Kyai di Bawah Terik Matahari: Ajengan Ahmad Sanusi pada Zaman Pendudukan Jepang 1942-1945

Oleh: Didin Saripudin

NAMA Ajengan Ahmad Sanusi dapat dikatakan tidak setenar Hasyim Asy’ari, A. Hasan, H. Abdul Halim, dan K.H. Zaenal Mustafa. Padahal namanya itu tercantum sebagai salah seorang Kyai terkemuka Indonesia di Jawa versi Pemerintah Pendudukan Jepang.[1] Bahkan kalau ditarik lebih awal namanya cukup banyak menghiasi arsip Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan catatan sebagai orang yang dianggap berbahaya dan mengancam kewibawaan pemerintah kolonial Belanda.[2]

Kooperasi: Perjuangan Ahmad Sanusi pada Zaman Pendudukan Jepang

Sewaktu tentara Jepang memasuki Sukabumi, banyak aktivis Barisan Islam Indonesia (BII) dan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII) pada umumnya yang ikut membantu menunjukkan pusat pertahanan Belanda di daerah tersebut. Atas bantuan itu, menurut beberapa sumber yang dikutip oleh Agus Setiawan,[3] pihak Jepang menyampaikan ucapan terima kasih melalui Muhammad Abdul Muniam Inada yang datang mengunjunginya. Dalam kesempatan itu, ia atas nama pemerintah pendudukan Jepang mengajukan tawaran kerjasama. Tawaran kerjasama seperti itu tidak hanya diajukan kepada Ajengan Ahmad Sanusi, tetapi hampir kepada semua tokoh Islam dan pemimpin sekuler juga ditawari hal serupa. Ahmad Sanusi sendiri kelihatannya sudah mampu membaca situasi.

Ahmad Sanusi mengerti bahwa terhadap penguasa baru itu tidak ada istilah kooperasi atau non kooperas. Bagi pemerintah pendudukan Jepang yang ada hanya satu pilihan yaitu kolaborasi, kalau tidak maka akan disikat habis. Apalagi ada bukti, atau meskipun mereka menawarkan kerjasama, toch AII tetap saja dibubarkan oleh Jepangg sesuai dengan Undang-Undang No.3 tanggal 20 Maret 1942, di mana pemerintah pendudukan Jepang melarang semua organisasi dan rapat-rapat. Atas dasar pertimbangan seperti itu Ahmad Sanusi menerima tawaran Jepang.

Larangan tersebut juga dengan sendirinya menghentikan aktivitas partai-partai politik yang ada. Untuk mendapat dukungan semua pihak, pemerintah pendudukan Jepang membuat gerakan massa yang baru. Gerakan itu disebut dengan Gerakan Tiga A (Nippon cahaya, pelindung, dan pemimpin Asia) yang didikan pada tanggal 29 April 1942. Para pemimpin Gerakan Tiga A adalah seorang ahli propaganda Jepang, Shimizu dan Mr.R. Samsuddin, pemimpin muda PARINDRA (Partai Indonesia Raya). Mr.R. Samsuddin adalah putera dari Kepala Penghulu Sukabumi, Ahmad Djuaeni. Mr.R. Samsuddin juga sebagai anggota AII telah melihat organisasi ini memiliki semangat kebangsaan dan cukup dominan di Jawa Barat. Mr.R. Samsuddin yang telah bergabung dengan AII mendapat persetujuan Ahmad Sanusi untuk memimpin Gerakan Tiga A.

Ahmad Sanusi sebagai pemimpin dari kalangan Islam pada waktu itu tidak hanya berhubungan dengan kalangan pemimpin Islam saja seperti dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), yang didirikan lagi pada tanggal 9 September 1942, tetapi juga berhubungan dengan para pemimpin nasionalis sekuler. Menurut penuturan beberapa informan, Soekarno sekembali dari pembuangannya di Bengkulu, beberapa kali mengunjungi pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi untuk berdiskusi dengam Ahmad Sanusi. Dalam diskusi tersebut Ahmad Sanusi berpandangan bahwa Jepang berstatus sebagai penjajah baru. Mereka (Soekarno dan Ahmad Sanusi) memandang Jepang sebagai orang Timur yang datang di Indonesia dan menghadapi dua lawan, bangsa Indonesia sendiri sendiri dan penjajah Belanda dalam Sekutu. Dengan kedok kerjasama, tenaga dan keterampilannya bisa dimanfaatkan. Pertama, untuk mengusir Belanda dari tanah air Indonesia; dan kedua, mereka bisa diminta keahliannya untuk mendidik penduduk pribumi dalam bidang militer.[4]

Kedatangan Soekarno ini kemungkinan juga sekedar singgah kepada tokoh Islam Sukabumi itu dan untuk mendengarkan pendapat seorang kyai tradisional. Sekalian memang pada tanggal 26 Desember 1942, Soekarno bersama Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansur akan mengadakan pertemuan dengan Gunsekai di Hotel Salabintana Sukabumi yang akan membicarakan tentang gerakan baru rakyat Indonesia untuk menggantikan Gerakan Tiga A, yang kemudian dinamakan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Namun aktivitas PUTERA baru dimulai tanggal 8 Maret 1943, karena izin bagi gerakan ini terlambat datangnya dari Tokyo. Pada tahun itu juga Ahmad Sanusi diangkat oleh pimpinan pusat PUTERA menjadi pemimpin PUTERA Cabang Bogor. PUTERA tidak lama berdiri karena pemerintah pendudukan Jepang menggantinya dengan Jawa Hokokai.

Pada pertengahan tahun 1943 Ahmad Sanusi diangkat menjadi salah seorang pengajar pada badan latihan bagi para ulama (Kaikyo Kyoshi Koshu-cho) yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang. Bersama dengan Haji Agus Salim, Dr. Amrullah, Dr. Prijono, Mr. Subagyo, Hoesein Iskandar, Mr. Sudjono, Kolonel Horie, Miyamoto, Abiko, dan Togo dari kantor pendidikan melengkapinya sebagai staf pengajar.

Ahmad Sanusi berpendapat walaupun lembaga ini dibentuk dan diawasi oleh Jepang, tetapi dapat diambil beberapa manfaatnya. Antara lain ia mengemukakan bahwa para ulama memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan sesama ulama, dan berkenalan dengan orang-oranng yang belum mereka kenal. Dengan begitu berkesempatan untuk membicarakan masalah-masalah penting dapat dilakukan bersama-sama. Latihan di masa Jepang itu juga memungkinkan pertemuan secara tetap tanpa perlu mengadakan perdebatan antara mereka yang belainan sikap terhadap madzhab. Para ulama ditantang oleh pikiran dan pendapat yang selama ini kurang atau tidak mereka pedulikan, umpamanya isi semangat dan kepercayaan Jepang. Walaupun mereka secara diam-diam atau terbuka menolak kepercayaan Jepang, tetapi paksaan pada diri mereka untuk mendengarkan ceramah dan mempelajari isinya tentulah menyuruh para ulama berpikir banyak. Hasilnya bisa berbalik, yaitu bertambahnya keyakinan mereka kepada Islam dan perlunya mereka menjalin kerjasama dan loyal dengan sesamanya. Selain itu para ulama juga memperoleh kesempatan untuk memperoleh latihan militer sebagai bagian dari pelajaran olah raga. Walaupun di pesantren latihan pencak silat merupakan kegiatan biasa, tapi latihan fisik secara modern itu masih asing bagi mereka.[5]

Pada waktu pasukan Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, Ajengan Ahmad Sanusi memasukkan Ajengan H.M. Basoeni (Pemimpin BII) untuk menjadi perwira PETA. Dan pada waktu Hizbullah didirikan banyak para anggota BII yang bergabung dalam Hizbullah untuk memperoleh latihan kemiliteran. Dengan Hizbullah ini para santri yang sebelumnya hanya belajar agama, dan sekali-kali ke sawah dan ladang membantu para kyai atau orang desa, kini memperoleh latihan militer yang kemudian kelak sangat berguna dalam masa revolusi Indonesia.

Pada bulan Januari 1944 Ahmad Sanusi ditawari sebagai anggota Dewan Penasehat Keresidenan Bogor (Shu Sangi Kai). Ia kemudian mengajukan syarat mau menerimanya, asalkan AII dihidupkan kembali. Akhirnya pada tanggal 1 Pebruari 1944, pengakuan resmi diberikan kepada AII dengan mengubah namanya ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Persatoean Oemat Islam Indonesia yang disingkat POII. Menyusul berdirinya kembali Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama) yang pada tangal 10 September 1943 telah membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Pada tanggal 25 Mei 1944 secara resmi Ahmad Sanusi duduk dalam kepengurusan Masyumi sebagai wakil dari POII.[6]

Ada beberapa faktor yang menyebabkam pihak Jepang memberikan pengesahan ini. Pertama, pihak Jepang memerlukan dukungan rakyat Indonesia yang lebih dari sebelumnya, terutama di daerah pedesaan. Di pedesaan ini rakyat biasanya menurut kepada para ulama. Hal ini berhubungan dengan mulai terdesaknya Jepang dalam perang Pasifik. Dan kedua, terletak pada kenyataan bahwa AII dan organisasi Islam lainnya, walau tidak resmi, masih melanjutkan kegiatan mereka dan mengadakan koordinasi antara para pemimpin atau kyai. Dalam tradisi pesantren, kerjasama seperti itu – antar para kyai, pesantren, dan para alumni santri – terus terjalin walau tidak secara resmi. Oleh sebab itu, daripada membiarkan hubungan tidak resmi ini berkembanng di luar pengawasan pemerintah, maka pihak Jepang nampaknya merasa perlu agar hubungan tersebut terjalin dengan resmi, sehingga pengawasan pun lebih mudah pula dilakukan.

Satu hal yang menarik terjadi pada akhir tahun 1944. Saat itu pemerintah pendudukan Jepang mengadakan perubahan penting di tingkat birokrasi pemerintahan. Jabatan-jabatan baru tingkat daerah banyak diberikan kepada para priyayi. Dari delapan orang Wakil Residen yang diangkat pada bulan Desember 1944 (Residennya orang Jepang). Salah satu jabatan, yaitu  Wakil Residen (Foku Shu-chokan) Bogor justru diberikan kepada Ajengan Ahmad Sanusi. Dengan demikian ia merupakan satu-satunya orang dari kalangan Islam tradisional yang menduduki jabatan eksekutif. Hal ini cukup menarik seperti dikomentari oleh Harry J. Benda bahwa (1985: 218) bukannya tidak terduga, posisi-posisi regional yang baru tersebut diberikan kebanyakan kepada priyayi berpangkat tinggi, yang promosinya sebenarnya memberikan resiko dalam menjaga orde baru yang diciptakan di bawah pengawasan Jepang. Adalah cukup menarik, seorang kyai ortodoks yang terkenal termasuk salah satu di antara wakil residen tersebut.[7]

Ahmad Sanusi sebagai Anggota BPUPKI

Pada tanggal 28 April 1945 diumumkan susunan anggota-anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa Jepangnya Dokuritsu Zyunbi Cyoosakai. Meskipun badan ini sedikit banyak merupakan perwakilan yang luas sifatnya, tetapi keanggotaannya lebih banyak terdiri dari orang-orang tua daripada orang-orang muda, dan lebih banyak terdiri dari kalangan nasionalis sekuler daripada yang berpendirian Islam. Hal ini berbeda dari yang mungkin diduga setelah melihat perkembangan kedudukan umat Islam yang lebih positif pada zaman pendukan Jepang .

Menurut Deliar Noer, (1987:11) pada mulanya hanya 15 dari 60 anggota  (disamping ketua dan wakil ketua yang netral agama) yang berorientasi pada Islam dalam pandangannya. Mereka ialah Abikusno Tjokrosujoso (dari bekas PSII), Haji Ahmad Sanusi (PUII), Haji Abdul Halim (PUI), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Haji Masjkur (NU), Haji Mas Mansyur (Muhammadiyah), Abdoel Kahar Moezakkir (Muhammadiyah), Roeslan Wongsokoesoemo (bekas anggota Parindra dari Masyumi), Haji agus Salim (Barisan Penyadar), Mr.R. Samsuddin (bekas Parindra dari PUII), Sukiman (PII), Haji Abdul Wahid Hasjim (NU), Ny. Sunarjo Mangunpuspito (Aisyiyah bekas JIB), Abdul Rahman Baswedan (bekas PAI), dan Abdul Rahim Pratalykrama (Residen Kediri, afiliasinya tidak diketahui). Ketika sejumlah 28 orang lagi ditambah sebagai anggota, yaitu tanggal 28 Juni 1945, hanya dua di antaranya yang dapat dikatakan termasuk golongan Islam, yaitu Mohammad Noor (bekas JIB dari Masyumi), dan Abdul Fatah Hassan (afiliasi organisasi tidak diketahui).

BPUPKI mengadakan dua kali persidangan. Pada sidang pertama, dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945, membicarakan soal-soal umum dan dasar negara. Sidang kedua, dari tangal 10 sampai 17 Juli 1945, membicarakan isi konstistusi negara yang hendak dibentuk.

Ahmad Sanusi salah seorang anggota dari kalangan Islam yang memperoleh pendidikan tradisional pesantren. Selama persidangan berlangsung membicarakan masalah bentuk negara, serta rancangan undang-undang dari negara yang akan dibentuk, terlihat dia mempunyai wawasan cukup luas, tidak kalah dari tokoh lainnya yang pernah mendapat pendidikan Barat. Ia juga mampu memberikan usul serta gambaran mengenai bentuk negara serta batas-batas negara. Misalnya dalam rapat tanggal 10 Juli 1945 ia telah mengajukan konsep negara yang disebut Imamat, yang tidak lain adalah bentuk republik.[8] Ahmad Sanusi mengemukakannya bersandarkan pada firman-firman Allah dalam Al Qur’an. Selain itu juga ia mengemukakan bahwa kepala negara harus dipilih oleh rakyat.[9]

Pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI itu bebas dan terbuka. Pembicaraan itu juga memulai suatu babak baru dalam pertikaian secara parlementer yang berkembang antara kalangan Islam yang ingin menegakkan ideologi Islam dan kalangan nasionalis yang netral agama. Perdebatan sengit terjadi dalam sidang-sidang, seperti dalam rapat pada tanggal 15 Juli 1945, yang membicarakan isi ayat-ayat rancangan Undang-undang Dasar, terutama mengenai agama kepala negara dan kewajiban bagi umat Islam dalam menjalankan syariatnya. Kalangan Islam berpendapat bahwa kepala negara hendaknya seorang muslim, dan rumusan ini perlu dicantumkan dalam konstitusi. Para wakil kalangan Islam yang menekankan isi piagam tentang kewajiban menjalankan syariat bagi para pemeluk Islam perlu dicantumkan lagi dalam ayat-ayat konstitusi. Pendapat ini ditolak oleh kalangan nasionalis sekuler dan mereka yang beragama non Islam. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia percaya akan kebijaksanaan pilihan rakyat, yaitu bahwa yang akan dipilih adalah seorang muslim. Wahid Hasjim, Kyai Masjkur, Abdul Kahar Muzakkir, dan Ahmad Sanusi menolak keras pendapat Soekarno ini. Pada rapat tanggal 11 Juli 1945 Ahmad Sanusi duduk dalam Komisi Pembela Tanah Air bersama dengan 20 anggota lainnya. Komisi ini diketuai oleh Abikusno Tjokrosujoso.[10]

Kemudian terjadi lagi perdebatan sengit menyangkut pencantuman kata “agamanya” dalam pasal 28 ayat 1 Rancangan Undang-undang Dasar. Abdoel Kahar Muzakkir meminta agar dalam ayat itu tidak berbau agama. Sementara Kyai Masjkur mencantumkan kalimat “menurut agamanya”. Beberapa pihak non Islam berkeberatan terhadap pencantuman kalimat itu, sehingga Soekarno sebagai anggota panitia yang menyusun rancangan undang-undang berniat mencoret kembali kalimat tersebut, serta mengusulkan diadakannya pemungutan suara, yang disetujui oleh Radjiman Widyodiningrat sebaai Ketua BPUPKI.

Ahmad Sanusi menolak usul Soekarno dan Radjiman. Menurutnya, masalah agama jangan diputuskan berdasarkan suara mayoritas, sebab masalah kepercayaan tidak dapat dipercayakan atas dasar mayoritas. Sebagai jalan keluar diputuskan saja apakah majelis menerima usul Masjkur atau usul Muzakkir. Kemudian Ahmad Sanusi mengusulkan: “usul saya memakai perkataan ‘menurut agama’. Jangan pakai ‘nya’, kalau diterima. Kalau usul itu tidak diterima saya tidak ada keberatan, umat Islam harus mempunyai negara yang dimufakati”.[11] Akhirnya sidang menerima usulnya. Keputusan diambil tanpa pemungutan suara, yaitu dengan mencoret kata “nya”,  yang berarti menerima kalimat “menurut agama”.

Pada saat-saat sidang dengan suasana panas seperti itulah Ahmad Sanusi mengkritik sikap-sikap yang muncul selama persidangan. Seperti ia kemukakan:

Assalamu‘alaikum W.W., Paduka Tuan Ketua, hadirin yang terhormat! Yang akan saya bicarakan sudah habis, tinggal satu usul saya yang akan dikemukakan di sini. Hadirin yang mulia. Negara kita menanggung 70 juta orang. Oleh karena itu, saya akan mengemukakan pada hadirin kewajiban yang ada di dalam agama Islam. Dalam permusayawaratan tentu ada pikiran. Jangan kita hanya mengingat asal pembicaraan berjalan saja, sudah, tetapi kita harus memakai keterangan di dalam penjelasan atau pembicaraan, bertukar pikiran terus menerus sampai kepada keadaan yang senyata-nyatanya, yaitu nyata benarnya atau nyata salahnya, nyata bahwa sesuatu hal harus dirobah; sebab kalau kita menerima sesuatu usul secara mentah-mentah, siapa nanti yang akan bertanggung jawab terhadap rakyat, terhadap tuan, terhadap masyarakat? Karena kesalahan kita di sini, kita celaka, anak cucu kita celaka. Oleh karena itu, saya mengusulkan kepada rapat, Paduka Tuan Ketua, supaya hal-hal yang bertentangan sejak dari permulaan pembicaraan sampai waktu ini diselesaikan dengan bertukar pikiran, sehingga senyata-nyatanya kita menjadi satu, supaya negara tetap menjadi suatu negara persatuan baru, tidak akan terjadi suatu negara kesatuan, tetapi negara perpecahan, meskipun namanya persatuan. Sekianlah.[12]

Persidangan tetap panas, K.H. Kahar Muzakkir yang didukung oleh Hadikoesoemo Tjokrosoedjoso tetap kepada pendiriannya, yaitu dengan pilihan menuliskan perkataan Allah atau agama Islam dalam Undang-undang Dasar atau dicoret semuanya, tidak hanya dipakai ujung-ujungnya saja. Dalam sidang itu, yang menurut Ahmad Sanusi merupakan sidang terakhir yang akan diikutinya, Ahmad Sanusi kembali menyampaikan pandangan sebagai berikut:

Permintaan saya, supaya permusyawaratan ini harap berjalan dengan tenang, dengan memancarkan pikiran ke sebelah kiri, keluar, dan kembali. Jangan diputuskan sekarang juga seperti anggota Tuan Abdoel Patah usulkan. Harap tuan-tuan memikirkan dengan tenang, dengan pikiran yang mengingat negara kita, rakyat kita, kalau diputuskan dengan putusan. Padahal saya akan tidak ikut hadir lagi dan jam ini saya tidak akan hadir, sebab kita tergopoh-gopoh dalam sesuatu, terutama mengenai negara kita ini. Oleh karena itu, saya minta kepada tiap hadirin yang menjadi wakil 70 juta, supaya mengikuti dengan tenang, sabar, dan permusyawaratan. Saya tiada keberatan, minta lagi musyawarah dengan tenang, dengan berlindung kepada Tuhan masing-masing. Islam mempunyai Tuhan, yang bukan Islam mempunyai Tuhan, kita harus minta perlindungan, supaya tenang. Saya minta kepada Tuan Ketua, supaya suasana permusyawaratan ini didinginkan dahulu.[13]

Penutup

Dalam pendapatnya ini kita melihat sikap Ahmad Sanusi yang ikhlas, tidak emosional, dan penuh rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa Indonesia. Dalam suasana persidangan yang panas inilah, pada suatu malam, Soekarno berkunjung ke rumah Soekiman untuk meminta kepadanya agar ia mau menenangkan wakil-wakil Islam dan mengharapkan agar mereka mau berkompromi. Namun Soekiman tidak dapat memenuhi permintaan Soekarno. Sebaliknya, ia menasihati Soekarno untuk menerima tuntutan dari kalangan Islam.

Pada tanggal 14 Juli 1945, ketika BPUPKI kembali bersidang, Soekarno menghimbau rekan-rekannya dari kalangan nasionalis sekuler untuk menerima usulan kalangan Islam. Ia meminta mereka berkorban, karena katanya er is grootheid in offer (terdapat kebesaran dalam pengorbanan).

Ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk, nama Ahmad Sanusi tidak tercantum. Beberapa sumber lisan mengatakan bahwa Ahmad Sanusi telah mengundurkan diri dari BPUPKI pada rapatnya tanggal 15 Juli 1945.[14] Selain itu memang wakil Islam pada PPKI hanya diwakili oleh Ki Bagus Hadikoesoemo dan Wahid Hasjim, serta ditambah pada sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 oleh Kasman Singodimedjo dari 25 anggota (selain Ketua dan Wakil Ketua).[15]

Daftar Pustaka

Benda, Harry J.. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Terjemahan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Gunseikanbu. 1968. Orang Indonesia jang Terkemuka di Djawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Iskandar, Muhammad. 1993. “Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi: Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat” dalam Prisma, No.2. Jakarta: LP3ES, Juli.

Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Perguruan Yasti. 1977. Kelembaaan dan Keorganisasian Persatuan Umat Islam. Sukabumi: Yasti.

Sekretaris Negara RI. 1992. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945-19 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara RI.

Setiawan, Agus. 1994. “Perjuangan Haji Ahmad Sanusi” dalam Warta Muktamar PUI . Sukabumi: Juli.

*)Didin Saripudin, S.Pd. adalah Staf Pengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung.

[1]Lihat Gunseikanbu, Orang Indonesia jang Terkemuka di Djawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1968), hlm.442-43.

[2]Muhammad Iskandar, “Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi: Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat” dalam Prisma, No.2 (Jakarta: LP3ES, Juli 1993), hlm.72.

[3]Agus Setiawan, “Perjuangan Haji Ahmad Sanusi” dalam Warta Muktamar PUI  (Sukabumi: Juli 1994), hlm.17.

[4]Perguruan Yasti, Kelembaaan dan Keorganisasian Persatuan Umat Islam (Sukabumi: Yasti, 1977).

[5]Agus Setiawan, 1994, Loc.Cit..

[6]Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987).

[7]Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Terjemahan (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1980), hlm.218.

[8]Sekretaris Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945-19 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1992), hlm.103.

[9]Ibid., hlm.130.

[10]Ibid..

[11]Ibid., hlm.280.

[12]Ibid., hlm.180.

[13]Ibid., hlm.282.

[14]Perguruan Yasti, 1977, Loc.Cit..

[15]Sekneg RI, 1992, Loc.Cit..

Comments are closed.