Purwanto, (2006), Gagalnya Historiografi Indonesiasentris, Jogyakarta : Ombak, hlm. 163.

[10] Taufik Abdullah & Abdurrahman Surjomihardjo, “ Arah Gejala dan Perspektif Studi Sejarah Indonesia”, dalam Taufik Abdullah & Abdurrahman Surjomihardjo, ed.(1985), Ilmu Sejarah dan Historiografi, Jakarta:  Gramedia, hlm. 27-29.

[11] Sartono Kartodirdjo, (1992), Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Jilid 1 Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta : Gramedia.

[12] Karl W.Duetsch,”The Growth of Nations: Some Ecurent Patterns of Political and Social Integration”, dalam Mac Allister (Ed), (1984),The Politics of National Integration “, New York : Random House Inc, hlm. 18, sebagaimana dikutip oleh Rochiati Wiriaatmadja, (2002), Pendidikan Sejarah Di Indonesia Perspektif Lokal, Nasional, Global, Bandung : Historia Utama Press, hlm. 226-227.

[13] Ibid, hlm. 19.

[14] Parsudi Suparlan,”Manuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, dalam Ki Supriyoko, (2005), Pendidikan Multikultural Dan Revitalisasi Hukum Adat Dalam Perspektif  Sejarah,  Jakarta : Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, hlm. 24.

[15] Taufik Abdullah, “Di Sekitar Penelitian Sejarah Lokal”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan, Ed, (2007),  Sejarah Lokal  Panulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salamina Press, hlm.17.

[16] I Gde Widja, (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, Bandung : Angkasa, hlm. 15.

Comments are closed.