Ecopedagogy dan Green Curriculum dalam Pembelajaran Sejarah

Oleh: Nana Supriatna

Universitas Pendidikan Indonesia

Rasional

Isu tentang kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan hidup yang memiliki sumber daya alam yang terbatas serta keadilan sosial merupakan salah satu isu historis yang berlangsung sepanjang jaman yang diangkat oleh para pendukung ecopedagogy dan green curriculum. Ecopedagogy, yang semula berkembang dalam pendidikan lingkungan hidup (Kahn, 2008), merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang didukung oleh teori kritis (critical theory) dan pedagogy kritis (Giroux, 2005) yang menghendaki adanya proses pembelajaran yang memberdayakan (empowering) serta kesadaran tentang adanya eksploitasi dari satu kelompok yang memiliki hegemoni kekuasaan secara politik, ekonomi, budaya dan serta ideologi terhadap kelompok lain. Eksploitasi tersebut juga bersifat historis karena berlangsung sepanjang sejarah perjalanan umat manusia. Oleh karena itu, ecopedagogy bisa menjadi salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memperdayakan para peserta didik tentang pentingnya mereka memberdayakan serta pembebasan diri dari belenggu kekuasaan dari kelompok yang memiliki kuasa (power).  Dalam sejarah, hegemoni bisa dilakukan oleh penjajah terhadap yang dijajah, dari satu jender terhadap jender lain, dari kekuatan kapitalis pemilik modal kepada para konsumen, dari pemilik kekuasaan kepada yang dikuasai, dari pemilik penguasa teknologi kepada para konsumen produk teknologi, dari pemilik informasi kepada para pemirsa, dan lain-lain yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cara pandang ecopedagogy, para siswa harus diberdayakan untuk memiliki pandangan kritis tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keterbatasan sumber daya alam , serta kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang semakin berubah agar power (kuasa) melekat dalam diri mereka sehingga tidak menjadi korban dari hegemoni kelompok lain.  Cara pandang ini juga relevan dengan pendekatan green curriculum atau kurikulum hijau. Kurikulum tersebut dapat berisi program pendidikan yang di dalamnya menyiapkan peserta didik memiliki pemahaman dan keterampilan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Green curriculum dapat didefinisikan sebagai program dan proses pendidikan that incorporates principles of sustainability enables all people to become effective, engaged, global citizens by empowering them with the knowledge, values & skills to promote a future that is socially just, and humane, economically viable, ecologically sound, supporting healthy quality of life and holistic well-being” (Sustainable Peralta Green Curriculum Subcommittee, 07 Nov 2006)

Dengan demikian, pembelajaran sejarah yang menggunakan ecopedagogy dan green curriculum dapat menyiapkan para peserta didik menjadi pelaku sejarah masa depan yang lebih adil, bersifat humanis, dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Dalam pembelajaran sejarah, ecopedagogy dan green curriculum dapat digunakan antara lain dalan dua hal. Pertama, sebagai pendekatan untuk memilih materi pelajaran sejarah tentang masalah lingkungan hidup, kerusakan lingkungan, bencana  kemanusiaan, pemasan global yang berlangsung dalam perjalanan sejarah umat manusia yang disebabkan oleh adanya hegemoni pemilik kuasa (power) atas kelompok lain. Kedua, sebagai cara pandang kritis (critical theory) yang relevan dengan pemikiran postmodernism tentang pentingnya otonomi para siswa untuk menentukan jalan hidupnya pada masa yang akan datang, tentang pentingnya menggali kearifan lokal masyarakat (termasuk sejarah lokal) dalam beradaptasi dengan lingkungan hidup, serta tentang pentingnya mengembalikan posisi biner (binari) kepada masyarakat setempat (masyarakat lokal) seperti diungkap oleh para pendukung postcolonial theory. Cara pandang kritis tersebut dapat difasilitasi dengan menggunakan konsep dalam ecopedagogy sebagai bagian dadri critical pedagogy.

Materi Pembelajaran Sejarah dalam Ecopedagogy

        Ecopedagogy mengangkat isu lingkungan hidup sebagai materi pembelajaran. Isu lingkungan hidup bersifat historis karena menyangkut perjalanan sejarah umat manusia sepanjang jaman. Sebagai contoh,  masyarakat pra-aksara di Indonesia dihadapkan pada pentingnya melatih diri kemampuan menaklukkan alam serta beradaptasi dengan lingkungan alam yang ganas. Mereka memiliki keyakinan bahwa jika mereka tidak memiliki kemampuan tersebut maka mereka tidak bisa bertahan hidup di tengah-tengah ganasnya alam. Masyarakat yang hidup di sekitar sungai-sungai besar di kawasan Sungai Nil Mesir, Mesopotamia Irak, Gangga India, Hong Ho China, dan lain-lain pada jaman berkembangnya peradaban tua berusaha menghadapi tantangan aliran sungai yang kerap meluap sehingga menyebabkan bencana alam. Mereka berusaha menaklukkannya  agar kehidupan mereka tetap berlangsung. Namun demikian, perjalanan umat manusia juga ditandai dengan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri dalam mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.  Hasil riset pada masyarakat kontemporer yang antara lain dilakukan oleh  Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) serta puluhan badan riset dalam kelompok G-8 (negara-negara maju) dan G-20 (negara ekonomi besar berjumlah 20) menyimpulkan bahwa peningkatan suhu permukaan bumi, kerusakan lingkungan hidup serta terkurasnya sumber daya alam disebabkan oleh aktivitas manusia sepanjang sejarah. Dalam skala global, eksploitasi sumber daya alam yang semakin intensif di berbagai kawasan dunia dilakukan oleh masyarakat industri yang nampaknya tidak memiliki kompetensi/kecerdasan ekologis. Dalam skala nasional dan lokal, perilaku konsumtif pada peserta didik di sekolah di Indonesia dalam menggunakan barang berbasis sumber daya alam serta gaya hidup yang tidak ramah lingkungan tidak pernah terpecahkan atau kurang menjadi bagian dari isu pembelajaran di kelas (Khan, 2008). Secara kasat mata, budaya malas bepergian dengan jalan kaki dan menggantinya dengan kendaraan bermotor, bertebarannya sampah di lingkungan sekolah dan kampus, beralihfungsinya toilet menjadi tempat buang tisu, puntung rokok, pembungkus dan lain-lain seperti dapat disaksikan di sebagian besar sekolah menunjukkan bahwa kalangan terdidik tidak memiliki kompetensi/kecerdasan ekologis. Oleh karena itu, apabila asumsi lulusan sekolah diyakini akan berperan sebagai agent of change di masyarakat, yaitu agen dalam mengembangkan perilaku masyarakat (termasuk masyarakat belajar di kelas) yang memiliki pengetahuan, wawasan, sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi sustainable development dan yang sadar dengan keterbatasan sumber daya alam dan adanya isu global warming, maka pengembangan materi pembelajaran sejarah perlu ditambahklan dengan pendekatan ecologis dengan menggunakan pembelajaran yang bersifat ecopedagogis.

Pengembangan green curriculum dan ecopedagogy dalam proses pembelajaran sejarah perlu mengangkat isu-isu yang berkembang dalam masyarakat seperti:

  1. Perjalanan sejarah umat manusia ditandai dengan masalah lingkungan seperti berkurangnya luas lahan hutan karena deforestasi; berkurangnya lahan pertanian karena industrialisasi, berkurangnya sumber daya alam akibat ekspoitasi yang berlebihan untuk memenuhi konsumsi masyarakat akan kertas serta program pembelajaran (dengan menggunakan kurikulum konvensional) yang boros dengan penggunaan kertas, listrik, dan konsumsi berbasis sumber daya alam lainnya.
  2. Sejarah mencatat adanya eksploitasi penggunaan air di perkotaan terutama sejak berlangsungnya urbanisasi dan industrialisasi. Hasil riset menunjukkan bahwa air tanah di perkotaan di dunia tidak akan cukup untuk memenuhi konsumsi pada 25 tahun yang akan datang. Di kawasan pertanian, banyak dilaporkan tentang terjadinya lahan kering karena suplai air dari irigasi tidak mencukupi lagi. Jadi, diperlukan pendidikan dan pembelajaran sejarah untuk menghemat penggunaan air.
  3. Sejarah mencatat beberapa peristiwa bencana alam yang tidak hanya disebabkan oleh faktor alamiah melainkan juga manusiawi atau perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan seperti membuang sampah tidak pada tempatnya atau suka menebang pohon pelindung. Prediksi ahli lingkungan menyatakan bahwa 100 juta orang terancam banjir setiap tahun di berbagai negara karena kerusakan lingkungan.
  4. Sejarah sosial mencatat munculnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh perialaku manusia. Salah satu perilaku yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit adalah eskploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam yang menyebabkan. Climate change yang disebabkan oleh perilaku manusia berdampak pada munculnya penyakit yang disebabkan oleh polusi udara, suara, air dan kualitas lingkungan hidup di tempat tinggal buruk. Hasil riset menunjukkan bahwa munculnya wabah penyakit seperti SARS, flu burung, demam berdarah dan lain-lain disebabkan oleh perubahan iklim dan global warming.
  5. Sejarah revolusi industri di berbagai negara mencatat adanya peningkatan penggunaan mesin pabrik dan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil (minyak bumi). Penggunaan mesin dan kendaraan pada masyarakat industri telah menghasilkan emisi dan menyebabkan semakin buruknya kualitas udara di lingkungan perkotaan dan membantu meningkatkan global warming. Pada puluhan tahun yang akan datang, diprediksi bahwa species tanaman dan hewan akan musnah. Diperlukan pembelajaran sejarah untuk mengangakt isu tersebut dengan tujuan menjaga kelestarian lingkungan, membentuk sikap bijak dalam bepergian dan bertransportasi.
  6. Sejarah sosial mencatat bahwa masyarakat industri merupakan konsumen yang tidak ramah lingkungan. Mereka mengkonsumsi makanan dan minuman dengan mengunakan pembungkus plastik dan kaleng (sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui) dan tidak memiliki keterampilan sosial untuk membuangnya pada tempat sampah. Diperlukan pembelajaran sejarah untuk menyadarkan para siswa tentang pentingnya menjadi pelaku sejarah sebagai masyarakat konsumen yang kritis dan bijak dalam hal mengkonsumsi barang.
  7. Konflik ideologi antara antara kapitalisme, sosialisme, komunisme, neoliberalisme dan lain-lain dalam sejarah telah meningkatkan eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berlebihan. Masyarakat pinggiran di negara-negara berkembang lebih banyak menjadi korban dan kelompok termarjinalkan dari lingkungan  ekologisnya akibat hegemoni dari konflik ideologi tersebut.

Pembelajaran Sejarah Berbasis Ecopedagogy

Pembelajaran Sejarah berbasis ecopedagogy bertujuan untuk  menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi atau kecerdasan ekologis. Kecerdasan yang dimaksud adalah berupa pemahaman tentang pembangunan berkelanjutan, pemahaman tentang semakin terbatasnya sumber daya alam, memiliki sikap hemat menggunakan bahan berbasis sumber daya alam, kemampuan beradaptasi atau hidup selaras dengan lingkungan yang menjunjung tinggi keadilan demi menyiapkan generasi yang akan datang yang akan dihadapkan pada persoalan-persoalan ekologis.

Untuk mencapat tujuan itu, diperlukan pemahaman guru sejarah yang lebih luas mengenai isu tentang kerusakan lingkungan hidup sepanjang perjalanan sejarah umat manusia serta kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat internasional seperti Protokol Kyoto yang berisi pembatasan emisi gas buang, pembatasan penggunaan bahan bakar fosil, pengurangan deforestasi/penebangan hutan, atau pembatasan konsumsi terhadap produk yang berbasis sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui (unrenewable). Diperlukan juga penyiapaaan guru sejarah yang memiliki semangat gerakan hidup selaras dengan alam seperti yang tercermin dalam gerakan-gerakan dalam masyarakat terdidik di berbagai kawasan dunia seperti  ecomunity, green building, green living, green architecture, eco-city or green city, clean and green production, green province (contoh RTRW Jawa Barat, 2009-2029). Perlu dimasukkan pula dalam materi sejarah tentang gerakan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (NGO) seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace dan lain-lain yang menentang kebijakan pemerintah dan kapitalist yang mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Ecopedagogy dalam pembelajaran sejarah dapat menggunakan konsep yang diambil dari ilmu sejarah serta dari ilmu-ilmu sosial. Konsep tersebut dapat menjadi jembatan penghubung antara masalah-masalah historis dengan persoalan-persoalan lingkungan hidup (ekologis) pada masa kini. Beberapa konsep dan interpretasi dari konsep dapat dikembangkan oleh guru sejarah di bawah ini.

No Konsep Interpretasi dan pengembangan ecopedagogy
1 Masyarakat pra-aksara Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan

Kosmologi lingkungan hidup masyarakat tradisional

2 Peradaban tua di dunia Theory challange and response

Pengembangan iptek tentang lingkungan alam

Kemampuan masyarakat sekitar sungai dalam menendalikan alam dan hidup selaras dengan alam

Mengobservasi kehidupan masyarakt kontemporer di sepanjang aliran sungai di perkotaan atau pedesaan lingkungan sekolah

3 Revolusi Industri Dampak revolusi industri pada lingkungan hidup

Eksploitasi sumber daya alam untuk industri

penggunaan mesin berbahan bakar fosil

Perilaku konsumtif berbasis sumber daya alam

4 kapitalisme Penumpukan kapital berbasis hasil eksploitasi sumber daya alam

Hegemoni kapitalisme atas masyarakat konsumen

5 Imperialisme Ekspoitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia masyarakat terjajah

Penjajahan berbentuk ekonomi melalui produk-produk konsumtif berbasis sumber daya alam

6 Gerakan rakyat menentang imperialisme Kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan

Pemberdayaan masyarakat lokal

7 nasionalisme Gerakan untuk melawan kekuatan asing yang merusak lingkungan hidup

Gerakan untuk mencintai produk ramah lingkungan

Pembangunan berkelanjutan

8 Kemerdekaan Merdeka dari dampak buruk industrialisasi

Merdeka dari ketidakseimbangan akses terhadap sumber daya alam yang tersedia di lingkungan setempat

Merdeka dari polusi

9 Modernism Narasi besar tentang sejarah Barat sebagai pusat

Narasi besar tentang posisi manusia sebagai penguasa alam

9 Dan lain-lain Dapat dikembangkan oleh guru sejarah

 

Hasil penelitian yang dilakukan oleh National Research Council di Amerika Serikat, khususnya mengenai bagaimana siswa belajar sejarah merekomendasikan pentingnya penggunaan substantive concepts seperti perubahan, evidensi, nasionalisme, raja, kerajaan, kebudayaan, negara, ideologi, bangsa, imperialisme, kolonialisme, kesinambungan, dan lain-lain dalam pembelajaran sejarah sebab konsep-konsep tersebut menjadi dasar bagi siswa untuk menumbuhkan historical conciousness. Kesadaran tentang hidup beradaptasi dengan lingkungan merupakan bagian dari historical consciousness.  Konsep-konsep tersebut juga dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah yang menggunakan pendekatan ecopedagogy. Konsep-konsep tersebut bisa saja berasal dari disiplin ilmu sosial lain yang dipinjam dalam pembelajaran sejarah untuk membantu para peserta didik memahami topik dan peristiwa yang dipelajarinya. Konsep perlu dipelajari sejak awal oleh para siswa agar mereka memperoleh pemahaman faktual serta pengetahuan konsep untuk memahami fakta serta gagasan yang berkembang dalam sejarah. (Lee, 2005: 61, 65).

Namun demikian, karena substantive concepts dalam sejarah selalu berubah sesuai dengan konteks jamannya dan oleh karena itu tidak selalu relevan dengan persoalan-persoalan kontemporer (Lee, 2005:61) serta sering kali tumpang tindih  dengan berbagai disiplin (Gilbert and Vick (1996: 47) maka analytical concept dapat dipakai dalam mengembangkan pembelajaran setelah substantive concepts dikuasai oleh para siswa, baik melalui proses pembelajaran maupun melalui pengalaman terdahulu. Dalam hal ini pandangan postmodernism serta critical pedagogy mengenai realitas yang bersifat subjektif yang dipengaruhi oleh wacana (discourse) mengenai kuasa (power), kelas, jender, etnisitas, ras, dan lain-lain dapat dipakai sebagai rujukan untuk mengembangkan penggunaan analytical concepts dalam pembelajaran sejarah yang berorientasi pada persoalan-persoalan ekologis.

Apabila analytical conceps dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, maka sebenarnya konsep tersebut sangat relevan dengan ecopaedagogy yan menjadi bagian dari pedagogy kritis (critical pedagogy) yang dikembangkan oleh Giroux (1995, 2000).  Analytical concepts bersifat kritis (critical) apabila diarahkan untuk mengkritisi status quo dalam dinamika kehidupan masyarakat sepanjang sejarah manusia yang dipengaruhi oleh hegemoni dan dominasi kuasa (power) atas satu golongan terhadap golongan lain. Dalam sejarah, hegemoni terjadi atas penguasa dengan yang dikuasai, penjajah dengan yang dijajah, mayoritas atas minoritas, laki-laki atas perempuan, ras tertentu terhadap ras lainnya, dan kelompok etnik tertentu atas etnik lainnya. Dominasi tersebut telah terinternalisasi dalam wacana (discourse) yang secara formal telah terinternalisasi dalam lembaga kenegaraan/kerajaan, hukum, ekonomi, dan termasuk dalam system pendidikan. Sedangkan secara informal, nampak pada wacana kelas/golongan  sosial, gender, dan kelompok rasial atas etnik. (Gilbert and Vick (1996: 54).

Analytical concept juga bersifat kritis apabila dikembangkan oleh guru sejarah dalam pembelajaran dengan tujuan untuk mempersoalkan keadilan sosial (social justice) yang menjadi isu klasik dan kontemporer. Tatanan sosial masyarakat sepanjang sejarahnya dipengaruhi oleh isu mengenai ketidakadilan dan  ketidaksaman (inequality) , terutama dalam emngakses sumber-sumber daya alam, yang nampaknya tidak dapat dianalisis hanya dengan menggunakan sunstative concepts. Sistem penyelengaraan kerajaaan dimana raja boleh memiliki banyak istri atau selir, menerima upeti, mengatur sistem ekonomi, memperoleh gelar kebangsawanan, memonopoli penguasaan aset negara dan lain-lain adalah hal-hal yang dapat diterima dalam sejarah dan secara substantive dapat disampaikan kepada para peserta didik.

Namun demikian, apabila konsep-konsep seperti itu yang disampaikan maka pembelajaran sejarah hanya terpaku pada jaman yang menjadi pokok bahasan. Para siswa hanya dibekali dengan jiwa jaman pada ruang sejarah (historical space) yang menjadi bahan kajian. Sebaliknya, apabila pembelajaran mengenai kerajaan tertentu dianalisis dengan menggunakan analytical concepts seperti patriarchi dan feodalisme, misalnya, maka para peserta didik dapat diajak untuk memahami isu-isu atau masalah-masalah klasik dan kontemporer mengenai dominasi laki-laki atas perempuan, penguasa atas rakyat, kelompok dominan atas tidak dominant, elite parpol atas masa pendukung,  pusat atas daerah, keraton (istana) atas balai rakyat, dan lain-lain. Dengan dua analytical concept tersebut maka para peserta didik dapat diajak berpikir kritis atau melakukan analisis mengenai isu-isu kontemporer seperti kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi tenaga kerja wanita di dalam dan luar negeri, perlombaan masyarakat untuk memperoleh gelar akademik sebagai “simbol kebangsawanan baru”, kerusakan sumber daya alam akibat keberpihakan elit pada golongannya atau kelompok tertentu, dan lain-lain sambil tetap menempatkan pembahasan tersebut dalam konteks pokok bahasan/topik yang sesuai dengan kurikulum yang dirujuk. Konsep patriarchi dan feodalisme dalam pembelajaran sejarah menjadi konsep yang bersifat analitis sebab hal itu akan terkait dengan masalah keadilan sosial – sesuai pandangan pedagogy kritis dalam tataran paradigma postmodernism – yang menyangkut isu/masalah klasik (sepanjang sejarah) dan kontemporer (masa kini) mengenai dominasi/hegemoni laki-laki atas perempuan, dominasi penguasa atas yang dikuasai, produsen (dalam tataran kapitalisme) atas konsumen.

Substantive concepts yang harus dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik dalam pembelajaran sejarah (Lee, 2005: 61) bisa bersifat analisis (analytical concepts) atau digunakan sebagai alat analisis apabila guru sejarah memiliki wawasan yang luas dalam memahami persoalan-persoalan atau isu-isu dalam sejarah dan dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Substantive concepts seperti ideologi, demokrasi, kapitalisme, imperialisme, komunisme, fasisme, nasionalisme, pancasila dan lain-lain bisa dipakai sebagai konsep yang bersifat analisis sebab ideologi-ideologi tersebut terkait dengan masalah representasi, kepentingan (interest) dan memiliki pengaruh/relasi kuasa (power relation) satu pihak/kelompok atas kelompok/pihak lain seperti yang diusung oleh para pendukung pedagogy kritis (Giroux, Freire, Habermas, dan lain-lain). Sebagai contoh, ideologi tidak hanya secara substantive merupakan sistem yang abstrak mengenai gagasan (ideas) dan keyakinan melainkan juga bersifat analitis karena terkait dengan cara berpikir (ways of thinking) dalam keluarga, sekolah masyarakat, dan negara, simbol budaya bangsa dan negara, sistem hukum dan pemerintahan sekaligus sebagai alat kekuasaan yang mengandung unsur kuasa (power) di dalamnya. Melalui pandangan ini, pembelajaran sejarah mengenai topik kolonialisme dan imperialisme di Negara-negara Asia-Afrika, ideologi komunisme di Uni Soviet, Fasisme di Italia, Naziisme di Jerman, Pancasila di Indonesia, atau ideologi lain di Negara tertentu – sesuai topik/pokok bahasan dalam kurikulum – dapat memfasilitasi para siswa menggunakan konsep ideologi untuk menganalisis relasi kuasa (power relation) dalam kehidupan masyakat kontemporer yang terdapat dalam atau melalui berita TV, berita koran, iklan, materi kurikulum, buku teks sejarah, dan lain-lain.

Dengan menggunakan analytical conceps  tentang ideologi di atas, para peserta didik tidak hanya dibekali dengan kemampuan dalam memahami materi sejarah tentang ideologi pada zaman tertentu melainkan juga penyadaran dan pemahaman sekaligus empowerment tentang adanya pengaruh power relation dan interest pemilik media TV atas pemirsa, pemilik produk iklan melalui pencitraan (image) sebagai power atas konsumen, interest/kepentingan pemilik koran atas pembaca, kepentingan Negara melalui kurikulum atas para siswa sebagai generasi yang ingin dibentuk menurut persepsi Negara, pengendalian wawasan kebangsaan yang ingin dikembangkan oleh Negara atas para peserta didik melalui buku teks dan lain-lain.  Dengan demikian, analytical concepts mengenai ideologi bisa menjadi penghubung antara materi sejarah tentang masa lalu dengan persoalan sosial kontemporer.

Melalui analytical concepts dalam pembelajaran sejarah diharapkan para siswa memiliki kemampuan dalam memahami korelasi analogis (Ferguson, 1996), komparasi linier (Mansilla, 2000), dan kerangka pikir sejarah yang lebih luas (a wider historical framework) (Lee, 2005: 65-72), atau hubungan simbolis dan analogis antara peristiwa terbunuhnya sejumlah orang di Negara Fasis-Italia, Nazi-Jerman dan Komunis-Uni Soviet pada awal dan pertengahan abad ke-20 dengan peristiwa terbutuhnya sejumlah orang di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah peristiwa G-30S/Tahun 1965 atau dengan terbunuhnya sejumlah orang di Era Reformasi  sebagai akibat dari dominasi/relasi kuasa ideologi. Hal yang sama, ketidakberdayaan masyarakat berhadapan dengan penguasa yang menggunakan ideologi sebagai kuasa (power) menurut persepsinya pada jaman sejarah tertentu dapat dianalogikan dan disimbolisasikan dengan ketidakberdayaan masyarakat masa kini, termasuk para siswa, berhadapan dengan serbuan beragam produk global yang disebarkan oleh perusahaan multinasional dan dikemas dalam industri citra melalui iklan di media masa (TV, koran dan internet). Dengan demikian, analytical concepts, – sebagai contoh ideologi – bisa menjadi penghubung antara peristiwa masa lalu dengan persoalan-persoalan kontemporer.

Contoh lain tentang perubahan dari pokok bahasan menjadi topik serta substantive concepts menjadi analytical concepts dapat dilihat pada pokok bahasan mengenai Peradaban Tua di Dunia (Peradaban Sungai Nil, Eufrat dan Tigris, Indus, dan Sungai Kuning) pada Kurikulum Sejarah SMP tahun 1994, 2004 atau 2006.  Pokok bahasan tersebut dapat dikembangkan menjadi topik mengenai peradaban (civilization) yang sekaligus sebagai substantive concepts. Namun demikian, substantive concepts  tersebut dapat juga ditambahkan dengan konsep challenge and response dari Arnold Toynbee. Dengan menggunakan teori/konsep tersebut, para siswa tidak hanya diberi informasi mengenai latarbelakang lahirnya peradaban tua di daerah lembah sungai besar tersebut melainkan juga dibekali dengan fasilitas untuk mengembangkan pemahaman bahwa bangsa-bangsa yang dihadapkan pada tantangan akan mendorong terjadinya kreatifitas untuk bertahan menghadapi tantangan (challenges) alam tersebut. Response kreatif terhadap tantangan tersebut telah melahirkan sebuah peradaban baru yang jauh lebih unggul dibandingkan dengan peradaban terdahulu. Penggunaan konsep challenge and response tidak hanya bersifat substantive melainkan juga analytical ketika hal itu digunakan sebagai alat analisis untuk melihat persoalan kontemporer berupa tidak berkembangnya peradaban masyarakat Indonesia dalam meresponse berbagai tantangan alam seperti semakin berkurangnya  ketersediaan sumber daya alam akibat eksploitasi yang berlebihan. Penjelasan tentang lahirnya peradaban tua dengan menggunakan konsep tersebut sebenarnya tidak hanya berdimensi pada jaman itu melainkan juga pada jaman dimana para siswa berada. Teori/konsep challenge and response dapat dipakai untuk menghubungkan antara lahirnya peradaban tua di dunia dengan “keharusan” melahirkan peradaban baru pada jaman sekarang melalui tindakan kreatif (responses) menghadapi berbagai tantangan (challenges) yang dihadapi oleh masyarakat kontemporer. Dengan demikian, penggunaan konsep tersebut juga bersifat problem oriented, – sebuah kondisi yang dikehendaki para pendukung pandangan postmodernism dan critical theory. Masalah sosial-budaya yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah lemahnya kreativitas bangsa, rendahnya etos kerja, mudah menyerah pada tantangan termasuk tantangan bencana alam berupa banjir sungai besar dan kebakaran hutan setiap tahun, dan lain-lain, dapat diangkat menjadi topik bahasan sejarah. Dengan demikian, melalui pembelajaran seperti ini guru sejarah tidak hanya memprovokasi para siswa dengan mengungkap berapa banyaknya persoalan (tantangan) yang sedang dihadapinya melainkan juga menjadikan mereka sebagai aktor/pelaku sejarah seperti halnya bangsa Mesir Kuno, Mesopotamia,  Lembah Sungai Indus dan Kuning pada jamannya, untuk meresponse beragam tantangan kontemporer dengan tindakan kreatif, kerja keras, hemat, berorientasi ke depan, dan lain-lain. Cara ini adalah sangat relevan dengan pandangan postmodernism, critical theory dan postcolonial theory (Said, 1978, Spivak, 1980) mengenai fokus kajian sejarah tentang menjadikan materi sejarah sebagai materi yang berfokus pada dinamika, isu dan persoalan ekologis masyarakat setempat sehingga pembelajaran sejarah lebih bermakna (meaningful) bagi para siswa.

Penutup

Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), ecopedagogy harus dapat mengembangkan proses pembelajaran sejarah yang melatih para siswa dengan hardskills dan softskills. Hardskills berhubungan dengan aspek pengetahuan krisis tentang sejarah umat manusia dalam berhubungan dengan lingkungan sosial dan alam serta masalah yang ditimbulkannya. Softskills berhubungan dengan sifat-sifat seperti ulet, kreatif, inovatif, profesional, percaya diri, dan santun berhubungan dengan kecerdasan ekologis berupa hemat menggunakan produk berbasis sumber daya alam, memiliki sifat dan sikap hidup selaras dengan alam, menggunakan keterampilan untuk menjaga kelestarian alam, serta mengaplikasikan sifat bijak yang diambil dari sejarah untuk hidup selaras dengan alam.

DAFTAR RUJUKAN

Cherryholmes. C. (1991). ‘Critical Pedagogy and Social Education’, in Shaver, J.P. (1991). Handbook of Research on Social Studies Teaching and  Learning, New York:  Macmillan Publishing Company.

Doll, W.E. Jr. (1993).  A Post-Modern Perspective on Curriculum, tersedia dalam http://www.great-ideas.org/30-5html, tanggal 27 Februari 2009.

Evans and Saxe, (1996), Handbook on Teaching Social Issues, Washington:  NCSS;

Ferguson, P. (1996). ‘Teaching Issues-Centered History’, in Shaver, James P, 1991, in Evans and Saxe, 1996,  Handbook on Teaching Social Issues,  Washington:  NCSS.

Gilbert, R and Vick, M. (1996). ‘The knowledge Base for Studying Society

and Environment’, in Gilbert, Rob, ed. (1996) Studying Society and

Environment, A Handbook for Teachers, Melbourne: Macmillan Education Australia, Pty. Ltd,

Giroux, H.A. (2005) What is Critical Pedagogy? (tersedia dalam internet:

http://www.perfectfit.org/CT/giroux5.html  tanggal 18 Desember 2005.

Hasan, S.H.  (1999).  ’Pendidikan Sejarah Untuk Membangun Manusia Baru

Indonesia’ dalam Jurnal Mimbar Pendidikan No. 2/XVIII/1999.

Hasan S.H. (2010), ‘The Development of Historical Thinking and Skills in the Teaching of History in the Senior Secondary School Curriculum in Indonesia’ dalam Historia, Internationa Journal of History Education, Vol XI No 2 December 2010.

Kahn, Richard (2008) Toward Ecopedagogy: Radicaling Environmental Education for the Taks Ahead, online,  tersedia dalam http: getvegan.com/ee.htm  13 Maret 2011

Kahn, Richard (2008) ‘From Education for Sustainable Development to Ecopedagogy: Sustaining Capitalism or Sustaining Life?’ dalam Green Theory &bPraxis: The Journal of Ecopedagogy Volume 4, No 1 2008.

Lee, P.J. (2005). ‘Putting into Practice: Understanding History’ in Donovan and

Bransford, ed. (2005), How Students Learn History in the Classroom,  The National Academy Press, Washington DC. www.nap.edu

Mansilla, V. B. (2000). ‘Historical Understanding: Beyond the Past and  into the

Present’, in Stern, Peter N. et al. (2000) Knowing, Teaching, and Learning History, New York: New York University Press.

Morrison, K.  (2001).   Jürgen Habermas (1929-….), in Palmer, J.A. (2001).

Lima Puluh Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Moderen (Fifty Modern Thinkers on Education), terjemahan,  Yogyakarta: IRCiSod.

Ornstein dan Hunkins (1998). Curriculum Foundation, Principles, and Issues, Needham Height,MA: Allyn & Bacon

Pinar, W. F. (2004). What Is Curriculum Theory? New Jersey: Lawrence Erlbraum Associates,Inc.

Said, E. (1978). Orientalism, New York: Vintage Book.

Slattery, P. (2006). Curriculum Development in the Postmodernism Era, New York:Roudledge

Spivak, G. (1988), Can the Subaltern Speak?” in Cary Nelson and Larry

Grossberg, eds. Marxism and the interpretation of Culture. (Chicago: Uni of Illinois Press, 1988) tersedia dalam internet: http://www.english.emory.edu/Bahri/Spivak.html  tanggal 8 Desember 2005.

Supriatna, N. (2011), ‘Pemecahan Masalah Sosial Melalui Pendidikan Karaker dalam PBM IPS di Sekolah’ makalah, disampaikan dalam kegitan Seminar Nasional, sebagai bagian dari Program Pengabdian Kepada Masyarakat Program Studi Pendidikan IPS, Purwakarta, 12 Maret 2011.

Supriatna, N., (2010) Pandangan Postmodernism dalam Mengembangkan Inovasi Pembelajaran IPS., Makalah, disampaikan dalam Seminar Pendidikan IPS SPs, UPI tanggal 22 Desember 2010.

Supriatna, N, (2008). Konstruksi Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah Sosial Kontemporer’, Ringkasan Disertasi, SPS UPI.

Supriatna, N, (2007). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis, Bandung: Historia Utama

Sustainable Peralta Green Curriculum Subcommittee, 07 Nov 2006,

Dr. Nana Supriatna, M.Ed, adalah dosen Program Studi Pendidikan Sejarah dan Program Studi Pendidikan IPS S-1 (FPIPS) dan S-2 (Sekolah Pascasarjana), Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Program Studi Pendidikan IPS S-1, FPIPS UPI.

Comments are closed.