Kemitraan Pemda, Perguruan Tinggi, Dan Sektor Swasta Dalam Peningkatan Tradisi Ilmiah Guru Di Indonesia

Said Hamid Hasan

PENDAHULUAN

Dalam setiap kajian tentang pendidikan, guru selalu menempati posisi sentral. Hampir dapat dikatakan tidak ada ahli, pengamat mau pun mengambil kebijakan yang mengatakan guru tidak penting. Penelitian, seminar, workshop tentang pendidikan selalu membahas tentang guru bahkan seringkali pula para pengamat dan pejabat mengemukakan berbagai kutipan atau pendapat yang menunjukkan betapa penting kedudukan guru. Dengan ada UU RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maka guru sebagai suatu profesi memiliki jaminan hukum yang lebih khusus, mendapatkan kejelasan akademik dan jaminan kesejahteraan.

Adanya UU  nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen status profesi guru menjadi jelas karena ada persyaratan legal tercantum  ketentuan undang-undang   dan berlaku bagi siapa pun yang ingin menjadi guru. Pengalaman masa lalu dimana Pemerintah dapat mengangkat guru walau pun bukan berpendidikan guru, akibatnya masih terasa sampai sekarang dengan banyaknya guru di berbagai sekolah yang tidak memiliki pendidikan formal sebagai guru, semoga tidak berulang kembali. Kelemahan dalam perencanaan tentang guru telah menyebabkan adanya kebutuhan  guru yang dmendesak dalam jumlah besar dan waktu singkat, semoga  tidak lagi menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengangkat guru yang tidak memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan Undang-Undang Guru dan Dosen.

Sebuah profesi selalu mempersyaratkan pendidikan yang berkelanjutan bagi calon pemegang dan pelaksana profesi. Pendidikan untuk sebuah profesi dimulai dengan pendidikan awal sebelum seseorang menjadi guru dan kemudian dilanjutkan dengan pendidikan setelah seseorang diangkat menjadi guru.  Pendidikan awal merupakan persiapan bagi mereka yang akan memasuki profesi guru, dikenal dengan nama pendidikan pra-jabatan (pre-service). Dalam pendidikan pra-jabatan calon pemegang profesi guru dibekali dengan pengetahuan tentang filsafat dan tujuan pendidikan, peserta didik, berbagai teori belajar, proses belajar dan metodologi yang berkenaan dengan strategi dan teknis mengaktifkan proses belajar, perencanaan pembelajaran dan kurikulum, assesmen hasil belajar dan evaluasi pembelajaran; sikap profesional yang diperlukan dan menentukan keberhasilan pelaksanaan profesi; serta ketrampilan profesi yang diperlukan karena berkenaan dengan banyak hal teknis terkait pelaksanaan profesi. Dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Pasal 10 Undang-Undang Guru dan Dosen dipersyaratkan nguru memiliki empat kelompok kompetensi yang harus dikuasai melalui pendidikan awal.  Bagi mereka yang berhasil dalam pendidikan awal profesi guru diberi pengakuan berupa sertifikat profesi yang menurut UU nomor 14 tahun 2006 disebut sertifikat pendidik sedangkan menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku sebelumnya disebut akta mengajar.

Pendidikan berikutnya terjadi setelah seorang calon guru diangkat menjadi  guru dan menjalankan profesi guru (pendidian dalam jabatan = inservice training). Pendidikan dalam jabatan ini sangat kritikal dan diperlukan mengingat adanya perubahan kurikulum, perubahan kebijakan pendidikan, dan perkembangan yang terjadi di masyarakat dan pada stakeholders. Setiap perubahan kurikulum haruslah memuat unsur inovasi dan guru yang akan menjadi pengembang dan pelaksana kurikulum baru harus memahami, menyetujui, dan memiliki ketrampilan melaksanakan inovasi tadi. Demikian pula ketika terjadi perubahan dalam kebijakan pendidikan pemerintah, misalnya ketika pemerintah menetapkan bahwa bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus (tuna) mereka belajar di kelas biasa (inclusive). Kebijakan seperti itu memerlukan pengetahuan baru dari guru (biasa) tentang peserta didik berkebutuhan khusus, prosedur dan teknis integrasi pembelajaran di kelas yang terdiri dari pesserta didik  biasa dan berkebutuhan khusus, pengetahuan dan strategi serta teknis pengumpulan informasi untuk asesmen hasil belajar. Demikian pula dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat dan stakeholder yang menuntut guru untuk memiliki pemahaman baru, visi baru, prosedur baru, teknik baru dan bahkan sikap baru dalam mendidik. Oleh karena itu tidaklah heran jika pendidikan dalam jabatan lebih bervariasi, kompleks, dan mengandung komplikasi-komplikasi tertentu. Lagipula, pelaksanaan pendidikan prajabatan pada umumnya dilakukan dalam waktu singkat, biaya besar, peserta banyak dan terikat pekerjaan.  Jika pendidikan awal berlangsung dalam kurun waktu yang relatif singkat, pendidikan dalam jabatan berlangsung sangat panjang yaitu selama yang bersangkutan menjadi guru.

Pendidikan dalam jabatan sangatlah penting. Banyaknya perubahan dan inovasi menghendaki banyaknya pendidikan dalam jabatan. Pendidikan dalam jabatan merupakan hak guru ketika terjadi perubahan dan inovasi pendidikan. Sayangnya, fokus perhatian Pemerintah sampai saat ini  masih terbelenggu pada kualifikasi awal profesi guru. Pada saat sekarang, banyak tenaga, pikiran, waktu, dan dana dikerahkan agar guru di lapangan memenuhi kualifikasi awal termasuk mereka yang telah memiliki Akta Mengajar. Kebijakan tentang sertifikasi dengan portofolio kepada mereka yang telah memiliki Akta Mengajar adalah bukti bahwa fokus pada kualifikasi awal untuk menjabat profesi guru merupakan fokus utama Pemerintah. Kebijakan itu didasarkan pada pemahaman sempit tentang “sertifikat pendidik” dan ketika pemahaman mengenai portofolio sangat sumir maka terjadi suatu kecerobohan dalam kebijakan pendidikan dengan menganggap bahwa lulus dari portofolio adalah indikasi bahwa kualitas guru sudah meningkat. Tampaknya pemahaman mengenai portofolio sebagai instrumen untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan dan kemampuan yang sudah dimiliki seseorang tidak disadari (De Fina, 1992; Sewel, Marczak dan Horn, 2008). Pelatihan mengenai keempat kompetensi dalam rangka sertifikasi menunjukkan kekaburan tentang makna pendidikan awal dan dalam jabatan.

Secara resmi, guru yang sudah memiliki Akta Mengajar (I, II, III, IV, V) adalah guru yang telah memenuhi persyaratan awal kualifikasi pendidikan profesi yang diakui Pemerintah berdasarkan persyaratan yang berlaku pada waktu itu. Adalah suatu keharusan Pemerintah untuk tetap mengakui apa yang sudah ditetapkan Pemerintah pada masa seebelumnya. Jika ada pengetahuan dan ketrampilan baru yang harus dimiliki seorang guru maka adalah suatu kewajaran bahkan keharusan guru harus diberi pelatihan, workshop, atau bahkan pendidikan tambahan sesuai dengan besaran (magnitude) pengetahuan, ketrampilan, dan sikap baru yang harus dimiliki.  Aturan atau kebijakan baru tidak boleh menidakkan keabsahan persyaratan awal seseorang yang telah memiliki sertifikasi sebagai pendidik hanya karena perbedaan istilah atau pun ada isi kemampuan profesional baru yang belum tercantum dalam pendidikan profesi sebelumnya. Istilah akta (diambil dari bahasa Belanda) adalah bahasa lain untuk sertifikasi (bahasa Inggeris) dan kedua istilah itu mmiliki pengertian yang sama[1]. Jika yang dipersoalkan adalah isi kemampuan yang sekarang oleh Undang-Undang Guru dan Dosen dikemas dalam 4 kelompok kemampuan belum ada pada waktu merek mendapatkan akta mengajar yang dikembangkan berdasarkan 10 kompetensi dan belum pernah dilaksanakan dalam pendidikan dalam jabatan, yang dianggap esensial dan bersifat kritikal dalam keberhasilan guru mengembangkan proses pendidikan maka seharusnya guru mengikuti pelatihan atau pendidikan dalam jabatan berkenaan dengan kemampuan yang sudah dianggap lapuk itu. Jika kompetensi komunikasi sosial adalah sesuatu yang esensial dan kritikal bagi seeorang guru dan dalam pendidikan guru  yang diikuti dalam program pendidikan Akta Mengajar tidak ada, adalah suatu keharusan guru mendapatkan pelatihan dan pendidikan dalam kemampuan komunikasi sosial sebagai pendidikan dalam jabatan.  Oleh karena itu tidak ada alasan akademik dan profesi yag kuat untuk mewajibkan guru mengisi portofolio sebagai alat sertifikasi kualifikasi awal seorang guru[2]. Jika persyaratan awal terus dipersoalkan dan yang lama terus menerus tidak diakui maka dunia pendidikan akan berada pada posisi “involution” untuk meminjam istilah Geertz. Jika kebijakan yang demikian diteruskan maka ada persoalan moral bangsa, etika, dan pedagogy yang perlu dipermasalahkan.  Selain itu pengembangan pengetahuan dan kemampuan baru guru yang sudah di lapangan bukan emata tanggungjawab pribadi tetapi sangat tergantung pada kebijakan Pemerintah dalam pembinaan guru. Dengan demikian maka guru akan selalu berada dalam posisi yang tidak terlindungi.

Makalah ini dikembangkan dalam fokus terhadap pembinaan dan pengembangan guru yaitu berupa pendidikan dalam jabatan. Dalam konteks inilah peran dan kemitraan Pemda, Perguruan Tinggi, dan sektor swasta dikemukakan. Pembahasan dimulai dengan pengertian tradisi ilmiah, pendidikan dalam jabatan dan peran serta kemitraan Pemda, Perguruan Tinggi, dan sektor swasta.

TRADISI ILMIAH

Istilah tradisi ilmiah sangat besar dan kabur terutama jika diterapkan untuk guru. Tradisi ilmiah pada umumnya dimiliki oleh ilmuwan dalam visi keilmuannya sedangkan guru adalah pendidik. Ilmuwan dan pendidik memiliki kepedulian yang berbeda dimana ilmuwan peduli pada penemuan suatu kebenaran ilmiah sedangkan pendidik peduli kepada keberhasilan peningkatan poteni peserta didik sebagai manusia. Ilmuwan seringkali tidak mempedulikan masalah nilai dan moral karena keebenaran ilmu dianggap tidak terkait dengan nilai dan moral (terutama dalam pandangan positivisme). Pendidik sangat peduli dengan nilai dan moral karena peserta didik hidup dalam lingkungan sosial-budaya yang penuh dengan kaedah nilai dan moral. Dalam pandangan positivisme, kebenaran ilmu bersifat universal, “overarching” lingkungan dan kebenaran setempat yang berifat khas. Dalam pandangan pendidik kebenaran selalu terkait dengan lingkungan walau pun lingkungan itu berkembang meluas dari lingkungan terdekat ke lingkungan terjauh, satu lingkungan tidak dapat menidakkan kebenaran lingkungan yang berbeda atau pun yang lebih luas atau pun sebaliknya.

Terlepas dari perbedaan yang dikemukakan pada alinea di atas, baik ilmuwan mau pun pendidik memiliki kepedulian yang sama mengenai kebenaran. Para pendidik selalu mendidik kebenaran untuk menjadi milik peserta didik. Selain itu, pendidik selalu mengembangkan proses pembelajaran berdasarkan suatu kebenaran akademik yang diyakininya. Kebenaran akademik yang diyakini pendidik dikembangkan dalam setiap langkah proses interaksi antara dirinya, peserta didik, dan sumber belajar lainnya. Oleh karena itu  apa yang dilakukan guru selalu didasarkan pada suatu tradisi kebenaran keilmuan dan kependidikan. Kurikulum yang dikembangkan di kelas, proses interaksi yang terjadi antara dirinya dengan peserta didik dan sumber informasi lainnya, kegiatan asesmen hasil belajar dan tindak lanjut dari hasil asesmen, serta bimbingan yang dilakukan guru selalu didasarkan pada kebenaran keilmuan dan kaedah pendidikan. Artinya, dalam banyak hal guru selalu terkait dengan tradisi ilmiah.

Undang-Undang  Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan empat kelompok kompetensi yang harus dimiliki seseorang sebagai persyaratan awal untuk diangkat menjadi guru. Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) PP nomor 19 tahun 2005 yang kemudian diperkuat oleh Pasal 10 ayat (1)  UU nomor 14 tahun 2005  keempat kelompok kompetensi guru tersebut adalah  kompetensi:

  • Pedagogik (kemampuan mengelola pembelajaran meliputi pemahaman terhadap

peserta didik,perencanaan dan pelaksanaan pembelajaaran, evaluasi hasil

belajar, dan pengembangan aktualisasi peserta didik),

  • Kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan

berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia)

  • Profesional (kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam

yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar

kompetensi yang ditetapkan dalam Staandar Nasional Pendidikan), dan

  • Sosial (kemampuan pendidik/guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi

dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga

kependidikan, orangtua/wali peerta didik, dan masyarakat sekitar.

Keempat kelompok kompetensi di atas merupakan kompetensi yang harus dimiliki seorang calon guru sebagai salah satu syarat untuk mendapat sertifikat sebagai pendidik. Memang dapat menimbulkan pertanyaan bagaimana seseorang calon guru telah dinyatakan memiliki kompetensi sosial sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru dan bertugas melaksanakan profesi guru. Hal yang sama berlaku untuk kompetensi kepribadian yaitu ketika guru harus menjadi teladan bagi peerta didik. Kompetensi tersebut hanya dapat dilihat dan dinilai ketika seseorang telah menjadi guru. Artinya, secara tersirat pasal mengenai kompetensi ini terbagi dua yaitu kompetensi yang harus dimiliki seseorang ketika dinyatakan lulus dari pendidikan guru  dan mendapat sertifikat awal sebagai persyaratan pengangkatan sebagai guru (bevoeg), dan sertifikat pendidik setelah yang bersangkutan melaksanakan tugas dan dinyatakan berhasil dari uji tentang penerapan kompetensi (bekomen).

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bilamana tradisi ilmiah dikembangkan?  Sesuai dengan pengertian tradisi maka tradisi  adalah sesuatu yang dilakukan di masa lalu, sedang dilaksanakan di masa kini, dan akan diteruskan di masa yang akan datang oleh guru. Tradisi diwariskan, dikembangkan sebagai tradisi baru yang nantinya akan diwariskan pula, dan demikian seterusnya.  Perkataan ilmiah dapat diartikan sesuatu yang terkait dengan ilmu. Berdasarkan kelompok kompetensi guru maka dalam kempat kompetensi tersebut terkait dengan ilmu. Untuk memahami potensi serta cara belajar peserta didik, mampu mengembangkan perencanaan, melaksanakan proses pembelajaran, memahami dan menguasai materi pelajaran serta berkomunikasi dengan sejawat diperlukan kaedah-kaedah yang dikembangkan dari ilmu. Artinya, seorang guru diharapkan terus mengikuti perkembangan teori dan prinsip serta prosedur yang dikembangkan orang dalam bidang pembelajaran/kurikulum, peserta didik, disiplin ilmu yang jadi bahan ajar, serta kemampuan menghasilkan ilmu di bidang pembelajaran. Sikap profesional dan keteladanan profesional memerlukan pengembangan yang terus menerus sejak seseorang diangkat dalam jabatan profesi guru sampai yang bersangkutan meninggalkan profesi guru. Dengan perkataan lain, tradisi ilmiah guru adalah bagian dari pengembangan profesional guru.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa tradisi ilmiah berkenaan dengan unjuk kerja guru dalam mengembangkan diri secara ilmiah di bidang-bidang yang terkait dengan profesinya. Secara ilmiah adalah melalui kajian terhadap teori mau pun terhadap pengalaman baik (best practice) tentang hal-hal yang terkait dengan profesi guru dan dinyatakan dalam kompetensi guru. Artinya, guru harus memiliki kemampuan:

  • belajar (mencari, mengolah, dan menerapkan apa yang dipelajari di bidang materi pelajaran, pedagogi, kepribadian, dan sosial),
  • meneliti untuk mengembangkan perencanaan, proses, penilaian pembelajaran dan bantuan belajar,
  • mengkomunikasikan pemikiran, kegiatan pembelajaran, dan hasil penelitian kepada sejawat, stake-holders, dan lingkungan akademisi melalui komunikasi lisan dan tulisan.

Kemampuan tersebut akan terus berkembang apabila guru memiliki:

  • kebiasaan membaca
  • ketrampilan belajar
  • rasa ingin tahu
  • berpikir kritis
  • berpikir kreatif dan inovatif
  • berkomunikasi

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa tradisi ilmiah adalah bagian dari profesi pendidik, kemampuan di atas sewajarnya diperlukan untuk mengembangkan kompetensi ketika seseorang masih dalam pendidikan prajabatan dan dilanjutkan setelah yang berangkutan diangkat sebagai guru (pendidikan dalam jabatan).

PENGEMBANGAN TRADISI ILMIAH DAN POSISI BERBAGAI LEMBAGA

Tiga kegiatan utama untuk pengembangan tradisi ilmiah adalah :

  • pendidikan dalam jabatan
  • suasana kerja di sekolah
  • penyediaan fasilitas
  1. Pendidikan dalam Jabatan

Pendidikan prajabatan adalah kelanjutan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh melalui pendidikan prajabatan. Apabila dalam pendidikan prajabatan kemampuan tersebut sudah terdidik dengan baik dan menjadi bagian dari kepribadian seorang calon guru maka kemampuan itu mewujudkan dirinya dalam kebiasaan-kebiasaan profesional. Fase pengembangan berikutya yaitu pada waktu yang bersangkutan menjalankan profesinya. Bantuan profesional  berupa pelatihan, seminar, workshop, dan bahkan pendidikan untuk gelar[3]. Bantuan ini diperlukan sehingga guru selalu berada dalam kondisi prima untuk selalu menerapkan kemampuan di atas.

Pendidikan dalam jabatan berkenaan dengan kesempatan guru untuk mengikuti pendidikan dan program yang disediakan pemerintah. Kesempatan guru untuk mengikuti pendidikan dalam jabatan sangat tergantung pada beban tugas guru. Penelitian yang dilakukan oleh Wei dan kawan-kawan (2009) menunjukkan bahwa guru di negara yang tinggi dalam TIMMS dan PISA adalah negara-negara yang gurunya memiliki jam mengajar di kelas rendah dan tersedia cukup waktu untuk mengikuti pendidikan dalam jabatan dan kegiatan pengembangan profesional. Kegiatan pendidikan dalam jabatan yang diikuti guru terencana secara teratur,  terarah, dan menjadi bagian dari beban kerja guru.

Berdasarkan hasil studi Wei dan kawan-kawan (2009), di negara-negara Singapura, Jepang, dan Korea Selatan guru hanya diperkenankan mengajar 35% dari beban kerja sedangkan 65% digunakan untuk pengembangan profesi (professional development). Di negara-negara OECD lainnya dan di banyak negara Eropa, beban mengajar guru hanya 60% dari beban kerja guru sedangkan sisa waktu digunakan untuk mengembangkan profesinya. Di negara-negara ini guru SD mengajar sebanyak 800 jam per tahun sedangkan guru sekolah menengah mengajar sebanyak 660 jam per tahun. Indonesia, mirip Amerika Serikat mewajibkan guru mengajar 80% dari beban kerja guru. Di negara-neegara yang diteliti Wei dkk (2009) guru mendapatkan pelatihan secara teratur, di luar waktu mengajar, dan merupakan bagian dari beban tugas guru. Oleh karena itu setiap guru wajib mengikutinya dan disediakan dana untuk keikutsertaan guru tersebut.

Persyaratan kedua ialah program pendidikan dalam jabatan haruslah terarah. Artinya, program pendidikan prajabatan dalam membina tradisi ilmiah merupakan program khusus bagi guru. Guru tidak asal mengikuti pelaatihan, seminar atau pun workshop. Pelatihan, seminar atau pun workshop berkenaan dengan materi yang terkait dengan pengembangan tradisi akademik. Artinya, kegiatan pelatihan, seminar, dan workhop dirancang untuk mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi bagi guru untuk melakukan studi dan penelitian, mengembangkan sikap ingin tahu dan kemampuan berfikir (kritis, kreatif) yang lebih tinggi, dan kemampuan lain yang diperlukan guru dalam pengembangan  tradisi ilmiah.

Persyaratan ketiga adalah kegiatan tersebut menjadi bagian dari beban kerja guru. Ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal PMPTK telah merinci pengertian beban kerja guru. Permendiknas nomor 39 tahun 2009 telah menetapkan bahwa beban kerja guru minimal 24 jam tatap muka. Dalam dokumen tentang Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru disebutkan bahwa guru memiliki jam kerja 37,5 jam per minggu, 38 minggu per tahun. Untuk itu maka tugas profesional guru adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajara, membimbing dan melatih peserta didik, melaksanakan tugas tambahan. Sayangnya, dokumen tersebut tidak menyebutkan bahwa pegembangan profesi seperti mengikuti seminar, workshop, pelatihan atau bahkan pendidikan untuk gelar tidak menjadi beban kerja guru. Dengan demikian tidak mudah bagi guru untuk mengikuti berbagai kegiatan pengembangan profesi terutama untuk pengembangan tradisi ilmiah.

Dalam kegiatan pertama ini banyak hal yang tidak dapat dilakukan guru atau pun sekolah. Untuk kegiatan pelatihan dalam jabatan maka diperlukan suatu kebijakan dasar tentang pembinaan profesi guru. Pemerintah daerah adalah fihak yang paling berkepentingan dengan kualitas pendidikan di daerahnya dan kualitas pendidikan tidak terlepas dari tradisi ilmiah yag dimiliki guru. Oleh karena itu fihak pemerintah daerah perlu memiliki peraturan daerah yang menjamin adanya kegiatan terencana untuk pelatihan guru dalam jabatan. Mengingat kebijakan tersebut berdampak pada penyediaan anggaran maka sebagai konsekuensi suatu kebijakan umum (public policy) adalah pada dana. Artinya, setiap tahun pemerintah daerah perlu merancang kegiatan pelatihan bagi guru tentang pengembangan tradisi akademik guru dan menyediakan dana untuk itu.

Selain dari kebijakan tentang pelatihan dan dana pelatihan, pemerintah daerah perlu memberikan insentif bagi guru. Guru yag menonjol dalam pengembangan tradisi ilmiah perlu diberi dukungan berupa kebijakan mengenai kenaikan pangkat dan juga kesempatan untuk belajar di tempat orang lain (on study leave). Melalui kegiatan yang disebutkan terakhir ini maka guru akan belajar dari orang lain tentang proses pendidikan yang baik (best practice) dan juga terjadi penyegaran dalam visi, mental, dan fisik.

Keterkaitan perguruan tinggi dalam pendidikan dalam jabatan adalah mutlak. Pemerintah daerah memiliki sejumlah kebijakan dan persyaratan untuk meningkatkan dan mengembangkan tradisi ilmiah guru. Meski pun demikian, pemerintah daerah bukan lembaga yang memiliki segalanya terutama berkaitan dengan proses dan pengembangan pendidikan dalam jabatan. Sebaliknya, perguruan tinggi adalah lembaga yang memiliki sumber manusia dengan kemampuan tinggi untuk mengembangkan tradisi ilmiah guru. Perguruan tinggi dapat memberikan bantuan kepada program pelatihan dalam jabatan dan bahkan program gelar yang diperlukan guru. Perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam mengembangkan kemampuan pembelajaran, penelitian, dan penulisan karya ilmiah.

Untuk itu perguruan tinggi dan pemerintah daerah perlu kerjasama baik dalam tahap awal perencanaan berupa identifikasi kemampuan yang telah dimiliki guru dalam tradisi ilmiah, program untuk mengembangkan kemampuan dalam tradisi ilmiah berdasarkan hasil identifikasi pada langkah awal, proses pembelajaran, dan konsultasi setelah pelatihan. Artinya, perguruan tinggi harus menyediakan fasilitas khusus yang berkenaan dengan pelatihan guru dalam jabatan dan pelayanan sesudah pelatihan.

Peran yang tak kalah pentingnya adalah pada pihak sektor swasta. Sektor swasta yang dimaksudkan di sini bukanlah mereka yang bergerak di bidang pendidikan seperti yayasan dan penyelenggara pendidikan swasta. Sektor swasta adalah mereka yang tidak terlibat secara operasional dalam pendidikan. Pihak swasta memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk mendukung pendidikan dalam jabatan. Mereka tidak saja memiliki sumber daya manusia untuk hal-hal tertentu yang terkait dengan pengembangan tradisi akademik tetapi juga memiliki fasilitas untuk komunikasi. Koran adalah media penting bagi guru untuk menyalurkan pemikiran hasil kajian ilmiahnya. Fasilitas seperti ini tentu memerlukan kebijakan dari pimpinan media masa tersebut.

Kontribusi dari sektor swasta lainnya adalah dalam keterbukaan dan ketersediaan informasi tentang kegiatan ektor swasta tersebut. Informasi terkini tentang suatu usaha manufaktur atau pun bisnis lain, misalnya, teramat penting untuk guru dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai dunia bisnis. Demikian pula dengaan bidang kegiatan sektor swasta lainnya.

Ketersediaan mereka dalam inormasi tidak selalu harus berkenaan dengan dirinya. Informasi yang dapat mereka berikan dapat pula berkenaan dengan kegiatan usaha dan pendidikan yang dilakukan di tempat lain dan bahkan negara lain. Ketika mereka memiliki berbagai informasi tentang mitra mereka tentu saja informasi itu dapat menjadi bahan kajian ilmiah guru di sekolah. Ketika inormai itu berkenaan dengan berbagai kegiatan budaya, seni, teknologi, politik, dan temuan dari tempat lain maka sektor swasta akan berada di baris paling depan karena mereka selalu lebih dinamis.

  1. Suasana Kerja Sekolah

Kegiatan lain untuk pengembangan tradisi ilmiah guru adalah lingkungan kerja di sekolah. Banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa lingkungan kerja (suasana kerja, beban kerja, fasilitas kerja) merupakan faktor kuat dalam performansi guru. Melalui lingkungan kerja yang kondusif maka tradisi ilmiah guru dapat berkembang dengan baik. Oleh karena itu konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah dikembangkan Pemerintah kiranya perlu dibina teru menerus sehingga sekolah menjadi sebuah “community of educators”, bukan sekumpulan guru dan administrator serta peseerta didik.

Dalam membangun suasana sekolah maka pemerintah daerah memiliki tanggungjawab langsung.  Pemerintah daerah adalah pemegang amanah pendidikan di daerahnya dan sekolah adalah tanggungjawab langsung pemerintah daerah. Oleh karena itu untuk membangun suasana kerja sekolah yang baik dan mampu menopang tradisi ilmiah guru, pemerintah daerah dapat menyiapkan seperangkat peraturan yang berkenaan dengan beban kerja, fasilitas kerja, dan manajemen sekolah. Pemerintah adalah dapat mengartikan beban kerja guru sedemikian sehingga mencakup kegiatan pengembangan tradisi ilmiah sebagai bagian integral dan diakui dalam beban kerja guru. Pemerintah daerah dapat pula menetapkan peraturan kepegawaian seperti guru harus masuk setiap hari dan dihitung sebagai beban kerja. Demikian juga dengan peraturan yang mampu mengembangkan  manajemen sekolah sehingga menjadi suatu lingkungan kerja nyaman yang dapat membangun budaya sekolah.

Posisi perguruan tinggi merupakan partner pemerintah daerah dalam memberikan bantuan teknis untuk mengembangkan suasana sekolah yang kondusif. Peruruan tinggi dapat dimintakan jasanya sebagai evaluator terhadap suasana sekolah dan memberikan masukan tentang apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan suasana kerja suatu sekolah. Mungkin saja perguruan tinggi dapat menempatkan ahli-ahli manajemen pendidikan dan sosiologi pendidikan untuk membantu sekolah dalam mengembangkan suasan kerja yang kondusif.

Peran fihak swasta dalam konteks ini terbatas pada upaya untuk memberikan fasilitas berupa bantuan kepada pimpinan sekolah mempelajari berbagai kepemimpinan sekolah yang dianggap berhasil membangun suasana kerja. Dalam aspek bantuan ini tampaknya hanya menyangkut suatu bagian kecil tetapi pada dasarnya bantuan semacam ini memiliki dampak yang sangat mendasar.

  1. Fasilitas

Selain melalui pendidikan dalam jabatan, tradisi ilmiah guru akan berkembang dengan baik apabila diikuti dengan fasilitas yang cukup. Diantara fasilitas itu adalah dana, media untuk berkomunikasi, insentif, dan kebebasan akademik/ilmiah. Dana diperlukan karena untuk mengikuti pelatihan/workshop/seminar, melakukan studi, menerapkan pikiran baru, dan mengkomunikasikan pikiran. Media untuk komunikasi adalah fasilitas penting bagi guru untuk menyampaikan pemikirannya dan produk pendidikan yang dihasilkannya. Insentif diperlukan sebagai pemacu untuk terus menerus mengembangkan tradisi ilmiah.  Kebebasan akademik merupakan persyaratan esensial bagi guru untuk terus mengembangkan tradisi ilmiah karena harus ada jaminan bahwa apa yang dikemukakan guru tidak menjadi suatu yang berakibat pada sanksi administratif selama yang dikemukakan terebut memenuhi kaedah-kaedah ilmiah.

Fasilitas semacam ini hanya dapat diberikan oleh fihak pemerintah daerah dan sektor swasta. Kebebasan akademik hanya dapat dikembangkan melalui keputusan pemerintah daerah. Fasilitas seperti alat-alat kerja untuk guru dapat disiapkan oleh pemerintah daerah dan sektor swasta.

PENUTUP

Koordinasi antara ketiga lembaga terkait sagat penting dan merupakan kemutlakan. Kekuarangan dan keunggulan yang dimiliki masing-masing lembaga mengharuskan adanya koordinasi tersebut. Dalam setiap konteks pemerintah daerah selalu berada di baris terepan yang langsung berhubungan dengan sekolah. Hal ini disebabkan karena sekolah adalah lembaga yang secara administratif dan akademik berada di bawah tanggungjawab pemerintah daerah.

Perguruan tinggi dan ektor swasta membantu pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan dan kewenangan mereka. Mereka melaksanakan kontribusinya berdasarkan rancangan pengembangan yang telah dibuat berama pada awal setiap tahun.

DAFTAR BACAAN

Conley, D. (1999). Statewide Strategies for Implementing Competency-based Admissions Standards. Denver: State Higher Education Executive Officers.

Darling-Hammond,L. (2003). Keeping Good Teachers: Why It Matters, What Leaders Can Do. Educational Leadership, 60, 8:6-13.

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (2008). Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru. Jakarta

DuFour, R. (2004). What Is a “Professional Learning Community”?. Educational Leadership. 61, 8: 6-11.

Hasan,S.H. (2004). Standar Nasional Pendidikan: Arti dan Perannya Dalam Pendidikan dan Profesi Guru. Makalah

Millinger, C.S. (2004). Helping New Teachers Cope. Educational Leadership. 61, 8: 66-69.

Nathan, M.J. and Petrosino, A. (2003). Expert Blind Spot Among Preservice Teachers. American Educational Research Journal,40,4:905-928

NCATE (2001). The Standard of Excellence in Teacher Preparation. Available at www.ncate.org, tanggal 17 Januari 2001.

Ohio State Department of Education (2001). Academic Content Standards Development. Available at http://www.ode.state.oh.us/academic_content_standards, tanggal 20 Februari 2002.

Oliva, P.F. (1997). Developing the Curriculum, 4th ed., New York: Longman

Wei, R.C., Andree,A., Darling-Hammond,L. (2009). How Nations Invest in Teachers (High-Achieving Nations Treat their Teachers as Professsionals). Educational Leadership, February 2009, 66, 5:28-33

Wisconsin Department of Education (1999). Teacher Education and Licensing. Available at http://www.dpi.state.wi.us, tanggal 27 Juli 2001.

[1] Kesalahan tentang kebijakan  portofolio adalah bukan kesalahan pertama yang dilakukan Pemerintah. Pemerintah  pernah  membuat kesalahan yang sama besar magnitudenya yaitu  dengan tidak mengakui gelar Drs, Ir (?), SH, SE, SS ebagai penyandang gelar S-2 ketika jenjang pendidikan tinggi diubah dari jenjang bakaloreat (sarjana muda) dan sarjana menjadi S-1, S-2, dan S-3. Secara legal dalam  ijazah pemilik gelar Drs dan seterusnya   dinyatakan bahwa mereka berhak  mencapai gelar doktor dengan mempertahankan disertasi yang dengan kebijakan baru tidak diakui dan hanya dihargai sebagai ijazah S-1. Secara kurikulum, gelar kedua atau  sesudah bachelor adalah master. Perubahan sistem dan jenjang pendidikan seharusnya tidak boleh menidakkan  status terdahulu yang resmi. Kerugian  negara dan bangsa dengan kebijakan yang demikian tidak ternilaikan baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu.

[2] Adalah lain halnya jika portofolio itu dimaksudkan untuk memberikan  sertifikasi/ lisensi  mengajar sebagaimana yang dipersyaratkan oleh banyak negara bagian di Amerika Serikat dan  negara-negara di Eropa. UU tentang Guru dan Dosen  tidak mengenal konsep sertifikasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai  lisensi/credential untuk mengajar di sekolah (pemerintah).

[3] Perayaratan  mengikuti seminar, workshop, penulisan karya ilmiah secara jelas menjadi kegiatan yang dituntut Pemerintah jika dilihat dari instrumen portofolio. Kegiatan tersebut seharusnya menjadi kewajiban  Pemerintah dan hak guru untuk mendapatkannya.

Comments are closed.