HARIAN UMUM PIKIRAN RAKJAT  DI BANDUNG, 1950-1965: PERS LOKAL YANG BERORIENTASI NASIONAL

 

Oleh: Euis Iskantini *)

HISTORIA: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.6, Vol.III (Desember 2002)

 

ABSTRAKSI:

Pikiran Rakjat adalah satu di antara surat kabar yang tumbuh dan berkembang pada alam Demokrasi Liberal. Lahir pada tahun 1950-an, Pikiran Rakjat menjadi sebuah harian lokal yang menyoroti masalah-masalah politik nasional tanpa menghilangkan identitas kedaerahannya. Dalam sejarah perkembangannya, ternyata Pikiran Rakjat di Bandung tahun 1950/1960-an itu berbeda dengan Pikiran Rakyat yang ada sekarang, paling tidak dalam orientasi dan kepentingan para redakturnya. Betapapun harus diakui bahwa banyak pimpinan surat kabar Pikiran Rakyat sekarang sesungguhnya merupakan pekerja pers pada Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an. Dengan menganalisis berita dan opini yang menyoroti Peristiwa Konferensi Asia-Afrika, Pemberontakan DI/TII, dan masalah Pembebasan Irian Barat, tulisan ini menunjukkan bahwa Pikiran Rakjat merupakan surat kabar yang patut diperhitungkan keberadaannya pada tahun 1950-an karena kemampuannya dalam memberikan “news and views” kepada masyarakat Jawa Barat untuk mendapatkan informasi yang benar pada zamannya. Sebuah contoh dari pers lokal dengan orientasi pemberitaan bersifat nasional.

 

Pengantar

Maraknya kehidupan politik Indonesia setelah tahun 1950-an, terutama pada masa Demokrasi Liberal, terlihat jelas dari wajah pers yang ada pada saat itu. Kondisi pers Indonesia pada masa itu sangat sejalan dengan anggapan yang menyatakan bahwa “suatu bentuk pers selamanya sesuai dengan struktur politik dan sosial setempat di mana pers tadi bergerak”.[1] Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan pers di suatu negara akan seiring dengan perkembangan sosial-politik di negara itu sendiri, tidak terkecuali dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedekatan pers dengan kehidupan politik seperti yang tergambar pada masa Demokrasi Liberal, secara khusus dapat dikatakan sebagai sebuah cerminan sikap yang ingin ditunjukkan oleh sebuah surat kabar yang pada dasarnya mengandung dua unsur, yaitu penyajian berita (news) yang bersifat faktual dan pandangan-pandangan (views) yang bersifat opini.[2] Lebih jauh mengenai sikap, pandangan, dan pendapat yang ingin diungkapkan oleh sebuah surat kabar biasanya terlihat baik dari tajuk rencana, catatan pojok, karikatur maupun sebuah kepala berita.

Meskipun kajian tentang pers Indonesia dan sejarahnya telah banyak dilakukan, namun sedikit sekali tulisan yang memfokuskan bahasannya pada perkembangan pers Indonesia pada masa Demokrasi Liberal. Tulisan ini memfokuskan kajian pada sebuah harian lokal yang terbit dan berkembang ketika kondisi politik Indonesia diwarnai oleh adu kekuatan antara partai-partai politik pada masa Demokrasi Liberal yaitu Harian Umum Pikiran Rakjat di Bandung.

Terdapat beberapa alasan mendasar mengapa tulisan ini memfokuskan kajian pada harian Pikiran Rakjat di Bandung. Pertama, dari berbagai macam studi yang beragam mengenai pers Indonesia, para peneliti biasanya mengkaji surat kabar-surat kabar yang lebih bercorak nasional dalam arti memiliki jangkauan pembaca yang luas, sehingga belum ada studi yang secara khusus mengkaji tentang keberadaan sebuah koran lokal. Kedua, Harian Umum Pikiran Rakjat adalah sebuah surat kabar yang berbasis di Bandung, namun warna surat kabar ini sebagai korannya masyarakat Sunda pada awal berdirinya relatif tidak terlihat karena kebanyakan para redakturnya bukan orang-orang Sunda. Hal ini mengindikasikan bahwa di manapun surat kabar itu hidup, aspek yang berpengaruh pada warna surat kabar sesungguhnya ditentukan oleh siapa yang berada di belakang meja redaksi.[3] Ketiga, sebagai salah satu surat kabar yang lahir akibat iklim kebebasan pers pada masa Demokrasi Liberal, Pikiran Rakjat tidak memihak salah satu partai yang ada dan tidak memiliki hubungan yang formal dengan partai politik manapun.

Tulisan ini akan mengkaji bagaimana Harian Umum Pikiran Rakjat di Bandung menyampaikan news and views-nya terhadap kejadian-kejadian yang cukup penting dan berpengaruh bagi masyarakat Jawa Barat, di antaranya: (1) Konferensi Asia-Afrika 1955; (2) Pemberontakan DI/TII [Darul Islam/Tentara Islam Indonesia] di Jawa Barat; dan (3) Masalah Penyelesaian Irian Barat.

 

Koran Nanjung di Kota Bandung

Harian Umum Pikiran Rakjat (dulu Warta Harian) pertama kali terbit pada tanggal 30 Mei 1950. Pikiran Rakjat didirikan oleh Djamal Ali dan rekan-rekannya antara lain: A.Z. Sutan Palindih, H. Nitisoemantri, Semaun St. Kenaikan, termasuk juga Asmara Hadi.[4] Pendirian Pikiran Rakjat itu sendiri adalah untuk menjawab kebutuhan masyarakat Jawa Barat akan media cetak saat itu. Di kota Bandung sendiri pada saat itu, selain Pikiran Rakjat, terdapat juga koran yang berbahasa Belanda yaitu AID de Preanger Bode yang berhenti terbit pada pertengahan tahun 1950-an. Pada awal tahun 1960-an terbit juga Harian Banteng, Harian Karja dan Indonesia Express yang semuanya telah berhenti terbit pada tahun 1960-an.

Sebagai sebuah surat kabar yang terbit di daerah, keberadaan Pikiran Rakjat cukup menonjol dibandingkan dengan koran-koran lain yang terbit di Bandung. Menonjolnya Pikiran Rakjat bisa dilihat dari segi oplah. Menurut Atang Ruswita dan Soeharmono Tjitrosoewarno, dua orang anggota redaksi Pikiran Rakjat pada tahun 1950-an, oplah surat kabar itu berkisar antara 15.000 sampai 17.000-an. Meski dibandingkan dengan surat kabar lain yang terbit di Jakarta oplah Pikiran Rakjat masih kalah, namun untuk sebuah koran daerah tiras itu sudah cukup membuat Pikiran Rakjat lebih unggul dibanding dengan surat-surat kabar lain di Jawa Barat.[5]

Sebagai sebuah koran yang terbit di Jawa Barat, sudah tentu Pikiran Rakjat berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat pembaca yang mayoritas orang Sunda. Hal itu diperlihatkan oleh Pikiran Rakjat yang pada tahun 1958 mulai memunculkan tokoh karikatur yang menjadi prototipe orang Sunda dengan nama “Mang Ohle”.  Sosok “Mang Ohle” itu ditampilkan sebagai wakil dari rakyat kebanyakan. Menurut Soeharmono Tjitrosoewarno, filosofi yang terkandung dari hadirnya tokoh “Mang Ohle” ini adalah agar Pikiran Rakjat selalu dekat dengan pembacanya, dalam hal ini masyarakat Sunda.[6]

Pada awal terbit, kolom pojok Pikiran Rakjat yang menjadi ciri khas sebuah surat kabar di Indonesia, dinamakan “Podjok Bung Kupas”.  Sebutan “Bung” ini pada masa awal kemerdekaan sangat familier dan begitu memasyarakat, sebab sebutan ini seolah menjadi simbol yang cukup dekat dengan identitas orang-orang Republiken. Pengambilan nama penjaga pojok itu sendiri bukanlah tanpa alasan. Pikiran Rakjat nampaknya ingin memperkokoh citranya sebagai sebuah koran yang Republiken dengan mengangkat nama “Bung Kupas” sebagai penjaga pojoknya.

Seiring dengan gencarnya usaha Pikiran Rakjat untuk mendekatkan diri dengan masyarakat pembacanya, yaitu masyarakat Sunda, pada sekitar tahun 1957-an nama penjaga kolom catatan “Podjok” Pikiran Rakjat diganti menjadi “Ole-ole Si Kabajan”. Diambilnya tokoh “Si Kabajan” yang menjadi simbol orang Sunda ini, menurut Atang Ruswita, didasarkan pada kenyataan bahwa sosok Si Kabayan adalah seorang figur yang seringkali secara guyon ia mengkritik, selain itu Si Kabayan juga adalah seorang tokoh yang sederhana, tidak memerlukan atribut-atribut tertentu, namun tetap kritis terhadap lingkungannya.[7]

Pikiran Rakjat yang juga ikut merasakan perjalanan pers Indonesia pada masa demokrasi liberal, merupakan salah satu koran yang tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Hal itu berkaitan dengan prinsip salah seorang pendiri dan pemimpin umumnya, Djamal Ali, yang menurutnya: “[…] Pikiran Rakjat tidak boleh menjadi corong dari golongan manapun. Bagi saya Pikiran Rakjat adalah tetap pikiran rakyat dan bukan pikiran partai”.[8] Perjalanan Pikiran Rakjat yang terbit tahun 1950 ini akhirnya harus berhenti pada akhir tahun 1965 ketika pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap surat kabar untuk berafiliasi ke surat kabar partai atau pemerintah, dalam hal ini ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Namun antara direksi dan redaksi saat itu tidak ada kesamaan pendapat dan kesepakatan. Pihak direksi yang diwakili oleh Djamal Ali tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa Pikiran Rakjat harus tetap menjadi surat kabar independen dan menolak untuk bergabung dengan kekuatan politik manapun.[9] Akhirnya Pikiran Rakjat pun dilarang terbit dan assetnya disita oleh pemerintah Orde Baru karena sampai batas waktu yang ditentukan, pihak Pikiran Rakjat belum memberikan keputusan akan bergabung ke mana.

Sementara itu di lain pihak, pihak redaksi yang diwakili oleh Sakti Alamsyah, Atang Ruswita, dan yang lain-lainnya ditawari oleh Panglima Siliwangi, Mayjen Ibrahim Adjie untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang berafiliasi dengan surat kabar ABRI yaitu Angkatan Bersendjata. Pada tanggal 24 Maret 1966 terbitlah sebuah surat kabar Harian Angkatan Bersendjata Edisi Jawa Barat. Direksi Bandung N.V. sendiri menerbitkan koran lain yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, bernama Mertju Suar. Yang menarik adalah komentar Mertju Suar dalam kaitannya dengan keberadaan dan akhir dari surat kabar Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an. Dalam tajuk perdananya, Mertju Suar menulis: “Pikiran Rakjat terbit karena tuntutan perjuangan, tapi kini mati akibat tuntutan peraturan”. Ketika aturan afiliasi ini dicabut pada tahun 1967, anggota redaksi sepakat untuk menghidupkan kembali Pikiran Rakjat dengan visi dan misi baru sesuai dengan orientasi politik pembangunan Orde Baru. Dan motto yang diambil oleh Pikiran Rakyat pada masa Orde Baru ini adalah: “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”; dan “PR, Beritanya Dapat Dipercaya”.

 

Pandangan Pikiran Rakjat Terhadap Masalah-masalah Politik Nasional di Indonesia

Terdapat beberapa alasan mengapa sikap Harian Umum Pikiran Rakjat ini hanya terbatas pada masa-masa di atas. Pertama, Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 adalah sebuah peristiwa besar yang memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia dan secara kebetulan pula Konferensi Asia-Afrika itu diselenggarakan di Bandung. Semua pihak, terutama tuan rumah, menginginkan agar perhelatan ini terselenggara dengan baik. Dan Pikiran Rakjat, sebagai koran yang terbit di Bandung, berkeinginan untuk mensukseskan acara ini. Kedua, Pemberontakan DI/TII adalah suatu pemberontakan yang cukup lama dan pusat kejadiannya di Jawa Barat, sehingga Pikiran Rakjat yang relatif memiliki kedekatan dengan pihak tentara Siliwangi memiliki kepentingan untuk mempublikasikan berita-berita tentang sepak-terjang para tokoh DI/TII dan aktivitas gerakan mereka. Dan ketiga, masalah penyelesaian Irian Barat yang berlarut-larut menjadi ganjalan utama hubungan Indonesai dengan pihak luar negeri sehingga pers Indonesia secara umum rajin merilis berita-berita tentang masalah Irian Barat.

 

A.Konferensi Asia-Afrika 1955

Beberapa hari sebelum Konferensi Asia-Afrika dimulai, perhatian surat kabar Pikiran Rakjat di Bandung ini sudah tertuju pada acara tersebut. “Demam” Konferensi Asia-Afrika ini terlihat dari disediakannya halaman khusus yang menyajikan berita-berita atau feature negara-negara yang menjadi peserta konferensi ini, ataupun seputar persiapan acara. Bahkan secara khusus Pikiran Rakjat memberikan catatannya terhadap peristiwa ini sebagai berikut:

 

[…] konperensi jang akan dilakukan itu adalah satu peristiwa besar di antara peristiwa-peristiwa besar jang timbul laksana gelombang-gelombang dari dasar samudera dalam abad keduapuluh jang bernama abad proklamasi, kemerdekaan dan revolusioner.[10]

 

Namun sebagaimana halnya sebuah perhelatan yang mengikutsertakan berbagai negara yang membawa berbagai macam ideologi, Konferensi Asia-Afrika pun tidak terlepas dari isu keterlibatan ideologi itu. Sebelum Konferensi Asia-Afrika secara resmi dimulai, muncul ke permukaan isu akan adanya “suara-suara” yang akan mewakili golongan “Barat” dan golongan “Timur”.[11] Pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Dingin ini sangat berkepentingan dengan Konferensi Asia-Afrika guna mencari celah yang dapat dimanfaatkan oleh tiap-tiap golongan untuk memasukkan pengaruh mereka, dan inilah yang sangat ditentang oleh Pikiran Rakjat. Kekhawatiran akan munculnya pengaruh “Barat”, dalam hal ini Amerika Serikat, yang akan mengotori niat baik para peserta Konferensi Asia-Afrika memang cukup beralasan. Hal itu terlihat dari usaha Presiden Amerika Serikat, Eisenhower, yang berencana untuk mengadakan program “saling bantu” antara Amerika Serikat dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur.[12] Rencana Eisenhower ini dilandasi oleh ketakutan bahwa sebagian besar peserta konferensi akan berpaling kepada RRC (Republik Rakyat Cina) yang memang menghadiri konferensi itu. Sikap Eisenhower itu segera memancing reaksi pers. Dalam hal ini Pikiran Rakjat di Bandung mengungkapkan “kejengkelannya” atas rencana Eisenhower itu dalam tajuknya yang, antara lain, berbunyi sebagai berikut:

 

Sebenarnja Amerika dan kawan-kawannja itu tak usah kuatir. Negara-negara jang berkonperensi itu diwakili oleh pemimpin jang tahu oleh pengalaman sendiri bagaimana pahit getirnja berada di bawah kekuasaan negara lain, dan sebab itu negara-negara itu tidak akan menjerahkan kemerdekaannja atau hak menentukan nasib dirinja sendiri kepada negara lain, baik negara itu bernama Sovjet Uni, atau RRT, atau Amerika, atau Inggris.[13]

 

Sebagai sebuah surat kabar yang tumbuh di negara yang menjadi pemrakarsa Konferensi Asia-Afrika, Pikiran Rakjat pun memiliki visi yang relatif sama dengan visi yang dibangun oleh Pemerintah RI (Republik Indonesia) saat itu. Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika sendiri berkaitan erat dengan kondisi politik dunia yang labil dan negara-negara Dunia Ketiga menginginkan sebuah atmosfir dunia baru yang terbebas dari dominasi blok Barat dan blok Timur. Jalan tengah yang diambil oleh negara-negara berkembang di Asia dan Afrika ini juga dipicu oleh ketidakberdayaan organisasi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang seharusnya menjadi penengah dalam konflik dunia tersebut. Dalam hal keberadaan PBB ini, Pikiran Rakjat dalam tajuknya berpendapat:

 

[…] PBB diharapkan djadi tempat bersidang ahli negara-ahli negara untuk menemukan djalan jang akan membawa perikemanusiaan, makin dekat kepada kemakmuran, dan kebahagiaan. PBB itu sekarang sudah lebih banjak menjerupai sidang srigala-srigala jang saling tjemburui dan akan saling terkam. Persahabatan antara Sovjet Uni, Amerika, atau Inggris sudah mati. Bukan perdamaian, melainkan nafsu perang; bukan keadilan, melainkan kezaliman; bukan kemerdekaan, melainkan imperialisme jang dominan dalam PBB sekarang! PBB sekarang sudah djadi alat dalam tangan golongan jang berkuasa di Amerika.[14]

 

Hal penting yang harus digarisbawahi dalam sikap Pikiran Rakjat ini adalah kebenciannya terhadap unsur-unsur imperialisme yang identik dengan negara-negara blok “Barat”, meski bukan berarti Pikiran Rakjat cenderung lebih dekat dengan musuh blok “Barat”, yaitu blok “Timur”. Namun dalam hal ini terlihat jelas bahwa apa yang disuarakan oleh Pikiran Rakjat relatif sama dengan apa yang didengungkan oleh Presiden RI, Soekarno, pada saat itu yaitu anti kapitalisme, anti imperialisme, dan membenci unsur-unsur neo kolonialisme yang diibaratkan oleh Pikiran Rakjat dalam tajuknya seperti “pendjadjahan berbungkus satin”.[15]

 

B.Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo semakin berkembang ke arah gerakan yang lebih revolusioner sejak tahun 1948, tepatnya setelah berlangsungnya Persetujuan Renville antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik Indonesia. Akibat dari persetujuan ini adalah ditariknya pasukan republik Indonesia, dalam hal ini tentara Siliwangi, ke Jawa Tengah dari apa yang disebut sebagai “kantung-kantung perlawanan” di daerah Jawa Barat.[16] Tentara republik yang resmi mematuhi perjanjian dan mundur ke daerah Jawa Tengah. Namun tidak demikian dengan satuan-satuan tentara lain, terutama organisasi gerilya muslim yang utama, yaitu Hizbullah dan Sabilillah. Mereka menolak ketentuan hijrah bahkan mereka bergabung bersama Kartosuwirjo dan membentuk organisasi militer yang kelak akan menjadi organ utama Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwirjo.[17]

Sebagai sebuah surat kabar yang terbit di Jawa Barat yang menjadi basis pemberontakan DI/TII, Pikiran Rakjat sejak tahun 1950-an sampai tertangkapnya Kartosuwirjo tidak pernah sepi dari pemberitaan mengenai sepak-terjang tokoh dan gerakan DI/TII tersebut. Meskipun tidak selalu menjadi headline, pemberitaan tentang aksi para tokoh DI/TII itu sendiri terkadang muncul dengan kepala berita yang besar jika peristiwa itu berpengaruh cukup besar bagi masyarakat. Seperti sebuah kepala berita yang cukup besar muncul dalam Pikiran Rakjat yang menulis: “100.000 Buah Rumah Mendjadi Korban Gerombolan”. Jumlah seratus ribu adalah jumlah yang sangat besar bagi korban keganasan gerombolan dan menurut Pikiran Rakjat:  ”Hal ini pandangan jang tidak dilebih-lebihkan, sesuai dengan laporan jang diterima […]”.[18]

Sebagai bagian dari pers yang juga mempunyai kekuatan untuk membentuk opini publik, Pikiran Rakjat terlihat ingin menyeragamkan pandangan masyarakat Jawa Barat terhadap gerakan DI/TII dengan mengetengahkan berita-berita kekerasan yang dilakukan oleh golongan DI/TII itu terhadap masyarakat Jawa Barat, terutama masyarakat di desa-desa. Pada tahun-tahun 1950/1960-an, berita-berita tentang DI/TII memang relatif kalah gaungnya bila dibandingkan dengan berita-berita mengenai pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung; dan upaya penyelesaian masalah Irian Barat. Namun sejak tahun 1961, berita-berita mengenai DI/TII muncul kembali menghiasi halaman muka harian Pikiran Rakjat ini seiring dengan semakin intensifnya operasi-operasi militer yang digelar oleh tentara Siliwangi.

Pemberitaan tentang DI/TII semakin menghiasi halaman Pikiran Rakjat pada saat dan sesudah tertangkapnya pemimpin DI/TII, S.M. Kartosuwirjo. Dalam headline-nya surat kabar ini menulis: “S.M. Kartosuwirjo Sudah Berada di Tangan Siliwangi, Setelah 13 Tahun Bergerak di Hutan”.[19] Sejak tanggal 5 sampai 9 Juni 1962, pemberitaan tentang tertangkapnya Kartosuwirjo terus menjadi headline surat kabar Pikiran Rakjat di Bandung. Hal itu merefleksikan sikap Pikiran Rakjat, sebagai media massa yang jangkauan penyebarannya luas di Jawa Barat, untuk menyatakan berita gembira kepada masyarakat Jawa Barat di satu sisi, dan di sisi lain ingin memberi tahu kepada pengikut dan simpatisan DI/TII bahwa pemimpinnya telah menyerah. Hal itu terlihat dari headline-nya Pikiran Rakjat yang berbunyi: “Ditudjukan Kepada Sisa-sisa Djama’atul Mudjahidinnja. Seruan dan Perintah Kartosuwirjo Untuk Segera Hentikan Tembak-Menembak dan Agar Bersama-sama Segera Turun”.[20]

Terdapat suatu hal menarik dalam kaitannya dengan penangkapan Kartosuwirjo ini. Dalam tajuknya tanggal 7 Juni 1962, Pikiran Rakjat antara lain menulis:

 

Adalah fakta sekarang bahwa Republik Indonesia untuk kesekian kalinja setelah Madiun, RMS, PRRI dan lain-lain njata-njata mampu menjelesaikan kekatjauan dalam negerinja sendiri, sehingga dapatlah ini dibandingkan misalnja dengan peristiwa-peristiwa pengatjauan di Malaja — di mana belasan tahun orang menghadapi seorang komunis Peng Tjien, tapi dengan dibantu oleh alat-alat maupun tjampur tangan tenaga-tenaga dari Inggris – di Filipina dalam menghadapi Dr. Jesus Lava dan Luis Toruck, di Birma dan last but not least achir-achir ini di Korea, di Vietnam, di Laos dan di Muangthai.[21]

 

Apa yang dikemukakan oleh Pikiran Rakjat dalam tajuknya di atas seolah mempertegas bahwa Indonesia mampu berusaha sendiri menyelesaikan masalah dalam negerinya tanpa campur tangan bangsa lain. Sikap ini sesungguhnya sejalan dengan garis politik yang dianut oleh pemerintahan Soekarno yang pada tahun 1960-an yang begitu giat mengkampanyekan apa yang disebutnya sebagai “anti Nekolim” atau anti kolonialisme dan imperialisme baru yang menolak berbagai hal yang berhubungan dengan dunia Barat, termasuk bantuan-bantuan mereka untuk menyelesaikan masalah dalam negeri Indonesia.

Hal lain yang juga disorot oleh Pikiran Rakjat adalah keberhasilan tentara Siliwangi dalam menangkap Kartosuwirjo. Menurut Pikiran Rakjat, menyerahnya Kartosuwirjo itu bagaikan “angin sepoi meniup keringat kelana di terik matahari”.[22] Hal ini mengingat sejak tahun 1961, seluruh konsentrasi bangsa Indonesia sedang tertuju pada upaya terakhir pembebasan Irian Barat, sehingga menyerahnya Kartosuwirjo dianggap sebagai sebuah berita yang melegakan bagi bangsa Indonesia.

 

C.Masalah Penyelesaian Irian Barat

Meskipun telah diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah penyelenggaraan KMB, namun tampaknya pihak Belanda  kurang menganggap serius apa yang telah disepakatinya bersama Indonesia itu. Terbukti selang satu tahun Belanda belum juga menampakkan tekad ingin menyelesaikan masalah ini. Tentu saja hal itu mengundang “kegusaran” di pihak Indonesia.

Sementara itu Pikiran Rakjat di Bandung menganggap bahwa masalah Irian Barat ini adalah: “[…] masalah jang sulit, seperti kueh jang liat dan tidak mudah ditelan begitu saja oleh Indonesia”.[23] Hal itu dikarenakan masalah Irian Barat ini tidak hanya menjadi masalah Indonesia dan Belanda namun juga melibatkan negara lain, yaitu Amerika Serikat dan Australia. Meskipun upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat ini mengundang kepesimisan banyak orang, namun Pikiran Rakjat berpendapat bahwa kegagalan perundingan mengenai masalah Irian Barat ini belum tentu merugikan pihak Indonesia. Pikiran Rakjat kemudian mengkritik lemahnya persatuan di kalangan rakyat Indonesia, terutama di kalangan para politikus. Kondisi Indonesia tahun 1950-an sendiri memang belum sepenuhnya stabil meski telah kembali ke bentuk negara kesatuan. Pergolakan-pergolakan dalam negeri telah menciptakan instabilitas keamanan, dan inilah yang disorot oleh Pikiran Rakjat yakni kekhawatiran akan munculnya masalah disintegrasi bangsa.

Sikap yang diperlihatkan oleh Pikiran Rakjat ini pada tahun-tahun berikutnya kemudian berubah seiring dengan semakin meruncingnya konflik soal Irian Barat. Bahkan ketika memasuki dasawarsa 1960-an, sikap yang diperlihatkan oleh pemerintah Indonesia semakin tegas. Demikian juga sikap yang diperlihatkan oleh insan pers, seperti yang ditunjukkan oleh Pikiran Rakjat di Bandung. Jika beberapa tahun sebelumnya Pikiran Rakjat masih bersifat netral, maka sikap itu mulai berubah menjadi dukungan penuh terhadap kebijakan pemerintah RI atas masalah ini. Pemerintah Indonesia sendiri pada awalnya masih dapat berbaik hati kepada pihak Belanda dengan niat, sebagaimana dinyatakan oleh Pikiran Rakjat: “melaksanakan politik konfrontasi disertai uluran tangan, palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.[24] Namun pada perkembangan selanjutnya Indonesia lebih memilih menyelesaikan masalah Irian Barat ini secara militer, seperti yang dirilis oleh Pikiran Rakjat dengan mengutip pernyataan Mentri Luar Negeri RI, Subandrio, pada waktu itu: “Djika Belanda Meneruskan Usaha-usahannja di Irian Barat, Kita Hadapi Dengan Tjara Militer”.[25]

Pada puncaknya, tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mencetuskan program pembebasan Irian Barat dalam pidato yang dinamakan “Tri Komando Rakjat” (TRIKORA) atau tiga komando rakyat. Apa yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno ini segera mendapat reaksi berupa dukungan dari jajaran pers Indonesia. Dukungan itu diperlihatkan dengan dimuatnya program pemerintah RI tersebut dalam headline-headline surat kabar. Pikiran Rakjat di Bandung, misalnya, dalam headline-nya menulis: “Soekarno Mentjetuskan Tri-Komando Rakjat, Kita Ditjurangi Belanda Kolonial”.[26] Pemerintah RI sendiri berusaha meraih simpati dan dukungan rakyat dengan berusaha meyakinkan masyarakat, dan usaha ini tentu saja melibatkan pihak pers yang memang saat itu sudah menjadi “corong” pemerintah. Pikiran Rakjat sendiri memuat judul berita: “Kita Bukan Mentjontoh India, Pembebasan Irian Barat Nation’s Duty Serta Diridloi Tuhan”.[27] Bahkan pemerintah RI merasa perlu untuk menggunakan agama sebagai pemberi legalitas bagi keabsyahan upaya pembebasan Irian Barat tersebut. Hal itu terlihat dari headline surat kabar Pikiran Rakjat pada tanggal 30 Januari 1962 yang memuat judul berita: “Bela Kemerdekaan Fardlu ‘Ain, Kolonialisme di Irian Barat Wadjib Hukumnja Dikutuk dan Disapu Bersih”.[28]

Selain itu dalam sebuah kepala berita tanggal 15 Januari 1962, Pikiran Rakjat memuat judul berita: “Wadjib Hukumnja Bagi Umat Islam Untuk Mentaati Komando Rakjat”.[29] Dalam beritanya Pikiran Rakjat mengutip ucapan Mentri Agama RI pada waktu itu, K.H.M. Wahib Wahab, yang mereferensikan perintah Trikora dengan firman Allah yang berbunyi: “Patuhlah kamu sekalian kepada Allah, pada Rasul, dan kepada pemimpin-pemimpinmu”.[30] Tidak dapat dipungkiri memang dalam hal ini agama dijadikan komoditas politik pemerintah RI untuk membenarkan tindakannya dan meyakinkan rakyat.

 

Penutup

Antara tahun 1950-1965, negara Indonesia mengalami dua fase perkembangan politik. Pada masa Demokrasi Liberal, peta kekuatan politik tidak terpusat pada satu golongan, bahkan tidak ada kekuatan yang benar-benar mendominasi kancah perpolitikan di Indonesia. Hal itu berdampak pada terbentuknya segmentasi masyarakat Indonesia yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu. Sementara itu pada masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan-kekuatan yang sebelumnya muncul pada akhirnya bermuara pada Soekarno yang menjadi sosok utama dalam gelanggang politik di Indonesia.

Wajah pers Indonesia antara tahun 1950-1965 pun ikut ditentukan oleh sistem politik yang berkembang. Tahun 1950-1959, kehidupan pers Indonesia benar-benar dipengaruhi oleh alam Demokrasi Liberal. Meski tidak seluruh surat kabar menyuarakan cita-cita politik partai, namun wajah pers Indonesia saat itu lebih diwarnai oleh munculnya surat kabar-surat kabar yang menjadi kepanjangan tangan partai. Berbeda dengan zaman Demokrasi Terpimpin di mana wajah pers cenderung seragam menyuarakan kepentingan politik pemerintah, sehingga kalaupun ada surat kabar yang berseberangan dengan pemerintah, maka bagi pers yang bersangkutan sama artinya dengan menggali kubur sendiri.

Satu di antara sekian banyak surat kabar yang hidup pada zaman dan kondisi yang berbeda adalah Harian Umum Pikiran Rakjat di Bandung. Meskipun lahir di saat pers mulai mengalami polarisasi pada berbagai golongan, namun Pikiran Rakjat adalah sebuah surat kabar yang independen dan tidak memiliki keterkaitan dengan partai politik tertentu.

Pikiran Rakjat merupakan salah satu surat kabar yang memiliki sejarah hidup yang unik karena mengalami dua fase perkembangan. Masing-masing fase ini ditandai oleh ciri khas yang berbeda satu sama lain dan dua fase ini dipisahkan oleh suatu momentum khusus yang muncul sebagai akibat jauh dari Peristiwa G-30-S (Gerakan 30 September) tahun 1965. Momentum itu berupa munculnya aturan pemerintah yang mengharuskan setiap surat kabar berafiliasi dengan partai politik tertentu, ABRI, atau pemerintah.

Sebagai surat kabar yang terbit di Bandung, Pikiran Rakjat sangat responsif terhadap penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung tahun 1955. Selain itu “keberpihakan” Pikiran Rakjat terhadap acara itu terlihat dari tajuk-tajuknya yang berisi tentang dukungan dan ajakan untuk mensukseskan acara besar ini. Meskipun demikian, Pikiran Rakjat memiliki sikap yang cukup keras terhadap anasir-anasir luar yang akan mengganggu jalannya konferensi, terutama pengaruh dari negara-negara yang tergabung ke dalam blok Barat dan blok Timur.

Sementara itu sebagai sebuah surat kabar yang ingin menempatkan diri sebagai milik warga Jawa Barat, tentu Pikiran Rakjat akan membela hak-hak warga Jawa Barat, salah satunya hak untuk merasakan keamanan. Hal itu diperlihatkan oleh Pikiran Rakjat dengan memihak sepenuhnya usaha pemerintah RI, khususnya tentara Siliwangi di Jawa Barat, dalam menumpas gerakan DI/TII di Jawa Barat dan mengecam aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh golongan DI/TII tersebut. Dukungan itu semakin terlihat saat menjelang dan setelah tertangkapnya pimpinan DI/TII Jawa Barat. Pikiran Rakjat bertindak sebagai juru penerang bagi masyarakat maupun bagi anggota gerakan DI/TII yang masih belum menyerahkan diri.

Masalah lain yang menjadi sorotan Pikiran Rakjat adalah penyelesaian masalah Irian Barat. Masalah ini sejak berakhirnya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 selalu menjadi sorotan surat kabar-surat kabar Indonesia, termasuk Pikiran Rakjat. Pada awalnya Pikiran Rakjat berpendapat bahwa masalah Irian Barat adalah sebuah jalan untuk mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia yang pada saat itu terancam disintegrasi karena pertikaian masalah politik dan etnis, sehingga potensi konflik yang terpendam itu akan dapat disalurkan melalui perjuangan merebut Irian Barat. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan kondisi politik Indonesia yang berubah, Pikiran Rakjat pada akhirnya memiliki pandangan yang senada dengan pemerintah RI dan mendukung kebijakan pemerintah yang memilih menyelesaikan Irian Barat dengan cara militer.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Djamal. 1995. Sekilas Perjalanan Hidup Saya: Seperti yang Dituturkan kepada Cendrawati Suhartono dan Pradjoto. Jakarta: SPS Pusat.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed.). 1993. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Suwirta, Andi. 1999. “Wacana Kritik Media: Kajian atas Harian Pikiran Rakyat” dalam Wacana: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No.2 (Oktober). Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Suwirta, Andi. 2000. Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakjat (Yogyakarta), 1945-1947. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Taufik, I.. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Trinity Press.

Van Dijk, C.. 1995. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

 

 

Surat Kabar:

Pikiran Rakjat. Bandung: 1950-1965.

 

 

Wawancara:

Atang Ruswita, mantan wartawan HU Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an dan sekarang menjabat sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi HU Pikiran Rakyat. Bandung: 28 Mei 2001.

Perdana Alamsyah, putera Sakti Alamsjah, salah seorang pendiri HU Pikiran Rakjat. Bandung: 20 Juni 2001.

Soeharmono Tjitrosoewarno, mantan wartawan HU Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an dan sekarang menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum HU Pikiran Rakyat. Bandung: 30 Mei 2001.

 

*)Euis Iskantini, S.Pd. adalah Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung. Lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada tanggal 14 Desember 1977. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S.Pd.) di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI pada tahun 2001 dengan menulis skripsi “Pandangan Harian Umum Pikiran Rakjat Terhadap Masalah-masalah Politik Indonesia, 1950-1965” di bawah bimbingan Prof.Dr. Helius Sjamsuddin, M.A. dan Drs. Andi Suwirta, M.Hum.. Tulisan ini, dengan demikian, merupakan ringkasan dari skripsi sarjananya. Untuk kepentingan akademis, Euis Iskantini, S.Pd. dapat dihubungi dengan alamat: Kp. Hanjawar RT.01 RW.06 Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 43255. Tlp.(0263) 521427.

[1]Lihat I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia (Jakarta: Penerbit Trinity Press, 1977), hlm. 80.

[2]Andi Suwirta, Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakjat (Yogyakarta), 1945-1947 (Jakarta: PN Balai Pustaka, 2000), hlm.1.

[3]Andi Suwirta, “Wacana Kritik Media: Kajian atas Harian Pikiran Rakyat” dalam Wacana: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No.2 (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Oktober 1999), hlm.310.

[4]Djamal Ali, Sekilas Perjalanan Hidup Saya: Seperti yang Dituturkan kepada Cendrawati Suhartono dan Pradjoto (Jakarta: SPS Pusat, 1995), hlm.59.

[5]Wawancara dengan Atang Ruswita, mantan wartawan HU Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an dan sekarang menjabat sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi HU Pikiran Rakyat (Bandung: 28 Mei 2001); dan wawancara tertulis dengan Soeharmono Tjitrosoewarno, mantan wartawan HU Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an dan sekarang menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum HU Pikiran Rakyat (Bandung: 30 Mei 2001).

[6]Wawancara tertulis dengan Soeharmono Tjitrosoewarno, mantan wartawan HU Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an dan sekarang menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum HU Pikiran Rakyat (Bandung: 30 Mei 2001).

[7]Wawancara dengan Atang Ruswita, mantan wartawan HU Pikiran Rakjat tahun 1950/1960-an dan sekarang menjabat sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi HU Pikiran Rakyat (Bandung: 28 Mei 2001); dan wawancara dengan Perdana Alamsyah, putera Sakti Alamsjah, salah seorang pendiri HU Pikiran Rakjat (Bandung: 20 Juni 2001).

[8]Djamal Ali, 1995, Op.Cit., hlm.60.

[9]Ibid..

[10]Lihat Pikiran Rakjat (Bandung: 15 April 1955).

[11]Ibid..

[12]Pikiran Rakjat (Bandung: 13 April 1955).

[13]Pikiran Rakjat (Bandung: 15 April 1955).

[14]Pikiran Rakjat (Bandung: 16 April 1955).

[15]Ibid..

[16]Lihat C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Terjemahan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm.61.

[17]Ibid..

[18]Lihat Pikiran Rakjat (Bandung: 24 Oktober 1950).

[19]Pikiran Rakjat (Bandung: 5 Juni 1962), hlm.1.

[20]Pikiran Rakjat (Bandung: 7 Juni 1962), hlm.1.

[21]Ibid..

[22]Pikiran Rakjat (Bandung: 8 Juni 1962).

[23]Pikiran Rakjat (Bandung: 1 dan 14 November 1950), hlm.1.

[24]Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1993), hlm.333.

[25]Pikiran Rakjat (Bandung: 16 Desember 1961), hlm.1.

[26]Pikiran Rakjat (Bandung: 20 Desember 1961), hlm.1.

[27]Pikiran Rakjat (Bandung: 22 Desember 1961), hlm.1.

[28]Pikiran Rakjat (Bandung: 30 Januari 1962), hlm.1.

[29]Pikiran Rakjat (Bandung: 15 Januari 1962), hlm.1.

[30]Ibid..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *