SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA SEBAGAI TOKOH NASIONAL *)

 

 Oleh: Edi S. Ekadjati **)

 

HISTORIA:

Jurnal Pendidikan Sejarah, No.7, Vol.IV (Juni 2003)

 

ABSTRAKSI:

Sjafruddin Prawiranegara adalah tokoh nasional. Ketokohan terbentuk melalui latar sosial-budaya, keluarga, pendidikan, karier dan pekerjaan, serta pengalaman hidup yang dilaluinya sejak lahir sampai akhir hayatnya. Sementara itu kiprahnya sebagai tokoh nasional diakui tidak hanya karena peranan sosial yang lintas etnis dan daerah, tetapi juga karena bergumul dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia modern. Peranannya sebagai Menteri Kemakmuran, Presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), tokoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dan kemudian Ketua PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) menampilkan sosok Sjafruddin Prawiranegara sebagai tokoh nasional yang, menurut tulisan ini, berani dan tegar, serta hanya takut kepada Tuhan.

 

 

 

Pengantar

Terlebih dahulu perlu dikemukakan tentang pengertian ungkapan “tokoh nasional” yang menjadi sub-judul tulisan ini. “Tokoh nasional” adalah seseorang yang dalam perjalanan hidupnya melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang ruang lingkupnya berskala nasional. Kegiatan-kegiatan dimaksud dapat berupa kegiatan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, kenegaraan, kesenian, militer, olahraga, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

Sementara itu “nasional” mempunyai hubungan dekat dengan pengertian kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia, misalnya, adalah sebuah nasion, sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, didukung oleh semua warga negaranya yang disebut bangsa Indonesia, dan mempunyai wilayah negara tertentu yang sah yang disebut wilayah negara atau tanah air Indonesia. Pengertian “nasional” dengan demikian dibedakan, pada satu pihak dengan pengertian kedaerahan dan kesukubangsaan yang ruang lingkupnya lebih sempit, pada pihak lain dengan pengertian internasional, global, dan kemanusiaan yang ruang lingkupnya lebih luas. Dengan demikian, maka ruang lingkup “nasional” meliputi satu bangsa, satu negara, dan satu tanah air. Adapun daerah merupakan bagian dari nasional, sedangkan internasional merupakan himpunan dari nasional-nasional.

 

Sjafruddin Prawiranegara: Sebuah Pertanda

Yang dimaksud dengan “pertanda” di sini adalah ciri-ciri awal yang dimiliki oleh Sjafruddin Prawiranegara yang kelak ada hubungannya dengan dan atau memperkuat peranan yang dilakukan dalam perjalanan hidupnya sebagai tokoh nasional dan atau memperkuat penilaian orang terhadap peranan tersebut. Ciri-ciri dimaksud adalah hubungan darah, lokasi tempat tinggal, lingkungan sosial budaya yang membesarkan, agama yang dianut, pendidikan, dan situasi kemasyarakatan pada masa itu.

Sjafroeddin Prawiranegara dilahirkan dengan nama Sjafruddin dan nama panggilannya Kuding. Orang tuanya terdiri atas Raden Arsjad Prawiraatmadja (ayah) dan Noer’aini (ibu). Ayahnya adalah putera Raden Haji Chattab Aria Prawiranegara yang merupakan keturunan sultan-sultan Banten. Kesultanan Banten didirikan oleh Maulana Hasanuddin pada awal perempatan kedua abad ke-16 dan berakhir pada awal perempatan pertama abad ke-19 karena dihapuskan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda. Kesultanan Banten dihapuskan karena rakyat dan para pemimpin mereka dipandang oleh pemerintah kolonial tidak mau tunduk atau melancarkan perlawanan terus kepada kekuasaan kolonial dan juga sesuai dengan kebijakan kolonial untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Tatkala Sjafruddin dilahirkan, ayahnya sedang menduduki jabatan Camat di Anyer Kidul, termasuk Kabupaten Serang, Keresidenan Banten. Adapun kakeknya pernah menduduki jabatan Patih Kabupaten Serang (1879-1884). Nama belakang “Sjafruddin” yang mencerminkan kedewasaan diambil dari nama belakang kakeknya itu, yaitu Prawiranegara.[1]

Dari istri pertama, R.H. Chattab Aria Prawiranegara menurunkan tiga orang putera wanita dan yang paling tua (Siti Wahidah) menikah dengan Mas Haji Arifin Soetadiwirja, putera tertua Soetan Alam Intan dari isterinya seorang putri Banten. Soetan Alam Intan sendiri adalah orang Minangkabau (Sumatera Barat), keturunan Sultan-sultan Pagaruyung.

Ibu Sjafruddin (Noer’aini) adalah putera Mas Abidin Mangoendiwirja, putera bungsu Soetan Alam Intan. Rupanya karena menetap di Banten dan menikah dengan puteri Banten, maka putera-putera Soetan Alam Intan diberi nama menurut tradisi orang Banten (campuran budaya Sunda dan Jawa). Soetan Alam Intan berada di Banten, karena dibuang oleh pemerintah kolonial dari tanah airnya di Minangkabau atas dasar tuduhan aktif memimpin rakyat setempat dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda dalam Perang Padri (1821-1837).

Dari penuturan di atas tampak jelas bahwa antara R. Arsjad Prawiraatmadja dan Noer’aini mempunyai hubungan kekerabatan yabg berpangkal pada R.H. Chattab Aria Prawiranegara (bangsawan Banten) dan Soetan Alam Intan (bangsawan Minangkabau). Pernikahan mereka menyatukan keluarga bangsawan Banten dengan keluarga bangsawan Minangkabau; bahkan menyatukan keturunan Sultan Banten dengan keturunan Sultan Pagaruyung. Dalam pada itu, pada diri Sjafruddin mengalir darah campuran bangsawan Banten dan Minangkabau. Leluhur kedua pihaknya merupakan penguasa (sultan) di negerinya masing-masing (Banten, Minangkabau) serta pernah melancarkan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Walaupun dilihat dari silsilah (lihat pada lampiran di belakang) dan nama belakangnya, agaknya darah Banten lebih kuat mengalir pada tubuh Sjafruddin daripada darah Minangkabau, namun kemudian keluarga Sjafruddin diperkuat oleh darah Minangkabau melalui isterinya (Tengku Halimah) yang merupakan keturunan Pagaruyung. Jadi, pada diri Sjafruddin telah melintas antar daerah di Nusantara dalam hubungan darah.

Sjafruddin dilahirkan di kota kecamatan Anyer Kidul, tatkala ayahnya sedang menjabat camat setempat. Belum usianya satu tahun Sjafruddin sudah dibawa pindah tempat tinggal ke kota kabupaten di Serang, mengikuti kepindahan tempat kerja ayahnya (1911). Ia menetap di Serang sampai usia 13 tahun (1924), kecuali tahun 1917-1918 (selama satu tahun) pernah tinggal di Bandung.

Pada tahun 1924 ia dibawa pindah oleh orangtuanya ke Ngawi di Jawa Timur, karena tempat kerja orang tuanya dipindahkan ke sana. Suatu tempat kepindahan yang sangat jauh menurut ukuran waktu itu. Beberapa bulan kemudian (1925), ketika melanjutkan sekolah ke sekolah lanjutan tingkat pertama (MULO, Meer Uitgebreid Leger Onderwijs), terpaksa ia harus tinggal di Madiun dan menumpang (kost) di rumah orang lain, karena di Ngawi tidak ada sekolah MULO. Tiga tahun kemudian ia pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemeene Midelbare School) atau setingkat SMU (Sekolah Menengah Umum) sekarang Bagian A (Sastra). Ia menetap di Bandung selama 3 tahun (1928-1931) sampai tamat AMS. Selanjutnya, ia pindah lagi ke Jakarta (Batavia) untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi RHS (Recht Huge School, Sekolah Tinggi Hukum). Pendidikan di sini diselesaikan selama sekitar 8 tahun (1931-1939).

Setelah bekerja di Perikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) di Jakarta selama beberapa bulan, ia pindah ke Kediri, Jawa Timur, karena diangkat menjadi pegawai Departemen Keuangan (Departement van Financien). Tempat kerja baru ini merupakan pilihan Sjafruddin sendiri agar dekat dengan tempat perjuangan dan kuburan ayahnya.

Pada awal masa pendudukan militer Jepang, Sjafruddin diangkat menjadi Kepala Inspeksi Pajak di Bandung sehingga kembali menetap di Bandung selama sekitar tiga tahun. Setelah bertempat tinggal di Jakarta sebentar (Nopember 1945 sampai April 1946), Syyafruddin yang duduk dalam Kabinet RI (Republik Indonesia) beserta keluarganya boyong ke Yogyakarta mengikuti kepindahan pusat pemerintahan RI. Pada bulan Nopember 1948 bersama Wakil Presiden Mohamad Hatta dan beberapa orang pembesar RI lainnya, Sjafruddin melawat ke Sumatera Barat. Ia sendiri terus tinggal di daerah itu sampai bulan Juni 1949 untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Sejak 1950 bersama pimpinan pemerintah RI lainnya ia kembali ke Jakarta dan menetap di ibukota RI ini. Setelah ikut menjadi oposisi terhadap Presiden dan memimpin PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera, terutama di Sumatera Barat (1958-1962), serta menghuni beberapa rumah tahanan politik di pulau Jawa, yaitu di Cipayung (Bogor), Colo (Rembang), dan RTM (Rumah Tahanan Militer di Jakarta (1962-1966), akhirnya Sjafruddin menetap di Jakarta hingga akhir hayatnya bersama keluarganya.

Dilihat dari sudut tempat tinggal dalam perjalanan hidupnya, Sjafruddin telah menjelajahi berbagai tempat di Pulau Jawa dan juga Sumatera yang menjadi wilayah inti dalam perjuanagan kemerdekaan Republik Indonesia yang beliau ikut terlibat di dalamnya. Dari beberapa tempat yang pernah dialami tersebut di atas, Sjafruddin pernah menetap di beberapa lingkungan sosial-budaya. Komunitas di Anyer Kidul dan Bandung merupakan masyarakat bersosial-budaya campuran antara sosial-budaya Sunda dan Jawa di Serang dan antara sosial-budaya Sunda, Melayu, dan lain-lain di Jakarta. Lingkungan keluarga orang tua Sjafruddin sendiri cenderung bersosial-budaya Sunda. Mereka berbicara bahasa Sunda di antara sesamanya, walaupun dalam berkomunikasi dengan orang lain digunakan pula bahasa Jawa dan bahasa Melayu serta khusus dengan ayahnya Sjafruddin biasa berkomunikasi dengan bahasa Belanda.

Ketika menetap di Ngawi, Madiun, dan Kediri, tentu saja kehidupan Sjafruddin berada di tengah-tengah sosial-budaya Jawa. Berbeda dengan di Serang, di lingkungan keluarga Jawa (keluarga Sjafruddin sendiri pernah tinggal di Jawa) ; walaupun keluarga ini pernah menetap di lingkungan sosial-budaya Sunda di Bandung.

Selama berada dan bergerilya di Sumatera, terutama di Sumatera Barat, Sjafruddin berkenalan langsung dengan komunitas budaya setempat, khususnya budaya Minangkabau, meskipun secara tidak langsung sosial-budaya ini telah dikenalnya melalui pertemuan dengan orang-orang yang berasal dari daerah ini di pulau Jawa. Sesungguhnya sosial-budaya Minangkabau adalah sosial-budaya leluhurnya dari garis ibu dan leluhur istrinya dari garis ayah. Itulah sebabnya selama berada di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, Sjafruddin dan juga keluarganya diterima baik dan didukung oleh mereka.

Tatkala sedang bersekolah baik di ELS (Europeesche Lagere School), MULO, AMS maupun di RHS dan sedang bekerja di Kantor Inspeksi Pajak di Kediri, Sjafruddin selain berkenalan dengan orang dan budaya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara, juga berkenalan dan berkomunikasi dengan orang dan budaya Belanda (Eropa). Semua sekolah yang dimasukinya tersebut di atas berpengangtar Bahasa Belanda. Pengaruh budaya Eropa yang paling besar merasuk ke dalam diri Sjafruddin adalah melalui bahan bacaan dan pelajaran.

Sesudah Indonesia merdeka (sejak 1945), seiring dengan peranan beliau dalam kegiatan pemerintahan pusat, maka Sjafruddin banyak berhubungan dengan sosial-budaya baru yang sedang dalam proses pembentukan, yaitu sosial-budaya Indonesia. Hal itu misalnya ditandai oleh intensitas pemakaian Bahasa Indonesia dalam kegiatan formal di tempat kerjanya dan juga kegiatan sehari-hari.

Dengan demikian, sepanjang perjalanan hidupnya Sjafruddin berkenalan dan hidup di tengah-tengah lingkungan berbagai sosial-budaya di Nusantara dan juga sosial-budaya Barat, walaupun sosial-budaya dasarnya adalah sosial-budaya Sunda. Tampaknya masalah tersebut memungkinkan Sjafruddin dapat menyerap dan menerima berbagai jenis sosial-budaya yang sempat membesarkan dan berkenalan dengannya serta tidak mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang berada di dalamnya karena sejak anak-anak sudah dihadapkan pada lingkungan sosial-budaya yang beragam dan tidak mengandung aspek-aspek yang bertentangan.

Sesungguhnya ada unsur lain yang lebih berpengaruh terhadap proses pembentukan pribadi Sjafruddin. Unsur dimaksud adalah agama Islam. Baik dari garis ayah maupun dari garis ibu, leluhur Sjafruddin bukan hanya orang-orang yang beragama Islam semata-mata, melainkan juga taat melaksanakan ajaran Islam; bahkan turut serta mempertahankan keberadaan agama Islam di tengah-tengah lingkungan masyarakat baik melalui pendidikan formal (pesantren) dan pendidikan informal (mengaji di mesjid, rumah, surau) maupun melalui lembaga kenegaraan (penghulu, modin, hakim). Sejak berdirinya Kesultanan Banten terkenal sebagai kerajaan Islam yang menyebarkan dan mengembangkan agama Islam. Begitu juga pada Kesultanan Pagaruyung para sultannya tidak lepas dari upaya memelihara dan mengembangkan kehidupan beragama Islam bagi rakyatnya. Ayah Sjafruddin pernah belajar di pesantren semasa kecilnya dan kemudian selalu melaksanakan kewajibannya dalam beragama Islam (seperti: shalat, puasa, shalat Jum’at). Selanjutnya, ia menjadikan anggota keluarganya sebagai kaum muslimin dan muslimat yang baik. Bahkan begitu besar rasa keagamaan Islam ibu Sjafruddin sehingga ia meminta bercerai dengan suaminya karena tidak dapat mengakhiri kebiasaan mengikuti pertunjukkan kesenian tayuban yang disertai menari dengan ronggeng dan minum-minuman keras. Dalam pada itu, masyarakat Ngawi di Jawa Timur memandang ayah Sjafruddin sebagai seorang kyai.

Atas keinginan orang tuanya, pada waktu kecil Sjafruddin sendiri belajar membaca teks Al-Qur’an di rumah, kemudian berlatih shalat dan berpuasa sehingga kelak menjadi terbiasa melakukannya. Lingkungan masyarakat Banten yang agamis (Islam) mempengaruhi sikap ketaatan beragamanya. Kehidupan beragama Sjafruddin baru didasarinya secara sungguh-sungguh, tatkala sudah menetap di Ngawi dan Madiun yang umumnya masyarakatnya tergolong abangan. Mereka beragama Islam, tetapi tidak biasa melaksanakan ajaran agama yang dianut mereka.[2]

Pendalaman ilmu agama Islam dilakukan oleh Sjafruddin dengan cara otodidak melalu bahan bacaan, walaupun bahan bacaan pula yang hampir menyeret Sjafruddin ke dalam faham Sosialisme dan Komunisme yang bersumber dari pandangan Karl Marx. Namun akhirnya Sjafruddin memilih Islam sebagai pedoman dan keyakinan hidupnya. Hal itu ditandai dengan Sjafruddin memilih partai Islam Masjumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sebagai wadah aspirasi politiknya, padahal jalan untuk memasuki Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir terbuka lebar (akhir 1945) serta ditunjukkan oleh pandangan-pandangan dalam karya tulisnya. Selanjutnya, Sjafruddin terpilih menjadi Pengurus Besar Masjumi dan banyak karya tulisnya dan teks-teks ceramahnya yang mengemukakan pengetahuan dan pandangannya dalam berbagai hal ditinjau dari sudut ajaran Islam, serta mengupayakan membantu perjalanan haji bagi kaum muslimin/muslimat Indonesia lewat HUSAMI (Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia). Akhirnya Sjafruddin dipandang sebagai pemimpin Islam yang menguasai ajaran agama Islam yang dianutnya secara luas dan mendalam.

Ayah Sjafruddin (1888-1939) mendapat kesempatan mengikuti pendidikan model Barat Sekolah Kelas Dua, Kursus Bahasa Belanda, dan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsce Amtenaaren), padahal umumnya orang Banten mengikuti pendidikan di pesantren. Memang pada akhir abad ke-19 mulai muncul kesadaran atas pentingnya pendidikan model Barat di kalangan beberapa orang priyayi Banten, seperti Bupati Pandeglang, Bupati Serang, dan tentunta Patih Serang (kakek Sjafruddin). Bahkan Bupati Pandeglang pernah mengangkat beberapa orang guru orang Belanda bagi pendidikan keluarganya atas biaya sendiri.[3] Oleh karenanya, pada waktu itu (sejak 1907) keluarga Sjafruddin juga termasuk menak yang berpendidikan tinggi serta mengutamakan pendidikan putera/puterinya. Buktinya dari 7 orang anak yang tumbuh sampai dewasa, semuanya disekolahkan ke pendidikan model Barat, bahkan 2 orang di antaranya memasuki Perguruan Tinggi, yaitu Sjafruddin dan Dradjat Demokrat, padahal ia tidak termasuk pangreh praja yang tinggi pangkat dan kedudukannya.

Tanpa belajar di pesantren, Sjafruddin dimasukkan ke Sekolah Dasar yang masa itu kualitasnya tinggi, yaitu ELS (Europeesche Lagere School). Sekolah ini sesungguhnya diperuntukkan bagi anak-anak orang Eropa (Belanda). Dengan demikian adalah suatu keistimewaan bahwa Sjafruddin dapat masuk di sekolah tersebut. Dari ELS (1918-1925) ia melanjutkan pendidikan ke MULO (1925-1928), kemudian ke AMS Bagian A (1928-1931), dan terus memasuki perguruan tinggi di RHS (Recht Hooge School) tahun 1931-1939 sampai tamat dan menggongol ijazah Mr. (Meester in de Rechten), Sarjana Hukum sekarang). Semua jenjang pendidikan tersebut menggunakan pengantar Bahasa Belanda dan mempelajari bahasa asing lainnya. Di samping itu, Sjafruddin tekun belajar sendiri pula dengan membaca berbagai macam buku (sastra, hukum, sejarah, filsafat), surat kabar, dan majalah. Oleh karena itu, Sjafruddin tergolong seorang intelektual yang waktu itu masih sedikit jumlahnya di antara orang pribumi (Indonesia). Selanjutnya, ia banyak menulis mengenai berbagai aspek tentang politik, ekonomi, filsafat, dan agama. Sjafruddin tidak hanya mengenal dunia bangsa dan tanah airnya saja, melainkan juga mengetahui dan memahami keilmuan dan kehidupan dunia Barat yang menjadi simbol kemajuan dunia.

Sjafruddin dilahirkan pada tahun 1911. Sejak usia 7 tahun (1918) ia memasuki jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar (ELS) hingga tamat pendidikan tinggi (RHS) pada usia 28 tahun (1939). Di semua jenjang pendidikan yang diikutinya itu berpengantar Bahasa Belanda, termasuk koleksi buku yang ada di perpustakaan sekolahnya. Pada waktu itu sebagian kaum terpelajar bumiputera tertarik perhatiannya pada aktivitas pergerakan nasional, yaitu kegiatan untuk mengupayakan peningkatan kualitas hidup bangsa sendiri dan gerakan menentang penjajahan untuk mencapai kemerdekaan bangsa dan tanah air mereka. Selama mengikuti pendidikan tersebut di atas Sjafruddin sama sekali tidak tertarik untuk ikut serta dan melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas pergerakan nasional itu. Ia memang memasuki organisasi kemahasiswaan, tetapi organisasi yang dipilihnya adalah USI (Unitas Studiosorum Indonesia) yang kegiatannya terbatas dalam bidang olah raga, rekreasi, dan yang menunjang kegiatan studi, serta sama sekali tidak ikut campur dalam bidang politik. Teman-temannya sewaktu aktif di organisasi ini antara lain Soebadio Sastrosatomo, Ali Boediardjo, Soedjatmoko, dan Poppi Saleh.

Secara selintas tampak bahwa sikap Sjafruddin demikian agak aneh. Soalnya, walaupun seorang pangreh praja, tetapi ayahnya sendiri mempunyai sikap yang mirip atau mendekati sikap kaum pergerakan. Ayah Sjafruddin pernah melawan secara fisik seorang pejabat Belanda (Controleur) karena merasa harga diri dan derajatnya sebagai manusia direndahkan (1911). Ia bersimpati kepada Sarekat Islam dan mempunyi hubungan dekat dengan para anggotanya di Serang (sebelum 1924), menjadi anggota organisasi Budi Utomo dan pengurus Perkumpulan Pegawai Bestuur Bumiputera (PPBB) di Jawa Timur, bahkan pernah terpilih sebagai anggota Provincialeraad (Dewan Provinsi) di Provinsi Jawa Timur mewakili organisasi tersebut. Sikap dan tindakan demikian dilakukan tanpa mempedulikan dampak negatif bagi kepentingan karier jabatannya, sehingga ia pernah diturunkan pangkatnya, dipindahkan tempat kerjanya ke lokasi yang jauh sekali, sangat lambat kenaikan pangkat dan jabatannya. Pada sisi lain ia melihat jauh kepada masa depan bangsanya dengan bersikap agar generasi muda menyerap dan menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh kaum penjajah melalui pendidikan yang diperkenalkan oleh mereka, termasuk sikap mengutamakan pendidikan anak-anaknya dan sikap yang sama dalam memperlakukan semua kalangan bangsa sendiri. Dalam berhadapan dengan kaum penjajah, ia melengkapi diri dengan ilmu dan budaya yang dimiliki oleh mereka (bahasa Belanda, pakaian, pengetahuan tentang pemerintahan) serta secara manusia menempatkan diri tidak di bawah derajat mereka. Sikap dan pandangan tersebut kelak akan tercermin dalam sikap dan pandangan Sjafruddin.

Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa tanpa melupakan asal-usulnya (leluhur dan tanah tumpah darahnya) dilihat dari berbagai sudut sejak awal pada diri Sjafruddin prawiranegara telah mencerminkan ciri-ciri bukan tokoh lokal atau daerah atau suku bangsa, melainkan sebagai tokoh lintas daerah dan lintas suku bangsa yang kiranya kelak menjadi tokoh nasional. Pertanda tersebut akan memberikan jalan terbuka bagi peranannya di masa datang.

 

Permulaan Kiprah Sosial

Di atas telah dikemukakan bahwa sampai selesai pendidikannya (1939), Sjafruddin tidak tertarik pada aktivitas pergerakan nasional secara langsung. Walaupun begitu, melalui bahan bacaan (buku dan surat kabar), perkuliahan, dan diskusi dengan teman-temannya, Sjafruddin mengikuti dan mengamati aktivitas dan perkembangan kaum pergerakan nasional. Ia mempelajari secara mendalam tentang ajaran Dmokrasi, Sosialisme dan Komunisme yang menentang keras ajaran Kapitalisme yang menjadi dasar Kolonialisme. Ia memperhatikan dan menaruh kagum serta simpati kepada Sutan Sjahrir, kakak kelasnya di AMS, dalam sikap dan pandangannya mengenai pergerakan nasional. Tetapi sekali lagi ia tidak tertarik untuk menceburkan diri ke dalam area pergerakan nasional secara langsung.

Bahwa Sjafruddin mempunyai pandangan sendiri mengenai masa depan bangsa dan tanah airnya sejak zaman mahasiswa, jelas ada. Secara intelektual Sjafruddin bersama teman-teman diskusinya menginginkan pula kemerdekaan bangsa dan tanah airnya, lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Tetapi untuk mencapai keinginan tersebut perlu dipenuhi terlebih dahulu syarat-syaratnya, terutama menyangkut sumber daya manusianya agar mampu menanggung dalam mengelola pemerintahan negara kelak. Saat itu, menurut pandangannya, kondisi masyarakat Indonesia belum matang untuk merdeka. Untuk memenuhi persyaratan tersebut orang Indonesia perlu kerja sama dengan Belanda, karena mereka telah memiliki manusia, lembaga, dan pengalaman yang dapat membimbing ke arah pemenuhan syarat-syarat tadi. Dalam konteks aktivitas pergerakan nasional jelas ini merupakan pandangan yang disebut kooperatif, kerjasama dengan Belanda; suatu pandangan yang jelas bersifat moderat. Sikap dan pandangan kaum pergerakan yang lain adalah non-kooperatif, tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan sikapnya radikal.

Pada waktu menjadi mahasiswa, Sjafruddin tertarik kepada pandangan beberapa orang guru besarnya yang menganut faham Politik Etis dan Asosiasi yang mau memberikan sumbangan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Ia sering berdiskusi dengan mereka, antara lain Prof. Logemann dan Prof. Van Asbek. Sebaliknya, ia tidak suka kepada Prof. Eggens yang berhaluan konservatif yang merendahkan budaya bumiputera dengan menyatakan bahwa bahasa Indonesia tidak akan mungkin terjadi bahasa ilmu karena merupakan bahasa primitif. Karena kesalnya, dalam majalah yang diterbitkan oleh USI, Sjafruddin menyebut Prof. Eggens itu sebagai Een Holandse Kwajongen (Seorang Belanda yang Bergajul dan Bodoh). Tulisan tersebut menggegerkan lingkungan RHS sehingga secara formal Senat RHS meminta Sjafruddin agar mengajukan permohonan maaf. Permintaan tersebut dijawab dengan mengemukakan bahwa ia baru mau minta maaf, kalau Prof. Eggens terlebih dahulu meminta maaf kepada bangsa Indonesia umumnya, dan kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia khususnya, atas keterangannya yang sama sekali tidak arif, tidak ilmiah, dan merupakan penghinaan bagi akal dan kreativitas bangsa Indonesia.[4] Agaknya dengan jawaban tersebut dianggap masalahnya telah selesai, karena tidak ada tindak lanjutnya dari Senat.

Sikap dan harapan Sjafruddin tentang kebijakan kolonial Belanda dan masa depan bangsa sendiri tersebut di atas lama-kelamaan menjadi pupus karena penolakan Ratu Belanda terhadap Petisi Soetardjo (diajukan 15 Juli 1936 dan dijawab 16 Nopember 1939) dengan alasan bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri serta penolakan atas resolusi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menuntut Indonesia berparlemen (4 Juli 1939) dan mosi-mosi lainnya dengan alasan yang kurang lebih sama.[5] Sejak itu Sjafruddin tidak percaya lagi bahwa Belanda akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, Sjafruddin sebagai pegawai negeri menolak dengan tegas untuk dijadikan anggota Pasukan Pengawal Kota (Stadswacht) menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Kini ia berpendapat bahwa kalau bangsanya mau merdeka, maka kita harus berusaha dan berjuang sendiri.

Sikap Sjafruddin demikian terbawa sampai dengan masa pedudukan militer oleh Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, walaupun bekerja terus dalam lingkungan pemerintah, tetapi dasarnya hanya untuk keselamatan diri saja, hati nurani dan pandangan politiknya menolak kekuasaan militer Jepang. Sikap demikian pernah ditunjukkan kepada orang Jepang sendiri di kantornya, Inspeksi Pajak Bandung (sejak masa pendudukan militer Jepang Sjafruddin diangkat menjadi Kepala Inspeksi Pajak mula-mula di Kediri kemudian pindah ke Bandung). Ia bertengkar hebat dengan orang Jepang yang minta dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Dalam pada itu, secara diam-diam Sjafruddin sering mengadakan hubungan dan diskusi dengan sesama kaum pergerakan di Bandung, seperti dengan kelompok Paguyuban Pasundan seperti: R. Oto Iskandar di Nata dan Ir. Oekar Bratakoesoemah; kelompok Parindra (Partai Indonesia Raya) seperti: Gondokoesoemo dan Dr. Erwin; dan dengan kelompok Islam seperti: Aroedji Kartawinata dan M. Natsir); juga dengan Abdul Haris Nasution (kelak menjadi seorang tentara yang berbakat); bahkan dengan gerakan bawah tanah di Jakarta pimpinan Sutan Sjahrir yang para anggotanya banyak di antaranya teman di organisasi USI dulu. Ia pun ikut dalam pertemuan Angkatan Muda, sebuah organisasi para pemuda, se-Jawa di gedung Bumi Siliwangi Bandung (sekarang Gedung Partere Universitas Pendidikan Indonesia) yang antara lain dihadiri oleh Roeslan Abdoelgani, Soetomo, Isa Anshari, dan Djamal Ali.

Dalam rangka berhubungan dengan kaum pergerakan di Jakarta yang banyak di antaranya bekas teman-temannya di USI (seperti Soebadio Sastrosatomo, Koesoemo Soetojo, Mr. Ismael Thayeb, dan Ali Boediardjo) yang sebagian menjadi pembantu Sutan Sjahrir dalam pergerakan bawah tanah, Sjafruddin sering melakukan perjalanan bolak-balik Bandung-Jakarta. Untuk itu ia harus pandai mencari alasan yang diterima oleh pengawas kantor orang Jepang. Menjelang pertengahan tahun 1945 tampak orang-orang Jepang dalam bekerjanya tidak semangat lagi dan tak acuh akan kepentingan kantor mereka sehingga melonggarkan kepada Sjafruddin untuk aktif bersama teman-teman seperjuangannya.

Pada tanggal 15 Agustus1945 Sjafruddin dan Hasbullah Siregar diutus oleh kawan-kawan perjuangan di Bandung untuk berangkat ke Jakarta guna mencari tahu kebenaran berita (desas-desus) tentang penyerahan tentara Jepang kepada Sekutu dan rencana Proklamasi Kemerdekaan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia. Di Jakarta mereka menemui Oto Iskandar di Nata dan Mr. Ismael Thayeb. Setelah bersembunyi selama 2 hari di Jatinegara, berita tersebut dapat diyakini kebenarannya dan telah menjadi kenyataan. Hal itu meggembirakan keduanya. Segera mereka kembali ke Bandung untuk menyampaikan berita tersebut. Di hadapan para pemuda yang mendengar laporannya, Sjafruddin berseru antara lain ”Pemuda harus segera bertindak!”.[6]

Pada tanggal 24 Agustus 1945 di Bandung dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Keresidenan Priangan dalam sebuah pertemuan yang dipimpin oleh Residen Priangan, R. Poeradiredja, dan dihadiri oleh 24 orang utusan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Dalam pertemuan itu Sjafruddin mendapat tugas untuk memimpin Sekretariat KNID Priangan. Oleh karena itu, ia turut mempersiapkan diselenggarakannya rapat akbar penduduk kota Bandung tanggal 2 September 1945. Rapat akbar ini dimaksudkan untuk menyatakan dukungan rakyat Bandung terhadap proklamasi kemerdekaan RI.

Dalam rapat-rapat KNID Priangan tidak hanya dibicarakan tentang situasi dan masalah di Priangan semata-mata, tetapi juga dibahas masalah berskala nasional yang kemudian diusulkan sebagai saran kepada pemerintah pusat. Salah satu saran atau usul dimaksud yang terpenting ialah agar dikerahkan massa rakyat di mana-mana untuk memperlihatkan dukungan rakyat terhadap proklamasi kemerdekaan dan agar pemerintah (pusat) RI mengeluarkan uang sendiri untuk menggantikan uang Jepang. Hal itu bertujuan agar keberadaan dan kedudukan RI makin diperkuat, karena dukungan rakyat sangat penting dan mencerminkan kekuatan besar serta uang bisa menjadi atribut dari kemerdekaan kita. Usul ini disampaikan oleh utusan KNID Priangan, Ir. Oekar Bratakoesoemah dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, kepada Presiden Soekarno tentang pengerahan masa dan kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta tentang pengeluaran uang baru. Usul pertama mendapat sambutan hangat dan spontan dari Presiden, sedangkan usul kedua baru dapat diterima setelah melalui diskusi sengit dengan Wakil Presiden.

Dalam kesempatan ke Jakarta itu Sjafruddin pergi pula ke Departemen Keuangan yang dipimpinnya adalah teman-temannya sendiri. Di sini Sjafruddin berhasil meyakinkan para pembesar Departemen Keuangan itu untuk mendukung pemerintah RI dan meyakinkan serta mengantar Mr. A.A. Maramis yang menjadi Menteri Keuangan RI untuk bertugas di kantornya dan memperkenalkan diri dengan para pegawainya.

Data-data dan informasi-informasi di atas menunjukkan bahwa pada periode ini Sjafruddin Prawiranegara mulai merintis untuk bersikap dan kemudian melangkah secara langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan nasional, walaupun lokasi kegiatannya masih berkutat di kota Bandung. Toh Sjafruddin menjalin hubungan dengan para aktivis gerakan nasional di Jakarta serta teman-teman perjuangannya yang berasal dari berbagai etnis, daerah, ideologi, dan organisasi. Dalam pada itu, lama-kelamaan aktivitasnya mulai bersinggungan secara langsung dengan lembaga dan orang yang berada di lingkungan pemerintah pusat RI; jadi, lingkungan nasional.

 

Peranan Sosial Selanjutnya

Berkat sering menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh yang berkiprah di pemerintah pusat RI, Sjafruddin Prawiranegara kemudian ditarik ke ibukota negara RI di Jakarta untuk berpartisipasi dalam kegiatan di tingkat nasional. Mula-mula ia diminta untuk menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang diketuai oleh Sutan Sjahrir. Ketua BP KNIP ini diberi wewenang untuk memilih anggota-anggotanya. Lembaga ini dibentuk setelah ditetapkan bahwa KNIP memiliki fungsi sebagai lembaga legislatif (16 Oktober 1945), bukan lagi hanya sebagai penasehat Presiden. Berhubung dengan sidang pleno lengkap anggota KNIP sulit dilaksanakan, karena tempat tinggal anggotanya tersebar di seluruh Nusantara, maka BP KNIP dibentuk dengan tugas sebagai wakil pleno dengan anggotanya hanya berjumlah 15 orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua.

Tampaknya, Sjafrudddin Prawiranegara dipilih menjadi anggota BP KNIP karena kedekatannya dengan para pembantu Sutan Sjahrir, yaitu teman-teman berorganisasi di USI dulu yang kini berhaluan sosialis. Sejak itu keluarga Sjafruddin pun pindah ke Jakarta, karena harus bekerja tiap hari di BP KNIP. Dalam waktu yang relatif singkat, BP KNIP berhasil menyusun rancangan undang-undang tetntang pembentukan KNI di daerah-daerah dan perubahan sistem pemerintahan dari kabinet presidental ke parlementer. Tak lama kemudian kedua RUU (Rancangan Undang-undang) tersebut disetujui oleh Presiden.

Kedudukan dan kegiatan di BP KNIP tersebut merupakan kiprah sosial pertama Sjafruddin sendiri di tingkat nasional. Sejak saat itu, sampai dengan akhir kegiatannya, tingkat dan lingkungan aktivitas Sjafruddin Prawiranegara selalu berskala nasional baik dalam kegiatan kenegaraan, organisasi, maupun aktivitas lainnya.

Sesungguhnya sejak pertama kali Sutan Sjahrir ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai formatur pembentukan kabinet yang bersifat parlementer (Nopember 1945), Sjafruddin Prawiranegara telah ditawari jabatan sebagai Menteri Keuangan. Namun ia menolak tawaran tersebut dengan alasan bahwa dirinya merasa belum patut untuk memikul tanggung jawab sebesar itu. Kedudukan tersebut baru diterima pada kabinet Sjahrir ke-3 (2 Oktober 1946), setelah pernah menjadi Menteri Muda Keuangan terlebih dahulu pada kabinet Sjahrir ke-2 (3 Maret 1946). Dan pada saat ia menjadi Menteri Keuangan inilah rencana pembuatan uang RI dapat terlaksana.

Tatkala menjabat Menteri Muda Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara mendapat tugas dari Perdana Menteri Sjahrir untuk menangani ancaman tentara Sekutu yang berkedudukan di Bandung agar pasukan bersenjata RI mengundurkan diri dari kota Bandung sejauh radius 11 km. Ia bersama Mayjen (Mayor Jenderal) Didi Kartasasmita diutus ke Bandung guna mencari jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Safruddin diutus ke Bandung atas dasar pertimbangan bahwa ia mengenal baik para pemimpin perjuangan RI di Bandung. Setelah berbicara dengan Panglima Hawthorn di markas tentara Sekutu di gedung DVO, sekarang gedung Kobangdiklat TNI AD (Korps Pengembangan, Pendidikan, dan Latihan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat), Sjafruddin berangkat sendirian ke daerah Bandung selatan untuk berunding dengan para pejuang RI, karena Mayjen Didi Kartasasmita tidak diperkenankan pergi ke Bandung selatan. Pembicaraan tidak mencapai kata sepakat, walaupun Panglima TRI (Tentara Republik Indonesia) Divisi III, Kolonel A.H. Nasution, dihadapkan kepada Perdana Menteri di Jakarta. Akhirnya pasukan perjuangan RI meninggalkan kota Bandung bersama seluruh penduduk dan unsur pemerintahan sipil setempat disertai pembumuhangusan kota tersebut (24-25 Maret 1946). Peristiwa ini dikenal dengan julukan “Bandung Lautan Api”.

Sementara itu, sesungguhnya rencana pembuatan uang baru RI yang prinsipnya telah disetujui oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta, mulai dirintis oleh Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis pada tanggal 24 Oktober 1945. Tetapi rencana yang secara teknis telah cukup matang itu, yaitu akan dicetak di Surabaya, tidak dapat dilaksanakan karena terjadi pertempuran sengit di kota itu pada tanggal 10 Nopember 1945. Selanjutnya rencana itu tertunda-tunda karena terjadi pergantian Menteri Keuangan (Mr. Sunarjo Kolopakaing; dan Ir.R.M.P. Surachman Tjokroadisurjo), serta kesulitan teknis yang tidak ringan. Baru setelah Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan – salah satu motivasi mau menjadi Menteri Keuangan adalah agar gagasannya membuat uang baru RI sendiri dapat segera terwujud – rencana itu dapat dilaksanakan pada bulan Oktober 1946. Uang ini, yang terkenal dengan sebutan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), secara resmi menjadi alat penukar, alat pembayaran yang syah, dan alat pengukur harga yang berlaku di seluruh RI (waktu itu yang secara de facto dikuasai adalah Jawa, Madura, dan Sumatera).

Menjelang diberlakukannya uang RI itu (29 Oktober 1946 malam), Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara berpidato menyampaikan pesan-pesan sebagai berikut:

 

  1. Berhematlah sehemat-hematnya, jangan membeli apabila tak perlu sekali.
  2. Perusahaan-perusahaan, termasuk toko-toko, warung-warung buat keperluan sehari-hari, janganlah menjual banyak-banyak. Seorang pembeli dibatasi pembeliannya, tetapi sekali-kali jangan menutup toko atau warungnya. Toko-toko dan warung-warung diberi kesempatan hingga dengan tanggal 30 oktober menyimpan uangnya di bank-bank.
  3. Tanyalah kepada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apa dan apabila kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlah kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu!
  4. Jangan pergi ke bank buat jumlah-jumlah yang kecil-kecil saja. Hendaknya jangan kita mau mencari untung saja, tetapi kita harus berani juga menderita kerugian. Tinggallah tenang-tenang, jangan takut! Akhirnya kita akan beruntung, tidak seorang pun akan rugi.[7]

 

Pengeluaran uang ORI itu kemudian diatur oleh dua undang-undang, yaitu Undang-undang No.17 tahun 1946 tertanggal 1 Oktober 1946; dan Undang-undang No.19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946. Dalam perjalanannya ternyata ORI itu telah berperan sebagai alat perjuangan kemerdekaan karena telah berhasil membiayai macam-macam pengeluaran negara dan mengukur serta menghimpun  dukungan/kekuatan rakyat.

Ketika tidak masuk lagi dalam jajaran kabinet Mr. Amir Sjarifuddin, yang menggantikan kabinet Sjahrir ke-3, Sjafruddin Prawiranegara mendapat tugas sebagai pimpinan utusan negara RI ke luar negeri, yaitu menjadi ketua delegasi Indonesia dalam sidang ECAFE, salah satu badan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), di Baguio, Filipina. Dalam awal sidang ia harus berdebat dengan delegasi Belanda, karena delegasi Belanda menghendaki delegasi Indonesia itu merupakan bagian dari dan menjadi penasehat delegasi Belanda. Tetapi tentu saja delegasi Indonesia menginginkan berstatus sebagai delegasi mandiri yang mewakili negara RI yang berdaulat. Akhirnya, melalui pemungutan suara peserta sidang, diputuskan bahwa delegasi Indonesia untuk sementara berstatus peninjau.

Perlu juga dicatat bahwa keberangkatan delegasi Indonesia itu disertai misi lain yang dilakukan dengan cara penyelundupan, yaitu membawa bubuk kina untuk dijual di Filipina dan mendorong Sjafruddin Prawiranegara untuk banyak berbicara (ceramah) di hadapan komponen bangsa Indonesia, serta banyak menulis tentang ideologi dan pedoman kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat bagi bangsa Indonesia. Masalahnya di luar negeri, Indonesia dituduh berpemerintahan kiri (komunis). Hasil pemikiran Sjafruddin ini, antara lain, diperkenalkanlah konsep “sosialis religius” yang merupakan perpaduan antara konsep sosialisme dan ajaran Islam. Kemudian dianalisis pula dasar filosofis dan undang-undang dasar negara (Pancasila dan UUD 1945).

Dalam kabinet Mohamad Hatta, yang menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin (sejak tanggal 29 Januari 1948), Sjafruddin Prawiranegara ditempatkan sebagai Menteri Kemakmuran yang bertugas untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Memang pada waktu itu perekonomian RI sangat memburuk akibat agresi militer Belanda I (21 Juli 1947) yang berhasil menguasai daerah-daerah RI yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti daerah perkebunan, pelabuhan, dan industri. Sementara itu perairan RI pun dikuasai oleh armada Belanda sehingga mematikan kegiatan ekonomi rakyat Indonesia. Pada waktu itu aktivitas penyelundupan ditingkatkan untuk menembus blokade armada Belanda.

Dalam rangka mengatasi keadaan tersebut, Menteri Kemakmuran mengeluarkan beberapa peraturan dan melakukan sejumlah langkah dan tindakan. Peraturan Pemerintah (PP) No.5 tahun 1948 tanggal 22 Maret 1948 menetapkan tentang pengumpulan bahan makanan rakyat oleh pemerintah untuk menjaga persediaan makanan rakyat dan mempengaruhi harga bahan makanan. Sementara itu PP No.15 tanggal 9 Juli 1948 menetapkan tentang penghitungan (sensus) binatang ternak berupa kuda, kerbau, kambing, domba, dan sapi agar perencanaan pembangunan peternakan, pertanian, dan perekonomian rakyat lainnya tidak meleset. Dan PP No.29 tahun 1948 mengatur tentang pemberantasan penimbunan barang-barang kebutuhan pokok rakyat seperti beras, padi, menir, tepung, gula, minyak tanah, jagung, gaplek, tapioka, garam, kopi, dan teh agar peredaran barang-barang tersebut berjalan dengan lancar.

Kesulitan lain yang berasal dari tantangan pihak dalam (negeri) dihadapi pula, yaitu berupa tuntutan keras dan aksi mogok kaum buruh yang diorganisir oleh SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan SARBUPRI (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Kedua organisasi ini ternyata ditunggangi oleh kepentingan politik kaum kiri yang kemudian ditingkatkan menjadi pemberontakan kaum komunis yang berpusat di Madiun (18 September 1948). Momen ini tampak dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk meraih keuntungan dengan bersikap mempersulit kata sepakat dalam kegiatan diplomasi dengan pihak RI dan berupaya akan menggerakkan militernya lagi ke dalam wilayah kekuasaan RI. Menghadapi kedua tantangan tersebut pemerintah RI bertindak tegas dan cepat. Pemberontakan komunis di Madiun segera ditumpas dengan mengerahkan pasukan Divisi Siliwangi yang sedang berkedudukan di Surakarta. Kemungkinan aksi militer Belanda II (19 Desember 1948) dihadapi dengan merencanakan pembentukan Pemerintah Darurat RI di Sumatera dan pemerintah RI dalam pengasingan di India.[8]

Tatkala serangan militer Belanda II benar-benar dilaksanakan terhadap ibukota RI di Yogyakarta serta Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menteri dapat ditangkap dan kemudian ditahan oleh pihak Belanda, maka Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara beserta para pemimpin RI lainnya yang berada di Sumatera Barat berinisiatif untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sesuai dengan kebijakan pemerintah RI tersebut di atas. Sesungguhnya Menteri Kemakmuran beserta pembesar RI lainnya (Mr. Lukman Hakim, Rusli Rahim, Kol. Hidayat, Letkol. Akil Prawiradiredja, dan lain-lain) berada di Sumatera, karena sedang mengikuti perjalanan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohamad Hatta ke Sumatera dalam rangka mengatur rencana pembentukan pemerintah darurat dan juga menyelesaikan konflik antara dua komandan TNI setempat. Tak lama kemudian Wakil Presiden diminta segera kembali ke Jawa, karena perundingan dengan Belanda atas penengahan Komisi Tiga Negara (KTN) akan dimulai lagi. Belum sempat Wakil Presiden/Perdana Menteri datang lagi ke Bukitinggi, serangan militer Belanda telah terjadi.[9]

Menjelang Yogyakarta jatuh ke tangan tentara Belanda dan para pucuk pemimpin RI ditahan, terlebih dahulu diadakan rapat kabinet di kantor Kepresidenan dan dihadiri juga oleh Presiden Soekarno yang membahas situasi negara dalam keadaan gawat dan tindakan yang perlu dilakukan. Sidang kabinet memutuskan antara lain:

 

Presiden dan Wakil Presiden mengirimkan kawat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk Pemerintah Darurat, membentuk Kabinet, dan mengambil alih Pemerintah Pusat. [10]

 

Keputusan sidang Kabinet tersebut diperkuat oleh surat kawat yang dikirimkan kepada Sjafrudin Prawiranegara waktu itu juga. Walaupun keputusan sidang kabinet dan surat kawat itu tidak sampai ke tangan yang dikirimnya, tetapi PDRI dibentuk juga, lengkap dengan susunan kabinetnya sebagaimana layaknya sebuah pemerintahan. PDRI dipimpin oleh Ketua PDRI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, yang merangkap juga sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Sementara itu Wakil Ketua PDRI yang merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Pengajaran & Kebudayaan, dan Menteri Agama dipegang oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan, serta sejumlah menteri dan jabatan lainnya, termasuk jabatan di lingkungan militer.

Meskipun tempat kedudukan PDRI berpindah-pindah di wilayah Sumatera (Barat) untuk menghindari penangkapan dari tentara Belanda, namun pemerintahan bisa dijalankan sebagaimana diperlukan. Berkat adanya alat hubungan radio, maka komunikasi ke Jawa dan tempat-tempat lain, termasuk ke luar negeri, dapat dilakukan. Dengan demikian, tujuan utama serangan ke luar negeri dapat dilakukan. Dengan demikian, tujuan utama serangan tentara Belanda II ke Yogyakarta untuk mengakhiri keberadaan pemerintah RI tidak dapat dicapai karena telah ada gantinya, yaitu PDRI.

Sjafruddin Prawiranegara kemudian menjelaskan tentang alasan tidak digunakannya istilah “Presiden” untuk pemimpin PDRI karena: (1) waktu itu belum mengetahui adanya mandat dari Presiden Sukarno; dan (2) didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.[11] Setelah berlangsung selama 6 bulan dan para pemimpin pemerintah RI telah dikembalikan ke Yogyakarta serta dilakukan kembali perundingan dengan Belanda (Perundingan Roem-Royen), walaupun ada perdebatan terlebih dahulu, akhirnya Ketua PDRI dalam sidang kabinet RI tanggal 13 Juli 1949 menyerahkan kembali mandat itu kepada Presiden RI. Presiden Soekarno kemudian menerima kembali mandat itu sambil mengucapkan terima kasih atas segala usaha PDRI demi kepentingan perjuangan bangsa dan negara Indonesia.

Dalam kabinet Hatta yang disegarkan tanggal 4 Agustus 1949, Sjafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri untuk Sumatera dan berkedudukan di Kutaraja, Aceh. Penunjukan tersebut didasarkan atas pertimbangan sebagai persiapan seandainya perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) mengalami kegagalan dan tentara Belanda melancarkan serangan sehingga dapat dibentuk pemerintah darurat lagi di Sumatera. Pada kesempatan menetap di Kutaraja, Mr. Sjafruddin berupaya menjembatani keinginan bagian terbesar rakyat Aceh agar daerah Aceh dijadikan propinsi tersendiri, terlepas dari Propinsi Sumatera Utara. Dengan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no. 8/Des/WKPM tahun 1949 lahirlah Propinsi Aceh. Walaupun tak lama kemudian Propinsi Aceh dilebur kembali untuk disatukan dengan Propinsi Sumatera Utara (14 Agustus 1950), namum selanjutnya dibentuk lagi sebagai Daerah Istimewa yang setara dengan Propinsi seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam Kabinet RIS yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan Kabinet NKRI yang dipimpin oleh Moh. Natsir, kembali Mr. Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Menteri Keuangan. Pada periode ini terkenal kebijakan Menteri Keuangan tentang sistem Sertifikat Devisa dan Gunting Sjafruddin. Sertifikat devisa berhubungan dengan kegiatan ekspor-impor barang, sedangkan gunting Sjafruddin berhubungan dengan kegiatan ekspor-impor barang, sedangkan guntimg Sjafruddin berhubungan dengan pengguntingan menjadi dua bagian uang merah dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp. 5,00 ke atas sejak pukul 20.00 malam tanggal 19 Maret 1950. Potongan sebelah kiri tetap berlaku  sebagai alat pembayaran syah dengan nilai hanya setengahnya  dari nilai semulanya, tetapi sejak 22 Maret sampai dengan tanggal 16 April 1950 harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank-bank atau tempat-tempat lain yang ditentukan. Potongan sebelah kanan dinyatakan tidak berlaku lagi, tetapi dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah (Obligasi Pinjaman Darurat) dengan nilai setengahnya dari nilai semula. Memang kedua kebijakan tersebut ada dampak negatifnya, namun dampak positifnya jauh lebih besar, terutama bagi peningkatan kegiatan ekspor-impor, kehidupan petani di desa-desa, dan penguatan nilai rupiah. Di samping itu ada usulan dari Menteri Keuangan untuk mengajukan undang-undang tentang Pajak Peredaran kepada Parlemen dalam rangka meningkatkan pemasukan uang negara. Rencana undang-undang itu diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Darurat, tetapi belum bisa dijalankan karena segera ditentang keras oleh Parlemen melalui mosi Rasuna Said dan kawan-kawan. Tak lama kemudian Kabinet Natsir menyerahkan mandat kepada Presiden, karena kebijakannya tentang otonomi daerah ditentang oleh Parlemen. Sejak itu Mr. Sjafrudddin berikrar tidak mau lagi duduk dalam pemerintahan dan bahkan berniat untuk memperbaiki ekonomi keluarga dengan bekerja di swasta atau berwiraswasta.

Ketika kasus nasionalisasi De Javasche Bank muncul dengan hangat. Mr. Sjafruddin tak kuasa menolak atas desakan berbagai pihak (Direksi De Javasche Bank, Perdana Menteri Dr. Soekiman) atas tawaran memimpin De Javasche Bank menggantikan Dr. A. Houwink. Ia diangkat menjadi Direktur De Javasche Bank pada tanggal 14 Juli 1951. berdasarkan Undang-undang Pokok Bank Indonesia didirikanlah Bank Indonesia sebagai bank pemerintah menggantikan fungsi De Javasche Bank. Diangkat sebagai Direktur Bank Indonesia itu ialah Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Dengan demikian beliau adalah Direktur terakhir De Javasche Bank dan Direktur pertama Bank Indonesia. Selama menduduki jabatan ini Mr. Sjafruddin berulangkali mengkritik dan menolak keinginan sejumlah Menteri yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan melanggar peraturan yang berlaku. Pada akhir tahun 1957 ia bersama keluarga mengambil cuti tahunan untuk menenangkan diri ke Palembang, Sumatera Selatan, karena di Jakarta sering diganggu dengan berbagai ancaman dari pihak komunis. Sejak itu beliau tidak kembali lagi ke Jakarta dan melepaskan kedudukan yang sesungguhnya menurut banyak orang sangat empuk.

Pada awal tahun 1958 Mr. Sjafruddin Prawiranegara menyampaikan kritik secara terbuka terhadap Pemerintah Pusat di Jakarta mengenai kehidupan kenegaraan yang sudah tidak sesuai lagi dengan azas demokrasi dan mengancam keselamatan individu. Ia memandang bahwa proses pembentukan Kabinet Karya pimpinan Perdana Menteri Ir. Djuanda melanggar undang-undang dasar yang berlaku (UUDS), oleh karena itu harus ditentang dan diluruskan. Dalam rangka kegiatan oposisi kepada Pemerintah Pusat, atas ajakan pemimpin militer di daerah-daerah (Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sulawesi Utara) akhirnya dibentuklah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Mr. Sjafruddin dipilih sebagai Perdana Menteri.

Tuntutan mereka adalah terbentuknya pemerintahan yang kuat di bawah pimpinan Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX untuk menggantikan Kabinet Djuanda yang cacat hukum dalam proses pembentukannya, dilaksanakan otonomi daerah yang luas, dan penggantian KSAD. Seperti halnya masa PDRI, pemerintahan PRRI pun dilakukan sambil berpindah-pindah tempat kedudukan, seperti melakukan perang gerilya. Keberadaan PRRI tidak berlangsung lama, karena serta merta ditumpas dengan kekuatan militer penuh (Operasi Tegas). Mr. Sjafruddin dan kawan-kawan pimpinan PRRI mendapat pengampunan umum (amnesti dan abolisi) dari Presiden, tetapi tak urung mereka mengalami penahanan dalam waktu yang cukup lama tanpa melalui pemeriksaan pengadilan. Sikap oposisi tersebut terus dilanjutkan karena menyaksikan ketidak-benaran dan ketidakadilan dalam masa pemerintahan Presiden Suharto yang berlangsung lebih dari 30 tahun.

 

Penutup

Berdasarkan seluruh uraian di atas jelas bahwa Mr. Sjafruddin Prawiranegara memainkan peranan makin penting di tingkat percaturan nasional sejak menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Oktober 1945) hingga memimpin PRRI (berakhir 1961). Ia berulangkali menunaikan tugas sebagai Menteri dalam beberapa Kbinet, terutama sebagai Menteri Keuangan. Sebagai Menteri ataupun bukan ia sering mengajukan gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan baru dalam sistem pengelolaan negara, terutama bidang keuangan dan perbankan, dan diiringan dengan upaya melaksanakannya. Walaupun kegiatan dan pekerjaannya mengurus uang baru (ORI), tetapi pola hidup Mr. Sjarifuddin dan kehidupan keluarganya sangat sederhana dan selalu menghindari untuk memanfaatkan jabatan bagi kepentingan pribadi dan keluarganya, apalagi berbuat korupsi. Begitu prinsip itu dipegang teguh sehingga ia pernah berencana dan mempertimbangkan untuk memperbaiki ekonomi keluarganya dengan cara bekerja wiraswasta (1951).

Ia pun aktif dalam kegiatan partai dan partai yang dipilihnya ialah yang berdasarkan azas Islam Masyumi, walaupun lebih dahulu memahami secara mendalam ajaran Sosialisme dari pada otodidak mendalami ajaran Islam. Ia memasuki anggota partai secara pribadi, tidak melalui organisasi massa. Berkat ceramah dan tulisan-tulisannya nyang menarik yang mengupas masalah ekonomi, sosial dan politik ditinjau dari sudut konsep sosialisme dan Islam, ia disegani oleh sesama anggota partai dan oleh orang lain yang berbeda ideologi. Itulah sebabnya di lingkungan partai pun ia selalu terpilih dalam jajaran Pengurus Besar Masyumi, artinya di pengurus partai di tingkat nasional.

Oleh karena itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa sesuai dengan perjalanan hidup dan peranan dalam peejuangannya Mr. Sjarifuddin Prawiranegara tergolong sebagai tokoh nasional. Lebih dari itu ia adalah seorang intelektual, demokrat, teknokrat, menjunjung tinggi agama yang dianutnya, dan berani menanggung resiko atas keputusan dan perbuatan yang dilakukannya. Ditinjau dari sudut kejujuran, keberanian, dan kesederhanaan hidupnya, kiranya dewasa ini sulit dicari padanannya dalam jajaran pemimpin bangsa berskala nasional. begitu tinggi tingkat keberaniannya dalam menghadapi berbagai tantangan hidup sehingga dengan lantang dan tersurat ia menyatakan “hanya takut kepada Allah”.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Khusus

Rosidi, Ajip, 1986, Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah S.W.T., Jakarta: Inti Idayu Press.

Surjomihardjo & J.R. Chaniago, Abdurrachman, 1990, PDRI: Pemerintah Darurat Republik Indonesia Dikaji Ulang, Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Zed, Mestika, 1997, Somewhere in the Jungle Pmerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

 

Pustaka Umum

Kartodirdjo, Sartono, dkk., 1977, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V-VI, Jakarta: Balai Pustaka.

Kartodirdjo, Sartono, 1990, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: Gramedia.

Nasution, A.H., 1977, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 11 jilid, Bandung: Disjarah AD & Angkasa.

*)Tulisan ini pernah disajikan dan didiskusikan dalam Seminar tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit UNPAD Bandung, bekerja sama dengan Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Sumatera Barat dan MSI Cabang Jawa Barat di Bandung pada tanggal 19 Mei 2001.

**)Prof.Dr.H. Edi S. Ekadjati adalah Guru Besar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD (Universitas Padjadjaran) Bandung. Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 25 Maret 1945. Menyelesaikan pendidikan sarjana (Drs.) di Jurusan Sejarah FS UNPAD pada tahun 1971; dan pendidikan S-3 (Dr.) di Program Studi Filologi UI (Universitas Indonesia) Jakarta pada tahun 1979 dengan menulis disertasi tentang Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1982). Banyak menulis buku, di antaranya adalah Sejarah dan Kebudayaan Sunda (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000). Untuk kepentingan akademis, Prof.Dr.H. Edi S. Ekadjati dapat dihubungi dengan alamat: Jalan Margacinta Dalam No.175 Bandung, Jawa Barat 40287. Tlp.(022) 7563162.

[1]Penjelasan ini dan selanjutnya, apabila tidak diselingi oleh sumber lain, kebanyakan diambil dari Ajip Rosidi, Sfaruddin Prawiranegara: Lebih Takut kepada Allah S.W.T. (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986).

[2]Sjafruddin Prawiranegara, “Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Pembangunan Republik Indonesia”, Teks Kuliah Ramadhan di Kampus (Jakarta: Universitas Indonesia, 1977).

[3]P.A.A. Achmad Djajadiningrat, 1937)

[4]Ajip Rosidi, 1986, Sjafruddin …, hlm.45-6.

[5]Lihat, misalnya, Satono Kartodirdjo, Marwati Djoened P., dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: Depdikbud RI, 1977), hlm.225-40; dan Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2 (Jakarta: PT Gramedia, 1990), hln.181-96.

[6]Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I (Bandung: Penerbit Angkasa dan Disjarah AD, 1977), hlm.316.

[7]Ajip Rosidi, 1986, Safruddin …, hlm.81.

[8]Mestika Zed, Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).

[9]Ibid..

[10]Ibid..

[11]Sebagaimana dikutip oleh harian Pelita (Jakarta: 6 Desember 1978).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *