Model Pembelajaran Kontekstual Dalam Pengembangan Pembelajaran Sejarah

Oleh: Dr. Erlina Wiyanarti , M.Pd

Pengantar

Guru yang bermutu memungkinkan  peserta didiknya untuk tidak hanya dapat mencapai standar nilai akademik secara nasional , tetapi juga mendapat pengetahuan  dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidup mereka. Bangsa – bangsa yang pada masa lalu dibangun sebagian besar akibat  penindasan  bangsa lain , pada era global ini harus mempertahankan identitas  – nasional  dalam lingkungan yang kolaboratif . Dan menurut Collingwood ( 1956) pembentuk identitas  nasional suatu bangsa tiada lain adalah  sejarah . Bahkan  dikatakan bahwa pengetahuan sejarah selain sangat fundamental  dalam pembentukan identitas nasional  juga  sumber inpirasi  yang sarat  makna  dalam pengembangan  kesadaran sejarah  para generasi muda  . Soedjatmoko ( 1995)  mengatakan  bahwa kesadaran sejarah   merupakan orentasi intelektual  dan sikap jiwa yang perlu untuk memahami secara tepat faham kepribadian nasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesadaran  sejarah akan mampu membimbing manusia  kepada pengertian mengenai  diri sendiri sebagai bangsa. Memahami  betapa pentingnya kesadaran  sejarah , maka  pengembangan pendidikan sejarah  merupakan tuntutan  untuk melahirkan  generasi bijaksana  yang mampu menyelesaikan permasalahan bangsa dengan bijaksana .

Sejarah  itu penting dan menentukan , tetapi tidak final . Dalam sejarah  di tunjukan bahwa kebenaran  tentang peristiwa – peristiwa yang sudah terjadi , oleh karenanya  sejarah itu hendaknya dijadikan pelajaran  serta peringatan  bagi manusia yang beriman dan ahli fikir . Melalui pelajaran dan peringatan tersebut seseorang  tidak akan kehilangan  arah dan tujuan hidupnya  dalam menyongsong berbagai tantangan masa depan  . Memahami hakekat  sejarah tersebut , mengutip pendapat Ismaun (  2005) , kita hendaknya  tidak hanya belajar tentang sejarah , melainkan juga belajar dari sejarah , karena  sejarah menyimpan pengalaman berharga yang dapat memberikan kearifan . Oleh karena itu penting sejarah  dipelajari agar seseorang  dapat mengambil hikmah  dari peristiwa yang telah terjadi di masa lalu , seperti yang diungkapkan dalam ungkapan – ungkapan bijak  antara lain ” Manusia hendaknya  tidak terjatuh  dua kali pada lubang yang sama ! ” ,  ” Histiroria Vitae Magistra ! Sejarah adalah guru kehidupan   ! ”. Bahkan ada ungkapan penegasan   bahwa   sejarah penting dipelajari  karena  sejarah itu  tempat suatu bangsa  berangkat !

Mempelajari sejarah  tidak ada artinya bila tidak disertai  pemahaman akan nilai yang terkandung , fungsi dan  manfaatnya . Menurut Ismaun (2005 ) melalui  berbagai kajian yang dalam terhadap berbagai pendapat dan pengalaman orang – orang bijak di masa lalu , sekalipun nilai – nilai dalam sejarah itu hanya berupa pengalaman – pengalaman manusia, tapi tidak bisa dibantah bahwasanya  manusia itu pada umumnya gemar menggunakan pengalaman – pengalaman itu sebagai pedoman  atau contoh  untuk memperbaiki kehidupannya . Sedangkan fungsi sejarah pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan pengertian atau pemahaman yang mendalam dan lebih baik  tentang masa lampau  dan juga masa sekarang  dalam inter relasinya dengan masa datang .  Sedangkan kegunaan atau  manfaat sejarah   ada empat yakni yang bersifat edukatif yakni bahwa pelajaran sejarah membawa kebijaksanaan dan kearifan ; kedua , yang bersifat inspiratif  artinya memberi ilham ; ketiga, bersifat instruktif, yaitu membantu kegiatan menyampaikan pengetahuan  atau ketrampilan , dan keempat , bersifat rekreatif , yakni memberikan kesenangan estetis berupa kisah – kisah nyata yang di alami manusia .

Pendidikan sejarah di era global dewasa ini menghadapi tantangan  dan dituntut kontribusinya untuk lebih menumbuhkan kesadaran sejarah , baik pada posisinya sebagai anggota masyarakat  maupun  warga negara,  serta mempertebal semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air tanpa mengabaikan  rasa kebersamaan  dalam  kehidupan  antar bangsa di dunia . Pendidikan sejarah  dapat meningkatkan kesadaran sejarah  guna membangun kepribadian dan sikap mental  peserta didik , serta membangkitkan kesadaran akan suatu dimensi  yang paling mendasar dari keberadaan manusia , yakni kontinuitas . Kontinuitas  pada dasarnya adalah  gerakan peralihan  secara terus menerus  dari masa lampu ke masa kini dan masa depan .  Selain itu  pendidikan sejarah  di tuntut pula untuk  memperhatikan   pengembangan ketrampilan  berfikir  dalam proses pembelajarannya .  Melalui pendidikan  sejarah  peserta didik  diajak menelaah  keterkaitan kehidupan yang di alami diri, masyarakat  dan bangsanya , sehingga mereka tumbuh  menjadi generasi muda  yang memiliki kesadaran sejarah , mendapatkan  inspirasi ataupun hikmah dari kisah – kisah pahlawan , maupun tragedi nasional , yang pada akhirnya  memdorong terbentuknya  pola berfikir  ke arah berfikir  secara  rasional – kritis –empiris , dan yang  tidak kalah pentingnya ialah pembelajaran  sejarah  yang mengembangkan  sikap mau menghargai nilai – nilai kemanusiaan .

Tujuan pendidikan  sejarah   menurut Bourdillon ( 1994) idealnya adalah membantu peserta didik meraih kemampuan sebagai berikut : (1)  memahami masa lalu  dalam konteks masa kini, (2) membangkitkan minat terhadap masa lalu yang bermakna, (3) membantu  memahami identitas diri, keluarga , masyarakat dan bangsanya , (4) membantu memahami akar budaya dan inter relasinya dengan berbagai aspek kehidupan nyata , (5) memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang negara  dan  budaya bangsa  lain di berbagai belahan dunia , (6) melatih berinkuiri dan memecahkan masalah , (7) memperkenalkan pola berfikir ilmiah dari para ilmuwan sejarah sejarah , dan (8) mempersiapkan peserta didik untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi .Pokok – pokok pemikiran tentang tujuan pendidikan sejarah tersebut di atas juga terkandung di dalam rumusan tujuan pendidikan sejarah  di Indonesia. Hal senada dikemukakan juga dalam rumusan tujuan pendidikan sejarah di Indonesia , yang menyatakan bahwa pendidikan sejarah bertujuan untuk menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu, dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan , memahami , dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu , masa kini , dan masa depan ditengah – tengah perubahan dunia ( Depdiknas,2003).

Selama ini pendidikan sejarah di identikan sebagai pembelajaran yang membosankan di kelas . Baik strategi , metode maupun teknik pembelajaran lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis guru yang monoton , dan meminimalkan partisipasi peserta didik . Guru di posisikan sebagai satu – satunya dan pokok sumber informasi , peserta didik tertinggal sebagai objek penderita manakala guru sebagai segala sumber dan pengelola informasi hanya mengajar dengan metode ceramah dan tanya jawab yang konvensional. Sehingga pembelajaran sejarah disamping membosankan  , juga hanya menjadi wahana pengembangan ketrampilan berfikir tingkat rendah dan tidak memberi peluang kemampuan berinkuiri maupun memecahkan masalah . Memahami kenyataan umum pembelajaran sejarah di lapangan tersebut , yang menjadi penyebab utama adalah guru . Untuk itu para guru sejarah di lapangan di tantang untuk memiliki motivasi , keinginan , antusiasme dan kreatifitas mengembangkan dan meningkatkan kompetensi mengajar melalui pengayaan dan penguasaan berbagai model  dan strategi pembelajaran sejarah .

Berdasarkan pemahaman  akan pengertian , nilai , fungsi dan  tujuan  sejarah  serta  kondisi pendidikan sejarah di lapangan  tersebut di atas , maka diperlukan pengkajian dan latihan penguasaan  model – model pembelajaran bagi para guru sejarah .  Model – model pembelajaran yang di kembangkan  idealnya adalah yang bisa meningkatkankan minat belajar dan  menumbuhkan kesadaran sejarah peserta didik  dan sekaligus merasakan manfaat belajar sejarah . Oleh karena itu model pembelajaran yang dikembangkan di arahkan untuk menumbuhkan motivasi ,minat, kreativitas  melalui partisipasi aktif  yang pada akhirnya mendorong tumbuhnya kemampuan yang bersifat inovatif  dari para peserta didik .

Proses penguasaan berbagai model pembelajaran sejarah oleh para guru harus melalui latihan, pengalaman  dan uji coba yang terus menerus dengan semangat dan tulus. Dengan kata lain proses tersebut harus dijalani dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sekalipun demikian langkah awal harus segera di mulai , tak ada langkah seribu  jika tak ada langkah pertama ! Dan untuk itu mari kita mulai dengan memahami berbagai model – model pembelajaran  sejarah , dan pilihan model mana yang akan di gunakan di dalam kelas Anda  , terserah kepada Anda sebagai guru sejarah yang arif , kreatif , inovatif dan bijaksana .

Pengertian  Model Pembelajaran

Pembelajaran secara luas dapat dimaknai sebagai  proses keterlibatan ( engagement )  totalitas diri peserta didik dan kehidupannya secara terarah , terkendali  kearah penyempurnaan , pembudayaan , pemberdayaan totalitas diri  dan kehidupannya melalui  proses learning to know, learning to belief , learning to do , dan to be serta learning to life together (Gredler, 1994; Delors, 1996 ) . Sedangkan model pembelajaran dipahami sebagai  suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran  dalam tutorial, dan untuk menentukan perangkat – perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya  buku – buku , film , komputer , kurikulum , dan lain – lain ( Joyce ,1992 ;Dahlan 99 ) . Selanjutnya Joyce mengatakan  bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan  kita ke dalam  mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran  tercapai . Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak ( 1996) yang berpendapat bahwa model pembelajaran  jika dirancang dengan baik akan memberikan kerangka dan arahan bagi guru untuk mengajar  .  Dengan demikian model pembelajaran sejarah dapat diartikan  sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar sejarah , untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu . Adapun fungsinya adalah sebagai pedoman bagi para perancang  pembelajaran dan pengajar sejarah  dalam merencanakan aktivitas belajar – mengajar.

Istilah model pembelajaran  mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi , metode . Jika model pembeajaran diartikan sebagai suatu pedoman ataupun kerangka acuan berfirkir , maka strategi di maknai sebagai pola kegiatan  pembelajaran yang berurutan yang diterapkan dari waktu ke waktu yang di arahkan untuk mencapai suatu  hasil belajar peserta didik yang diinginkan .    Model pembelajaran menurut  Dahlan ( 1990)  memiliki empat ciri khusus yakni  :

(1) Rasional teoritik logis yang utuh  dan menyeluruh yang  disusun oleh para pencipta atau pengembangnya .

Sebagai contoh  manakala seorang guru mendisain  dan melaksanakan  model pembelajaran berbasis masalah , maka  di rancang  ada  kelompok – kelompok kecil peserta didik  bekerja sama memecahkan masalah  yang telah disepakati oleh mereka dengan bimbingan guru . Ketika guru sedang menerapkan  model tersebut , tidak jarang peserta didik menggunakan  bermacam – macam ketrampilan , prosedur pemecahan masalah  dan berfikir kritis. Sehingga  mengantisipasi  akan munculnya fenomena tersebut dalam proses pembelajaran , maka guru yang bersangkutan  menggunakan landasan  teori konstruktivis  sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaannya  .

(2) Landasan  pemikiran tentang sintax ( pola urutan ) .

Berkaitan  dengan contoh tersebut di atas , sintax ( pola urutan ) yang di tempuh oleh guru mengacu pada klasifikasi  yang  berlandaskan tujuan pembelajaran . Melalui model pembelajaran berbasis masalah  , diharapkan peserta didik  mampu menemukan , memecahkan masalah  hingga  mengambil  kesimpulan secara mandiri dengan di fasilitasi oleh guru . Tujuan pembelajaran tersebut bisa optimal dicapai  dalam pola urutan yang dirancang berlandaskan  pemahaman bahwa  peserta didik akan  mampu mencapai tujuan tersebut secara mandiri , jika di beri ruang yang seluas luasnya  dalam membangun / mengkonstruk  ketrampilan tersebut. Pada model pembelajaran tersebut guru bertugas  memandu peserta didik menguraikan rencana pemecahan masalah  menjadi tahap – tahap kegiatan ; guru memberi contoh mengenai penggunaan ketrampilan dan stategi  yang dibutuhkan  agar tugas- tugas  tersebut dapat di selesaikan . Guru berkewajiban menciptakan iklim kelas  yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh peserta didik .

(3) Perilaku ( kinerja ) mengajar  yang diperlukan agar model  tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil .

Serangkaian kegiatan pembelajaran di rancang  oleh guru secara menyeluruh mulai dari tahap awal hingga penutup. Pola urutan  dari suatu model pembelajaran  tertentu  akan menunjukan / memunculkan  dengan jelas kegiatan – kegiatan  yang harus di lakukan  baik oleh guru maupun peserta didik , agar tujuan pembelajaran di capai dengan optimal . Namun demikian apa pun model yang dilaksanakan , pada umumnya pola urutan suatu model pembelajaran  mengandung komponen – komponen yang sama , yakni  tahap  pembukaan  /awal  , yang di ikuti dengan tahap  kegiatan pembelajaran  , dan akan di akhiri dengan tahap  akhir yakni menutup pembelajaran . Berkenaan  dengan contoh tersebut di atas maka urutan kegiatan  pembelejaran akan  ditempuh  melalui aktivitas  awal dimana guru berupaya menarik perhatian dan memotivasi peserta didik agar terlibat dalam proses pembelajaran berbasis masalah  , tahap berikutnya guru menfasilitasi  aktivitas  peserta didik  menemukan masalah  hingga mampu menyimpulkan , dan tahap terakhir adalah  guru  dan peserta didik  menutup  pembelajaran , dimana terkandung kegiatan pada tahap tersebut merangkum pokok- pokok pembelajaran .

(4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat  di capai dengan sukses.

Tiap – tiap model pembelajaran  membutuhkan  sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda. Untuk model pembelajaran berbasis masalah  lingkungan kelas  yang demokratis dan koopertif harus menjadi syarat utama  bagi tumbuhnya  keterbukaan  dan kebebasan dalam  mengkomunikasikan  pemikiran – pemikiran para peserta didik , dan dengan itu pula  di ciptakan iklim yang kondusif untuk pengembangan  ketrampilan bekerjasama. Guru  yang otoriter akan sangat kontra produktif dalam pelaksanaan model tersebut .

Arends (2001) mengatakan bahwa tidak ada  satu model pembelajaran  yang paling baik  diantara lainnya , karena masing – masing  model pembelajaran  dapat dirasakan  baik jika telah di ujicobakan untuk mengajarkan materi tertentu . Oleh karena itu  perlu dilakukan seleksi yang cermat dan bijak  di dalam memilih model pembelajaran sejarah  yang  cocok untuk mengajarkan suatu  materi tertentu. Yang paling paham model pembelajaran  sejarah  yang paling baik, efektif dan tepat adalah  para guru sejarah di kelas  sebagai ujung tombak dari  pengembang kurikulum

Memahami guru sejarah  dalam KTSP diberikan otonomi yang  luas untuk merancang dan mengembangkan  desain pembelajaran , maka pemilihan model pembelajaran menjadi semakin nyata sangat terkait dengan kompetensi  dan kualifikasi guru sejarah yang bersangkutan . Dengan demikian merupakan hal yang penting bagi para pengajar  untuk mempelajari dan menambah wawasan tentang model pembelajaran yang telah diketahui . Karena dengan menguasai beberapa model pembelajaran maka para guru sejarah  akan merasakan  adanya kemudahan di dalam pelaksanaan pembelajaran di kelasnya .

Teori – teori belajar moderen yang melandasi model pembelajaran  adalah antara  lain teori belajar konstruktivisme  , teori perkembangan kognitif Piaget , teori belajar John Dewey , teori pemrosesan informasi , teori belajar bermakna David Ausubel, teori penemuan Jerome Bruner , dan teori pembelajaran sosial Vigotsky .

Teori konstruktivisme ( Suparno , 1997) pada intinya memandang bahwa peserta didik  harus menemukan  sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks , mengecek informasi baru dengan aturan – aturan lama , dan merevisinya  manakala aturan – aturan itu tidak lagi sesuai . Satu prinsip yang harus Anda pahami adalah bahwa guru tidak hanya  sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa , namun memberikan ruangan yang seluas – luasnya kepada para peserta didik membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya . Guru dapat memberi tangga kepada siswa untuk mencapai pemahaman dan kemampuan yang lebih tinggi.  Teori tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari kerja Piaget, Vigotsky, Bruner dan lain – lain.

Teori perkembangan Kognitif dari Piaget (Monk dkk,1994)   pada esensinya mengatakan bahwa  perkembangan kognitif  merupakan suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman  realitas melalui pengalaman pengalaman dan interaksi  – interaksi mereka . Diapun mengatakan bahwa  pengalaman – pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan memiliki peranan penting  di dalam perkembangan kognitif  seseorang ,Sementara pergaulan dengan teman sebaya akan membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya membuat pemikiran menjadi  lebih logis . Temuan lain adalah bahwa perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada  seberapa jauh anak aktif memanipulasi  dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Implikasi dalam proses pembelajaran adalah  para guru pada saat memperkenalkan informassi  sebaiknya  melibatkan peserta didik  menggunakan konsep – konsep yang telah mereka miliki , dan memberikan waktu yang cukup untuk menemukan ide- ide dengan menggunakan  pola berpikir mereka .

Teori Dewey (Gredler,1994)  pada intinya mengemukakan bahwa  belajar itu sesungguhnya merupakan  konstelasi dari berbagai pengalaman  yang dimiliki oleh seseorang . Oleh karenanya memberi seluas- luasnya kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman merupakan esensi dari belajar . Bekerja  adalah bentuk belajar yang sekaligus memperkaya pengalaman mereka . Pemikiran Dewey dikenal dengan ungkapan ”learning by doing ” , dan untuk itu dia menganjurkan agar isi pelajaran hendaknya di mulai dari pengalaman peserta didik , dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran . Dengan demikian  ”bekerja ” memiliki makna yang penting dalam memberikan pengalaman , dan pengalaman memimpin  peserta didik  berfikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar . Para guru di anjurkan untuk  merancang pembelajaran  yang di dalamnya melibatkan pengalaman peserta didik  melalui aktivitas  ”bekerja”  untuk memperoleh pengalaman yang baru .

Teori pemrosesan informasi (Gredler,1994)   pada intinya berbicara tentang bagaimana pemrosesan , penyimpanan , dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak . Tidak jarang para peserta didik  mengalami kesulitan dalam memahami  suatu pengetahuan tertentu , dan yang salah satu penyebabnya adalah  pengetahuan baru yang diterimanya tidak terjadi  hubungan dengan pengetahuan yang sebelumnya . Dalam hal tersebut betapa pentingnya pengetahuan awal , yakni sekumpulan pengetahuan dari pengalaman individu yang diperoleh  sepanjang perjalanan hidup mereka , dan apa yang dia bawa kepada suatu pengalaman yang baru , bagi seseorang  di dalam membangun pemahaman yang baru , bahkan dikatakan bahwa pengetahuan awal  menjadi syarat utama  dan menjadi sangat  penting bagi peserta didik untuk memilikinya .

Inti dari teori belajar bermakna dari Ausubel  (Dahlan ,1990)  adalah  bahwa belajar  akan bermakna jika merupakan suatu proses  dikaitkannya informasi baru pada konsep – konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif  peserta didik . Dengan demikian jika dalam teori Piaget , Dewey  maupun  pemrosesan informasi  dikatakan yang  paling penting itu adalah pengalaman atau pengetahuan awal , maka Ausubel lebih jelas lagi  yakni  pentingnya konsep – konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik . Dengan kata lain  belajar itu berrmakna jika para guru mampu membangun  pemahaman baru peserta didik  yang  di dasari  oleh  konsep – konsep yang sudah ada dalam struktur berfikir peserta didiknya .

Bruner   dalam  Dahlan ( 1990) menemukan bahwa belajar penemuan  ( discovery learning ) dapat diartikan atau disepadankan dengan  proses pencarian pengetahuan  secara aktif oleh manusia , dan dengan sendirinya  memberi hasil  yang paling baik . Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah  serta pengetahuan yang menyertainya , menghasilkan pengetahuan yang benar – benar bermakna. Bruner menyarankan kepada para guru  untuk memberi kesempatan yang seluas – luasnya kepada peserta didiknya untuk berpartisipasi  secara aktif dengan konsep – konsep dan prinsip – prinsip , serta memperoleh pengalaman , dan melakukan eksperimen – eksperimen , dan yang pada akhirnya mereka mampu menemukan prinsip – prinsip  itu sendiri .

Vigotsky (1978)  sependapat dengan Piaget , bahwa peserta didik membentuk pengetahuan  sebagai hasil dari pikiran  dan kegiatan mereka  sendiri melalui  bahasa. Vigotsky percaya bahwa  aspek sosial dalam proses pembelajaran  dapat  mempengaruhi  perkembangan proses mental , pengembangan konsep , penalaran logis dan pengambilan keputusan . Lebih lanjut dikemukakan bahwa proses pembelajaran  akan terjadi jika peserta didik  bekerja atau menangani tugas – tugas  yang belum dipelajari , namun masih dalam jangkauan  mereka  atau masih dalam zone of personal development. Selain itu Vigotsky juga menganjurkan  perlunya guru  memberikan batuan kepada peserta didik  selama tahap – tahap ( scafffolding )  awal perkembangan  dan mengurangi bantuan tersebut , dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil alih tanggungjawab  yang semakin besar segera setelah mereka  dapat melakukannya.

Berdasarkan pengkajian  terhadap teori – teori tersebut dapat di amati  benang merahnya , yakni bahwa  teori belajar manapun memberi  porsi perhatian yang  besar akan pentingnya  memberi kesempatan tumbuhnya kemandirian peserta didik  dan akhirnya mereka mampu  meraih pengetahuan , pemahaman dan ketrampilan yang layak yang mereka perlukan dalam menjalani kehidupannya .

Kriteria Model Pembelajaran  Inovatif  dan Konstruktif .

Menurut  Nieven ( 1999)  ciri – ciri suatu model pembelajaran yang baik adalah  sahih ( valid ) , praktis  dan efektif . Merujuk pada pemikiran tersebut di atas maka kesahihan  model pembelajaran  sejarah  berkaitan  dengan  pertanyaan apakah model yang dikembangkan di dasarkan pada rasional teoritik yang kuat , dan apakah  terdapat konsistensi internal . Menurut Trianto ( 2007)  untuk melihat tingkat kelayakan  suatu model pembelajaran  di lihat dari aspek kesahihan  di perlukan seorang ahli untuk menguji kesahihannya . Sedangkan hal  praktis dan efektivitas  berkaitan dengan pertanyaan apakah model pembelejaran sejarah yang dikembangkan dapat di  terapkan ; apakah kenyataan menunjukan bahwa apa yang dikembangkan  tersebut dapat diterapkan,   dan apakah operasional model pembelajaran   yang dikembangkan memberikan  hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Dan untuk menguji kelayakan aspek kepraktisan dan efektivitas  tersebut diperlukan suatu perangkat pembelajaran dengan topik tertentu  untuk melaksanakannya . Dan tentu saja diperlukan instrumen penelitian  yang sesuai dengan tujuan  yang di harapkan

Model Dan Strategi Pembelajaran Sejarah

Pemilihlan  model pembelajaran  disamping mempertimbangkan hal – hal yang bersifat metodik , juga harus memperhatikan karakter dari ilmu maupun kajian yang menjadi sumber materi pembelajaran . Sumber  materi pembelajaran sejarah adalah sejarah baik pada kedudukannya sebagai  ilmu , peristiwa maupun kisah . Pembelajaran sejarah yang sesuai dengan karakteristik sejarah  adalah   pembelajaran  yang mengandung kemampuan sebagai berikut :

  1. Mengajak peserta didik berfikir kesejarahan dengan cara berfikir imajinatif yakni membayangkan sesuatu peristiwa yang pernah ada dan benar – benar terjadi .
  2. Melatih intelektual peserta didik sehingga mampu menarik generalisasi – generalisasi dalam sejarah dengan menggunakan belajar inkuiri  dan  belajar kooperatif .
  3. Membimbing peserta memahami konsep – konsep secara induktif maupun deduktif .
  4. Menunjukan realita – realita yang hidup di masyarakat  dengan menanamkan  kesadaran kesejarahan dan perspektif.
  5. Membimbing peserta didik menemukan dan merasakan  fungsi dan manfaat belajar sejarah  di dalam  praktik kehidupan sosial sehari – hari baik secara individu maupun kelompok  .

Berdasarkan  pengkajian terhadap karakter dari pembelajaran sejarah tersebut  maka  model – model pembelajaran yang sudah di bahas di bagian  sebelumnya , pada prinsispnya bisa  di gunakan  . Dalam  memutuskan pilihan yang akan di ambil   para guru  harus  memahami karakter dari masing – masing model pembelajaran , serta mempertimbangkan, utamanya   , fokus tujuan  dan materi  pembelajaran sejarah yang akan di laksanakan . Jika model pembelajaran sudah di pilih maka tahap  berikutnya guru  harus  menentukan strategi  pembelajaran  yang akan dikembangkan.        

Secara umum strategi mempunyai pengertian  suatu garis – garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan . Dikaitkan dengan pembelajaran , strategi bisa diartikan  sebagai pola –pola umum kegiatan guru – peserta didik  termasuk perencanaan , cara dan taktik yang digunakan  dalam wujud pembelajaran  untuk mencapai tujuan yang telah digariskan sebelumnya .  Dengan demikian strategi pembelajaran sejarah  merupakan keseluruhan rangkaian upaya guru sejarah yang di rancang secara  sistematis  agar peserta didik belajar atau meraih tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya . Merujuk kepada pemikiran Djamarah dan Zain ( 2002)  dan Hamalik ( 2004)  ada  lima  kegiatan utama  dalam  merancang strategi pembelajaran sejarah  , yakni  :

  1. mengidentifikasi kemampuan kondisi awal peserta didik , serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku  dan kepribadian  peserta didik sebagaimana diharapkan  .
  2. memilih sistem pendekatan pembelajaran sejarah berdasarkan  aspirasi dan pandangan hidup masyarakat  .
  3. memilih dan menetapkan  prosedur, metode, dan teknik  mengajar sejarah yang dianggap paling cocok  dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam memunaikan tugasnya  .
  4. menetapkan norma – norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria  serta standar keberhasilan  agar  dapat dijadikan pedoman oleh guru  dalam melakukan
  5. evaluasi baik  proses maupun hasil belajar sejarah , yang selanjutnya  akan dijadikan umpan balik  untuk penyempurnaan sistem pembelajaran secara keseluruhan .

Perlu Anda pahami bahwa bentuk – bentuk strategi pembelajaran sangatlah beragam . Dan untuk memilihnya menurut Costa dalam Isjoni ( 2007)  ada lima hal yang harus dipertimbangkan , yaitu  (1) perbedaan  pola berfikir peserta didik  ,(2) perbedaan gaya belajar peserta didik,(3) motif belajar peserta didik ,(4) perbedaan tujuan pembelajaran, dan (5) perbedaan masalah yang harus dipecahkan . Selanjutnya di katakan pula bahwa kelima aspek tersebut bisa  menimbulkan  perbedaan dalam efektivitas pelaksanaan suatu strategi pembelajaran . Oleh karena itu Anda sebelum memutuskan memilih amati terlebih dahulu lima aspek tersebut .

Dari berbagai strategi pembelajaran  yang  pernah di kemukakan oleh para pakar , ada  beberapa bentuk  yang perlu diperhatikan oleh para guru sejarah , antara lain :

  1. Strategi Pembelajaran sejarah  yang bersifat direktif/ekspositori/ langsung   ( metode ceramah , tanya jawab, curah pendapat  dll )
  2. Strategi Pembelajaran sejarah yang bersifat diskoveri/mediatf/inkuiri  ( metode inkuiri,diskusi ,  pemecahan masalah , penelitian , kajian gambar , kajian dokumen , kajian buku teks , kajian peta ,  analogi dll)
  3. Strategi Pembelajaran sejarah kolaboratif/kooperatif  ( metode diskusi kelompok , bermain peran , sosiodrama, simulasi )
  4. Strategi Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan Contextual Teaching Learning bisa digunakan dalam  metode pembelajaran apapun yang menurut guru cocok  dengan kebutuhan peserta didik , tujuan , materi dan media pembelajaran yang  telah dirancang .

Strategi Pembelajaran sejarah yang bersifat direktif/ekspositori/ langsung  ciri utamanya adalah  guru sangat dominan karena harus berperan sebagai sumber informasi yang pokok , dimana guru harus mengemukakan  evidensi – evidensi , konsep – konsep  dan generalisasi , sementara  peserta didik cukup menerima informasi tersebut tanpa dilibatkan secara aktif .  Sekalipun pembelajaran di kembangkan dengan metode tanya – jawab , tetapi pada umumnya tanya jawab yang di gunakan adalah dengan pendekatan komunikasi dua arah yang bertitik tumpu pada arahan  yang ketat dari guru.

Strategi Pembelajaran sejarah yang bersifat diskoveri/mediatif/inkuiri memiliki karakter pendekatan pembelajaran berbasis peserta didik  . Dari berbagai metode yang di kembangkan dari strategi tersebut jelas sekali bahwa sasaran utamanya adalah aktivitas peserta didik  dengan segala potensi multi intelektual dan ketrampilan yang di miliki dan yang akan di raihnya  . Mulai dari ketrampilan berfikir kritis, ketrampilan menemukan masalah , memecahkan masalah hingga ketrampilan mengambil keputusan , baik secara individu maupun kelompok . Dan guru berperan sebagai konsultan maupun fasilitator yang arif  (dalam arti sesuatu yang berurusan  dengan pengananan pengetahuan , pemilihan pengetahuan untuk menetapkan hal – hal yang revan) , dan  bijaksana ( penerapannya untuk nilai dari pengalaman langsung peserta didik ) .

Strategi Pembelajaran sejarah kolaboratif/kooperatif memiliki ciri utama latihan bekerjasama. Dari berbagai metode yang dikembangkan tampak yang menjadi tujuan pokok dari strategi tersebut adalah melatih dan memberikan pengalaman bagaimana melakukan kerjasama dan merasakan manfaat kebersamaan terutama pada saat memecahkan masalah bersama. Dan dari strategi tersebut diharapkan   peserta didik mampu dan biasa melakukan kerjasama dalam hal – hal positif dalam kehidupan sehari – hari.  Bahkan menurut Bourdillon  ( 1999 ) penerapan strategi tersebut dalam pembelajaran sejarah tidak sebatas sebagai wahana pembelajaran kerjasama , tapi juga  memiliki manfaat mendidik warga negara yang bertanggung jawab , rasional , partisipatif dalam pengambilan keputusan baik sebagai warga masyarakat maupun warga bangsa.

Strategi pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran sejarah akan di bahas lebih rinci dalam bagian berikut ini.

Strategi Pembelajaran Kontekstual Dalam Pembelajaran Sejarah  .

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan  dalam implementasinya antara lain mengandung  sinyal adanya  penggunaan strategi pembelajaran dengan menekankan  pada aspek kinerja peserta didik  yang dikenal dengan  CTL ( Contextual Teaching  and Learning ) atau pembelajaran kontekstual . Mata pelajaran Sejarah  sebagai bagian dari KTSP memiliki kewajiban  untuk  menjadi wahana bagi pengembangan strategi  pembelajaran kontekstual tersebut . Dan untuk  kepentingan  pemahaman , pengkajian dan penerapan  strategi  pembelajaran  tersebut  , maka  pada bagian berikut  akan dibahas tentang selintas epistimologis CTL ( bagaimana pengetahuan tentang  CTL di bangun )  dan  implemantasi strategi pembelajaran kontekstual  dalam pembelajaran Sejarah.

Kata konteks berasal dari kata kerja Latin  contexere yang berarti ” menjalin bersama ”. Kata ” konteks ” merujuk pada ” keseluruhan situasi , latar belakang , atau lingkungan ” yang berhubungan dengan diri , yang terjalin bersamanya  ( Webster’s New World Dictionary , 1968) . Jadi pembelajaran kontektual sebagai suatu sistem adalah sebuah proses pembelajaran yang bertujuan membimbing peserta didik  melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek – subyek akademik  dengan konteks  dalam kehidupan keseharian mereka  secara utuh menyeluruh , baik dengan konteks  keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.

Munculnya gagasan  pembelajaran kontekstual bukan merupakan suatu  konsep yang baru. Penerapan pembelajaran tersebut di  kelas Amerika pertama – tama di usulkan oleh John Dewey pada tahun 1916. Dewey ( 1652 – 1952) sangat dipengaruhi oleh  kemajuan industri di negeri Inggris . Akibat industrialisasi berbondong –bondong keluarga pindah ke perkotaan , dengan membawa semangat kerjasama , rasa tolong menolong , keinginan untuk menyelidiki barang sesuatu yang baru , rasa kemasyarakatan dan tanggung jawab hidup, dan hal tersebut menurut Dewey harus terus di pupuk, sekalipun alat – alat pertukangan di gantikan oleh mesin – mesin . Sekolah dalam pandangan Dewey haruslah dapat menggantikan faktor – faktor pendidikan dalam keluarga , yang turut  lenyap dengan hilangnya industri – industri rumah , yaitu pekerjaan yang ikut membentuk watak manusia.   Oleh karena itu dia menamakan sekolahnya sekolah kerja ” Do- School” (Said dan  Affan,1987).

Sekolah – sekolah yang mengembangkan  dasar –dasar pendidikan Dewey  tidak mempergunakan pemikiran  tradisional . Jika dasar pemikiran pendidikan tradisional adalah mendidik otak –  ibarat sisi abstrak dari pengetahuan , kumpulan informasi –  maka Dewey mendidik tubuh – ibarat kenyataan hidup , masalah – masalah  realita . Dewey ( 1966)  mengatakan bahwa pemisahan  gagasan dari tindakan  dan pikiran dari tubuh menyalahi kesaling –terkaitan antara  segala sesuatu . Dia memberi contoh bahwa sebuah dokar  tidaklah terlihat sebagai  dokar sebelum semua bagiannya terpasang ; hubungan khas antara bagian – bagiannya itulah menjadikannya sebuah dokar . Demikian pula di sekolah – sekolah yang mempraktekan  dasar – dasar pemikiranya  tidak menggunakan alat – alat tradisional ,  tetapi mereka  bertukang , di ajari memasak  atau menpraktekan jenis – jenis pekerjaan yang kelak di butuhkan peserta didik untuk hidup  di masyarakatnya. Sehingga di menganjurkan sekolah hendaknya mencerminkan  keadaan  kenyataan masyarakatnya. Yang paling utama dari prinsip pendidikan Dewey adalah  kegiatan pembelajaran  di lakukan secara mandiri /individu  dan  memperhatikan hubungan atau konteks pembelajaran dengan realita di masyarakat .

Pemikiran Dewey tersebut sangat jelas  merujuk kepada filsafat pendidikan  holistis- pragmatis , dan itu pula yang sedang trend di Amerika saat itu . Nilai sesuatu pengetahuan berdasar kepada guna pengetahuan tersebut dalam masyarakat . Karena itu yang hendaknya di ajarkan di sekolah adalah yang segera dapat dipakai dalam masyarakat dan penghidupan sehari – hari .  Jadi dari paparan tersebut  pentingnya  konteks antara pembelajaran dengan kenyataan  di masyarakat sudah menjadi perhatian pakar pendidikan di Amerika sejak awal abad ke-20.

Akhir Abad ke-20  muncul pemikiran – pemikiran segar  tentang pendidikan, termasuk pendidikan sejarah  . Pendidikan tradisional  lebih  menekankan penguasaan dan manipulasi isi dengan wujud  implementasi para peserta didik menghapalkan fakta , angka, nama , tanggal , tempat , dan kejadian; mempelajari mata pelajaran sejarah sebagai ilmu ataupun kajian yang  terpisah dari  disiplin ilmu lainnya ; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar kesadaran sejarah  dan ketrampilan  berfikir . Para guru beranggapan bahwa  jika peserta didik berkonsentrasi  hanya untuk menguasai isi pelajaran sejarah , mereka pasti memperoleh informasi mendasar tentang sejarah  yang mereka pelajari , sehingga memandang keseluruhan sebagai  tidak lebih dari jumlah bagian – bagiannya yang terpisah dan berdiri sendiri , dan anggapan tersebut menunjukan kuatnya pengaruh paradigma berfikir ala Descartesia dan Newton .  Anggapan tersebut  mulai berubah dalam dekade akhir tahun 1980-an . Dan penemuan ilmiah terbaru memberi tahu bahwa justru hubungan antara bagian – bagian tersebutlah yaitu konteksnya – yang memberikan makna . Makna yang berasal dari hubungan –hubungan tersebut membuat gabungan dari semua bagian itu melampaui sekedar jumlah  dari bagian – bagiannya. Misalnya air  yang mendukung kehidupan manusia , mempunyai makna yang melebihi gabungan bagian – bagiannya , yaitu oksigen dan hidrogen ( Johnson , 2007) . Seperti halnya makna memahami hubungan/ koteks  antara suku – suku bangsa di Indonesia –  yang mendukung kehidupan bangsa Indonesia-  mempunyai makna yang melebihi sekedar  memahami jumlah /gabungan  suku – suku bangsa yang ada di Indonesia.  Dengan kata lain memahami konteks  jauh lebih bermakna  dari pada mempelajari  sesuatu  yang banyak secara terpisah- pisah  tanpa ada kaitannya .

Dipengaruhi oleh  esensi pandangan tersebut  – bahwa kenyataan ada dalam hubungan ;  kesatuan melibihi jumlah dari bagian – bagian ; dan makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya sehingga konteks memberi makna kepada isi , maka munculah keyakinan para pakar pendidikan bahwa semakin banyak keterkaitan  yang ditemukan peserta didik dalam  suatu konteks yang luas , semakin bermaknalah isinya bagi mereka . Dan keyakinan tersebut  di dukung oleh temuan – temuan empiris  melahirka gagasan tentang pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran kontekstual  atau CTL dapat dimaknai sebagai  sebuah  strategi  pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan melibatkan para peserta didik dalam aktivitas penting dengan   kehidupan  nyata yang  hadapi oleh para peserta didik . Dengan mangaitkan keduanya , peserta didik  melihat makna  di dalam tugas  sekolahnya  .  Yang dimaksud tugas sekolah  misalnya  menyusun proyek  atau menemukan permasalahan yang menarik , ketika mereka membuat pilihan dan menerima tanggung jawab , mencari informasi  dan menarik kesimpulan ; ketika mereka secara aktif memilih , menyusun , mengatur , menyentuh , merencanakan , menyelidiki , mempertanyakan , dan membuat keputusan , mereka mengaitkan isi akademis  dengan konteks dalam situasi kehidupan , dan dengan cara itu mereka menemukan makan. Penemuan makna adalah ciri  utama dari pembelajaran kontekstual ( Johnson, 2007).

Jika pembelajaran kontekstual sebagai suatu strategi , maka tentu bisa di kembangkan untuk berbagai mata pelajaran  termasuk pembelajaran sejarah .  Untuk melihat  bagaimana implementasi strategi kontekstual dalam pembelajaran sejarah , Anda  di persilahkan menyimak paparan berikut ini .

Sebelum  sampai pada pengkajian  prosedur , Anda sebaiknya  mengetahui bahwa  CTL  sebagai suatu sistem mengandung tiga prinsip utama yakni  kesalingbergantungan  yang dimaknai sebagai keterkaitan , saling melengkapi, komunitas;  deferensiasi  yang sering diidentikan dengan istilah kebhinekaan , variasi, keberagaman disparitas ; dan oraganisasi  diri atau pengaturan diri  yang terwujud dalam istilah manifestasi diri , prinsip dalam keberadaan ,  otonomi , dan pertahanan diri . Membuat keterkaitan – keterkaitan  yang bermakna  . Tiga prinsip itulah yang menjadi  payung  bagi  komponen /unsur dalam  pembelajaran kontekstual . Adapun komponen  yang di maksud menurut Johnson ( 2007 ) adalah seperti yang teruang dalam paparan berikut ini :

  1. Melakukan kegiatan  yang berarti
  2. Melakukan pembelajaran yang di atur sendiri
  3. Melakukan kerja sama
  4. Berfikir kritis dan kreatif
  5. Membantu individu  untuk tumbuh dan berkembang
  6. Mencampai standar  akademik yang tinggi
  7. Menggunakan penilaian autentik .

Sementara  menurut  rujukan yang di rancang oleh  Depdiknas ( 2002) , komponen CTL terdiri dari  :

  1. Konstruktivis
  2. Inkuiri
  3. Bertanya
  4. Masyarakat belajar
  5. Permodelan
  6. Refleksi
  7. Penilaian autentik

Namun demikian jika kedua pendapat di simak lebih dalam , maka  pada dasarnya  tidak ada  perbedaan.. Persamaan yang mendasar yang dapat disimpulkan adalah keduanya bertujuan membangun atau mengkonstruk  ( ingat bukan menerima !) makna yang berkualitas dan  dengan menghubungkan  pembelajaran  dengan lingkungan personal dan sosial siswa . Selain itu  keduanyapun  menempatkan pembelajaran berbasis masalah , menggunakan konteks yang bermakna, mempertimbangkan kebinekaan peserta didik , memberdayakan  peserta didik untuk belajar sendiri dan bekerjasama ( kolaborasi , koperatif) , menggunakan penilaian autentik  , dan mengejar standar unggul .

Jadi ketika Anda  berencana mengembangkan  pembelajaran  sejarah  dengan strategi  CTL , prinsip  dan unsur – unsur tersebut di atas  harus benar – benar di pahami dan harus muncul secara jelas  baik  pada tahap rencana  maupun  pengembangan  dalam  pembelajaran di kelas Anda .

Contoh prosedur  atau langkah  – langkah yang  harus di lakukan  dalam  pembelajaran  sejarah dengan perpaduan model pembelajaran  berbasis masalah dan kooperatif ,  strategi CTL ,  metode diskusi  dengan  tekhnik Jigsaw  . Adapun   garis besar  dari langkah – langkah pengembangannya dapat di simak  dalam tabel berikut ini :

” Ingat  bahwa Anak  Akan belajar Lebih bermakna dengan cara bekerja mandiri , menemukan sendiri , dan merekonstruksi sendiri pengetahuan dan ketranpilan sendiri  melalui  bentuk  kegiatan belajar  bersama !”

Pokok Bahasan :  Revolusi Perancis

Tujuan Pembelajaran  : Peserta didik menemukan  makna nilai  kerjasama dan toleransi  melalui kaji banding  antara peristiwa   Revolusi Perancis  dan  Kejatuhan  Pemerintah Orde  Baru

TAHAP KEGIATAN GURU KEGIATAN  PESERTA DIDIK
 1.Menyampaikan tujuan  dan mengatur peserta didik (Pada pertemuan sebelumnya sudah dibagikan teks tentang  Revolusi Perancis dan Kejatuhan Pemerintahan Orde Baru )

1.        Menyampaikan pendahuluan ( motivasi , menyampaikan tujuan dasar diskusi , apersepsi )

2.        membuat kesepakatan pembagian  materi ajar

3.        mengarahkan  pembagian kelompok

-Membagi  diri dalam kelompok

– Menentukan nomor  anggota  pada setiap kelompok  ( sesuai dengan sub topik bahasan – sesuai dengan kesepakatan )

– Setiap anggota kelompok sudah  memiliki  dan menyimak isi teks  sebelumnya .

 

2.Mengarahkan diskusi Mengarahkan  diskusi melalui modeling  Jigsaw  dengan masalah  pokok : Apa makna kerjasama  dari peristiwa Revolusi Perancis dan Kejatuhan Pemerintahan Orde Baru Menyimak  arahan  guru  dan  mengajukan  pertanyaan atau pernyataan tentang prosedur jigsaw
3Melaksanakan diskusi kelompok  asal  dan diskusi kelompok ahli Menfasilitasi dan memberi penguatan bila diperlukan  dan mengikuti diskusi  setiap kelompok  secara  bergilir  baik pada kelompok awal maupun pada kelompok ahli 1.Diskusi kelompok    untuk  berbagi  hasil pemahaman dari setiap anggota terhadap teks  .

2.Membagi diri  dalam kelompok  ahli  sesuai  dengan nomor  anggota  dan sub topik bahasan  untuk berdiskusi

3. kembali ke kelompok  awal , masing masing anggota melaporkan hasil diskusi  di kelompok ahli .

 

4. Mengakhiri  diskusi Menutup diskusi Tetap  duduk  dalam kelompok awal  untuk mengikutidan proses  tanya jawab singkat
5. Melakukan  Tanya jawab singkat tentang  proses dan hasil kesimpulan  diskusi – Membimbing  kelas untuk menemukan kesimpulan pemecahan masalah

–  memberi penghargaan

 

Merespon  Tanya jawab  kelas  dalam mencari kesepakatan pemecahan  masalah  dan mengambil  keputusan berupa kesimpulan  bersama

Daftar Bacaan

Arends ,Richard. 1997. Classroom Instructional Management . New York : The Mc

Graw-Hill Company .

Ballard , Martin . 1971. New Movements In The Study and Teaching Of History .London

:Indiana University Press.

Bourdillon , H. ( 1999 ) . Teaching History .  London . Routledge .

Collingwood, R.C. 2001. The Principles Of History . New York : Oxford University

Press.

Dahlan,M.D. (1990). Model –Model Mengajar . Bandung : CV. Diponegoro.

Delors . Jacques. 1996. The  Treasure Within . UNESCO

Dickinson , P.J.Lee and P.J.Rogers . 1984.Learning History . London : Heinemann

Educational Books.

Djamariah , Bahri dan Aswa Zain . 2002. Strategi Belajar Mengajar . Jakarta : Rineka

Cipta

Gunning , Dennis .1993. Teaching Of History . London : Croom Helm

Hamalik , Oemar . 2004. Strategi Belajar Mengajar  . Bandung : Sinar Baru Ashaari, H.

Johnson , B. Elaine . 2007. Contextual Teaching &Learning. Penerjemah : Ibnu Setiawan

.Jakarta :MLC

Joyce , Bruce and Marsha Weil  . ( 1980 ) . Models Of Teaching .  New Jersey  : Prentice

–Hall , Inc.  Second Edition

Ibrahim ,M., Rachmadianti,F.,Nur, M., dan Ismono .2000. Pembelajaran Kooperatif.

Surabaya : University Press

Isjoni . 2007. Pembelajaran Sejarah . Bandung : Alfabeta

Ismaun. 2005. Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu  Dan Wahana Pendidikan.

Bandung : Historia  Utama Press.

Kauchak ,D and P.D. Eggen .1989. Learning and Teaching . Boston : Allyn and Bacon .

Monks, F.J  et al. ( 1994 ) . Psikologi Perkembangan . Jogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Omardin dan Yunus Muhamad .1995.  Kaedah Pengajaran Sejarah. Kualalumpur :

Utusan Publication .

Trianto . 2007 . Model – Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik .

Jakarta : Prestasi Pustaka

Said , Muh dan Junimar Affan .1987. Mendidik Dari Zaman Ke Zaman .  Bandung :

Jemmars.

Soedjatmoko .1995. Sejarawan Indonesia Dan Zamannya. Dalam Soedjamoko et.al.

Jakarta : Gramedia

Suparno,P. 1997 . Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan . Yogyakarta : Kanisius.

Vogotsky, L.S. 1978. Mind In Society : The Development Of Higher Psychological

Processes. London : Cambridge University Press.

Comments are closed.