Kekerasan Terhadap Rakyat: Kasus Peristiwa Lampung 1989

Oleh: Abdul Syukur

 Dimuat di HISTORIA: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.5, Vol.III (Juni 2002)

ABSTRAKSI:

Tujuan utama penelitian sejarah adalah untuk menemukan causal power. Dalam kasus Peristiwa Lampung tahun 1989, causal power itu tidak ditentukan oleh masalah sengketa tanah sebagaimana diberitakan oleh pers; tidak oleh gagasan mesianistik (Ratu Adil dan Imam Mahdi) sebagaimana dihipotesiskan seorang sejarawan; dan yang lebih absurd, tentu saja, tidak juga oleh tindakan subversif sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah. Tulisan ini memberikan perspektif lain bahwa masalah Peristiwa Lampung – yang merupakan bentuk kekerasan Negara terhadap Rakyat itu – nampaknya merupakan akibat saja dari tidak harmonisnya hubungan antara pemerintah Orde Baru di satu sisi dengan umat Islam Indonesia di sisi lain pada tahun 1970/1980-an.  

Pengantar

Dini hari 7 Februari 1989. Pihak militer Lampung, atas nama pemerintah Orde Baru, telah menghancurkan pemukiman kelompok pengajian di Umbul Cihideung yang menewaskan sebagian besar anggota kelompok pengajian, termasuk salah seorang pimpinannya yang bernama Warsidi. Menurut keterangan resmi pemerintah yang disampaikan oleh Panglima Daerah Militer (PANGDAM) II Sriwijaya, Mayor Jenderal R. Soenardi, hanya 27 orang yang tewas, 19 ditahan, dan 250 masuk daftar pencarian orang.[1] Sejumlah aktivis pengajian di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat ditangkap oleh jajaran Komando Daerah Militer (KODAM) masing-masing. Seperti istri dan anak-anak Azwar Kaili di tangkap di Painan, Sumatera Barat;[2] Arifin bin Karyan ditangkap di Merak, Jawa Barat;[3] Ikhwan Sidik, Sukardi, Nur Hidayat, dan Fauzi Isman ditangkap di Jakarta;[4] Baharudin dan Abdul Gani Masykur di tangkap masing-masing di Bima dan di Mataram, Nusa Tenggara Barat.[5]

Peristiwa 7 Februari 1989 itu dikenang dengan lima nama, yaitu; (i) Komando Mujahiddin Fisabilillah, (ii) Gerakan Pengacau Keamanan Warsidi, (iii) Peristiwa Cihideung, (iv) Peristiwa Talangsari, dan (v) Peristiwa Lampung. Tulisan ini akan menganalisis dan menjelaskan peristiwa kekerasan terhadap rakyat oleh pemerintah Orde Baru yang, untuk mudahnya, disebut dengan “Peristiwa Lampung”.[6]

Laporan Surat Kabar

Surat kabar nasional memberitakan Peristiwa Lampung setelah pemerintah, melalui Pangdam Sriwijaya Mayjen Soenardi, menyampaikan keterangan resmi pada tanggal 9 Februari 1989 di Palembang, Sumatera Selatan. Ia menuduh kelompok pengajian di Umbul Cihideung telah melakukan serangkaian kegiatan subversif untuk menumbangkan Presiden Soeharto. Beberapa alasan dikemukakannya. Pertama, memberikan khotbah bernada ekstrem, yakni menghasut masyarakat agar menentang pemerintah dan menumbuhkembangkan sikap anti terhadap Pancasila. Kedua, membuat panah-panah beracun dan mengumpulkan botol-botol kosong untuk dibuat bom molotov. Dan ketiga, melakukan kegiatan bela diri.[7]

Pengembangan berita surat kabar nasional tentang Peristiwa Lampung 1989 yang pada umumnya menjadikan keterangan resmi pemerintah sebagai sumber utama, membuat berita yang disajikan bersifat seragam dan cenderung membenarkan tindakan kekerasan pemerintah. Surat kabar nasional mengembangkan tuduhan pemerintah sehingga menimbulkan gambaran negatif tentang kelompok pengajian di Umbul Cihideung, seperti tidak mau bekerja gotong royong, tidak mengibarkan dan tidak menghormati bendera Merah-Putih dalam Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, mencaci-maki pemerintah, melakukan hubungan seks bebas karena seks adalah suatu rezeki yang tidak boleh ditolak berdasarkan doktrin “nikmatku adalah nikmatmu”, tidak memakai celana dalam maupun bra (BH/kutang), dan penganut aliran sesat lelampahan (perjalanan). Aliran lelampahan mewajibkan penganutnya untuk sholat di atas tanah tanpa alas, melarang mencari kekayaan dan melarang sholat bersama-sama dengan penganut agama Islam di luar kelompoknya.[8]

Gambaran negatif tentang kelompok pengajian di Umbul Cihideung Lampung itu dipertegas lagi dalam laporan rahasia Badan Intelijen ABRI yang mencatat pokok-pokok ajaran Warsidi, antara lain: (i) pemerintah Indonesia tidak syah karena tidak menggunakan hukum yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist; (ii) Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu ditaati karena buatan manusia; (iii) tidak mau menghormati bendera Merah-Putih, (iv) menentang program Keluarga Berencana karena pada hakekatnya KB adalah pembunuhan bibit manusia, (v) melarang pengikutnya menjadi pegawai negeri karena gaji pegawai negeri berasal dari hasil judi, dan (vi) menolak membayar pajak karena membayar pajak sama artinya dengan orang miskin membantu orang kaya.[9]

Situasi politik tahun 1989 tidak memungkinkan bagi surat kabar nasional untuk memberikan informasi yang berbeda dari keterangan resmi pemerintah. Dengan kata lain, surat kabar nasional telah menjadi corong pemerintah Orde Baru. Meski mengandung kelemahan, tapi informasi dari surat kabar nasional itu sangat bermanfaat dalam mempermudah penelitian karena surat kabar nasional juga ternyata tidak hanya menceritakan kronologi “Peristiwa 7 Februari 1989 di Lampung” itu, tetapi juga memaparkan data-data tentang perkembangan daerah-daerah yang diteliti seperti Umbul Cihideung, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah, dan Provinsi Lampung umumnya. Laporan perjalanan wartawan beberapa surat kabar nasional juga dilengkapi dengan informasi data-data tentang perkembangan penduduk beserta problematikanya.[10]

Peristiwa Lampung 1989 kembali diungkap surat kabar nasional setelah pemberlakuan kebebasan pers oleh Presiden B.J. Habibie (1998-1999) dan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001). Begitu juga dengan Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (SMALAM) di Lampung dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) di Jakarta telah mengumpulkan data yang berbeda dengan keterangan resmi pemerintah Orde Baru, terutama dalam masalah jumlah korban.

Tinjauan Historiografi

Buku pertama yang menulis tentang Peristiwa Lampung 1989 adalah karya P. Bambang Siswoyo, Peristiwa Lampung dan Gerakan Sempalan (Ttp: U.D. Mayasari, 1989). Karya Siswoyo pada dasarnya merupakan kumpulan berita dari surat kabar yang disusun tanpa memperhatikan aspek kronologi. Di samping itu, Siswoyo juga tidak mencantumkan surat kabar yang menjadi rujukannya. Analisa dalam karya Siswoyo sepenuhnya mengutip hasil seminar Yayasan Kajian Komunikasi Dakwah pada tanggal 11 Februari 1989 di Hotel Kartika Chandra Jakarta, hanya saja Siswoyo tidak mencantumkannya secara jujur.

Buku kedua tentang Peristiwa Lampung 1989 ialah karya Al-Chaidar, Lampung Bersimbah Darah: Menelusuri Kejahatan ‘Negara Intelijen’ Orde Baru dalam Peristiwa Jama’ah Warsidi (Jakarta: Madani Press, 2000). Karya Al-Cahidar ini dari segi sumber informasi lebih baik dari karya Siswoyo yang hanya mengandalkan berita surat kabar. Sumber utama Al-Chaidar diperoleh dari serangkaian wawancara dengan orang-orang yang terlibat dalam Peristiwa Lampung 1989 minus mantan pejabat militer dan sipil. Al-Chaidar nampaknya terlalu mempercayai informasi dari para informan. Di samping itu, ia juga telah mencampuradukkan antara informasi para informan tentang aktivitas mereka pada masa lalu dengan penafsiran informan sekarang terhadap aktivitas mereka pada masa lalu. Pencampuradukkan ini menyebabkan informasi yang diperoleh Al-Chaidar menjadi menyimpang, karena penafsiran informan terhadap peristiwa masa lalu telah dipengaruhi perkembangan zaman serta kepentingan politik maupun ekonomi informan yang bersangkutan.

Al-Chaidar juga memperoleh informasi yang sudah bercampur antara pengalaman informan dengan tafsiran informan terhadap semua aktivitas yang telah mereka lakukan di masa lalu. Misalnya, seorang informan dengan bersemangat mengisahkan tujuan aktivitasnya pada tahun 1989 di Umbul Cihideung yang merupakan persiapan untuk menyambut kejatuhan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Informasi ini jelas sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik pada tahun 1998 sehingga informasinya sama sekali tidak dapat digunakan sebagai data sejarah.

Kelemahan lain dari karya Al-Chaidar itu adalah ketidakjujurannya dalam mencantumkan sumber informasi untuk data-data yang eksklusif, seperti informasi keterkaitan antara Warsidi dengan kelompok bawah tanah Negara Islam Indonesia (NII). Al-Chaidar mendapati rujukan yang jelas dalam buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia, Jilid V, 1984-2000, tentang keterkaitan antara Warsidi dengan kelompok bawah tanah NII. Tujuan utama mengungkapkan keterkaitan dengan NII itu adalah untuk membuktikan kebenaran tuduhan pemerintah Orde Baru bahwa kelompok pengajian Warsidi mempunyai cita-cita ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Dari segi metodologi sejarah, kebenaran analisa buku ini – khususnya tentang Peristiwa Lampung sebanyak 5 halaman (39-43) – masih patut dipertanyakan. Buku ini hanya menggunakan satu sumber informasi dalam menguraikan Peristiwa Lampung, yaitu laporan rahasia Badan Intelijen Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (BIA), Operasi Garuda Lampung dalam Membina Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Laporan ini disusun oleh Direktur A BIA, Brigadir Jenderal Abdul Makhmud Hendropriyono. Ia adalah mantan Komandan Resort Militer 043 Garuda Hitam Lampung pada saat terjadinya Peristiwa Lampung 1989.[11] Buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia itu, dengan demikian, sama sekali tidak melakukan kritik sumber terhadap informasi dari laporan rahasia BIA tersebut.

Beberapa Hipotesa

Hipotesa pertama tentang Peristiwa Lampung 1989 diajukan oleh Pangdam II Sriwijaya, Mayjen R. Soenardi pada tanggal 9 Februari 1989 di Palembang, Sumatera Selatan, bahwa Peristiwa Lampung 1989 itu terjadi karena pemerintah ingin menumpas gerakan subversif  pimpinan Warsidi alias Anwar yang berpusat di Umbul Cihideung, Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah – Lampung. Tujuan gerakan subversif Warsidi itu adalah untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia.[12] Para pejabat negara Orde Baru pada waktu itu – seperti Panglima ABRI Jenderal Try Soetrisno, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (KABAKIN) Yoga Sugomo, Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani, Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan Sudomo – jelas mendukung hipotesanya Soenardi.[13]

Hipotesa kedua dikembangkan oleh surat kabar, yaitu bahwa Peristiwa Lampung merupakan akibat keresahan sosial. Di antara penyebab keresahan sosial di Lampung Tengah itu adalah kebijakan pemerintah Orde Baru pada tahun 1985 yang mengusir penduduk kecamatan Gunung Balak dengan alasan bahwa Gunung Balak diperlukan untuk hutan lindung sesuai dengan Peraturan Pemerintah Tahun 1937. Dengan kebijakan pemerintah seperti itu, penduduk setempat tidak hanya akan kehilangan tanah tapi juga tanaman kopi dan cengkeh yang siap dipanen itu menjadi gagal. Mereka kemudian memberikan perlawanan sehingga sempat berhadap-hadapan dengan aparat keamanan. Dan pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan represif untuk mengosongkan daerah sekitar Gunung Balak itu setelah kematian seorang polisi kehutanan dalam bentrokan dengan masyarakat.[14]

Hipotesa ketiga, diberikan oleh Martin van Bruinessen dalam acara seminar sehari pada tanggal 11 Februari 1989 di Hotel Kartika Chandra – Jakarta. Tema seminar adalah “Analisa Kritis Berkembangnya Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia” yang diselenggarakan oleh Yayasan Kajian Komunikasi Dakwah. Pusat perhatian hipotesa ketiga sangat berbeda dengan hipotesa pertama dan kedua, sebab hipotesa ketiga lebih memperhatikan fenomena kelompok pengajian Warsidi dalam kalangan umat Islam Indonesia.

Istilah “sempalan” merupakan padanan kata dari sekte atau sektarian yang mempunyai konotasi negatif seperti protes terhadap pemisahan dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim akan monopoli kebenaran dan pada saat bersamaan menganggap kelompok lain salah. Sebagaimana dikemukakan oleh Martin van Bruinessen bahwa:

Di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan, dan untuk segera melarangnya, sehingga sulit untuk membedakan antara gerakan sempalan dan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik. Hampir semua aliran, paham dan gerakan yang pernah dicap “sempalan” ternyata memang telah dilarang – atau sekurang-kurangnya diharamkan – oleh Majelis Ulama. Beberapa contoh yang terkenal adalah: Islam Jama’ah, Ahmadiyah Qodian, DI/TII, Mujahidin-nya Warsidi (Lampung), Syi’ah, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqom (Malaysia), Jama’ah Imran, gerakan usroh, aliran-aliran tasawuf berpaham wahdatul wujud, Tarekat Mufariridiyah dan gerakan Bantaqiyah (Aceh).[15]

Hipotesa keempat diberikan oleh Sartono Kartodirdjo dalam dua tulisan singkatnya di Harian Umum Kompas (Jakarta: 21 Pebruari 1989) yaitu “Pandangan Sejarah tentang Peristiwa Lampung”; dan Majalah Mingguan Editor, No.26, Th.II (Jakarta: 25 Pebruari 1989) yaitu “Peristiwa Lampung dalam Perspektif Sejarah”. Sartono Kartodirdjo dalam dua tulisannya itu menyimpulkan bahwa kelompok pengajian Umbul Cihideung adalah sebuah gerakan Ratu Adil. Ratu Adil adalah kepercayaan masyarakat Jawa tentang kemunculan sang juru selamat.[16]

Pembahasan dan Analisis

A.Peristiwa 7 Pebruari 1989

Peristiwa 7 Pebruari 1989 sesungguhnya berawal dari kerjasama antara kelompok pengajian Nur Hidayat di Jakarta dengan Warsidi di Lampung. Kesepakatan kerja sama itu tercapai pada tanggal 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat. Pertemuan Cibinong juga diikuti aktivis pengajian di luar kelompok Nur Hidayat dan Warsidi. Gagasan untuk membangun Islamic Village (Perkampungan Islam) dari kelompok pengajian Nur Hidayat digabungkan dengan cita-cita mendirikan pondok pesantren yang sedang dilaksanakan kelompok pengajian Warsidi. Umbul Cihideung – pusat kegiatan kelompok pengajian Warsidi – ditetapkan sebagai lokasi pembangunan Islamic Village dan pondok pesantren. Warsidi dalam rangka membangun pondok pesantren telah bekerja sama dengan kelompok pengajian Abdullah di Desa Sidorejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Abdullah adalah mantan aktivis gerakan usroh Abdullah Sungkar, Solo yang melarikan diri ke Lampung pada tahun 1986.

Umbul Cihideung pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Desa Labuhan Ratu. Namun, sejak 1 Januari 1988 ia menjadi bagian dari Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Umbul Cihideung disatukan dengan Umbul Kebon Duren menjadi Dusun Talangsari III. Lokasi Umbul Cihideung cukup terpencil, yakni di ujung barat Desa Rajabasa Lama, dan berbatasan langsung dengan Desa Labuhan Ratu dan Desa Pakuan Aji. Setiap orang yang akan ke sana harus melewati tiga jembatan kecil terbuat dari batang pohon kelapa untuk memasuki wilayah Umbul Cihideung yang dikelilingi oleh dua sungai, sehingga Umbul Cihideung mirip sebuah pulau.[17]

Pekerjaan masyarakat Umbul Cihideung adalah petani. Warsidi dan seluruh anggota kelompok pengajiannya bekerja sebagai buruh tani harian. Mereka menggarap tanah orang lain atau memberi jasa bantuan pada saat panen dan awal penanaman.[18] Sedangkan profesi anggota kelompok pengajian Nur Hidayat bukan sebagai petani. Profesi anggota kelompok pengajian Nur Hidayat sangat beragam, seperti ada aktivis LSM (Sudarsono), pedagang (Sukardi dan Ikhwan Sidik), montir motor (Arifin bin Karyan), calon pegawai negeri (Fauzi Isman), satpam (Wahidin dan Margotugino), dan mantan pegawai negeri (Nur Hidayat).

Anggota kelompok pengajian Nur Hidayat pindah ke Umbul Cihideung secara perorangan sejak akhir Desember 1988. Masyarakat setempat menerima mereka dengan baik. Ketegangan justeru terjadi antara pendatang dengan pejabat sipil, seperti Kepala Dusun Talangsari III, Sukidi; Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspamega; dan Camat Way Jepara, Drs. Zulkifli Maliki. Ketiganya mempermasalahkan keberadaan orang-orang baru di Umbul Cihideung itu atas undangan Warsidi. Ketegangan terus meningkat setelah Warsidi menolak permintaan Camat Way Jepara melalui surat tertanggal 20 Januari 1989 untuk menghadap ke kantor. Sebaliknya, Warsidi mengundang Camat Way Jepara untuk menyaksikan secara langsung kegiatan mereka di Umbul Cihideung. Undangan Warsidi dipenuhi oleh Camat Way Jepara pada tanggal 21 Januari 1989. Sejak itu ketegangan dengan pejabat lokal terus meningkat, seiring dengan kebijakan aparat keamanan dari Babinsa Desa Rajabasa Lama dan Koramil Way Jepara untuk memperketat pengawasan. Tersiar kabar bahwa Warsidi akan ditangkap oleh Danramil Way Jepara, Kapten Soetiman, sehingga Warsidi menolak undangan menghadap ke kantor Koramil Way Jepara. Warsidi mencurigai undangan Soetiman sebagai tipu muslihat untuk menangkap dirinya.[19]

Penolakan Warsidi itu dilaporkan oleh Soetiman kepada atasannya, Kepala Staf Daerah Militer (Kasdim) Kabupaten Lampung Tengah, Mayor Oloan Sinaga. Laporan Soetiman seharusnya ditangani oleh Komandan Daerah Militer (Dandim) Kabupaten Lampung Tengah, Letkol Jufri A.H. Adam. Namun yang bersangkutan baru saja diangkat sebagai Bupati Lampung Utara. Mayor Oloan Sinaga bertindak selaku Dandim Kabupaten Lampung Tengah sebelum diangkat sebagai pejabat tetap.[20]

Pada tanggal 1 Pebruari 1989, Mayor Oloan Sinaga memimpin rapat koordinasi Musyawarah Pimpinan Kabupaten (Muspika) Lampung Tengah. Rapat memutuskan untuk menangkap Warsidi karena tidak bersedia menghadap Camat, Drs. Zulkifli Maliki; dan Danramil, Kapten Soetiman untuk menjelaskan kegiatan di Umbul Cihideung. Hasil keputusan rapat dilaporkan kepada Komandan Resort Militer (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung, Kolonel A.M. Hendropriyono.[21] Berita tentang rencana penangkapan Warsidi itu bocor (atau sengaja dibocorkan?) hingga tersebar luas. Warsidi sendiri segera memerintahkan seluruh laki-laki dewasa di Umbul Cihideung untuk membuat panah sebagai antisipasi serangan dari Koramil Way Jepara, dan memperketat jaga malam di sekitar pemukiman.[22] Keterangan ini sangat berbeda dengan keterangan pemerintah Orde Baru bahwa anak panah itu dibuat di luar Umbul Cihideung. Warsidi juga mengutus Sofwan – seorang anggota kelompok pengajian Nur Hidayat – pergi ke Jakarta untuk memberi tahu Nur Hidayat, Sudarsono, dan Fauzi Isman tentang perkembangan ketegangan di Umbul Cihideung.

Meski situasi tegang, namun Warsidi tetap melaksanakan rencana pengajiannya di Umbul Cihideung pada tanggal 5 Pebruari 1989. Seluruh anggota kelompok pengajian Abdullah yang berusia antara 8-14 tahun juga turut meramaikan pengajian di Umbul Cihideung itu. Anggota kelompok pengajian Abdullah ini berasal dari Desa Sidorejo dan Desa Bandar Agung. Mereka menginap di Umbul Cihideung seusai acara pengajian. Lima anak didik Abdullah yakni Muhdi, Mursyidin, Mundiman, Abdurrahman, dan Hardiwan pergi ke pos jaga depan menemani Joko Jayus dan Ir. Usman yang sedang mendapat giliran jaga. Sekitar pukul 24.00 WIB mereka disergap oleh aparat keamanan yang dipimpin Sersan Mayor Dahlan dari Koramil Way Jepara dan Kopral Rahman (Babinsa Rajabasa Lama).[23] Joko Jayus dilepas, sedang Ir. Usman berhasil melarikan diri di perjalanan menuju Kantor Koramil Way Jepara.[24]

Jayus dan Usman melaporkan tentang penculikan 5 anak-anak kelompok pengajian Abdullah oleh aparat keamanan kepada Warsidi. Warsidi sangat marah dan langsung mengangkat Abdullah sebagai panglima perang. Abdullah segera menunjuk Fadilah menjadi Komandan Tim Pembebas dengan misi utama membebaskan 5 anak yang diculik. Tim Pembebas berjumlah 12 orang. Upaya pembebasan gagal, karena 5 anak kelompok pengajian Abdullah itu sudah dibawa pergi ke Kodim Lampung Tengah. Tim Pembebas kemudian menuju ke Sidorejo untuk menemui Zamzuri – tokoh masyarakat Sidorejo yang bersimpatik terhadap Warsidi.[25]

Pada saat Warsidi dan seluruh anggota kelompok pengajian menanti kabar Tim Pembebas itulah rombongan Muspika Lampung Tengah dibawah pimpinan Kasdim Lampung Tengah, Mayor Oloan Sinaga datang ke Umbul Cihideung. Kapten Soetiman, dengan mengendarai sepeda motor, berada di barisan paling depan. Warsidi beserta seluruh anggota kelompok pengajian langsung menyerang Soetiman hingga tewas. Rombongan Muspika segera ke luar dari Umbul Cihideung dengan meninggalkan mayat Soetiman. Keesokan harinya pasukan yang lebih besar dibawah komando Danrem 043 Garuda Hitam, Kolonel A.M. Hendropriyono menghancurkan lokasi pemukiman kelompok pengajian Warsidi itu di Umbul Cihideung dan mereka berhasil mengambil mayat Soetiman.

B.Latar Belakang Politik

Fenomena kemunculan kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi serta keputusan pemerintah Orde Baru untuk menghancurkan pemukiman mereka di Umbul Cihideung pada tanggal 7 Pebruari 1989 itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang politik yang penuh dengan kecurigaan antara Pemerintah Orde Baru di satu sisi dengan kalangan Islam di sisi lain. Pengertian “kalangan Islam” dalam tulisan ini adalah individu atau kelompok yang menggunakan ajaran Islam sebagai ideologi. Dengan demikian, tidak semua pemeluk agama Islam dimasukkan ke dalam “kalangan Islam”, seperti mereka yang tergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan Karya (Golkar), dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Individu atau kelompok pemeluk agama Islam yang menggunakan ajaran Islam sebagai ideologi cenderung menyalurkan aspirasi politiknya ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam Pemilu 1977 dan 1982, misalnya, mencerminkan kecenderungan bahwa kalangan Islam memberikan dukungan penuh terhadap PPP untuk menentang kebijakan pemerintah Orde Baru, seperti penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan pemberlakuan Undang-undang Politik tentang keharusan menggunakan asas tunggal Pancasila. Dua kebijakan pemerintah ini menjadi sumber utama yang merusak hubungan antara kalangan Islam dengan pemerintah Orde Baru.

Gagasan Pancasila sebagai azas tunggal dalam kehidupan berorganisasi dan dalam kehidupan sehari-hari disampaikan oleh Presiden Soeharto secara berturut-turut pada acara Kongres Nasional Pramuka pada tanggal 12 April 1976; Peringatan Hari Pramuka ke-XV pada tanggal 14 Agustus 1976;[26] dan Pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1976. Dalam berbagai kesempatan pidatonya itu Presiden Soeharto menyatakan bahwa:

[…] Pancasila bukan saja cukup jika kita miliki, tetapi harus kita resapi sedalam-dalamnya, harus kita hayati sehingga menjadi bagian jiwa dan tingkah laku kita, harus kita amalkan dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat kita.

Marilah kita terus memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat kita! Untuk itu perlu pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila yang jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat luas, oleh kita semua.

[…] Gagasan tersebut saya namakan “Eka Prasetia Panca Karsa”. “Eka Prasetia” berarti janji atau tekad kita yang satu bahwa sebagai manusia, makhluk sosial, kita harus berani dan mampu untuk mengendalikan kepentingan pribadi guna memenuhi kewajibannya sebagai makhluk sosial – sebagai  warga negara – dalam mewujudkan kehidupan Pancasila. Dan yang kita janjikan atau tekad kita itu adalah untuk melaksanakan “Panca Karsa” – lima keinginan, lima kemauan yang keras – ialah pengetrapan kesadaran sebagai makhluk sosial itu terhadap lima sila dari Pancasila yang saya sebutkan tadi.

Pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila itu harus kita renungkan bersama sedalam-dalamnya dan harus kita pikirkan semasak-masaknya. Karena itu saya telah meminta kepada kalangan Perguruan Tinggi dan lembaga-lembaga penelitian agar mengkaji masalah itu dari sudut ilmu pengetahuan. Saya tugaskan kepada Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional untuk menghimpun gagasan-gagasan atau saran-saran tersebut. Maksudnya adalah agar kita menemukan pedoman bersama yang jujur dan benar, yang tidak terpengaruh hanya oleh selera pribadi atau golongan. Hasil pengkajian itu saya usulkan nanti agar menjadi bahan pertimbangan bagi MPR untuk memutuskan dan mengukuhkan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila itu.[27]

Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) melakukan aksi walk out dari ruang sidang Komisi B dalam Sidang Umum MPR pada tanggal 18 Maret 1978 yang mengesahkan keinginan Presiden Soeharto itu untuk “meresapi, menghayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat” menjadi Tap No.II MPR/1978 tentang P4. Aksi walk out FPP itu juga mengundang kemarahan Presiden Soeharto. Dalam pidato tanpa teks pada acara Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI) di Pakan Baru, Riau, pada tanggal 27 Maret 1980, Presiden Soeharto menuduh FPP dan kalangan Islam pada umumnya sebagai pihak yang tidak setia terhadap ideologi Pancasila. Presiden Soeharto selanjutnya menyatakan:

Salah satu konsensus yang memang kita perjuangkan agar supaya semua partai politik atau Golongan Karya itu mendasarkan satu ideologi, ialah Pancasila, nyatanya belum terwujud. Sehingga masih ada dari kekuatan partai politik untuk menambahkan di sampingnya asas Pancasila, asas lainnya. Ini tentunya sangat menunjukkan tanda tanya kepada kita apa sebabnya mereka belum lagi mempercayai sepenuhnya Pancasila sebagai satu ideologi.

[…] dari perkembangan pembentukan Undang-undang Kepartaian dan Golongan Karya sampai kepada pelaksanaan Sidang Umum MPR (1978) masih membuktikan pula akan keragu-raguan daripada Pancasila, terutama proses dari Ketetapan MPR Nomer II mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sampai kepada walk out.

[…] Ini semuanya harus – paling tidak sedikit-dikitnya – menunjukkan atau meminta kepada kita akan kewaspadaan kita semuanya dalam rangka mengamankan Pancasila.[28]

Dalam pidato tanpa teks itu, Presiden Soeharto meminta ABRI agar meningkatkan kewaspadaan dan ekstra hati-hati dalam memilih partner untuk mengelola negara. Partner itu harus dipastikan terdiri dari individu-individu yang tidak pernah ragu-ragu terhadap Pancasila. Kalimat “masih ada dari kekuatan partai politik untuk menambahkan di sampingnya asas Pancasila, asas lainnya” jelas ditujukan kepada kalangan Islam yang pada tanggal 18 Maret 1978 melakukan aksi walk out, yang oleh Presiden Soeharto dijadikan bukti sebagai ketidaksetiaan terhadap Pancasila.

Tudingan ketidaksetiaan kalangan Islam terhadap Pancasila itu bukan yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soeharto, seperti pada acara penutupan Rapim ABRI pada tanggal 25 Maret 1976.[29] Dalam pembukaan Musyawarah Nasional Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata (Munas Pepabri) pada tanggal 19 April 1976,[30] dan Munas Persatuan Istri Purnawirawan ABRI pada tanggal 30 Juni 1977 di Jakarta pun Presiden Soeharto memberikan analisa yang menyeramkan yakni bahwa apabila PPP memenangkan Pemilu 1977, maka dasar negara Pancasila akan diganti dengan Islam. Untuk itu, Presiden Soeharto meminta kepada seluruh keluarga purnawirawan ABRI dan anggota ABRI aktif agar bersiap-siap mempertahankan Pancasila, kalau perlu dengan cara kekerasan. Selanjutnya Presiden Soeharto menyatakan:

Mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara inilah yang menjadi tugas yang teramat penting dari para purnawirawan ABRI! Mempertahankan Pancasila adalah tugas yang mutlak. […] Tugas mempertahankan, menghayati dan mengamalkan Pancasila ini adalah tugas kita semua, tugas seluruh masyarakat, tanpa kecuali. Tugas itu lebih-lebih merupakan tugas mutlak bagi setiap anggota ABRI dan para purnawirawan. […] Prajurit ABRI dan setiap purnawirawan adalah warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Ini berarti bahwa kita tidak akan membiarkan Pancasila diselewengkan.[31]

Pemerintah Orde Baru kemudian melancarkan kebijakan represif dalam rangka “mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara”. Sejumlah aktivis dan tokoh Islam ditangkap menjelang Pemilu 1977, seperti Ketua Umum Gerakan Pemuda Indonesia (GPI), Abdul Qadir Jaelani; tokoh kelompok mesjid Salman Bandung, Ir. Imaduddin Abdurrachim, M.Sc.; Wakil Sekjen PPP 1973-1984, Mahbub Junaidi; Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof.Dr. Ismail Sunny; dan tokoh penting dalam Pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya, Sutomo. Selain itu banyak ulama yang dilarang berkhotbah dan bahkan dipenjara dengan tuduhan menyebarkan rasa kebencian terhadap Pemerintah Orde Baru.[32] Pada tanggal 20 April 1981 di Jakarta Panglima Kopkamtib, Laksamana Soedomo mengungkapkan serangkaian aksi teror Komando Jihad yang ingin merombak Negara Pancasila.[33] Dalam kurun waktu 1976-1989, pemerintah Orde Baru selalu mengkaitkan aktivitas kalangan Islam dengan gerakan Darul Islam (DI) yang telah mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1949.[34]

C.Pertumbuhan Kelompok Sempalan

Kalangan Islam terdiri dari berbagai individu dan kelompok Islam. Ada tiga kelompok Islam yang menjadi mainstream (arus utama/kelompok inti), yakni Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketiganya mempunyai ortodoksi dalam masalah agama Islam.[35] Secara berturut-turut antara tahun 1984-1986, NU, MUI dan Muhammadiyah menerima kebijakan asas tunggal Pancasila yang dahulu sangat ditentangnya. Keharusan mengenakan Pancasila bagi seluruh organisasi masyarakat diatur dalam UU Politik No.8 Tahun 1985, sedangkan ketentuan asas tunggal Pancasila untuk partai politik dan Golkar diatur dalam UU Politik No.3 Tahun 1985. PPP juga menerima UU Politik No.3 Tahun 1985 itu. Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU, MUI, Muhammadiyah, dan PPP telah mengubah pula sikap politik kalangan Islam dari konfrontatif menjadi akomodatif. Perubahan sikap politik ini terjadi setelah pemerintah menjamin bahwa pemberlakuan asas tunggal Pancasila tidak dimaksudkan untuk menggantikan posisi agama Islam sebagai acuan moral dalam kehidupan sehari-hari.[36]

Kalangan Islam di luar kelompok mainstream membentuk beberapa kelompok pengajian kecil untuk melanjutkan sikap politik konfrontatif dengan menjadikan asas tunggal Pancasila sebagai isyu utama. Di antara kelompok pengajian kecil itu adalah “Risalah Tauhid” pimpinan Abdullah Sungkar yang berpusat di Pondok Pesantren Al-Mukmin Desa Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Sekitar tahun 1983 mereka berhasil memperluas wilayah pengaruhnya hingga ke ibukota Jakarta yang berpusat di Condet, Jakarta Timur dan Mesjid Santa, Jakarta Selatan. Dua pusat ini menjadi Ring Condet dan Ring Santa. Kelompok pengajian “Risalah Tauhid” lazim pula disebut gerakan usroh karena Abdullah Sungkar menggunakan pola usroh dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.[37] Gerakan usroh Abdullah Sungkar dihancurkan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1985 bersamaan dengan penerapan UU No.3 dan 8 Tahun 1985.

Para aktivis gerakan usroh Abdullah Sungkar dari Solo, Jawa Tengah itu kemudian melarikan diri ke Lampung dan membentuk kelompok pengajian di bawah pimpinan Warsidi, seorang guru agama di Lampung.[38] Sementara itu aktivis gerakan usroh Abdullah Sungkar Jakarta tetap berada di Jakarta. Mereka dihimpun kembali pada tahun 1987 oleh Nur Hidayat, mantan tokoh gerakan usroh Abdullah Sungkar Ring Santa, yang menjadi buronan dalam kasus usroh Jakarta sejak tahun 1986. Ia bekerja sama dengan Abdul Haris, Sudarsono, dan Arifin Agule. Abdullah Haris pernah aktif dalam gerakan usroh Abdullah Sungkar Ring Santa, sedangkan Sudarsono dan Arifin Agule adalah aktivis Badan Kontak Pemuda Mesjid Indonesia (BKPMI) dan Lembaga Studi Pembangunan (LSP) pimpinan Adi Sasono (sekarang Ketua Umum ICMI). Nur Hidayat, Abdul Haris, Sudarsono, dan Arifin Agule membentuk kelompok pengajian dengan pola kepemimpinan bersama dengan membagi pimpinan menjadi empat berdasarkan nama empat sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Empat bagian kepemimpinan ini disebut shaf.

Pembagian pimpinan shaf didasarkan pada keahlian masing-masing. Nur Hidayat adalah mantan karateka nasional, sehingga ia dipercaya untuk memimpin shaf Ali dengan tugas utama mengadakan pelatihan fisik kepada para anggota. Abdul Haris memimpin shaf Abu Bakar dengan tugas utama memberikan pemahaman agama kepada pada anggota. Arifin Agule memimpin shaf Umar dengan tugas utama mengadakan konsolidasi. Sudarsono memimpin shaf Usman dengan tugas utama mencari dana. Di samping mengadakan pengajian rutin, mereka juga belajar agama dari Sulaeman Mahmud, mantan aktivis gerakan Darul Islam Aceh yang sejak tahun 1984 berstatus tahanan luar Kodam V Jaya berkaitan dengan kasus Tanjung Priok. Kerja sama Nur Hidayat, Abdul Haris, Sudarsono, dan Arifin Agule tidak berlangsung lama. Abdul Haris dan Arifin Agule mengundurkan diri pada pertengahan tahun 1988.[39] Sejak itu Nur Hidayat menjadi pimpinan utama, sehingga kelompok pengajian ini dapat dikatakan sebagai kelompok pengajian Nur Hidayat.

Antara kelompok pengajian Nur Hidayat di Jakarta dengan kelompok pengajian Warsidi di Lampung mempunyai kesamaan pandangan bahwa penerimaan asas tunggal Pancasila sangat bertentangan dengan kewajiban setiap muslim untuk senantiasa menerapkan syari’ah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tetap memandang kebijakan asas tunggal Pancasila itu sebagai upaya pemerintah Orde Baru untuk menjadikan Pancasila sebagai acuan dalam menilai kualitas moral kehidupan sehari-hari. Dengan demikian mereka mempunyai sikap politik yang sangat berbeda dengan kelompok mainstream Islam (NU, MUI, dan Muhammadiyah).

Penyempalan kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi juga terjadi dalam orientasi pemahaman keagamaan, terutama dengan NU. Doktrin NU berpangkal pada tiga buah panutan inti. Pertama, mengikuti faham Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam bidang tauhid (teologi). Kedua, mengikuti salah satu dari empat mahzab fiqh (hukum Islam) yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Dan ketiga, mengikuti cara yang ditetapkan oleh Al-Junaid al-Baghdadi dalam bertarekat dan bertasawuf.[40] Kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi tidak mengikuti pemikiran Al-Asy’ari, Al-Maturidi, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Al-Junaid al-Baghdadi. Dari segi pemahaman hukum Islam, mereka lebih merujuk pada pendapat mahzab Ja’fari yang tidak pernah dijadikan bahan referensi umat Islam di Indonesia. Sebagai contoh adalah pandangan mereka terhadap kedudukan orang tua mempelai perempuan dalam acara perkawinan. Umat Islam di Indonesia, baik yang berafiliasi ke NU maupun Muhammadiyah, sangat mementingkan kedudukan orang tua mempelai perempuan – terutama orang tua laki-laki – karena perkawinan tidak akan syah apabila orang tua laki-laki dari mempelai perempuan tidak memberikan izin. Kelompok Nur Hidayat dan Warsidi meninggalkan aturan ini dengan menghilangkan keharusan memperoleh izin orang tua laki-laki dari mempelai perempuan.

Karakteristik lain dari kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi adalah mereka memandang rendah tradisi ritual NU seperti yasinan setiap malam Jum’at dan kendurian atau selametan, karena mereka menilai bahwa semuanya itu bukan berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dari segi cara memahami agama Islam, mereka mempunyai kesamaan dengan Muhammadiyah, yakni langsung merujuk pada teks Al-Qur’an. Cara pemahaman agama yang demikian sangat berbeda dengan NU yang lebih suka merujuk pendapat ulama terlebih dahulu. Meski ada persamaan dalam cara memahami agama Islam antara kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi dengan Muhammadiyah, namun mereka tidak mempunyai hubungan organisasi dengan Muhammadiyah.

Perbedaan sikap politik dan orientasi faham keagamaan antara kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi dengan mainstream organisasi Islam yang lain membuat mereka menjadi kelompok “sempalan”. MUI Lampung memasukkan mereka sebagai penganut aliran sesat lelampahan yang telah dilarang. Dapat dipahami apabila kelompok mainstream Islam tidak melakukan pembelaan atas nasib buruk yang menimpa kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi.

Penutup

Tujuan utama penelitian sejarah adalah untuk menemukan causal power. Causal power itu bersifat tidak kasat mata. Hal ini berbeda dengan hukum kausalitas yang cenderung untuk menghubungkan dua peristiwa dalam hubungan sebab-akibat yang menentukan.[41] Hukum kausalitas dalam kasus Lampung dikemukakan oleh beberapa surat kabar. Para wartawan surat kabar acapkali mengkaitkan antara pengusiran warga sekitar gunung Balak dengan Peristiwa Lampung dalam hubungan sebab-akibat yang menentukan, sehingga menimbulkan kesan bahwa Peristiwa Lampung itu disebabkan oleh kemarahan penduduk gunung Balak yang terusir. Asumsi demikian tidak didukung bukti, mayoritas anggota kelompok pengajian Warsidi dan Nur Hidayat bukan warga gunung Balak yang terusir.

Causal power kasus Lampung juga diajukan oleh Sartono Kartodirdjo dengan mengangkat segi-segi messianistik tentang kepercayaan terhadap Ratu Adil. Ratu Adil adalah tokoh sang juru selamat yang berasal dari ramalan Jayabaya. Dalam perkembangannya, kepercayaan Ratu Adil milik etnis Jawa itu bercampur dengan kepercayaan Imam Mahdi yang ada dalam agama Islam.[42] Ratu Adil atau Imam Mahdi merupakan tokoh sang juru selamat yang akan menciptakan kesejahteraan. Sang tokoh juru selamat sangat dihormati berdasarkan kharisma yang berdasarkan kemampuan supranatural seperti menyembuhkan orang sakit, memberikan kekebalan atau meramal nasib.[43] Tokoh juru selamat dalam Peristiwa Lampung, menurut Kartodirdjo, adalah Warsidi.[44] Para informan yang terlibat dalam Peristiwa Lampung justru tidak memperlihatkan rasa hormat yang mendalam ketika menceritakan sosok Warsidi, misalnya menyebut langsung nama Warsidi tanpa diawali kata penghormatan. Latar belakang keluarga Warsidi juga tidak memungkinkan dirinya memiliki kharisma yang bersumber dari faktor keturunan. Ia berasal dari keluarga petani yang tidak berpengaruh. Dari segi ekonomi, Warsidi bukan seorang transmigran yang sukses. Sejak tahun 1966 ia sudah tidak memiliki tanah dan bekerja sebagai petani penggarap. Di samping itu, Warsidi juga tidak memiliki kekuatan supranatural yang dapat dijadikan sumber kharisma bagi dirinya.

Kekeliruan Sartono Kartodirdjo dalam memahami Peristiwa Lampung disebabkan oleh keterbatasan informasi dan terlalu mempercayai informasi pemerintah Orde Baru yang telah menetapkan Warsidi sebagai pemimpin utama dengan gelar Imam untuk memberi kesan bahwa Warsidi merupakan tokoh juru selamat Imam Mahdi (Islam) atau Ratu Adil (Jawa). Berdasarkan hasil wawancara ternyata Warsidi tidak pernah diangkat sebagai Imam. Ia hanyalah seorang pimpinan kelompok pengajian yang kedudukannya sejajar dengan Nur Hidayat. Anak didiknya biasa memanggil Warsidi dengan sebutan Pak War, bukan Pak Imam atau Pak Imam Warsidi. Ketiadaan unsur messianistik tersebut membuat kelompok pengajian Warsidi dan Nur Hidayat tidak bisa dimasukkan sebagai gerakan Ratu Adil.

Nampaknya kita harus melihat dinamika hubungan politik antara kalangan Islam dengan pemerintah Orde Baru dalam dekade 1970-an dan 1980-an untuk menemukan causal power Peristiwa Lampung, sebab Peristiwa Lampung adalah peristiwa lokal yang sangat berkaitan dengan dinamika politik di tingkat nasional. Hubungan politik antara kalangan Islam dengan pemerintah Orde Baru sangat buruk akibat kebijakan represif pemerintah terhadap kalangan Islam untuk menerima asas tunggal Pancasila. Pertengahan tahun 1980-an kelompok mainstream dalam kalangan Islam mengubah sikap politik dari konfrontatif menjadi akomodatif setelah pemerintah Orde Baru menjamin bahwa Pancasila tidak akan disejajarkan dengan agama. Peristiwa Lampung terjadi dalam proses perbaikan hubungan tersebut.

Dalam kaitan ini, sangat menarik untuk memperhatikan tanggapan Presiden Soeharto yang hanya mengatakan bahwa Peristiwa Lampung terjadi akibat pemaksaan kehendak. Penilaian Presiden Soeharto itu lebih lunak dari Panglima ABRI, Jenderal Try Sutrisno; Kabakin, Yoga Sugama; Menhankam, L.B. Moerdani; Menko Polkam, Sudomo; dan Pangdam Sriwijaya, Mayjen R. Soenardi yang telah menetapkan kelompok pengajian Nur Hidayat dan Warsidi sebagai gerakan subversif. Hipotesa ini sangat berlebihan dan tidak didukung bukti. Kelompok Warsidi dan Nur Hidayat tidak memiliki kemampuan finansial maupun sumber daya manusia untuk melancarkan gerakan subversif menumbangkan pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kehadiran mereka di Umbul Cihideung adalah untuk membangun pondok pesantren agar dapat menerapkan syari’ah Islam dalam kehidupan sehari-hari, bukan untuk mendirikan Negara Islam sebagaimana dituduhkan oleh para pejabat militer terhadap mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Chaidar. 2000. Lampung Bersimbah Darah: Menelusuri Kejahatan ‘Negara Intelijen’ Orde Baru dalam Peristiwa Jama’ah Warsidi. Jakarta: Madani Press.

Bruniessan, Martin van. 1992. “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol.III, No.1. Jakarta: LSAF.

Cahyono, Heru. 1992. Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980. Jakarta: Sinar Harapan.

Cahyono, Heru. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974. Jakarta: Sinar Harapan.

Dengel, Holk H.. 1995. Darul Islam dan Kartosuwirjo. Terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan.

Dijk, Cornelis van. 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Terjemahan. Jakarta: Grafiti Pers.

Gonggong, Anhar. 1992. Abdul Qohhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga Pemberontak. Jakarta: Grassindo.

Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII. Terjemahan. Jakarta: Grafiti Pers.

Hendropriyono, A.M.. t.t.. Operasi Garuda Lampung dalam Membina Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Jakarta: BIA, Badan Intelijen ABRI.

Ismail, Faisal. 1999. Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama. Terjemahan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Jackson, Karl D.. 1980. Traditional Authority, Islam, and Rebellion. Berkeley: University of California Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1959. Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia. Djogjakarta: Penerbitan Lustrum ke-II Universitas Gadjah Mada, 19 Desember.

Kartodirdjo, Sartono. 1966. The Peasant’ Revolt of Banten in 1888. Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Kartodirdjo, Sartono. 1973. Protes Movements in Rural Java. London: Oxford University Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. “Respon-respon pada Penjajahan Belanda di Jawa: Mitos dan Kenyataan” dalam Prisma, No.11, Th.XIII. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1989. “Pandangan Sejarah tentang Peristiwa Lampung” dalam Kompas. Jakarta: 21 Pebruari.

Kartodirdjo, Sartono. 1989. “Peristiwa Lampung dalam Perspektif Sejarah” dalam Editor, No.26, Th.II. Jakarta: 25 Pebruari.

Markas Besar TNI & Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid V 1984-2000. Jakarta: Markas Besar TNI & Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.

McCullagh, C. Behan. 1998. The Truth of History. London & New York: Routledge.

Mitchell, Richard. 1969. The Society of The Muslim Brothers. London: Oxford University Press.

Ruslan, Ustman Abdul Mu’iz. 2000. Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin. Terjemahan. Solo: Intermedia.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1976. Himpunan Pidato Presiden Republik Indonesia, Triwulan ke-I. Jakarta: Setneg.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1976. Himpunan Pidato Presiden Republik Indonesia,  Triwulan ke-II. Jakarta: Setneg.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1977. Himpunan Pidato Presiden Republik Indonesia, Triwulan ke-III. Jakarta: Setneg.

Siswoyo, P. Bambang. 1989. Peristiwa Lampung dan Gerakan Sempalan. T.t.p.: U.D. Mayasari, April.

Sjamsuddin, Nazaruddin. 1990. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh. Terjemahan. Jakarta: Grafiti Pers.

Syukur, Abdul. 2001. “Gerakan Usroh di Indonesia: Kasus Peristiwa Lampung 1989”. Tesis Magister. Jakarta: Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana UI.

Wahid, Abdurrahman. 1984. “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini” dalam Prisma, No.4, Th.XII. Jakarta: LP3ES, April.

SURAT KABAR DAN MAJALAH

Angkatan Bersenjata. Jakarta: 10, 14, dan 18 Pebruari 1989.

Editor. No.25, Th.II. Jakarta: 18 dan 25 Pebruari 1989.

Kompas. Jakarta: 10, 15, dan 16 Pebruari; 14-18 Maret; dan 21 April 1989.

Lampung Post. Bandar Lampung: 22 dan 24 Pebruari 1989.

Merdeka. Jakarta: 4 Agustus 1980 dan 10 Pebruari 1989.

Panji Masyarakat. No.603. Jakarta: 21-28 Pebruari 1989.

Pelita. Jakarta: 21 April 1981; 14 dan 28 Pebruari 1989; dan 1 Maret 1989.

Suara Karya. Jakarta: 21 April 1981; dan 10, 15 dan 21 Pebruari 1989.

Suara Pembaharuan. Jakarta: 10 dan 15 Pebruari 1989.

Tempo. Jakarta: 18 dan 25 Februari 1989.

WAWANCARA

Abdul Haris. Lahir 1965. Jakarta: 6 Juni 2000.

Arifin Agule. Lahir 1961. Jakarta: 10 Juni 2000.

Arifin bin Karyan. Lahir 1956. Jakarta: 3 Juni 2000.

Azwar Kaili. Lahir 1942. Jakarta: 16 Mei 2000.

Fadilah. Lahir 1958. Jakarta: 27 Nopember 2000.

Fauzi Isman. Lahir 1967. Jakarta: 2 Maret 2000.

Ikhwan Sidik. Lahir 1966. Jakarta: 19 Mei 2000.

Muhdi. Lahir 1970. Jakarta: 23 Mei 2000.

Nur Hidayat. Lahir 1959. Jakarta: 20 Juni 2000.

Seman Sodikin. Lahir 1963. Jakarta: 27 Nopember 2000.

Sudharsono. Lahir 1963. Jakarta: 3 Juni 2000.

Sukardi. Lahir 1960. Jakarta: 17 Maret 2000.

Wahidin. Lahir 1949. Jakarta: 2 Maret 2000.

*)Abdul Syukur, S.Ag.,M.Hum. adalah Staf Pengajar di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lahir di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 1969. Pendidikan sarjana agama (S.Ag.) diselesaikannya di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab IAIN Jakarta pada tahun 1995; dan pendidikan S-2 (M.Hum.) diselesaikan di Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana UI Jakarta pada tahun 2001 dengan menulis tesis “Gerakan Usroh di Indonesia: Kasus Peristiwa Lampung 1989”. Tulisan yang sekarang dimuat ini selain merupakan ringkasan dari tesis S2-nya juga pernah disajikan dan didiskusikan dalam Konferensi Nasional Sejarah Indonesia VII di Jakarta pada tanggal 28-31 Oktober 2001. Untuk kepentingan akademis, Abdul Syukur, S.Ag.,M.Hum. dapat dihubungi dengan alamat: Fakultas Adab IAIN Jakarta, Jl.Ir.H. Juanda No.95 Ciputat, Tangerang, Banten. Tlp.(021) 7443329. E-mail: [email protected]

[1]Suara Pembaharuan (Jakarta: 10 Pebruari 1989).

[2]Wawancara dengan Azwar Kaili, Lahir 1942 (Jakarta: 16 Mei 2000).

[3]Wawancara dengan Arifin bin Karyan, Lahir 1956 (Jakarta: 3 Juni 2000).

[4]Wawancara secara terpisah dengan Ikhwan Sidik, Lahir 1966 (Jakarta: 19 Mei 2000); dengan Sukardi, Lahir 1960 (Jakarta: 17 Maret 2000); dengan Nur Hidayat, Lahir 1959 (Jakarta: 20 Juni 2000), dan dengan Fauzi Isman, Lahir 1967 (Jakarta: 2 Maret 2000).

[5]Al-Chaidar, Lampung Bersimbah Darah: Menelusuri Kejahatan ‘Negara Intelijen’ Orde Baru dalam Peristiwa Jama’ah Warsidi (Jakarta: Madani Press, 2000), hlm.174-76.

[6]Isi tulisan ini berasal dari hasil penelitian saya untuk menyelesaikan studi Ilmu Sejarah di Pascasarjana UI Jakarta. Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar, khususnya Prof.Dr.H. Maswadi Rauf, M.A (Pembimbing Penelitian) dan Prof. Dr.R.Z. Leirissa (Pembaca Hasil Penelitian). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.H. Abdul Chair dan Dr.H. Badri Yatim dari IAIN Jakarta yang telah memberikan saran dan kritikan dalam penyusunan tulisan ini. Walaupun begitu semua isi dan interpretasi dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi saya.

[7]Lihat, misalnya, Suara Karya (Jakarta: 10 Pebruari 1989), Kompas (Jakarta: 10 Pebruari 1989), Suara Pembaharuan (Jakarta: 10 Pebruari 1989), Merdeka (Jakarta: 10 Pebruari 1989), dan Angkatan Bersenjata (Jakarta: 10 Pebruari 1989).

[8]Lihat juga, misalnya, Lampung Post (Bandar Lampung: 22 dan 24 Pebruari 1989); Panji Masyarakat, No.603 (Jakarta: 21-8 Pebruari 1989), hlm.23-25; Editor, No.25, Th.II (Jakarta: 18 Pebruari 1989), hlm.15-6; dan Tempo (Jakarta: 25 Februari 1989), hlm.24-5.

[9]Dikutip dari Markas Besar TNI & Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Sejarah Tentara Nasional Indonesia, Jilid V, 1984-2000 (Jakarta: Markas Besar TNI & Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000), hlm. 39-40.

[10]Lihat, misalnya, Suara Karya (Jakarta: 21 Pebruari 1989), Pelita (Jakarta: 28 Pebruari dan 1 Maret 1989), dan Kompas (Jakarta: 14-18 Maret 1989).

[11]Lihat Markas Besar TNI & Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000, Op.Cit., hlm.39-43.

[12]Suara Karya (Jakarta: 10 Pebruari 1989), Kompas (Jakarta: 10 Pebruari 1989), Suara Pembaharuan (Jakarta: 10 Pebruari 1989), Merdeka (Jakarta: 10 Pebruari 1989), dan Angkatan Bersenjata (Jakarta: 10 Pebruari 1989).

[13]Pelita (Jakarta: 14 Pebruari 1989), Kompas (Jakarta: 15 Pebruari 1989), Suara Karya (Jakarta: 15 Pebruari 1989), Angkatan Bersenjata (Jakarta: 14 dan 18 Pebruari 1989), dan Suara Pembaharuan (Jakarta: 15 Pebruari 1989).

[14]Kompas (Jakarta: 16 Pebruari 1989); Editor, No.25, Th.II (Jakarta: 18 Februari 1989), hlm.17-8; dan Tempo (Jakarta: 25 Februari 1989), hlm.25-8.

[15]Martin van Bruniessan, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol.III, No.1 (Jakarta: LSAF, 1992), hlm.16. Penebalan kalimat dari saya.

[16]Pemikiran Sartono Kartodirdjo tentang perkembangan kepercayaan Ratu Adil yang mewujudkan diri menjadi sebuah gerakan perlawanan terhapa penguasa dapat dilihat dalam karya-karya Sartono Kartodirdjo, Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia (Djogjakarta: Penerbitan Lustrum ke-II Universitas Gadjah Mada 19 Desember 1959); The Peasant’ Revolt of Banten in 1888. Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1966); Protes Movements in Rural Java (London: Oxford University Press, 1973); Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984); dan “Respon-respon pada Penjajahan Belanda di Jawa: Mitos dan Kenyataan” dalam Prisma, No.11, Th.XIII (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm.3-11.

[17]Lihat Suara Karya (Jakarta: 21 Pebruari 1989); dan Pelita (Jakarta: 28 Pebruari dan 1 Maret 1989).

[18]Wawancara terpisah dengan Fadilah, Lahir 1958 (Jakarta: 27 November 2000); dan dengan Seman Sodikin, Lahir 1963 (Jakarta: 27 November 2000).

[19]Wawancara terpisah dengan Sukardi, Lahir 1960 (Jakarta: 17 Maret 2000); dan dengan Arifin bin Karyan, Lahir 1956 (Jakarta: 3 Juni 2000).

[20]Editor, No.25, Th.II (Jakarta: 25 Februari 1989), hlm.11.

[21]Mabes TNI & Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000, Op.Cit., hlm.41.

[22]Wawancara dengan Sukardi, Lahir 1960 (Jakarta: 17 Maret 2000).

[23]Wawancara dengan Muhdi, Lahir 1970 (Jakarta: 23 Mei 2000). Lihat juga Tempo (Jakarta: 18 Pebruari 1989), hlm.15; dan Mabes TNI & Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000, Op.Cit., hlm.41.

[24]Wawancara dengan Muhdi, Lahir 1970 (Jakarta: 23 Mei 2000).

[25]Wawancara terpisah dengan Fadilah, Lahir 1958 (Jakarta: 27 November 2000); dan dengan Seman Sodikin, Lahir 1963 (Jakarta: 27 Nopember 2000).

[26]Sekretariat Negara Republik Indonesia, Himpunan Pidato Presiden Republik Indonesia, Triwulan ke-III (Jakarta: Setneg, 1976), hlm.241-44.

[27]Ibid, hlm.279-81.

[28]Pidato tanpa teks Presiden Soeharto ini ditulis ulang secara lengkap dalam Merdeka (Jakarta: 4 Agustus 1980), “Pidato Tanpa Teks pada Rapim ABRI Pakanbaru”.

[29]Sekretariat Negara Republik Indonesia, Himpunan Pidato Presiden Republik Indonesia, Triwulan ke-I (Jakarta: Setneg, 1976), hlm.56-8.

[30]Sekretariat Negara Republik Indonesia, Himpunan Pidato Presiden Republik Indonesia,  Triwulan ke-II (Jakarta: Setneg, 1976), hlm.83-5.

[31]Sekretariat Negara Republik Indonesia, Himpunan Pidato Presiden Republik Indonesia, Triwulan ke-III (Jakarta: Setneg, 1977), hlm.201-03.

[32]Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, Terjemahan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm.155.

[33]Suara Karya (Jakarta: 21 April 1981); Pelita (Jakarta: 21 April 1981); dan Kompas (Jakarta: 21 April 1981).

[34]Gerakan DI dibangun oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tahun 1948 dalam Konferensi Umat Islam Jawa Barat di Pangawedusan, Desa Cisayong, Garut, Jawa Barat. Kartosoewirjo memproklamirkan NII pada tanggal 7 Agustus 1949. Pengaruh DI/NII sempat meluas ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah Indonesia menghancurkan Gerakan DI/NII pada tahun 1962. Selanjutnya lihat Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Terjemahan (Jakarta: Grafiti Pers, 1983);  Karl D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion (Berkeley: University of California Press, 1980); Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo, Terjemahan (Jakarta: Sinar Harapan, 1995); Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII, Terjemahan (Jakarta: Grafiti Pers, 1989); Anhar Gonggong, Abdul Qohhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga Pemberontak (Jakarta: Grassindo, 1992); dan Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, Terjemahan (Jakarta: Grafiti Pers, 1990). Antara tahun 1962-1970 seluruh tahanan eks DI Jawa Barat ditangani oleh Kodam Siliwangi. Namun, sejak tahun 1970 penanganan tahanan eks DI Jawa Barat diambil alih oleh Deputy III Bakin, Letjen Ali Moertopo. Selanjutnya lihat Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (Jakarta: Sinar Harapan, 1998); dan Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980 (Jakarta: Sinar Harapan, 1992).

[35]Martin van Bruinessen, 1992, Op.Cit., hlm.17.

[36]Faisal Ismail, 1999, Loc.Cit..

[37]Ikhwanul Muslimin didirikan pada tahun 1928 di Ismailiyah, Mesir, oleh Hasan Ahmad Abdul Rahman al-Banna (1905-1949). Lihat Richard Mitchell, The Society of The Muslim Brothers (London: Oxford University Press, 1969); dan Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Terjemahan (Solo: Intermedia, 2000).

[38]Wawancara terpisah dengan mantan anggota gerakan usroh Abdullah Sungkar, Solo seperti dengan Fadilah, Lahir 1958 (Jakarta: 27 November 2000); dan dengan Seman Sodikin, Lahir 1963 (Jakarta: 27 Nopember 2000).

[39]Wawancara terpisah dengan Nur Hidayat, Lahir 1959 (Jakarta: 20 Juni 2000); dengan Wahidin, Lahir 1949 (Jakarta: 2 Maret 2000); dengan Sudharsono, Lahir 1963 (Jakarta: 3 Juni 2000); dengan Arifin Agule, Lahir 1961 (Jakarta: 10 Juni 2000); dengan Abdul Haris, Lahir 1965 (Jakarta: 6 Juni 2000); dan dengan Fausi Isman, Lahir 1967 (Jakarta: 2 Maret 2000).

[40]Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini” dalam Prisma, No.4, Th.XII (Jakarta: LP3ES, April 1984), hlm.33.

[41]Lihat C. Behan McCullagh, The Truth of History (London & New York: Routledge, 1998), hlm.177-88.

[42]Sartono Kartodirdjo, 1959, Loc.Cit..

[43]Sartono Kartodirdjo, 1984, Loc.Cit..

[44]Sartono Kartodirdjo, “Pandangan Sejarah tentang Peristiwa Lampung” dalam Kompas (Jakarta: 21 Pebruari 1989); dan “Peristiwa Lampung dalam Perspektif Sejarah” dalam Editor, No.26, Th.II (Jakarta: 25 Pebruari 1989).

Comments are closed.