Antara Sewaka dan Soeria Kartalegawa: Dinamika Politik Pemerintahan Di Jawa Barat Pada Masa Revolusi Indonesia

Oleh: Susanto Zuhdi

HISTORIA: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.7, Vol.IV (Juni 2003)

ABSTRAKSI:

Revolusi Indonesia pada tahun 1945 ditandai oleh suasana yang tidak menentu di mana aktivitas manusia lebih mengandalkan pada gabungan antara emosi dan rasio yang rumit. Suasana seperti itu mengantarkan seseorang atau kelompok sosial pada pilihan dan peluang yang sama dilematis dan resikonya: memihak pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana ditunjukkan oleh tulisan ini, dengan mengambil contoh kasus pada pribadi Sewaka dan Soeria Kartalegawa di Jawa Barat, bahwa pilihan seseorang itu banyak ditentukan oleh orientasi pribadi, latar belakang pendidikan, dan pengalaman sosial yang pernah dilaluinya. Tugas seorang sejarawan adalah untuk memberikan penjelasan yang rasional kenapa seseorang tetap konsisten dengan pilihan hidup dan resiko yang harus ditanggungnya itu.

Pengantar [1]

Kiranya sudah cukup banyak karya tulis tentang perjuangan gerilya di Jawa Barat dan Negara Pasundan pada masa revolusi Indonesia. Tulisan ini berusaha memperlihatkan peran Sewaka dalam pemerintahan gerilya di satu sisi, dan di sisi lain kiprah Soeria Kartalegawa dalam Negara Pasundan, melalui pemaparan perbedaan orientasi, sikap, dan tindakan dari dua orang Sunda itu dalam menanggapi revolusi Indonesia. Hal ini saya kira menarik karena keduanya, pertama, merupakan elite yang berangkat dari masyarakat kolonial, berpendidikan Barat, dan bekerja pada struktur yang sama; dan kedua, mereka merupakan elite yang tidak berasal dari tradisi tua, seperti halnya para keluarga bupati di Priangan.

Jika dapat dipahami betapa revolusi itu memperlihatkan kekacauan dan penuh gejolak sosial, maka boleh jadi kita akan menghargai – bukan karena kita setuju atau tidak setuju – siapapun yang karena keyakinannya menentukan sikap sebagai pendukung atau kontra terhadap revolusi Indonesia. Dari refleksi pribadi seorang Soedjatmoko tentang periode revolusi Indonesia, misalnya, dapat dianalisis dengan kerangka “pilihan dan peluang”. Siapapun dalam membuat pilihan jelas berdasarkan pada pandangannya – persepsi yang diasah oleh pengetahuannya yang terbatas, oleh nilai, aspirasi dan kecemasan, serta oleh perasaan di luar kemampuan atau pengetahuannya. Hal itu terlebih berlaku pada masa revolusi, ketika peristiwa-peristiwa yang berlangsung sangat dipercepat oleh kegiatan manusia yang dijiwai oleh emosi dengan intensitas yang besar, dengan dinamika internalnya sendiri, dan malahan lebih sering berada di luar pengendalian para pemimpinnya.[2]

Kiranya dapat juga diterima jika diterangkan bahwa para bangsawan, terutama pangrehpraja yang bekerja dengan Belanda dan Jepang, pada umumnya merasa was-was menghadapi masa revolusi pada tahun 1945. Pilihan sebagai pihak-pihak yang pro dan kontra revolusi mungkin sama besar resikonya. Pilihan mereka tentu sudah dipertimbangkan sebagai yang terbaik. Pilihan itu tidak semata-mata dorongan pribadinya melainkan juga terdapat sejumlah faktor-faktor yang lain. Jadi jika seorang sejarawan dalam kerangka pikir penjelasan R.G. Collingwood bertanya “Mengapa Brutus menikam Caesar?”, hal itu berarti ”apa yang dipikirkan Brutus, yang membuatnya menikam Caesar?”, sekarang banyak dipertanyakan sejarawan. Karena harus diperhatikan pertanyaan yang menyangkut gerakan kolektif, seperti halnya tindakan pribadi yang terlihat dalam peristiwa-peristiwa.[3] Dengan demikian ada sejumlah faktor yang melingkarinya dan oleh sebab itu memberikan sumbangan terhadap sikap yang dipilih seseorang, maka tentu saja harus diperhatikan.

R.T.A. Sewaka

Raden Tumenggung Ario (Mas) Sewaka lahir di  Cirebon pada tahun 1895.[4] Setelah lulus dari ELS (Europeesche Lagere School), Sewaka menyelesaikan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaaren) pada tahun 1915. Pendidikan kepemerintahannya dilanjutkan dengan mengikuti Bestuursshool dan selesai pada tahun 1936. Pikiran-pikiran Sewaka muda tentang politik sudah mulai bersemai pada masa ia bersekolah di OSVIA itu. Secara tidak langsung ia belajar dari direktur OSVIA sendiri yang sering berbicara di depan kelas dengan mengatakan: “Het woord politieke moet je uit je woordenboek schrappen, want politiek is vuil”. Justru karena kata-kata itulah yang mendorong Sewaka dan teman-temannya mencari arti kata itu yang sebenarnya. Dengan cara tententu pula dr. Tjipto Mangoenkoesoemo pada tiap hari minggu yang ditetapkan, di tempat tertentu, memberikan sekedar pengertian arti kata ”politiek” kepada murid-murid kelas terakhir. Ternyata karangan Soewardi Soerjaningrat ”Als Ik een Nederlander was” yang terkenal itu telah pula dibaca oleh murid-murid OSVIA, termasuk Sewaka.[5]

Pengalaman bekerja Sewaka sudah dimulai sebagai tenaga magang pada pemerintahan bumiputera dan magang jurutulis wedana Losari tahun 1915 dan 1916. Gagasan-gagasan awal Sewaka tentang politik, khususnya yang berkaitan dengan gerakan nasional, paling sedikit terlihat dalam sikap yang tentu saja harus dibalut dengan kehati-hatian ketika ia menjadi mantri polisi dalam rapat-rapat Sarekat Islam, rupanya menjadikan alas an bagi atasannya untuk memindahkan Sewaka ke Indramayu dengan menjabat sebagai sekretaris pengadilan bidang keuangan (fiscal griffier). Pada masa itu Sarekat Islam nampak aktif memperjuangkan pelaksanaan pembelian padi yang memberatkan rakyat, khususnya di Weru Cirebon.[6]

Menjelang kedatangan Jepang, Sewaka menjadi patih di Bogor dan Indramayu pada tahun 1938-1941. Pemerintahan militer Jepang kemudian mengangkat Sewaka sebagai Cirebon Shicho pada tanggal 29 April 1941, dan ia juga pernah menjadi bupati Cirebon pada tanggal 29 April 1943.

Pengalaman menjadi anggota perkumpulan, diperoleh Sewaka ketika memasuki Perkumpulan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB) dari tahun 1935-1939. Tiga tahun kemudia ia menjabat komisaris Pengurus Besar dan Ketua PPBB Cabang Indramayu.

Jabatan Sewaka setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah ia diangkat sebagai Residen Jakarta. Ketika dalam suatu kunjungan kerja ke Rengasdengklok, di tengah jalan dekat Klender, kendaraannya dicegat oleh kumpulan orang bersenjata rupa-rupa dengan teriakan “[…] bunuh, bunuh, bunuh“. Kebetulan datanglah seorang Haji, pemimpin gerakan itu, yang mengatakan bahwa ia bukanlah orang NICA (Netherlands Indische Civil Administration) melainkan “Bapak Residen Jakarta dari Negara RI”.[7]

Oleh karena pertimbangan keadaan keamanan semakin gawat. Pada bulan Nopember 1945 Residen Jakarta berpindah ke Purwakarta dengan mendapat laporan mengenai kejadian yang berlangsung di Jakarta. Setelah bekerja selama 6 bulan, sejak Mei 1946, Sewaka dipindahkan lagi ke Tasikmalaya, sebagai Residen diperbantukan pada Gubernur Jawa Barat. Pada 1 April 1947, ia diangkat sebagai Gubernur Jawa Barat. Pada masa yang bersamaan di Jawa Barat sedang ditegakkan Negara Pasundan oleh pemerintah pendudukan Belanda. Ketika Sewaka diminta menggantikan Residen Gaos di Bogor, ia menolak karena ia harus memberi laporan kepada Kepala Tentara Sekutu mengenai daerahnya dan tidak diperbolehkan melakukan kunjungan ke kabupaten Cianjur dan Sukabumi.

Apa yang harus dilakukan Sewaka menghadapi gerakan Soeria Kartalegawa dengan Negara Pasundannya? Sewaka sering mengadakan kunjungan ke daerah-daerah di Jawa Barat untuk memberikan penjelasan tentang gerakan itu. Ia menyadari betul bahwa Belanda kemudian menjadikan Konferensi Jawa Barat sebagai sarana untuk mendirikan Negara Pasundan sebagai perwujudan ide negara federal. Karenanya sebelum hal itu tercapai, Belanda mengangkat pejabat Recomba (Regerings Commissaris voor Bestuursaangelegenheden atau kurang lebih seperti Gubernur juga) untuk Jawa Barat, mula-mula R. Abdoelkadir Widjojoatmodjo kemudian R. Hilman Djajadiningrat.

Sekembali dari kunjungan ke Banten, Sewaka melalui jalan selatan menuju Tasikmalaya, kota yang dalam Aksi Militer I Belanda (21 Juli 1947) diserang hebat oleh pasukan Belanda. Gubernur Sewaka beserta stafnya mula-mula menuju ke daerah selatan Tasikmalaya dan tinggal di Sukaraja. Oleh karena aksi-aksi penembakan, Sewaka terus bergerak menuju Karangnunggal kemudian ke Lebaksiu, kira-kira 70 km sebelah selatan Tasikmalaya, sebuah desa di tepi hutan. Di desa inilah Sewaka membuka Kantor Gubernur Darurat untuk menjalankan pemerintahan dengan kebijaksanaan sendiri karena hubungan dengan Yogyakarta terputus.

Dengan bantuan dari beberapa anggota kantor berita Antara, seperti A.Z. Palindih, Moh. Rayani, dan Moh. Saman, pemerintah gerilya Sewaka memiliki pemancar radio dan penerangan listrik. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sewaka mendapat informasi dari Letkol (Letnan Kolonel) Soetoko bahwa pasukan Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat sebagai konsekwensi dari Perundingan Renville. Situasi di Jawa Barat kemudian semakin gawat. Hal itu menyebabkan Sewaka berpindah lagi ke daerah Tawang Banteng, dekat Singaparna, Tasikmalaya.

Jika Cribb berpendapat tentang penangkapan Sewaka oleh karena kegiatan rahasianya di Bandung dengan orang-orang pro Republik di Parlemen Pasundan,[8] maka Sewaka bercerita lain. Sewaka memang didatangi oleh dua orang yang meminta dirinya untuk menjadi Wali Negara Pasundan. Tetapi yang datang kemudian adalah 25 orang polisi bersenjata lengkap, menangkapnya, dan di bawa ke Bandung. Kemudian ia di hadapkan kepada Residen Priangan dengan menanyakan apakah ia mau bekerja sama dengan Belanda? (Wilt U met ons samenwerking?). Dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville, menurut Sewaka, toh hal itu sudah dijelaskan tentang “kerjasama”, lalu jenis kerjasama macam apa yang di tawarkan itu? (Hoe wilt U dan de samenwerking tot stand zien komen?). Sewaka tidak menginginkan jenis kerjasama itu seperti hubungan antara majikan dan pembantu (Ik geen geval de soort samenwerking welke te zien is bij de vverhouding tussen baas en knecht). Mendengar jawaban itu, Residen Priangan marah dengan mengatakan kalau begitu anda masuk penjara (bui) Tangerang (Dan gaat U naar de Boei Tangerang).[9]

Adalah menarik ungkapan Sewaka bahwa ketika selepas dari penjara Tangerang, ia dipindahkan ke Yogyakarta oleh karena dianggap berbahaya untuk tinggal di Jawa Barat. Pernyataan staatsgevarlijk oleh Recomba itulah yang dipertanyakan oleh Sewaka, sebab dipandang dari negara yang mana, bukankah keputusan itu dibuat oleh bangsanya sendiri?[10]

Pada akhirnya Sewaka menerima juga jabatan sebagai Wali Negara Jawa Barat pada tanggal 8 Februari 1950, tetapi ketika orang-orang yang pro Republik di dalam Negara Pasundan sudah begitu besar, sehingga dalam beberapa bulan kemudian Parlemen Pasundan membubarkan diri dan bergabung dengan negara Republik Indonesia.[11]

R.A.A. Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa

Berbicara tentang Negara Pasundan tidak bisa tidak harus dikaitkan dengan seorang tokoh bernama Raden Adipati Aria Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa. Dengan didukung oleh Partai Rakyat Pasundan (PRP), ia menyatakan berdirinya Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Dalam hal ini perlu dibedakan dua konsep Negara Pasundan yang didirikan oleh Soeria Kartalegawa di satu sisi, dan Negara Pasundan yang dihasilkan dalam proses pembentukan melalui Konferensi Jawa Barat. Meskipun tidak ada kaitan langsung antara keduanya, tetapi Soeria Katalegawa menganggap bahwa yang disebut terakhir itu merupakan penjelmaan kembali dari cita-citanya.[12]

Berkenaan dengan aktivitasnya itu, Soeria Kartalegawa di berbagai tulisan disebut sebagai: “NICA-Legawa”, “Soeria Kartalegawa adalah wayang yang dimainkan oleh Van Mook”, dan “Dengan meminjam tangan Soeria Kartalegawa, Belanda mengadakan gerakan separatisme pertama di Jawa dengan membentuk Partai Rakyat Pasundan untuk mencapai tujuan mendirikan Negara Pasundan”. Ungkapan-ungkapan itu tentu saja tidak sederhana untuk diterangkan.

Dilihat dari latar belakang perkembangan social-budayanya, daerah Priangan (Provinsi Jawa Barat) tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Jawa (Mataram). Itulah sebabnya terdapat penduduk yang bukan hanya Sunda tetapi juga penduduk yang berbahasa Jawa atau campuran keduanya seperti terlihan pada bahasa Cirebon. Cirebon merupakan daerah yang tidak semua penduduknya berbahasa Sunda. Pada masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), wilayah Cirebon meliputi daerah luas meliputi Priangan Timur sampai bagian bagian Selatan berbatas laut, termasuk Galuh (Ciamis), Sukapura (Tasikmalaya) dan Limbangan (Garut). Akan tetapi pada tahun 1813, Daendels mengalihkan dua daerah kabupaten terakhir itu ke Priangan, meskipun nampaknya secara resmi Galuh merupakan bagian dari Cirebon. Pada tahun 1915 satuan-satuan geografik, etnik, bahasa, dan budaya mengaitkan Galuh lebih dekat ke Sunda dan menjadi bagian dari residensi Priangan.[13]

Ketika proses pembentukan Negara Pasundan dalam kerangka Negara Indonesia Serikat sedang diperdebatkan, muncullah berbedaan pendapat antara pendukung Sunda dan pendukung Cirebon mengenai bahasa dan penamaan negara. Dalam sidang Konferensi Jawa Barat III, 23 Februari 1948, Soeria Kartalegawa dan kawan-kawan mengajukan sebuah mosi supaya pembicaraan dalam rapat Badan Perwakilan itu agar dibolehkan menggunakan bahasa Sunda. Menanggapi mosi itu anggota Soekardi mengatakan: “Djika dibolehkan berbitjara dalam bahasa Soenda, orang-orang jang ingin memakai bahasa daerah lainnja poen haroes diizinkzn, oempamanja bahasa daerah Tjirebon”.[14] Dalam perdebatan selanjutnya, akhirnya mosi Soeria Kartalegawa itu ditolak oleh sidang.

Akan halnya penamaan Negara, orang Cirebon lebih menyukai Djawa Barat. Hal itu dapat dilihat dalam telegram Sultan Cirebon sebagai berikut:

Kepada Sidang Conferentie Djawa Barat 3 Bandoeng, kami Soeltan Anom Tjirebon Ketoea Poesat PRT (Partai Ra’jat Tjirebon, sz) Tjirebon, atas nama seloeroeh ra’jat 300.000 orang jang bergaboeng dalam PRT Tjirebon dengan ini menjatakan simpati dan setoedjoe terhadap Coferentie Djawa Barat 3 dan mendonga comferentie ini dapat melahirkan Negara Djawa Barat, djoega kami menoentoet berdirinya Daerah Istimewa Kesoeltanan Tjirebon dengan berparentahan autonom dalam lingkoengan Negara Djawa Barat.[15]

Usulan agar Cirebon diberi hak sebagai Daerah Istimewa sebenarnya telah diajukan kepada Konferensi Jawa Barat I (13-18 Oktober 1947).[16] Namun di pihak lain, aspirasi orang Sunda seperti yang ditunjukkan oleh pendukung Partai Rakyat Pasundan (PRP) mengusulkan bahwa nama negara harus tetap “Pasundan”, seperti dinyatakan berikut ini:

[…] Dari pihak Partai Ra’jat Pasundan telah dikemoekakan keberatan nama “Djawa Barat“, oleh karena nama itoe sebetoelnya adalah soeatoe terdjemahan dari sebagaian besar bangsa Soenda. Oleh karena dalam tahoen 1926 oleh Pemerintah Belanda nama Pasoendan jang bersedjarah itoe telah diakoei dengan dibentoeknja Propinsi Pasoendan, sedangkan dalam segala soerat-soerat resmi dipakainja nama “Pasoendan“, maka soedahlah dapat dimengerti bahwa kami menggoegat perihal nama terseboet.[17]

Bahwa Belanda selalu berusaha, dan untuk sebagian besar telah berhasil, memanfaatkan pemimpin-pemimpin pribumi sudah ditunjukkan sejak masa VOC. Para pedagang VOC (1602-1799) telah memanfaatkan kepentingan-kepentingan politik lokal untuk tujuan mereka. Ketika VOC semakin melibatkan diri pada kepentingannya di Jawa, maka harus dilakukan konsolidasi untuk meningkatkan hubungannya dengan penguasa-penguasa pribumi dan pegawai-pegawai istana, termasuk bupati-bupatinya.[18]

Pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian meneruskan pola kerjasama dengan pribumi ini. Dalam perkembangan birokrasi tradisional di Jawa khususnya, sesuatu yang nampak adalah adanya kesinambungan dan keterputusan keturunan keluarga bupati. Gambaran yang mengesankan tentang pemerintahan yang berkesinambungan oleh para keluarga Bupati di Priangan, seperti umumnya di Jawa, selalu ada yang  menarik yakni perbedaan antara mereka yang berasal dari dinasti tua dengan yang relatif baru yang karena adanya perkawinan dengan yang disebut pertama. Sebagai contoh, bupati-bupati Garut yang baru, yakni keluarga Soeria Kartalegawa (R.A.A. Soeria Kartalegawa, 1915-1929; R.A.A Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa, 1929-1944).

Di dalam istilah Barat, mereka disebut sebagai homines novi, yang menerima nama terkemuka dari nenek moyang terkenal mereka, yakni Haji Mohammad Moesa, Kepala Penghulu Garut. Tokoh ini adalah seorang yang mengetahui banyak tentang masyarakat Sunda dan mempunyai hubungan baik dengan seorang pengusaha perkebunan Belanda yang berpengaruh dan berpendidikan, yakni K.F. Holle. Keenambelas anak-anak Kepala Penghulu Garut itu menjadi pegawai-pegawai tinggi Pangreh Praja atau anggota Pangreh Praja lain yang mengawini mereka. Ini sering disebut lebih karena koneksi daripada karena kepandaiannya. Akan tetapi sebagaimana biasanya, pada waktu sudah menjadi anggota keluarga itu dapat memperlihatkan ikatan darah dengan keluarga-keluarga yang sudah mapan. Dalam hal ini Sutherland menyebut bahwa persoalan tentang bagaimana pertalian darah keluarga Kartalegawa baru bergantung pada perspektif seorang pribadinya. Sebab beberapa anggota keluarga yang tua lainnya, mungkin akan tersinggung oleh karena kemunculan keluarga Kartalegawa dianggap sebagai memulai dari atas, tanpa akar-akar nyata di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.[19]

R.A.A. Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa yang menjadi fokus tulisan ini (dengan panggilan kecil, Uca) dilahirkan di Garut pada tanggal 26 Oktober 1907 (dan wafat pada tanggal 12 maret 1978). Dalam usia 16 tahun, Uca tamat dan berhasil meraih ijazah ELS; lima tahun kemudian menyelesaikan HBS (Hogere Burger School) 5 tahun; dan pendidikan resminya berakhir dengan menamatkan Technische Burgerscool pada tahun 1935.

Pengalaman pekerjaan Uca dimulai dengan magang sebagai pegawai pemerintahan Hindia Belanda di Cianjur pada tahun 1928. Kariernya di pemerintahan sebagai Asisten Wedana di Langkaplancar dan Cibeureum, kemudian Asisten Wedana Kelas I di Sukabumi, dan Wedana Soreang di Bandung pada tahun 1936. Pada tahun berikutnya ia menjadi Wedana Patih dan Wedana Bupati Bandung; dan dalam jabatan yang sama antara Desember 1938 sampai 1943 di Garut. Sejak 13 Januari 1944, sebagai pegawai  Priangan Shucho, Soeria Kartalegawa juga adalah anggota Provinsi Residen Jawa Barat pada tahun 1936; dan anggota Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1939.[20]

Masa pendudukan Jepang di Indonesia bagi kalangan pangreh praja pada umumnya merupakan periode ujian berat dalam memikul tugas pekerjaannya. Pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan militer Jepang harus dilakukan mulai dari penyediaan tenaga romusha, pengumpulan padi, sampai dengan penyediaan wanita penghibur (yugun ianfu). Jika tugas ini dijalankan dengan baik, maka akibat selanjutnya adalah dapat menjadi sasaran kebencian dan dendam dari rakyat Indonesia sendiri yang tidak jarang dilampiaskan, setelah Jepang kalah, dalam bentuk revolusi sosial di beberapa daerah. Apa yang menarik untuk disampaikan di sini adalah berkenaan dengan kiat Soeria Kartalegawa untuk memenuhi permintaan yugun ianfu. Permintaan pemerintah militer Jepang terhadap masalah yang satu ini sangat dirasakan berat oleh para bupati, dan demikian juga oleh pejabat-pejabat bawahannya. Sebab kalau tidak dipenuhi permintaan itu, misalnya, maka sebagai gantinya isteri-isteri mereka atau anak-anak perempuan mereka yang harus diserahkan kepada Jepang. Dan ketika Soeria Kartalegawa harus menyediakan wanita penghibur untuk 50 orang Jepang, tentu hal itu bukan pekerjaan mudah. Dengan bantuan salah seorang bawahannya, Soeria Kartalegawa bukan saja dapat memenuhi permintaan itu melainkan juga hanya dalam waktu yang singkat hajat ke-50 opsir Jepang itu dapat dilayani dengan baik. Maka ketika Soeria Kartalegawa bertanya kepada bawahannya, dari mana dan siapa perempuan-peempuan yang kamu bawa itu? Lalu dijawabnya: “Mereka adalah para pelacur“.[21]

Sementara itu, dihadapkan pada berbagai peluang yang ada sebenarnya tidak mudah bagi seseorang untuk memilihnya. Secara teoritik memang dapat dijelaskan, sebagian, oleh latar belakang pengetahuan, tetapi yang sebagian besar lagi justru karena ketidaktahuannya akan masa depan. Dalam hal ini Soeria Kartalegawa adalah seorang pribadi dengan status sosial tinggi (menak), yang tidak aktif dalam perkumpulan/organisasi pergerakan apalagi yang bercorak nasional. Hal itu pula nampaknya yang memungkinkan kita untuk menjelaskan mengapa ia kontra terhadap proklamasi kemerdekaannya Soekarno-Hatta.

Tetapi, bukankah jika berbicara tentang pihak yang mula-mula kontra terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah didahului oleh Sutan Sjahrir?[22] Barangkali hanya dasar pemikiran dan cotak argumentasinya sajalah yang membedakan keduanya. Soeria Kartalegawa memang begitu erat dan setia berhubungan dengan Belanda. Itulah sebabnya ketika Proklamasi 17 Agustus 1945, ia mengatakan “kita sekarang telah bebas dari penjajahan Belanda tetapi janji kemerdekaan tidak diberikan”.[23] Memang, tindakannya itu dianggap sebagai tidak mengikuti arus perkembangan besar (mainstream), suatu gerak sejarah yang sedang menuju ke arah negara nasional berbentuk kesatuan. Lantas faktor-faktor apa yang menyebabkan ia mempunyai sikap dan pilihan seperti itu? Secara teoritis, kebanyakan golongan yang sudah mapan memang tidak suka kepada perubahan yang dianggap akan mengancam kedudukannya. Apalagi jika revolusi itu dikaitkan dalam konteks pilihan pribadi seseorang, maka Soeria Kartalegawa pun harus menentukan sikap dan pilihan. Dalam hal ini sikap dan ketidaksukaan Soeria Kartalegawa kepada pribadi-pribadi tertentu dapat menjelaskan sikap dan pilihannya itu.

Ketidaksenangan Soeria Kartalegawa setelah proklamasi kemerdekaan RI adalah dalam menanggapi perkembangan politik pemerintahan di Jawa Barat. Ia tidak senang kepada Presiden Soekarno karena yang ditunuuk sebagai Gubernur pertama, kedua, dan ketiga di Jawa Barat adalah bukan orang Sunda seperti: Soetardjo Kartohadikoesoemo, Datuk Jamin, dan Dr. Murdjani. Baru kemudian Sewaka yang orang Sunda ditunjuk sebagai Gubernur keempat di Jawa Barat.[24] Nampaknya, pertikaian antara elite di Priangan juga dapat merupakan kerangka penjelasan lain yang dapat dianalisis.

Ketidaksenangan kedua Kartalegawa kepada Presiden Soekarno adalah dalam hal mengapa pihak Republik Indonesia mau mengaui Negara Indonesia Timur (NIT), tetapi tidak untuk Negara Pasundan? Dan kebencian ketiga adalah ketika Presiden Soekarno menyuruh anak Soeria Kartalegawa yang berjiwa republiken untuk berbicara di corong radio dengan menyatakan bahwa dia bersumpah baru akan menikah kalau ayahnya sudah mati.[25] Satu dari ketiga alasan itu bisa saja dikatakan tidak berdasar kuat – mengenai pengakuan kepada Negara Pasundan misalnya – tapi bagaiamana dengan dua yang lain?

Sesuatu yang masih diingat oleh Soeria Kartalegawa adalah mengenai ketidaksenangannya dengan pengangkatan Soetardjo Kartohadikoesoemo sebagai Gubernur pertama di Jawa Barat. Dan ketika Soeria Kartalegawa dalam perjalanan hidupnya dibawa ke penjara Wirongunan di Yogyakarta, ia bertemu dengan Soetardjo itu. Karena sebagai pejabat pemerintah, seperti biasanya, maka Soetardjo diatur oleh protokoler resmi dan dengan menumpangi mobil pejabat. Akhirnya Soeria Kartalegawa ingat betul, dengan peristiwa yang tidak menyenangkan ketika di Yogyakarta itu, bukankah yang feodal itu adalah justru Soetardjo Kartohadikoesoemo, bukan dirinya seperti yang dituduhkan oleh pihak pemerintah RI?[26]

Jika dilihat dari sisi kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia, seorang Soeria Kartalegawa jelas merasa dirugikan. Lantas apakah ia mendapat konpensasi dari pemerintah Belanda? Untuk sebagian dapat dijawab ya, tetapi dalam beberapa hal ia juga merasa dibohongi. Kalau dalam menjalankan aksinya di satu pihak ia memang mendapat kemudahan dari Kolonel Thompson di Bogor, Residen Priangan M. Klassen, dan pemangku jabatan Gubernur Jawa Barat C.W.A. Abbenhuis. Tetapi di pihak lain tidak begitu dari Van Mook. Terhadap gerakan Soeria Kartalegawa ini Van Mook sesungguhnya masih ragu-ragu dan bertanya apakah ia dapat dijadikan sebagai “wayang” yang handal? Bagi Van Mook, tindakan Soeria Kartalegawa memproklamasikan Negara Pasundan pada bulan Mei 1947 itu malahan telah menyusahkannya. Seperti dikatakannya kemudian:

You act like Hitler. You made it very difficult for me with regards to the Republic. Your proclamation had no antecedents. Wthout proving that the Sundanese people support the PRP, you have done not good with the proclamation. You are against the Republic and have made things difficult for us. [27]

(Kamu bertindak seperti Hitler. Kamu telah membuat hal itu sangat menyulitkan saya berkenaan dengan Republik. Proklamasimu tidak mempunyai persiapan. Tanpa pembuktian bahwa orang Sunda mendukung PRP, kamu berbuat tidak baik dengan proklamasi itu. Kamu adalah lawan Republik dan telah membuat hal-hal sulit bagi kami).

Akhir dari Negara Pasundan yang didirikan oleh Soeria Kertalegawa sesungguhnya masih belum jelas. Hal itu dikarenakan adanya aktivitas-aktivitas golongan Republiken yang membuat pamflet-pamflet dan seolah-olah ditandatangani oleh Soeria Kartalegawa sendiri. Isi pamflet itu menyatakan bahwa ia mencabut Proklamasi Negara Pasundan dan menyatakan loyal kepada pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan itu dikeluarkan pada tanggal 6 Mei 1947. Hal ini sungguh meragukan, karena pada tanggal 11 Mei 1947, PRP (Partai Rakyat Pasundan) masih mengadakan rapat umum di Jakarta. Pada akhir bulan itu juga bahkan PRP mengadakan gerakan-gerakan teror dengan menculik sejumlah pejabat Republik Indonesia di Bogor.[28]

Bahwa Soeria Kartalegawa dituduh dengan predikat sebagai “kaki tangan NICA”, bukan tidak diketahuinya. Dalam sidang Parlemen Pasundan pada tanggal 14 Mei 1948, Soeria Kartalegawa pernah mengalihkan pembicaraan kepada ungkapan isi hatinya dengan menyatakan:

Dahoeloe golongan Repoebliken telah membladjar anak2 disekolah oentoek bernjanji dan njanjian itoe semata-mata ditoedjoekan kepada diri saja. Njanjian itoe dinjanjikan dihadapan saja oleh seorang keponakan perempoean jang beroesia 7 tahoen, tersaksi oleh seorang opsir KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger, sz). Peristiwa ini terdjadi pada waktoe masih ada demarcatielijn jang dahoeloe, dan boenjinja njinjian itoe adalah sebagai berikoet:

Halo2 Garoet, kota aman djadi riboet.

Halo2 Garoet, tempat orang toekang tjatoet.

[…]

Boepati Garoet dahoeloe SoeriaNICAlegawa.

Marilah boeng kita tangkap dia.[29]

Masih dalam pidatonya, Kartalegawa meneruskan:

Ini njanjian adalah semata-mata oentoek membangkitkan kebentjian ra’jat terhadap diri saja, sebagai seorang Agen Nica, sebagai pemimpin gerakan jang didirikan oleh Nica, katanja.[30]

Dan terhadap ketetapan hati Soeria Kartalegawa untuk memilih sikapnya dapat dilihat dalam kata-katanya sebagai berikut:

Walaupoen saja seorang Moeslimin, akan tetapi saja dengan sepenoehnja menjetoedjoeinja perkataan jang dioetjapkan oleh Paus dalam Paasboodschap-nja, dan jang demikian boenjinja: “Dalam masa ketakoetan dan bahaja, maka doenia haroes mengambil poetoesan2 jang tidak dapat dibatalkan lagi. Pada waktoe ini tidak ada tempat bagi jang bersikap setengah-setengah dan beragoe-ragoe, jang berpendapat bahwa dapatlah ia mengabdi kepada doea madjikan.[31]

Siapa yang dianggap oleh Soeria Kartalegawa sebagai orang-orang yang mempunyai dua majikan atau tuan itu? Dalam pandangan Soeria Kartalegawa, mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan Konferensi Jawa Barat III untuk memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun cara perjuangan itu, menurut mereka, disebut sebagai taktik saja.

Penutup

Pencarian suatu kerangka penjelasan untuk memahami interaksi antara tindakan individu dengan struktur-struktur masyarakatnya kiranya perlu dilakukan. Faham individualisme dalam penulisan sejarah dapat dilihat dari cara pengungkapan yang cenderung unik, bahwa peristiwa-peristiwa terpisah dari struktur-struktur (nilai-nilai dan aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat). Sebaliknya, faham holisme memandnag tindakan manusia luluh sepenuhnya di dalam kerangka struktur masyarakat. Interaksi antara struktur mikro dan makro itulah kiranya yang dapat menjelaskan sejarah secara kompherenshif, dengan pendekatan strukturis. Faham strukturis memandang masyarakat sebagai struktur nyata dari perangkat aturan, peranan-peranan, relasi-relasi, dan makna-makna yang dihasilkan, dan berubah oleh peran individu yang merupakan kondisi sebab-akibat dari tindakan, keyakinan, dan keinginan-keinginannya.[32]

Demikianlah maka dapat dijelaskan mengapa ungkapan-ungkapan tentang Soeria Kertalegawa dikaitkan dengan strategi Van Mook untuk menerapkan nagara federal, tidak sepenuhnya tepat. Oleh karena potensi Soeria Kertalegawa sebagai individu seolah-olah tertelan oleh struktur makro secara begitu saja. Hal itu misalnya dapat dilihat pada keragu-raguan Van Mook sendiri kepada kemampuan Soeria Kartalegawa.

Sementara itu dalam diri Sewaka nampak bahwa potensi pribadinya dapat mempengaruhi struktur makro (baca: kolonial) berapapun skalanya. Dalam perkembangan selanjutnya, struktur makro Revolusi Indinesia telah “membawa” jalan yang bergerak lurus bagi Sewaka untuk menapaki sejarah Indonesia. Tetapi hal ini nampaknya tidak dialami dan dirasakan oleh Soeria Kartalegawa.

DAFTAR PUSTAKA

Burke, Peter. 1991. “Overture the New History: Its Past and its Future” dalam Peter Burke (Ed.). New Perspectives on Historical Writing. Cambridge: Polity Press.

Cribb, Robert. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta, 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni. Terjemahan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Gunseikanbu. 1944. Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa. Djakarta: Guneikanbu, 2604, tjet.pertama.

Kahin, George McT.. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Lloyd, Christopher. 1993. The Structures of History. Oxford: Blackwell.

Sewaka. 1955. Tjorat Tjaret dari Djaman ke Djaman. Bandung: t.p..

Sjamsuddin, Helius et.al.. 1992. Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan. Jakarta: Proyek IDSN Depdikbud RI.

Soedjatmoko. 1991. “Pilihan dan Peluang Revolusi Indonesia Setelah 45 Tahun: Beberapa Refleksi Pribadi” dalam Sejarah, No.1. Jakarta: PT Gramedia dan MSI Pusat.

Sutherland, H.. 1973. “Notes on Java’s Regent Families” dalam Indonesia, No.16 [Oktober]. Ithaca, New York: Cornell Univiersity Press.

Tuhuteru. t.t.. Riwajat Singkat Berdirinja Negara Pasoendan. Djakarta: Penerbit Djawatan Penerangan Pemerintah.

Van der Wal, S.L.. 1981. Officiele Beschieden Betreffende de Nederlandsch-Indonesische Betrekkingen 1945-1949, Achste Deel. s’-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Yong Mun Cheong. 1982. H.J. Van Mook and Indonesian Independence: A Study of His Role in Dutch-Indonesian Relation, 1945-1948. The Hague: Martinus Nijhoff.

Arsip:

“Notulen Sidang Badan Perwakilan Sementara Negara Djawa Barat, 1 Maret 1948” dalam Algemeene Secretarie, No.1221. Jakarta: ANRI.

“Notulen Sidang Konferensi Djawa Barat III, 23 Februari 1948” dalam Algemeene Secretarie, No.1221. Jakarta: ANRI.

“Notulen Sidang Parlemen Negara Pasundan, 14 Mei 1948” dalam Algemeene Secretarie, No.1223. Jakarta: ANRI.

Surat Kabar:

Api Rakjat. Madiun: 6 Mei 1947.

Wawancara:

Machfudi Mangkudilaga dengan R.A.A. Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa. Jakarta: 4 Desember 1974, kaset tersimpan di ANRI Jakarta.

Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum. adalah Staf Pengajar di Jurusan Sejarah FIPB Universitas Indonesia (UI) Jakarta; dan Kepala Direktorat Sejarah dan Budaya Departemen Pariwisata dan Kebudayaan RI. Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada tanggal 4 April 1953. Menyelesaikan pendidikan sarjana (Drs.) di Jurusan Sejarah FS-UI Jakarta pada tahun 1979; pendidikan S-2 (M.Hum.) di Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana UI Jakarta tahun 1991; dan pendidikan S-3 (Dr.) di universitas yang sama pada tahun 1999. Menulis buku, di antaranya adalah Cilacap, 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya suatu Pelabuhan di Jawa (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002). Untuk kepentingan akademis, Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum. dapat dihubungi dengan alamat: Depok Indah Blok E No.1, Jl. Margonda Raya, Depok 16423. Tlp.(021) 7521268.

[1]Tulisan ini pada mulanya berjudul “Pemerintah Gerilya Sewaka dan Negara Pasundan Suria Kartalegawa: Suatu Dinamika Politik di Daerah Pendudukan di Jawa Barat”; pernah disajikan dan didiskusikan dalam Seminar Revolusi Indonesia di Tingkat Lokal yang diselenggarakan oleh UNDIP (Universitas Diponegoro) Semarang, pada tanggal 13-15 Oktober 1994 di Bandungan, Semarang, Jawa Tengah; serta pernah dimuat dalam Zulfikar Ghazali (Ed.), Sejarah Lokal: Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Proyek IDSN Ditjarahnitra Depdikbud RI, 1995), hlm.120-33. Untuk kepentingan penerbitan di jurnal ini, judul mengalami perubahan seperti di atas.

[2]Soedjatmoko, “Pilihan dan Peluang Revolusi Indonesia Setelah 45 Tahun: Beberapa Refleksi Pribadi” dalam Sejarah, No.1 (Jakarta: PT Gramedia dan MSI Pusat, 1991).

[3]Peter Burke, “Overture the New History: Its Past and its Future” dalam Peter Burke (Ed.), New Perspectives on Historical Writing (Cambridge: Polity Press, 1991), hlm.5.

[4]Gunseikanbu, Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa (Djakarta: Guneikanbu, 2604 [1944], tjet.pertama), hlm.77.

[5]Untuk bagian ini, dan seterusnya, saya masih bertumpu pada tulisan Sewaka, Tjorat Tjaret dari Djaman ke Djaman (Bandung: t.p., 1955).

[6]Ibid., hlm.35-6.

[7]Ibid., hlm.83.

[8]Lihat Robert Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta, 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Terjemahan (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm.139-40.

[9]Sewaka, 1955, Tjorat-Tjaret …, hlm.99-105.

[10]Ibid..

[11]Helius Sjamsuddin et.al., Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan (Jakarta: Proyek IDSN Depdikbud RI, 1992), hlm.33.

[12]Ibid..

[13]H. Sutherland, “Notes on Java’s Regent Families” dalam Indonesia, No.16 (Ithaca, New York: Cornell Univiersity Press, Oktober 1973), hlm.113.

[14]Lihat “Notulen Sidang Konferensi Djawa Barat III, 23 Februari 1948” dalam Algemeene Secretarie, No.1221 (Jakarta: ANRI).

[15]Ibid..

[16]Tuhuteru, Riwajat Singkat Berdirinja Negara Pasoendan (Djakarta: Penerbit Djawatan Penerangan Pemerintah, t.t.), hlm.4.

[17]Lihat “Notulen Sidang Badan Perwakilan Sementara Negara Djawa Barat, 1 Maret 1948” dalam Algemeene Secretarie, No.1221 (Jakarta: ANRI), hlm.6.

[18]H. Sutherland, 1973, “Notes on Java’s …”, hlm.130-31.

[19]Ibid..

[20]Gunseikanbu, 1944, Orang Indonesia …, hlm.93.

[21]Wawancara Machfudi Mangkudilaga dengan R.A.A. Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa (Jakarta: 4 Desember 1974), kaset tersimpan di ANRI Jakarta.

[22]George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1952), hlm.147.

[23]Lihat S.L. Van der Wal, Officiele Beschieden Betreffende de Nederlandsch-Indonesische Betrekkingen 1945-1949, Achste Deel (s’-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1981), hlm.629.

[24]Wawancara Machfudi Mangkudilaga dengan R.A.A. Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa (Jakarta: 4 Desember 1974), kaset tersimpan di ANRI Jakarta.

[25]Ibid..

[26]Ibid..

[27]Yong Mun Cheong, H.J. Van Mook and Indonesian Independence: A Study of His Role in Dutch-Indonesian Relation, 1945-1948 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), hlm.107.

[28]Lihat Robert Cribb, 1990, Gejolak Revolusi …, hlm.148; dan surat kabar Api Rakjat (Madiun: 6 Mei 1947).

[29]Lihat “Notulen Sidang Parlemen Negara Pasundan, 14 Mei 1948” dalam Algemeene Secretarie, No.1223 (Jakarta: ANRI).

[30]Ibid..

[31]Ibid..

[32]Christopher Lloyd, The Structures of History (Oxford: Blackwell, 1993).

Comments are closed.