KURIKULUM, STANDAR KOMPETENSI LULUSAN, DAN UJIAN NEGARA

Said Hamid Hasan

 

KURIKULUM DAN PENDIDIKAN

Adalah suatu hal yang tak terbayangkan jika orang berbicara tentang pendidikan tanpa membicarakan kurikulum.  Pendidikan adalah suatu upaya sadar manusia (UU nomor 20 tahun 2003) untuk mempersiapkan generasi muda bangsa, bisa juga suatu komunitas atau suatu masyarakat, untuk kehidupan mereka setelah mereka dianggap dewasa dan produktif sebagai anggota suatu masyarakat bangsa. Dengan kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun maka pemerintah dan bangsa Indonesia beranggapan bahwa anggota bangsa yang sudah dapat dikelompokkan sebagai orang yang dewasa dan produktif adalah mereka yang sudah berusia minimal 15 tahun.  Pada usia itu, seseorang sudah seharusnya mengenyam pendidikan selama 9 tahun, sudah dianggap memiliki kualifikasi minimal yang dipersyaratkan masyarakat Indonesia.  Melalui pendidikan dasar 9 tahun tersebut maka seorang anak bangsa mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki karakter dasar dan ketrampilan dasar yang diperlukannya dirinya dan bangsanya untuk kehidupan dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan ummat manusia. Dengan karakter dasar dan ketrampilan dasar tersebut dia mampu mengembangkan potensi dirinya lebih lanjut untuk memiliki karakternya dan ketrampilan yang lebih tinggi, mengembangkan kemampuan untuk kehidupan yang lebih baik, mengembangkan sikap dan kebiasaan yang diperlukan pada masa-masa berikutnya sesuai dengan tantangan kehidupan yang dihadapi dan akan dihadapinya. Upaya pengembangan diri tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti pendidikan formal pada jenjang pendidikan berikutnya tetapi dapat dilakukan melalui jalur pendidikan non-formal bahkan melalui upaya-upaya mandiri (informal).

Pendidikan Dasar adalah visi bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya untuk memiliki karakter dan kemampuan dasar sebagai anggota bangsa. Pendidikan dasar adalah pendidikan minimal yang harus dimiliki setiap anggota bangsa. Oleh karenanya itu secara teoritik pemerintah memandang bahwa waktu 9 tahun sudah cukup bagi pendidikan formal untuk mengembangkan karakter dan kemampuan tersebut. Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah kebijakan WAJAR 9 Tahun yang menggambarkan bahwa pemerintah, melalui para pengambil keputusan di bidang pendidikan, menyatakan bahwa 9 tahun cukup untuk pendidikan bagi setiap warganya untuk mengembangkan kehidupan yang pantas dalam ukuran-ukuran yang dianut masyarakat dan bangsa.  Tentu saja pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan yang bermutu yang mampu memberikan kesempatan kepada penduduk usia 7-15 tahun untuk mengembangkan potensi dirinya. Waktu 9 tahun tidak berkaitan dengan dana yang tersedia pada anggaran belanja negara. Di berbagai negara kaya seperti Inggeris, Canada, Malaysia, Singapura pendidikan dasar adalah 9 tahun dan dinyatakan sebagai pendidikan wajib (compulsory education). Di Australia pendidikan dasar tersebut baru dianggap cukup selama 10 tahun sedangkan di Amerika Serikat baru dianggap cukup jika warganya sudah menempuh pendidikan dasar selama 12 tahun..

Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dirancang bagi mereka yang ingin mengembangkan potensi dasarnya menjadi karakter dan kemampuan yang lebih tinggi melalui jalur pendidikan formal. Melalui pendidikan menengah ini seseorang dapat mengembangkan karakter dan kemampuan dasar yang telah dimilikinya menjadi karakter dan kemampuan dasar yang lebih tinggi. Melalui pendidikan menengah seseorang  mengembangkan potensi dirinya menjadi karakter dan kemampuan spesifik yang bersifat vokasional, sosial, dan budaya. Melalui pendidikan menengah seseorang mengembangkan potensi dirinya menjadi karakter dan kemampuan yang diperlukan bagi jenjang pendidikan tinggi. Dalam fungsi yang demikian, pendidikan menengah tidaklah dirancang untuk setiap warga bangsa tetapi hanya bagi mereka yang mau dan mampu, dan oleh karena itu bukan merupakan suatu yang wajib bagi setiap orang.

Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang disediakan bagi mereka yang mau dan mampu untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi karakter dan kemampuan yang harus dimiliki seseorang sebagaimana yang dipersyaratkan masyarakat dan bangsa. Pada jenjang ini seseorang dapat memilih pendidikan untuk suatu karakter dan ketrampilan yang berkenaan dengan vokasi tertentu melalui pendidikan di lembaga seperti politeknik, akademi, mau pun institut dan universitas. Untuk memiliki karakter tertentu dan ketrampilan yang dipersyaratkan oleh suatu bidang profesi tertentu maka disediakan pendidikan profesi. Untuk memiliki karakter tertentu dan kemampuan tertentu yang dipersyaratkan sebagai ilmuwan maka disediakan jalur akademik yang berjenjang dari jenjang awal (S-1 atau bachelor), jenjang menengah (S-2 atau master), dan jenjang terakhir (S-3 atau doktorate). Sebagaimana pendidikan menengah maka pendidikan tinggi bukanlah pendidikan yang wajib dimiliki oleh setiap warga bangsa tetapi hanya bagi mereka yang mau dan mampu.

Di setiap jenjang pendidikan tersebut kurikulum memegang peranan penting dan bahkan utama. Setiap jenjang pendidikan harus menjawab tantangan yang dihadapi bangsa dan masyarakat mengenai karakter dan kemampuan yang harus dimiliki seseorang yang mengikuti dan menyelesaikan jenjang pendidikan tersebut. Rumusan masalah yang dihadapi kurikulum sangat ditentukan oleh filosofi kurikulum/pendidikan yang diyakini. Ketika filosofi yang digunakan adalah esensialisme dan perenialisme, seperti yang digunakan sekarang sejak Indonesia merdeka, maka masalah yang dirumuskan selalu berkenaan dengan pendidikan disiplin ilmu. Masalah yang dirumuskan selalu berkenaan dengan kurangnya penguasaan materi disiplin ilmu dan dalam konteks ini maka penguasaan matematika, IPA atau pun fisika, kimia,biologi, bahasa Inggeris selalu menjadi sorotan baik dalam arti jenjang penguasaan materi yang diwakili oleh angka pencapaian hasil belajar peserta didik mau pun ruang lingkup konten kurikulum dan waktu yang dialokasikan dalam kurikulum (curriculum space). Oleh karena itu perubahan kurikulum yang paling mendasar adalah perubahan pada ruang lingkup konten kurikulum dalam mata pelajaran tersebut dan penambahan waktu dalam kurikulum. Relevansi materi selalu dikaitkan dengan tolok ukur disiplin ilmu sedangkan tolok ukur lain, relevansi dengan kehidupan sosial, tidak menjadi fokus permasalahan.

Permasalahan sosial-ekonomi-budaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari bukanlah masalah yang dapat dimunculkan oleh filosofi esensialisme dan perenialisme. Dalam pandangan kedua filosofi ini maka tugas utama kurikulum adalah mengembangkan intelektualitas dan kemampuan berfikir rasional (Tanner dan Tanner, 1980). Masalah-masalah sosial barulah menjadi masalah kurikulum jika para pengembang kurikulum dan pengambil keputusan pendidikan menggunakan filosofi progresivisme dan rekonstruksi sosial. Apabila kedua fislosofi yang disebutkan terakhir ini digunakan oleh fihak-fihak terkait tadi maka kemiskinan, kesenjangan sosial, tingkat disiplin masyarakat yang kurang memuaskan, berbagai masalah sosial-ekonomi-budaya dapat diangkat sebagai masalah yang harus dijadikan fokus pengembangan kurikulum terutama konstruksi kurikulum (curriculum construction). Dalam posisi yang demikian maka proses konstruksi kurikulum akan menempatkan pembangunan karakter bangsa, masyarakat, dan annggota masyarakat menjadi fokus kurikulum. Kurikulum memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya sebagai manusia yang tidak hanya menonjolkan kemampuan intelektual (sebagaimana yang menjadi visi esensialisme dan perenialisme) tetapi juga aspek kemanusiaan lain seperti kepdulian sosial, sikap sosial, semangat kebangsaan yang positif, jiwa demokratis, toleransi, kemampuan mengaplikasi pengetahuan dan kemampuan dalam kehidupan keseharian, dan menjadi sekolah serta peserta didik sebagai bagian dari masyarakat di sekitarnya dan bangsanya.

Efisiensi penggunaan waktu dalam belajar, kesulitan penguasaan konsep dan ketrampilan dari materi bahan ajar serta pembinaan dalam mengatasi kesulitan belajar tidak menjadi perhatian. Permasalahan yang muncul dalam implementasi kurikulum dan kesulitan guru dalam merealisasikan kurikulum tidak dijadikan fokus permasalahan bahkan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang dianggap bukan masalah. Guru sudah mendapatkan dokumen kurikulum dan sudah diberi penjelasan singkat dalam suatu kegiatan pelatihan/ penataran yang singkat sehingga tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa guru tidak mampu melaksanakan kurikulum. Bantuan profesional bagi guru dalam implementasi kurikulum adalah barang langka dan mewah walau pun guru sangat memerlukannya. Walhasil, ketika implementasi kurikulum tidak sesuai dengan dokumen kurikulum orang menutup mata dan hasil belajar peserta didik tetap dianggap sebagai hasil belajar kurikulum yang dirumuskan dalam dokumen. Kajian dalam banyak literatur kurikulum yang menunjukkan bahwa hasil belajar peserta didik adalah fungsi dari proses implementasi kurikulum, variabel  peserta didik, dan lingkungan belajar dan bukan kurikulum yang dirumuskan dalam dokumen. Hasil belajar peserta didik barulah dapat dikatakan jika proses implementasi kurikulum sesuai dengan rancangan dokumen kurikulum (Hasan, 1984; Longstreet dan Shane, 1993; Oliva, 1997). Oleh karena itu jika terjadi proses implementasi yang bervariasi dalam skala yang cukup signifikan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, dan antara satu daerah dengan daerah lainnya serta variabel-variabel yang berkenaan dengan peserta didik dapat diasumsikan sebagai suatu cateris paribus maka perbedaan dalam hasil belajar adalah sesuatu yang sudah sewajarnya. Dengan perkataan lain, perbedaan kualitas pelayanan kurikulum terhadap peserta didik akan menentukan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dan itulah hasil kurikulum dalam bentuk implementasi.

Konsekuensi dari posisi implementasi kurikulum menyebabkan adanya suatu keharusan untuk melakukan evaluasi yang sistematik, rutin, dan terencana sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 57 dan pasal 58  UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi formatif dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kurikulum sehingga setiap anak Indonesia menikmati pelayanan kurikulum yang bermutu dan yang hak konstitusinya. Dalam situasi dimana setiap anak sudah mendapatkan pelayanan kurikulum bermutu sebagai hak konstitusionalnya maka evaluasi sumatif yang dilakukan secara external terhadap dirinya dapat dinyatakan ”fair” dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

KURIKULUM DAN STANDAR KOMPETENSI LULUSAN

Standar Kompetensi Lulusan adalah kemampuan minimal yang harus dimiliki setiap peserta didik yang belajar pada jenjang sekolah tertentu. Standar kompetensi Lulusan tersebut berlaku secara nasional dan merupakan gambaran kualitas minimal generasi muda bangsa Indonesia. Oleh karena SKL-SD/M.I. dan SKL-SMP/M.Ts. adalah kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia paling tidak dalam waktu 9 – 12 tahun mendatang. Ini adalah konsekuensi dari kebijakan Wajib Belajar 9 tahun yang ditentukan pemerintah dan adanya SKL sebagaimana dipersyaratkan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara konseptual kualitas yang ditetapkan dalam SKL dan dinyatakan legal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) nomor 23 tahun 2006  adalah operasionalisasi kualitas manusia Indonesia yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Memang kenyataannya SKL tersebut tidak dikembangkan berdasarkan tujuan pendidikan nasional sehingga apa fungsi, peran, dan kedudukan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UUD NKRI 1945 dan UU nomor 20 tahun 2003 perlu dipertanyakan. Barangkali tujuan pendidikan nasional  bukanlah sesuatu yang sepenting itu dan keberadaannya hanyalah sekedar sesuatu yang dipersyaratkan supaya tidak terasa aneh jika suatu upaya pendidikan nasional tidak memiliki tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu keberadaan tujuan pendidikan nasional cukuplah sebagai penghias produk hukum dan tidak perlu menjadi kualitas dasar yang harus diterjemahkan dalam SKL. Menyedihkan memang tapi ini adalah suatu kenyataan haruslah diterima walau pun terasa pahit dan menyesakkan.

Standar Kompetensi Lulusan adalah kualitas yang harus dicapai melalui kurikulum. Ketentuan dalam UU nomor 20 tahun 2003, PP nomor 19 tahun 2005 dan Permen 22, 23 tahun 2006 memberi wewenang kepada setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum bagi satuan pendidikan tersebut. Kurikulum ini dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan KTSP haruslah didasarkan pada Standar Isi (Permen nomor 22, 2006) dan SKL (Permen nomor 23, 2006). Setelah satu tahun kedua Permen itu dinyatakan berlaku masih banyak sekolah (SD/MI, SMP/M.Ts, SMA/MA, SMK/MAK) yang belum berhasil mengembangkan kurikulum bagi satuan pendidikannya. Ketiadaan pengalaman dalam pengembangan kurikulum dan petunjuk operasional pengembangan kurikulum yang jelas,  keterbatasan waktu , tenaga, dan dana merupakan faktor yang menghambat pengembangan KTSP. Sedangkan bagi satuan pendidikan yang menyatakan sudah memiliki KTSP belum ada evaluasi kurikulum yang dapat memberikan jaminan bahwa KTSP tersebut sudah merupakan rencana yang memiliki kemampuan mengembangkan SKL.

Kurikulum sebagai dokumen atau rencana harus diwujudkan dalam bentuk implementasi kurikulum. Apabila satuan pendidikan telah berhasil mengembangkan SKL dalam bentuk rencana atau dokumen pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realisasi rencana tersebut dalam bentuk proses di kelas. Sementara studi tentang ini belum dilakukan, pengalaman penelitian dan evaluasi kurikulum memperlihatkan selalu ada perbedaan (discrepancy) antara apa yang direncanakan dan apa yang terjadi dalam proses. Perbedaan tersebut dapat berupa sesuatu yang secara substansial tidak signifikan tetapi dapat pula berupa suatu penyimpangan dari rencana semula. Berbagai faktor seperti dana, fasilitas, manajemen dan beban tugas guru adalah diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan dari apa yang sudah direncanakan.

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik dari proses pembelajaran yang dialaminya. Dalam bahasa teknis kurikulum dikatakan bahwa hasil belajar adalah hasil dari kurikulum sebagai suatu kenyataan (observed urriculum) bukan hasil dari kurikulum sebagai rencana. Dalam bahasa teknis pembelajaran dikatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik sesuai dengan tingkat pemaknaan peserta didik terhadap materi belajar. Semakin tingkat tingkat pemaknaan tersebut maka semakin tinggi hasil belajar yang dimiliki peserta didik. Tingkat hasil belajar tersebut dimoderasi oleh waktu dan tingkat penggunaan. Hasil belajar yang tidak digunakan semakin lama akan semakin memudar walau pun mungkin masih ada dalam “memory” peserta didik yang bersangkutan.

 

KURIKULUM DAN UJIAN NASIONAL

Ujian Nasional adalah salah satu bentuk evaluasi hasil belajar yang bersifat sumatif. Dalam konteks UN yang sedang dialami oleh peserta didik evaluasi tersebut bersifat eksternal, artinya dilakukan oleh orang atau lembaga yang secara operasional tidak melakukan kegiatan pembelajaran tersebut. Memang UU nomor 20 tahun 2003 Pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar (istilah yang banyak digunakan dalam literatur standar adalah asesmen hasil belajar) dilakukan secara internal yaitu oleh guru. Adalah sekolah terakreditasi yang memiliki wewenang legal melaksanakan ujian untuk menetapkan keberhasilan belajar seorang peserta didik dan untuk itu sekolah mengeluarkan ijazah sebagai pengakuan akan keberhasilan seorang peserta dari satuan pendidikan tersebut (UU nomor 20 tahun 2003 pasal 61 ayat (2). Memang harus diakui bahwa UU nomor 20 tahun 2003 mengenal adanya evaluasi yang bersifat eksternal terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan oleh lembaga mandiri mau pun pemerintah (UU nomor 20 tahun 2003 pasal 58 ayat (2) dan pasal 59 ayat (1) untuk mengetahui pencapaian tingkat standar kompetensi lulusan oleh suatu satuan pendidikan. Ketentuan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tidak menyebutkan adanya Ujian Nasional yang dilakukan oleh pemerintah.

Ujian adalah bentuk yang lebih formal dibandingkan ulangan dan berdasarkan ketentuan dalam PP nomor 19 tahun 2005 pasal 1.20 ujian adalah ”kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan”, dan ini adalah tugas suatu satuan pendidikan menurut UU nomor 20 tahun 2003. UN adalah ujian yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah melalui BSNP.  Ada kesenjangan antara ketetapan dalam UU nomor 20 tahun 2003 dengan peraturan pelaksanaan berupa PP nomor 19 tahun 2005. Apakah kesenjangan antara dua produk hukum yang berbeda tingkat kekuatan legalnya tapi mengatur hal yang sama yaitu pendidikan dapat dibenarkan adalah permasalahan hukum dan tafsiran hukum. Permasalahan ini berbeda dari apa yang terjadi dengan Ujian Akhir Negara (UAN) yang diselenggarakan tanpa landasan hukum yang lebih tinggi kecuali Keputusan Menteri, UN memiliki landasan hukum yang lebih tinggi tapi berbeda dari ketentuan hukum di atasnya.

Permasalahan UN yang lebih substantif berkenaan dengan kaedah akademik dan pedagogik. UU nomor 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah upaya  sadar dan terencana dalam mencipatakan suasana belajar agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal. Semakin banyak peserta didik yang mampu mengembangkan potensi dirinya secara maksimal semakin berhasil upaya pendidikan yang dilakukan. Standar kompetensi lulusan (SKL) adalah jenjang maksimal pengembangan potensi yang diakui dan ditetapkan secara formal oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.

Pencapaian pengembangan potensi seorang peserta didik pada jenjang maksimal ditentukan oleh banyak faktor antara lain waktu, intensitas proses (time engagement), fasilitas belajar, suasana belajar, kemampuan awal peserta didik, dan kurikulum. Pengembangan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum memerlukan waktu. Dalam konteks kebijakan baru pendidikan di Indonesia kurikulum dikembangkan oleh satuan pendidikan dan dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sesuai dengan Peraturan Mendiknas nomor 22 tahun 2006 dan Pedoman pengembangan KTSP yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) KTSP haruslah berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Kedua standar ini dikeluarkan pada tahun 2006  Oleh karena itu secara resmi sekolah hanya memiliki waktu satu tahun untuk mengembangkan kurikulum, melaksanakannya dan mempersiapkan peserta didik untuk ikut UN yang materi ujinya meliputi materi kelas 1, 2, dan 3 (atau kelas 7, 8, 9 untuk SMP/M.Ts dan kelas 10,11, 12 untuk SMA/MA, SMK/MAK).

Ini adalah suatu kejadian yang luar biasa dan mungkin dapat dianggap sebagai prestasi cemerlang satuan pendidikan kita. Ujian, ulangan atau pun tes yang berkenaan dengan hasil belajar haruslah didasarkan pada prinsip bahwa yang diuji adalah yang sudah dipelajari peserta didik. Jika dalam waktu yang sangat singkat tersebut antara keluarnya Peraturan Menteri Diknas dengan waktu ujian, peserta didik yang ikut ujian dapat menyiapkan dirinya tentu ini sesuatu yang sangat hebat. Jika bukan sesuatu yang sangat hebat maka tentunya kita harus berfikir mengenai kepantasan dan kewajaran. Dengan demikian timbul pertanyaan apakah pantas dan jika dalam waktu satu tahun kurikulum berhasil dikembangkan, dilaksanakan, dan siap untuk suatu ujian nasional?

 

 

 

PENUTUP

Ujian Nasional adalah sesuatu yang perlu dimiliki oleh bangsa ini tetapi tidak dalam fungsi yang dilaksanakan dalam dua tahun terakhir ini. Ujian Nasional yang berlaku pada saat sekarang bersifat sumatif dan menjadi algojo bagi peserta didik serta mengabaikan hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kurikulum yang bermutu. Ujian Nasional yang diperlukan adalah sebagaimana dinyatakan dalam PP nomor 19 tahun 2005 pasal 68 a, 68 b dan 68 d yaitu untuk pemetaan mutu, dasar seleksi untuk pendidikan di atasnya, dan untuk pembinaan. UN untuk penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan atau program yang dinyatakan dalam pasal 68c harus ditinjau ulang dan dilakukan pembenahan konseptual sehingga tidak bertentangan dengan UU nomor 20 tahun 2003.

Dalam fungsinya untuk pembinaan maka fungsi Ujian Nasional harus berubah dari fungsi sumatif menjadi formatif. Melalui fungsi formatif ini maka guru dan sekolah dapat menggunakan hasil evaluasi tersebut untuk memperbaiki kualitas pelayanan kurikulum di sekolahnya baik berkenaan dengan pelayanan yang bersifat umum bagi setiap peserta didik mau pun pelayanan individual terhadap masalah belajar individual yang dialami seorang peserta didik. Untuk itu tentu saja berbagai faktor yang berpengaruh terhadap implementasi seperti manajemen sekolah, dana, fasilitas, suasana kerja, dan guru (Hasan, 1984) harus menjadi fokus evaluasi dan fokus dalam memperbaiki pelayanan kurikulum di suatu satuan pendidikan.

 

Dalam menjalankan fungsi tersebut pelaksanaan Ujian Nasional tidak harus bahkan tidak boleh dilakukan pada akhir tahun pendidikan suatu satuan pendidikan. Ujian Negara untuk SD tidak boleh dilakukan pada akhir kelas VI, Ujian Negara untuk SMP tidak boleh dilakukan pada akhir tahun pelajaran kelas IX, dan UN untuk SMA tidak boleh dilaksanakan pada akhir kelas XII. Ujian Negara yang dimaksudkan dilaksanakan pada kelas-kelas sebelumnya sehingga sekolah memiliki cukup waktu untuk memperbaiki pelayanan kurikulum dan meningkatkan hasil belajar peserta didik. Ujian Negara untuk SD dapat dilakukan di kelas III atau kelas IV sehingga SD memiliki kesempatan memperbaiki pelayanan pendidikannya untuk meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didiknya. Ujian Negara untuk SMP dapat dilakukan di semester pertama kelas VIII agar sekolah memiliki kesempatan selama 3 semester atau satu tahun setengah untuk meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik. Ujian Negara untuk SMA dapat dilakukan pada semester kedua kelas XI agar SMA dapat memiliki waktu cukup untuk memperbaiki kualitas hasil belajar peserta didiknya.

 

 

DAFTAR BACAAN

Burke, J. (Ed.)(1995). Competency Based Education and Training. London: The Falmer Press.

Conley, D. (1999). Statewide Strategies for Implementing Competency-based Admissions Standards. Denver: State Higher Education Executive Officers.

Cinterfor (2001). Competency-based Curriculum Design. Available at http://www.ilo.org, tanggal 24 Januari 2002.

Hasan, S.H. (1984). The Evaluation of the Implementation of the 1975 Secondary Social Studies Curriculum in Bandung Municipality. Sydney: Macquarie University. Unpublished Ph.D. Thesis

Longstreet, W.S. dan Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millenium. Boston: Allyn and Bacon

Oliva, P.F. (1997). Developing the Curriculum, 4th ed., New York: Longman

Resnick, L. dan K. Nolan (1995). Where in the World Are World-Class Standards?, Educational Leadership, 52, 6: 6-10.

Tucker, M.S. dan J.B. Codding (1998). Standards for Our Schools: How to Set Them, Measure Them, and Reach Them. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Umass (2001). Competency-based Education. Available at http://www.umb.edu, tanggal 24 Januari 2002.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *