Tanggapan atas Pandangan Sejarah Muhammad Yamin *)

 

Didih Sugandi **)

 

SETIAP sejarawan yang mempunyai tanggung jawab di bidang ilmiah berusaha untuk mencapai objektivitas sejarah. Ia tidak akan dengan sadar memutarbalikan fakta-fakta dan tidak pula akan membiarkan dirinya dikuasai oleh berbagai kecenderungan pribadinya. Tetapi secara di bawah sadar ia dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadinya, maka karena itu objektivitas sukar dicapai, malahan tidak mungkin. Tiap sejarawan yang ahli mengetahui kesulitan-kesulitan ini.

 

Visi tentang Sejarah sebagai Cerita

Setiap cerita adalah rangkaian penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah. Penafsiran ini dipengaruhi oleh macam-macam point of view. Maka ada pandangan sejarah yang berbeda-beda. Visi seseorang sejarawan, dengan demikian, ditentukan oleh kepribadian dan banyak faktor yang mempengaruhi kepribadian orang itu, antara lain: asal-usulnya, lingkungan sosialnya, pandangan hidupnya, agamanya, situasi zamannya, keyakinan politiknya, kebangsaan, dan sebagainya. Sehingga setiap sejarawan mempunyai visi tertentu tentang sejarah, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet Muljana sebagai berikut:

 

Mereka masing-masing ingin mendekati kenjataan sedjarah, namun keperibadian mereka masing2 turut menentukan hasil penelaahannja, keperibadian sardjana jang satu berbeda dengan jang lain. Demikianlah penafsiran peristiwa sedjarah itu tidak akan habis-habisnja selama masih ada sardjana jang ingin mentafsirkannja. Sudah pasti tafsirannja berbeda-beda pula.[1]

 

Dengan mengingat kenyataan seperti di atas itu Muhammad Yamin juga mempunyai cara dan gaya sendiri untuk menafsirkan sejarah. Dengan menggunakan “dalil sejarah“ yang diambil berdasarkan definisi sejarah dari Huizinga bahwa “sejarah adalah bentukan ruhani tempat sesuatu kebudayaan mempertenggangkan zaman yang lampau”,[2] kiranya Muhammad Yamin setuju bahwa sejarah adalah sejarah kebudayaan.

Memang sesungguhnyalah sejarah yang lengkap adalah sejarah kebudayaan yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Menyelidiki sejarah, dengan demikian, mempunyai arti pula ingin mengenal watak bangsa. Sejarah dapat dipergunakan untuk memahami diri sendiri dan bangsa sendiri.

A.J. Bernet Kempers, misalnya, mengatakan bahwa melalui masa perkembangan sejak pra sejarah dalam keadaan yang senantiasa berganti-ganti pula kita dapat mengamati watak bangsa sendiri, menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh dari lingkungan diri sendiri ataupun lingkungan dari luar. A.J. Bernet Kempers selanjutnya menyatakan bahwa:

 

Se-akan2 kita dapat berabad-abad lamanja mempeladjari suatu kebun pertjobaan, ialah kebun pertjobaan dimana manusia tidak hanja mendjadi jang mengamati sadja melainkan djuga jang sedang ditjoba.[3]

 

Kita menyadari bahwa sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain di dunia ini, bangsa Indonesia pun mempunyai kekhususannya, mempunyai sesuatu yang khas Indonesia, dan yang membedakannya dengan bangsa lain.

Sejarah Indonesia hanya dapat didekati dengan pemahaman langsung terhadap kebudayaannya. Keanekaragaman corak kebudayaan yang memang terdapat di Indonesia adalah pada hakikatnya satu kebudayaan dalam wadah kebudayaan Indonesia. Demikianlah kita menganut semboyan Bhineka Tunggal Ika. Gerak perkembangan dan perubahan, sebagaimana pola kebudayaan manusia yang selalu bergerak dan berubah, sesuai dengan situasi dari zamannya yang dapat diikuti dalam cerita sejarah. Untuk dapat memahami gerak perkembangan tersebut hendaknya cerita sejarah tidak terpotong-potong, tidak fragmentaris, melainkan merupakan satu kesatuan. Untuk memecahkan persoalan ini, Muhammad Yamin menyodorkan “Konsepsi Keseluruhan”-nya.[4] Konsepsi ini menghendaki adanya “kontinuitas” dalam gerak sejarah Indonesia.[5] Jasa Muhammad Yamin dalam hal ini ialah telah mencoba memberikan suatu dorongan kepada timbulnya rasa harga diri sebagai bangsa yang sanggup membuat sejarahnya sendiri, bukan sebagai bangsa yang diketemukan oleh bangsa lain.

 

Catur Sila Khalduniyah

 

Selanjutnya untuk memahami hakikat perkembangan yang utuh dan tunggal itu Muhammad Yamin menggunakan dasar pandangan yang disebutnya “Catur Sila Khalduniyah” sebagai konsepsi filsafat.

Untuk memberikan kerangka sejarah yang merupakan batang tubuh sejarah dengan landasan kebangsaan, dibuatlah oleh Muhammad Yamin periodesasi yang disebutnya “Pancawarsa”. Kekurangan Muhammad Yamin yang patut disesalkan ialah bahwa ia tidak tegas dalam membuat kategori-kategori “Pancawarsa” itu, di samping kelamahan-kelemahan seperti telah diuraikan dalam Bab II poin C.[6]

Sehubungan dengan ini hendaknya kita waspada jangan sampai unsur kebangsaan yang menjiwai sejarah nasional menimbulkan nasionalisme yang sempit, yang bersifat chauvinistis. Patutlah diperhatikan peringatan Rabindranath Tagore yang mengatakan bahwa “baik kosmopolitisme yang tiada berwarna maupun cara memperdewakan diri sendiri dari upacara kebangsaan yang bengis, tiada menjadi tujuan yang terakhir dari sejarah kemanusiaan”.[7]

Untuk dapat menilai konsepsi Muhammad Yamin secara keseluruhannya patutlah diperhatikan faktor situasi dan kondisi ketika konsepsi itu dikemukakannya. Muhammad Yamin menulis sejarah dalam suasana revolusi (revolusi yang belum selesai).[8] Pragmatisme sejarah difungsikan di dalam perjuangan bangsa Indonesia. Revolusi kemerdekaan yang dimulai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 disusul dengan perjuangan yang terus-menerus. Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, mengalami rintangan-rintangan yang tidak ringan. Revolusi menghendaki pengorbanan dengan perjuangan sepenuh hati dan tenaga.

Karya sejarah Muhammad Yamin, dengan demikian, bertujuan untuk memberikan dorongann moral dalam merebut kemerdekaan (sebelum proklamasi kemerdekaan RI), mempertahankan kemerdekaan (sesudah revolusi fisik berlangsung), dan menyelenggarakan kemerdekaan. Singkatnya, Muhammad Yamin ingin memberikan tempat bagi ilmu sejarah dalam alam revolusi dengan jalan memberikan fungsi kepada sejarah Indonesia bagi tujuan-tujuan revolusi.

Penulisan sejarah dalam alam revolusi dijadikan fungsi sebagai alat perjuangan. Diharapkan oleh Muhammad Yamin adanya kesadaran sejarah yang tinggi bagi bangsa Indonesia yang sedang berevolusi. Dengan demikian diharapkan supaya semangat berjuang bangsa Indonesia tetap berkobar terus dan tetap tinggi. Dan supaya sejarah memenuhi fungsinya di alam revolusi itu, Muhammad Yamin mengadakan revolusi dalam pandangan sejarah. Ia menyatakan:

 

Revolusi dalam sedjarah itu memberikan kemungkinan, bahkan mengharuskan, setiap manusia Indonesia untuk mempeladjari sedjarah nasional, sedjarah ummat manusia agar lebih sadar akan diri pribadinja sebagai manusia Indonesia, sebagai pedjuang revolusioner.[9]

 

Kita dapat membenarkan bahwa di zaman kemerdekaan sudah sewajarnya diadakan perombakan dalam pandangan sejarah untuk menggantikan pendangan sejarah dari para sejarawan kolonial yang Neerlando-sentris (Xene-centris) dengan pandangan Indonesia-sentris. Dalam hal ini Sartono Kartodirdjo menyatakan sebagai berikut:

 

Indonesia-centrisme sebagai antithese dari Europa-centrisme disamping menaruh titik berat pada keaktifan dan kreatifiteit bangsa Indonesia, djuga berkewadjiban mengembalikan sedjarah Indonesia dalam lingkungan geografi jang sewadjarnja, djadi bukan perpandjangan dari Eropa, tetapi dalam lingkungan Asia pada umumnja dan Asia Tenggara chususnja.[10]

 

Di dalam sejarah nasional hendaknya juga titik berat penelitian dialihkan kepada peranan dan kegiatan golongan-golongan sosial yang mempunyai pengaruh dalam aspek politis, di samping aspek-aspek sosial-ekonomis dan kurtural. Dalam hal ini Muhammad Yamin sendiri belum berhasil melaksanakan perombakan-perombakan termaksud di atas secara sepenuhnya.

Telah cukup dijelaskan kiranya bahwa karya-karya  sejarah Muhammad Yamin dijiwai oleh semangat kebangsaan. Yang ditonjolkannya bukan rasa kebangsaan yang sempit atau bersifat chauvinistik. Sejarah sesuatu bangsa, bagaimanapun juga, harus mangungkapakan rasa “kebangsaan”. Pada hemat saya, Muhammad Yamin berfaham nasionalisme yang berpangkal kepada pendirian kebangsaan yang sehat yang memuliakan martabat manusia.

 

Masalah Nasionalisme

 

Ada baiknya di sini ditinjau dengan sekedarnya pengertian tentang “nasionalisme” itu sendiri. Banyak rumusan tentang “nasionalisme” tetapi bukan maksud saya untuk menyampaikan rumusan-rumusan yang banyak itu. Di sini hanya akan saya sampaikan dua pendapat mengenai “nasionalisme”, yaitu menurut Hans Kohn dan Lothrop Steddard. Menurut Hans Kohn, “nasionalisme” itu adalah sebagai berikut:

 

Nationalism is a state of mind, permeating the large majority of people a claiming to permeate all its members; it is recognizes the nation state as the ideal form of political organization and the nationality as the source of all creative cultural energy and of economic well-being. The supreme loyalty of man is therefore due to his nationality, as his own life supposedly rooted in and made possible by its welfare.

Artinya:

Nasionalisme adalah suatu tjita jang meresapi majoritas terbesar suatu rakjat dan beranggapan meresapi seluruh warga rakjat itu, tjita itu mengakui negara nasional sebagai bentuk organisasi politik jang ideal dan kebangsaan atau nasionalitas sebagai sumber daripada segala kekuatan kreatif pada bidang budaja serta kesedjahteraan pada bidang ekonomi. Kesetiaan jang tertinggi daripada seseorang dengan demikian harus ditudjukan kepada kebangsaan, atau nasionalitasnja, karena hidupnja dianggap berakar kepadanja dan dimungkinkan olehnja.[11]

 

Oleh Hans Kohn dijelaskan bahwa perasaan yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisinya setempat, dan dengan penguasa-penguasa resmi di daerahnya, selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.[12] Ini berarti bahwa sebelum tercapainya bangsa, dalam pengertian negara-bangsa, sejarah suatu bangsa telah menunjukkan adanya rasa kesetiaan kepada tumpah darahnya, tradisi-tradisi, pemerintahan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain telah ada rasa nasionalitas dari bangsa itu. Selanjutnya Hans Kohn menambahkan sebagai berikut:

 

Dan baru dimasa jang achir-achir ini telah berlaku sjarat bahwasanja setiap bangsa harus membentuk suatu negara, negaranja sendiri, dan bahwa negara itu harus meliputi seluruh bangsa. Dahulu kesetiaan orang tidak ditudjukan kepada negara kebangsaan, melainkan kepada pelbagai matjam bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik, atau radja feodal, dan kesatuan ideologi seperti  misalnja suku atau clan, negara kota, atau radja feodal, keradjaan dinasti, dan geredja atau golongan keagamaan.[13]

 

Masih menurut Hans Kohn, nasionalisme dalam arti modern baru ada pada akhir abad ke-18 dan menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. Sedangkan nasionalisme itu sendiri, secara tradisional, sudah lama terdapat dalam sejarah umat manusia.

Definisi yang singkat, tetapi tegas dan jelas, tentang “nasionalisme” diberikan oleh Lothrop Steddard seperti berikut ini:

 

Nationalism is a belief, held by a fairly large number of individuals, that they constitute a nationality.

Artinya:

Nasionalisme ialah suatu kejakinan jang dimiliki bersama oleh sedjumlah besar perseorangan, bahwa mereka merupakan suatu kebangsaan.[14]

 

Nampaknya tidak ada perbantahan bahwa nasionalisme itu adalah faham kebangsaan yang mengikat suatu bangsa sebagai suatu keluarga besar, dan bahwa nasionalitas daripada bangsa itu telah lama hidup dan tumbuh dalam sejarah suatu bangsa. Sejarah Indonesia yang bercorak nasional juga memerlukan tinjauan atas dasar nasionalisme ini. Timbullah masalah, yaitu pengertian nasionalitas, apa dan bagaimana wujud dari nasionalitas itu. Sementara itu tentang kapan lahirnya nasionalitas suatu bangsa tidak dapat dipastikan, sebagaimana kapan timbulnya proses sejarah itu.

Mengenai arti dari nasionalitas dapat diikuti dari buku Sejarah dan Hankam [Pertahanan-Keamanan] karya Nugroho Notosusanto. Dengan mengutip pendapat Hans Kohn, Nugroho Notosusanto menyatakan sebagai berikut:

 

Nationalities are the products of the living forces of history and therefore fluctuating and never rigid. They are groups of the utmost complexity and defy exact definition. Most of them posses certain objective factore distinguishing them from other nationalities like common decent, language, territory, political entity, customs and traditions or religion. But it is clear that non of these factors is essential to the existence or definition of nationality. […] Although objective factors are of great importance for the formation of nationalities, the most essential element is a living and active corporate wilb.

Artinya:

Nasionalitas2 merupakan hasil daripada kekuatan-kekuatan jang hidup dalam sedjarah dan karena itu berubah-ubah dan tidak pernah kaku. Nasionalitas adalah kelompok2 jang sanga komplex dan sukar didefinisikan. Kebanjakan diantaranja memiliki beberapa faktor objektif tertentu jang memperbedakannja daripada nasionalitas lain, seperti asal-usul jang sama, bahasa jang sama, wilajah jang sama, kesatuan politik jang sama, adat-istiadat jang sama, tradisi-tradisi ataupun agama jang sama. Tetapi djelas bahwa tidak ada satupun diantara faktor-faktor itu jang mutlak perlu bagi terwudjudnja atau bagi definisi dari nasionalitas. […] Meskipun faktor-faktor itu penting, tetapi unsur jang terpenting adalah kemauan jang aktif dan dimiliki bersama.[15]

 

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa nasionalitas suatu bangsa sukar dicari definisinya yang tepat, tetapi yang terpenting ialah adanya kemauan yang dimiliki bersama secara nyata. Kemauan tersebut bisa mengarahkan kepada masyarakat sejahtera, pengembangan kebudayaan, seni, politik, dan ideologi, serta bisa pula mengarah kepada pembinaan negara yang meliputi bangsanya, yaitu negara-kebangsaan (nation-state).

Seperti telah diterangkan di muka, nasionalisme dalam arti modern baru tumbuh di dunia pada abad ke-18. Sedangkan di Indonesia sendiri, nasionalisme itu mulai tumbuh dan berkembang sejak tanggal 20 Mei 1908 dengan didirikannya organisasi Budi Utomo, yang kemudian ditetapkan sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”. Dalam hal ini timbul pula persoalan: apakah yang menjadi dasar dari kesimpulan Muhammad Yamin bahwa kerajaan Sriwijaya adalah “Negara Nasional Pertama“; kerajaan Majapahit adalah “Negara Nasional Kedua”; dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah “Negara Nasional Ketiga”?

Seperti telah diuraikan, nasionalitas itu telah lama tumbuh dan berkembang dalam perkembangan sejarah Indonesia. Yang jelas ialah bahwa “a living and active corporate will” telah ada dan hidup berkembang dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Demikianlah maka nasonalitas itu, demikian menurut Muhammad Yamin, telah hidup subur di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, ataupun bahkan sebelum itu. Di samping itu baik kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit, keduanya pernah menguasai wilayah Indonesia yang kita anggap sebagai wilayah nasional Indonesia sekarang.[16]

Terhadap pandangan Muhammad Yamin bahwa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itu sebagai negara-negara nasional, Nugroho Notosusanto tidak dapat menyetujuinya. Menurutnya pandangan Muhammad Yamin itu hanya sebagian saja yang benar, dengan alasan karena negara nasional haruslah didukung oleh nasionalisme dan diisi nasionalitas. Sehingga negara nasional yang sesungguhnya barulah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.[17] Menanggapi dua pendapat di atas, saya hanya dapat mengemukakan bahwa anggapan-anggapan tersebut tergantung kepada sudut pandang masing-masing.

Sementara itu, tumbuhnya faham kebangsaan sekarang ini adalah berdasar kepada patriotisme. Patriotisme sebagai gejala psikologis juga telah berabad-abad tumbuh dan berkembang yang disebabkan oleh adanya penindasan akibat pejajahan di tanah air Indonesia. Dalam hal ini Lothrop Stoddard menyatakan bahwa:

 

Tahun 1596 adalah permulaan pasang surut ketjemerlangan penduduk pribumi negeri kepulauan itu dan pasang naiknja orang kulit putih, kaum pendjadjah, jang dirasakan oleh penduduk sebagai pembawa malapetaka utama, me-robek2 lembar keemasan sedjarah dan menghapuskan kedjajaannja.[18]

 

Perlawanan-perlawanan yang timbul di Indonesia terhadap kaum penjajah, setelah VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) didirikan pada tahun 1602 dengan segala aktivitasnya, adalah perlawanan karena mempertahankan diri atas dasar cinta tanah air atau patriotisme. Gejala psikologis ini ditempa dalam jalan sejarah yang kemudian berkembang menjadi gejala historis, yaitu nasionalisme. Maka timbullah rasa senasib, satu cita-cita, dan satu karakter yang menimbulkan keinginan bersama untuk mendirikan satu negara merdeka, yaitu negara Republik Indonesia.

Jelaslah bahwa “a living and active corporate will” telah lama berakar dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Nasionalitas Indonesia telah lama tertaman dalam jiwa bangsa kita. Kesadaran nasional yang membangkitkan nasionalisme Indonesia, dengan demikian, telah tumbuh sebagai perwujudan adanya nasionalitas itu, walaupun belum meluas di kalangan rakyat pada umumnya. Dengan perkataan lain, nasionalisme itu masih terbatas pada golongan tertentu, antara lain raja-raja, pemimpin-pemimpin agama yang berpengaruh, dan sebagainya. Dalam hal ini Susanto Tirtoprodjo menyatakan sebagai berikut:

 

[…] maka saja ingin menegaskan bahwa “national bewustzijn” pada bangsa itu sebelum Budi Utomo berdiri sebenarnja sudah ada di kalangan bangsa Indonesia, tetapi tidak hanja dengan usaha jang merupakan tindakan kekerasan terhadap pendjadjahan.[19]

 

Untuk memperkuat pendapatnya itu Susanto Tirtoprodjo kemudian memberikan dua contoh sebagai berikut: (1) adanya perlawanan Teuku Umar, Imam Bonjol, Hasanuddin, dan sebagainya yang merupakan bukti adanya “national bewustzijn”; dan (2) dalam buku Door Duisternis tot Licht karya R.A. Kartini juga terdapat “national bewustzijn” yang ditunjukkan dengan adanya penentangan terhadap “opium-regie” (penjualan monopoli opium oleh pemerintah kolonial Belanda); dan adanya keinginan supaya pemerintah Belanda lebih banyak memberi kesempatan kepada pemuda-pemuda Indonesia untuk melanjutkan pelajaran ke luar negeri.[20]

Kesadaran nasional rakyat Indonesia nampaknya baru tumbuh dan berkembang setelah tanggal 20 Mei 1908. Kesadaran nasional yang memang telah tumbuh sebelum itu memang masih terbatas pada golongan tertentu, dan barangkali dapat kita beri nama sebagai “kesadaran nasional feodal”.

Kembali kepada semangat kebangsaan yang menjiwai karya-karya sejarah Muhammad Yamin dengan sendirinya membawa akibat adanya nggapan bahwa dalam proses sejarah bangsa Indonesia terdapat ikatan yang erat antara bangsa dan negara. Baik unsur “kebangsaan” maupun unsur “negara” amat ditonjolkan dalam konsepsi sejarahnya Muhammad Yamin. Dalam melihat hubungan antara bangsa dan negara ini N. Drijarkara memberikan penjelasan sebagai berikut:

 

Me-negara berarti pe-negaran dari suatu bangsa, sebab sudah sewadjarnja bahwa kebangsaan mendjadi prinsip pe-negaraan. Kebangsaan adalah suatu tjara dari ada bersama. Berada bersama sebagai bangsa belum tentu berarti me-negara, misalnja kerena didjadjah oleh bangsa lain. Akan tetapi djika bangsa itu merdeka dan me-negara sudah dengan sendirinjalah kebangsaan mendjadi dasar pe-negaraan. Bangsa itu berarti kesatuan kulturil, kesatuan ekonomi, kesatuan geografi, dan kesatuan sedjarah. Me-negara berarti pula memperkembangkan kesemuanja itu.[21]

 

Kutipan di atas mejelaskan bahwa antara “bangsa” dan “negara” erat hubungannya. Dengan melihat kepada jalan sejarah Indonesia sendiri, di mana telah lama tumbuh dan berkembang negara-negara merdeka,  benarlah anggapan yang menyatakan bahwa kebangsaan Indonesia telah lama ada. Walaupun digembleng oleh pelopor-pelopor kemerdekaan Indonesia, rasa kebangsaan seperti sekarang ini tidak akan terjadi jika benih-benih kebangsaannya tidak ada. Dihubungkan dengan kutipan di atas pula bahwa “kebangsaan adalah suatu cara dari ada bersama”, sedangkan “ada bersama” itu sesungguhnya dalah hidup dalam masyarakat sebagai suatu organisasi yang teratur. Maka terdapatlah hubungan yang erat antara “bangsa” dan “negara” (sebagai perkembangan dari bentuk masyarakat yang teratur).

Dalam konsepsi sejarah Muhammad Yamin selalu terasa adanya perpaduan erat antara “bangsa” dan “negara” itu. Ditonjolkannya unsur-unsur kebangsaan, kesatuan, dan persatuan di masa lampau dengan harapan agar di kemudian hari generasi demi generasi menghormati dan melaksanakan rasa kesatuan dan persatuan sebagai negara-bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Sejarah dan Pembangunan Bangsa

 

Demikianlah kita melihat pandangan Muhammad Yamin betapa besar peranan sejarah dalam membangun, memelihara, dan mengembangkan rasa kebangsaan itu. Oleh karena itu, setiap bangsa dituntut untuk memehami sejarahnya sendiri. Dalam hal ini Muhammad Yamin memintakan perhatian pada dua hal sebagai berikut: Pertama, untuk memahami sejarah perlu memahami manusia dan kemanusiaan dalam keseluruhan eksistensinya. Sejarah adalah sejarah  kemanusiaan, dan sejarah Indonesia adalah sejarah manusia Indonesia di tanah air Indonesia sebagai kodrat Illahi dan otoritas manusia Indonesia itu sendiri. Kedua, tugas ilmu sejarah adalah menghasilkan pengetahuan yang benar tentang masa lampau masyarakat manusia dan kegiatannya. Pengetahuan sejarah yang ilmiah hanya didapat dengan penelitian sistematis-metodis secara kritis dan objektif.[22]

Sehubungan dengan itu, jauh daripada hendak menuduh bahwa karya-karya sejarah Muhammad Yamin tidak ilmiah, saya menyadari bahwa justru di bidang ilmiah tersebut terdapat kelemahan dalam karya-karya sejarahnya. Kelemahan Muhammad Yamin jika dilihat dari sudut ilmiah ialah kecenderungan untuk menjadikan ilmu sejarah sebagai tempat memaksakan keinginannya. Kecenderungan ini menyebakan ia memberi kesan seperti mempunyai hati nurani yang longgar. Dengan demikian maka etos ilmiah yang keras itu telah dikorbankan kepada pragmatisme yang praktis. Ada kalanya pula terjadi perkosaan ilmiah apabila ia dalam memaksakan keinginannya itu berusaha menemukan fakta-fakta dalam sumber untuk tujuan “melampiaskan” aspirasi, ataupun emosi nasionalnya. Dua bukti berikut ini dapat dijadikan contoh yang baik:

Pertama, tentang patung Gajah Mada. Menurut Muhammad Yamin  dalam bukunya Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara, arca dari tanah liat yang digali dekat puri Gajah Mada di Trowulan (Majapahit) itu adalah patung Gajah Mada.[23] Pernyataan itu tanpa berlandaskan penelitian yang teliti dan ilmiah. Patung itu kemudian dimuat gambarnya pada sampul kulit buku tersebut. Sesungguhnya sampai sekarang pun belum dapat dipastikan kebenaran tentang patung Gajah Mada tersebut.

Kedua, tentang penobatan Raden Wijaya sebagai raja Majapahit. Dalam bukunya, 6000 tahun Sang Merah Putih, Muhammad Yamin menyatakan bahwa Raden Wijaya naik tahta pada tanggal 5 bulan Bhadrapala tahun 1294 M. Ia kemudian menunjukkan buktinya pada prasasti Gunung Butak (1294) yang, menurutnya, menyatakan: “Negara Madjapahit djadi berdiri menurut anggapan kami pada tanggal 5 bulan Bhadrapala tahun Sjaka 1216 itulah, atau sama dengan tahun 1294 M”.[24]

Meskipun tidak ditegaskan, maksud Muhammad Yamin tersebut sebenarnya ialah bahwa Raden Wijaya naik tahta pada tanmggal 17 Agustus 1294. Yang penting disini ialah tanggal 17 Agustus itu sebagai tanggal keramat, tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI. Bulan Bhadrapala adalah terletak antara bulan Agustus dan September. Tanggal 1 Bhadrapala adalah tanggal 13 Agustus dan tanggal 5 Bhadrapala adalah tanggal 17 Agustus. Perhitungan ini yang sepintas lalu nampak tepat sekali, sesungguhnya tidak benar. Sebab dalam bukunya yang lain, Tata Negara Madjapahit: Sapta Parwa, dinyatakan oleh Muhammad Yamin bahwa tanggal yang dimaksud adalah “pada tahun Sjaka 1216, pada bulan Bhadrapala, pada tanggal 5 bulan sedang turun“.[25] Ini berarti bahwa tanggal 5 Bhadrapala bagian kedua pada waktu bulan sedang turun (paro-gelap) yaitu tanggal 1 September 1294 M. Namun ternyata dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih itu Muhammad Yamin menghilangkan pengertian “pada waktu bulan sedang turun (paro-gelap, krsynapaksa)”,[26] dengan maksud untuk memforsir ketegasan bahwa Raden Wijaya itu naik tahta dan dinobatkan sebagai raja Majapahit pada tanggal 17 Agustus 1294 M, supaya ada kesesuaian dengan Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.

Itulah antara lain, saya kira, kelemahan dari segi ilmiah dari karya sejarah Muhammad Yamin. Walaupun begitu secara terus terang harus diakui bahwa banyak jasa Muhammad Yamin dalam kegiatan ilmiah di bidang penelitian sejarah. Perhatian dan jiwanya yang melekat pada sejarah, kedudukannya dalam pemerintahan yang mempermudah usahanya dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, dan faktor-faktor lainnya menjadikannya sebagai seorang sejarawan yang banyak pengetahuannya tentang sejarah.

 

Penutup

 

Secara singkat telah saya kemukakan pengaruh faktor-faktor: kebangsaan, keyakinan politik, pandangan hidup, dan situasi zaman dalam konsepsi sejarahnya Muhammad Yamin. Perlu pula dikemukakan bahwa keahliannya di bidang ilmu hukum sering juga menampakkan pengaruhnya di bidang sejarah. Salah satu akibatnya ialah tinjauan berdasarkan politik nampak dominan dalam tafsiran sejarah Muhammad Yamin, sehingga tema sosial, ekonomi, kultural kurang mendapat perhatian. Sebagai ahli hukum (yang selalu berhadapan dengan masalah-masalah politik) maka perhatian sejarahnya diletakkan dalam kaitan antara “bangsa” dan “negara”. Demikianlah pula hubungan antara rakyat dengan negara, antara rakyat itu sendiri, dan antara negara dengan negara lain menjadi pusat perhatian Muhammad Yamin dalam tinjauan sejarahnya.

Sebagai seorang sastrawan, Muhammad Yamin juga menulis karya sejarah dengan memuat cetusan emosinya. Dalam hal ini A. Teeuw berkata sebagai berikut:

 

[…] bahwa mungkin sekali Yamin jang mengagumi dengan sungguh-sungguh kemuliaan tanah airnja dalam zaman jang lampau, dengan sengadja memperhubungkan dirinja erat dengan bentuk dan tradisi jang lama itu.[27]

 

Di samping faktor seperti tersebut di atas, faktor asal kelahiran mempengaruhi karya-karya sejarah Muhammad Yamin. Perhatian dan penghargaan yang tinggi diberikan kepada daerah dan tokoh daerah dari tempat kelahirannya. Adityawarman, misalnya, dinilai oleh Muhammad Yamin sangat besar jasanya serperti diuraikan sebagai berikut:

 

Negeri damai kembali, dan di atas tindakan Adityawarman jang berhasil baik itu, maka dapatlah Arya Tadah bertanam djasa untuk Gadjah Mada jang dipertjajainja, sehingga pada waktu itu djuga dia diangkat oleh Sang Prabu Istri mendjadi Patih Mangkubumi.[28]

 

Kutipan di atas menjelaskan tentang jasa Adityawarman dalam memadamkan pemberontakan Sadeng pada tahun 1331, sehingga memberi kemungkinan kepada Gajah Mada untuk menjabat Patih. Adanya pernyataan seperti itu (rasa hormat yang terlalu besar kepada tanah kelahiran dan tokoh daerah) memang sukar dihilangkan, tetapi dalam sejarah nasional Indonesia hal ini hendaknya dijaga untuk menjamin syarat ilmiah sebuah penulisan sejarah.

Akhirnya perlu ditandaskan di sini bahwa bagaimanapun juga Muhammad Yamin memang besar jasanya dalam memberikan dorongan agar penyelidikan tentang sejarah Indonesia dapat berjalan dan maju terus. Sebagai catatan akhir, ingin saya sampaikan pendapat Mohammad Ali tentang pribadi Muhammad Yamin sebagai berikut:

 

Tidak perlu disangsi-ragukan bahwa Prof. Muhammad Yamin adalah seorang jang banjak mengetahui tentang sedjarah ummat manusia, tentang tarich Nabi, dan sebagainja. Pengetahuannja tentang sedjarah memang luas sekali, ensiklopedia. Tetapi bukan pengetahuan jang meliputi puluhan, ratusan, bahkan ribuan buku itu jang menentukan Muhammad Yamin serba chas sebagai seorang ahli sedjarah. Djustru karena ia bukan historie-kenner atau penghafal sejarah; ia bukan ensiklopedi-sedjarah jang penuh sesak dengan ribuan fakta sedjarah, maka ia sebenarnja adalah filsuf sedjarah.[29]

 

 

Daftar Pustaka

 

Ali, R. Mohammad. 1963. “In Memoriam Prof. Muhammad Yamin S.H.: 17 Oktober 1962” dalam Madjalah Penelitian Sedjarah, No.9 [September], Th.IV. Djakarta: Kementerian PP dan K.

Ali, R. Mohammad. 1965. Sedjarah dalam Revolusi dan Revolusi dalam Sejarah. Djakarta: Penerbit Bhratara.

Drijarkara, N.. 1959. “Pantjasila dan Religi” dalam Madjalah Indonesia, No.10 [Oktober], Th.X. Djakarta: Kementerian PP dan K.

Kartodirdjo, Sartono. 1959. “Beberapa Persoalan Sekitar Sedjarah Indonesia” dalam Madjalah Kebudajaan Indonesia, No.3 [Maret], Th.X. Bandung: Stensilan Djurusan Sedjarah IKIP Bandung.

Kempers, A.J. Bernet. t.t.. Seri Tjandi: Tjandi Kalasan dan Sari. Disalin oleh Soekmono. Djakarta: t.p..

Kohn, Hans. 1961. Nasionalisme: Arti dan Sedjarahnja. Terdjemahan Sumantri Mertodipuro. Djakarta: P.T. Pembangunan, Cet.II.

Muljana, Slamet. 1965. Menudju Puntjak Kemegahan Sedjarah Keradjaan Madjapahit. Djakarta: P.N. Balai Pustaka.

Notosusanto, Nugroho. 1968. Sedjarah dan Hankam. Djakarta: Departemen Pertahanan Keamanan, Lembaga Sedjarah Hankam, Cet.I.

Nur, Aminuddin. 1967. Pengantar Studi Sedjarah Pergerakan Nasional. Djakarta: P.T. Pembangunan Masa, Cet.I.

Stoddard, Lothrop. 1966. Pasang Naik Kulit Berwarna. Terdjemahan. Djakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI.

Sugandi, Didih. 1969. “Sumbangan Muhammad Yamin untuk Penulisan Sedjarah Indonesia jang Bertjorak Nasional”. Skripsi Sardjana Tidak Diterbitkan. Bandung: Djurusan Sedjarah FKIS IKIP Bandung.

Tagore, Rabindranath. 1950. Nasionalisme. Terdjemahan Tatang Satrawiria. Djakarta: Balai Pustaka.

Teeuw, A.. 1959. Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru, Djilid I. Djakarta: P.T. Pembangunan.

Tirtoprodjo, Susanto. 1955. Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia. Djakarta: P.T. Pembangunan.

Yamin, Muhammad. 1953. Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Djakarta: Balai Pustaka.

Yamin, Muhammad. 1954. 6000 Tahun Sang Merah Putih. Djakarta: Penerbit Siguntang.

Yamin, Muhammad. 1958. Seri Kuliah Sedjarah. Bandung: Djurusan Sedjarah Budaja PTPG Bandung.

Yamin, Muhammad. 1962. Tata Negara Madjapahit:  Sapta Parwa, Parwa I. Djakarta: Penerbit Prapantja.

 

 

 

*)Tulisan ini diambil dari Bab IV skripsi Didih Sugandi, “Sumbangan Muhammad Yamin untuk Penulisan Sedjarah Indonesia jang Bertjorak Nasional”, Skripsi Sardjana (Bandung: Djurusan Sedjarah FKIS IKIP Bandung, 1969), hlm.115-31. Editor mengucapkan terima kasih kepada keluarga almarhun Drs. Didih Sugandi, M.Pd. yang telah mengizinkan tulisan ini untuk diterbitkan. Untuk kepentingan praktis, ejaan disesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia menurut EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), kecuali kutipan yang bersifat langsung akan tetap dipertahankan sesuai dengan aslinya.

**)Drs. Didih Sugandi, M.Pd. adalah dosen dan mantan Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Bandung Tahun 1992-2000. Beliau wafat pada tahun 2002 dalam usia 65 tahun. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

[1]Slamet Muljana, Menudju Puntjak Kemegahan Sedjarah Keradjaan Madjapahit (Djakarta: P.N. Balai Pustaka, 1965), hlm.88.

[2]Lihat Bab II dalam Didih Sugandi, 1969, Op.Cit., hlm.36-86.

[3]A.J. Bernet Kempers, Seri Tjandi: Tjandi Kalasan dan Sari, Disalin oleh Soekmono (Djakarta: t.p., t.t.), hlm.5.

[4]Lihat Bab II Poin D dalam Didih Sugandi, 1969, Op.Cit..

[5]Lihat Bab III Poin C dalam Ibid..

[6]Ibid..

[7]Rabindranath Tagore, Nasionalisme, Terdjemahan Tatang Satrawiria (Djakarta: Balai Pustaka, 1950), hlm.20.

[8]Lihat Bab III Poin A dan B dalam Didih Sugandi, 1969, Op.Cit..

[9]Sebagaimana dikutip oleh R. Mohammad Ali, Sedjarah dalam Revolusi dan Revolusi dalam Sejarah (Djakarta: Penerbit Bhratara, 1965), hlm.22-3.

[10]Sartono Kartodirdjo, “Beberapa Persoalan Sekitar Sedjarah Indonesia” dalam Madjalah Kebudajaan Indonesia, No.3, Th.X (Bandung: Stensilan Djurusan Sedjarah IKIP Bandung, Maret 1959), hlm.11.

[11]Sebagaimana dikutip oleh Nugroho Notosusanto, Sedjarah dan Hankam (Djakarta: Departemen Pertahanan Keamanan, Lembaga Sedjarah Hankam, 1968, cet.I), hlm.95-6.

[12]Hans Kohn, Nasionalisme: Arti dan Sedjarahnja, Terdjemahan Sumantri Mertodipuro (Djakarta: P.T. Pembangunan, 1961, cet.II), hlm.11.

[13]Ibid..

[14]Sebagaimana dikutip oleh Aminuddin Nur, Pengantar Studi Sedjarah Pergerakan Nasional (Djakarta: P.T. Pembangunan Masa, 1967, cet.I), hlm.92.

[15]Nugroho Notosusanto, 1968, Op.Cit., hlm.39-40.

[16]Lihat Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih (Djakarta: Penerbit Siguntang, 1954).

[17]Nugroho Notosusanto, 1968, Op.Cit., hlm.48.

[18]Lothrop Stoddard, Pasang Naik Kulit Berwarna, Terdjemahan (Djakarta: Kementerian Sekretariat Negara, 1966), terutama “Bagian Keempat: Suplemen, Bab XIII, Pasang Naik Gerakan Nasional di Indonesia”, hlm.278.

[19]Susanto Tirtoprodjo, Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia (Djakarta: P.T. Pembangunan, 1955), hlm.7.

[20]Ibid..

[21]N. Drijarkara, “Pantjasila dan Religi” dalam Madjalah Indonesia, No.10, Th.X (Djakarta: Kementerian PP dan K, Oktober 1959), hlm.441.

[22]Muhammad Yamin, Seri Kuliah Sedjarah (Bandung: Djurusan Sedjarah Budaja PTPG Bandung, 1957).

[23]Muhammad Yamin, Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara (Djakarta: Balai Pustaka, 1953), hlm.4.

[24]Lihat Muhammad Yamin, 1954, Op.Cit., hlm.143.

[25]Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit:  Sapta Parwa, Parwa I (Djakarta: Penerbit Prapantja, 1962), hlm.221.

[26]Muhammad Yamin, 1954, Op.Cit..

[27]Lihat A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru, Djilid I (Djakarta: P.T. Pembangunan, 1959), hlm.80.

[28]Muhammad Yamin, 1953, Gadjah Mada: Pahlawan … Op.Cit., hlm.35.

[29]Lihat R. Mohammad Ali, “In Memoriam Prof. Muhammad Yamin S.H.: 17 Oktober 1962” dalam Madjalah Penelitian Sedjarah, No.7, Th.IV (Djakarta: Kementerian PP dan K, September 1963), hlm.4.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *