Agency Dan Mentalite: Pendekatan Dalam Memahami Perubahan Sosial

Oleh: Dr. Agus Mulyana, M.Hum

Rea;itas masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Pluralisme masyarakat Indonesia sangat menentukan bagaimana perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Pemahaman terhadap perubahan ini penting, untuk mengarahkan ke mana arah perubahan tersebut. Arah perubahan dapat berupa perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat yang moderen.  Hal yang perlu dipahami adalah bagaimana karakteristik pluralisme merupakan modal untuk membangun suatu masyarakat yang moderen ? Apakah modernisasi yang terjadi di Indonesia harus berkiblat pada arus besar dunia (globalisasi) ? Bagaimana nilai-nilai tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia menjadi modal sosial dalam membangun perubahan ke depan ?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas diperlukan adanya pendekatan dalam memahami perubahan masyarakat. Pendekatan yang digunakan dapat berangkat dari teori-teori yang muncul dari ilmu sosial. Dua pertanyaan yang muncul untuk memahami perubahan tersebut yaitu pertama bagaimana perubahan itu terjadi ? Faktor apa yang berperan dalam menentukan perubahan tersebut ?

Dalam makalah ini penulis ingin menyampaikan salah satu pendekatan yang digunakan dalam memahami perubahan masyarakat adalah pendekatan strukturis. Ciri penting dari pendekatan ini, adalah dengan menampilkan agency dan mentalite dalam melihat perubahan masyarakat. Perubahan yang dikaji dalam pendekatan ini adalah perubahan dalam pengertian sejarah. Salah satu kajian penting dari sejarah adalah perubahan sosial.

Masyarakat Sebagai Struktur yang Berubah

Secara teoretis masyarakat dapat disefinisikan sebagai suatu sistem dari kebiasaan-kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan  tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah.[1]

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan ciri masyarakat yaitu :

  1. Sekumpulan individu-individu.
  2. Merupakan satu kesatuan.
  3. Bercampur untuk waktu yang lama.
  4. Merupakan suatu sistem hidup bersama.[2]
  5. Selalu berubah

Kumpulan individu-individu yang ada dalam masyarakat akan membentuk suatu struktur. Struktur yang terbentuk dalam masyarakat akan menunjukkan suatu perubahan. Bagaimanakah struktur itu berubah ? dan bagaimana cara memahami perubahan tersebut ?

Untuk memahami bahwa masyarakat itu merupakan suatu struktur yang berubah, terlebih dahulu kita harus memahami pengertian struktur. Struktur adalah bangunan abstrak yang terbentuk oleh sejumlah komponen yang satu sama lain saling berhubungan.[3] Struktur merupakan suatu yang abstrak berarti struktur itu berada dalam kognisi manusia.

Berdasarkan pengertian struktur seperti itu, berarti bahwa masyarakat sebagai suatu struktur hanya ada dalam koginisi manusia. Masyarakat pada dasarnya merupakan suatu realitas sosial. Struktur bukan lah suatu realitas yang real kasat mata, tetapi struktur ada karena diciptakan oleh ilmuwan dalam melihat realitas sosial. Penciptaan struktur dalam kognisi manusia dilakukan dengan menggunakan teori dalam menjelaskan realitas sosial. Dengan demikian struktur dibangun oleh kognisi peneliti.

Pengertian struktur sebagaimana dikemukakan di atas sebenarnya merupakan suatu cara pandangan yang konstruktivis dalam melihat realitas sosial. Dalam model ini,  strategi penelitian diletakkan dalam hubungan subjek dengan realitas dalam kesadaran subjek peneliti. Realitas dalam kesadaran subjek itu bisa bermula dari hasil pengamatan, partisipasi dalam interaksi, dialog mendalam, membaca, dan sebagainya. Orientasi penemuannya bukan pada proposisi-proposisi yang sistematis sebagai good science, melainkan pada pemahaman verstehen,[4] yakni pemahaman atas makna realitas yang mengatasi kenyataan kongkret realitas itu sendiri. Pembentukan pemahaman tersebut kuncinya terletak pada daya refleksivitas dan indeksikalitas. Daya refleksivitas mengacu pada kemampuan menemukan dan merefleksikan dunia pengalaman. Indeksikalitas megacu pada kemampuan membahasakan kembali refleksi dunia pengalaman ke dalam lambang-lambang kebebasan guna memahami pertalian maknanya dengan objek pemahaman secara asosiatif.[5]

Cara pandang melihat masyarakat sebagai struktur sebagaimana dikemukakan di atas pada dasarnya merupakan cara pendekatan yang sering digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. Pendekatan penelitian seperti ini merupakan cara yang membedakan dengan ilmu-ilmu alam. Pada umumnya, dalam penelitian ilmu alam objek yang diteliti merupakan realitas yang kasat mata, bersifat kwantitatif dan mengandung hukum-hukum umum atau universal (hukum alam). Sedangkan dalam penelitian ilmu sosial dan budaya, realitas sebagai objek penelitian merupakan objek yang khas, peneliti harus bisa masuk ke dalam realitas tersebut dan terjadi interaksi antara peneliti dan realitas yang diteliti, kemudian peneliti dapat memberikan pemaknaan terhadap realitas yang ditelitinya.

Setelah memahami masyarakat sebagai suatu struktur, maka berikutnya bagaimana struktur itu berubah. Untuk memahami hal tersebut, maka pendekatan sejarah dapat digunakan dalam melihat perubahan suatu masyarakat. Objek studi sejarah pada dasarnya adalah masyarakat manusia. Hal yang diperhatikan dalam studi sejarah adalah bagaimana perubahan yang terjadi pada masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Ciri utama dari ilmu sejarah adalah konsep ruang dan waktu. Konsep waktu dalam sejarah dapat berupa suatu waktu yang berkesinambungan karena sejarah merupakan suatu proses kesinambungan.[6] Sejarah  bukanlah proses yang terputus.[7] Kesinambungan antara masa lalu dan masa kini akan menunjukkan adanya suatu perubahan.

Perubahan masyarakat dalam konteks waktu dapat dilihat dari berbagai pola tindakan yang dilakukannya. Misalnya perubahan dari masyarakat yang tradisional menuju ke arah moderen. Para ilmuwan sosial dapat mengamati perubahan ini secara langsung masuk ke dalam realitas kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Hal yang dapat diteliti dari perubahan tersebut adalah bagaimana proses perubahan itu berlangsung dan aspek-aspek apa saja yang menentukan terhadap keberlangsungan perubahan tersebut.

Agency dan Mentalite

Agency dan mentalite merupakan faktor yang harus dicari oleh peneliti dalam realitas sosial. Pendekatan yang digunakan dalam melihat perubahan sosial dengan melihat agency dan mentalite adalah pendekatan strukturis. Pendekatan ini lazim digunakan dalam penelitian sejarah.

Untuk memahami agency dan mentalite terlebih dahulu harus memahami dasar ontologi yang digunakan dalam melihat masyarakat sebagai realitas sosial. Secara ontologis  ada dua pengertian yang berbeda tentang masyarakat. Pandangan dari teori holistik menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang terintegrasi secara ketat (tightly integreted), sedangkan menurut teori strukturis masyarakat adalah sekumpulan individu yang terintegrasi secara longgar (lostly integrated). Dalam pandangan pertama masyarakat itu bukan merupakan struktur berubah, sedangkan dalam pandangan kedua masyarakat itu merupakan struktur yang berubah.

Untuk meneliti perubahan sosial dalam suatu masyarakat maka pandangan ontologis yang kedualah yang kita pakai. Pandangan tersebut sesuai dengan pendekatan strukturis. Perubahan sosial terjadi dalam masyarakat karena adanya interaksi antar individu dengan kelompoknya di dalam maupun dengan pihak luar. Interaksi ini terjadi karena individu-individu melakukan aksi-aksi dalam mencapai interesnya. Apabila terdapatnya interes yang sama maka akan terbentuklah komunitas.[8]

Metodologi structuris berdasarkan pada ontologi realisme ilmiah. Realitas yang dicari dalam metodologi structuris bukanlah keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi mencari apa yang dinamakan “causal factors” atau “causal mechanism” yang tidak kasat mata (unobservable).[9]

Struktur sosial yang dimaksud dalam pendekatan strukturis bukanlah kumpulan manusia yang kongkret, tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalitie).

Beberapa konsep penting yang menyangkut ontologi dalam metodologi structuris adalah struktur sosial yang longgar, “agency” dan mentality.  Struktur sosial dikatakan longgar karena determinisme struktur yang tidak mencakup seluruh masyarakat. Dalam struktur yang demikian individu-individu tertentu ataupun keleompok sosial tertentu dalam masyarakat bersangkutan dapat mengambil langkah-langkah tertentu, baik untuk mempertahankan struktur sosial  (“reproduksi”) ataupun tindakan-tindakan yang mengubah masyarakat (“transformasi”).

“Agency” adalah bagian mutlak dari struktur sosial dan tidak bisa berdiri sendiri tanpa struktur sosial. Llyod mengemukakan, agency adalah kekuatan otonom dari suatu struktur sosial. Agency juga adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk bertindak atas nama yang lain, sesuai dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Agency adalah individu atau kumpulan individu yang kongkret yang dapat ditangkap oleh pancaindera (“observable”).[10] Dalam ilmu sejarah agaecy terutama terkandung dalam “sumber sejarah”.

“Mentalitie” mirip dengan “popular culture” dalam masyarakat, yaitu bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka  dan bagaimana mereka mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya.[11]

Dengan dasar ontologi yang menyatakan struktur sosial yang longgar, maka dalam pendekatan strukturis perubahan sosial tidak disebabkan oleh struktur sosial lainnya, tetapi perubahan struktur justru disebabkan oleh tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi berdasarkan pemikiran tertentu.[12]

Pendekatan strukturis merupakan pendekatan yang seolah-olah menggabungkan antara hermenuetika dan struktur. Dalam pandangan lama beranggapan bahwa antara pendekatan hermenuetika  dan struktural menunjukkan adanya dikhotomi. Hermenuetika tidak menampilkan struktur dan struktural tidak menampilkan aspek hermenuetika.

Penggunaan hermenuetika dalam metodolgi strukturis akan nampak manakala si peneliti ketika membaca sumber atau masuk terlibat ke dalam objek yang ditelitinya. Dalam kerja tersebut, peneliti akan melihat komponen “expressed intention” (pelaku dan pemikirannya, peristiwa) yang merupakan fenomena yang kasat mata, dapat ditangkap dengan pancaindera.Sedang struktur sosial  merupakan “unobservable”, tidak dapat ditangkap dengan panacaindera. Struktur sosial hanya dapat ditemukan apabila si peneliti menggunakan teori. Si peneliti melakukan analisis, ketika menampilkan hingga struktur sosial yang tidak kasat mata (ubobservable). Dengan demikian  aspek peristiwa dengan struktur sosial dalam metodologi strukturis menunjukkan adanya hubungan dulaisme simbiosis.

Clifford Geertz ; Sebuah Contoh

Salah satu contoh untuk melihat bagaimana agency dan mentalite ditemukan dalam realitas sosial adalah karya Clifford Geertz. Clifford Geertz adalah salah seorang yang lebih dikenal sebagai seorang antropolog dan banyak mempelajari tentang perubahan sosial di Indonesia. Dia dilahirkan di San Fransisco 1926, menyelesaikan studinya di Antioch College dan Harvard University, dimana ia belajar pada Departement of Social Relations di bawah bimbingan Talcot Parsons seorang ahli sosiolog struktur fungsionalis. Karya-karya Geertz banyak menunjukkan pengaruh dari berbagai aliran pemikiran sosial pada abad ke-20. Beberapa aliran pemikiran yang mempengaruhinya  ialah pertama sintesis idiosentric baru fungsionalis dari Malinowski dan Parson dan sosiologi makro Weber. Kedua Sosiologi agama Weber. Ketiga pemikiran etnografi yang dipengaruhi filsafat bahasa Wittgensteinian sebagaimana didukung oleh Ryle, Winch dan Evans-Prichard. Keempat pengaruh yang sangat kuat dari teori-teori semiotik Kenneth Burke dan Suzanne Langer. Kelima pengaruh teori hermenuetik  yang dikembangkan oleh Ricoeur dan yang lainnya.[13]

Berbagai pengaruh aliran pemikiran sosial yang dipelajarinya membuat Geezt sintesis baru dari ilmu-ilmu sosial. Geertz menggabungkan hermenuetika dan realisme ilmiah.

Dalam metodologi strukturis Clifford Geertz termasuk ke dalam kelompok  realisme simbolik.  Ontologi realisme simbolik adalah ide sentral Geertz. Hal ini dapat kita dapat kita temukan dari metodologi yang digunakannya dalam tulisan-tulisannya.  Realisme simbolik mengandung dua arti, yaitu pertama bahasa adalah struktur real yang simbolik yang ada secara independen di luar  kesadaran, pemikiran dan ucapan seseorang  dan kedua bahasa sebagai realitas yang simbolik mengandung berbagai strata yang otonom yang realistis. Realitas sosial  tidak seperti realitas alam, realitas sosial adalah reproduksi dan transformasi produk dari interaksi sejarah sosial yang ada dalam konteks sosial dengan pemahaman secara simbolik atau bahasa. Bentuk interaksi sosial   timbul dari sistem relasi sosial  yang  yang diorganisir melalui bentuk makna simbolik seperti agama, ideologi, seni, ilmu pengetahuan dan hukum.[14]

Untuk memahami bahwa bahasa mengandung realitas simbolik, Geertz menggunakan pendekatan hermenuetik. Dia memberikan interpretasi yang bersifat simbolik terhadap bahasa yang digunakan oleh penduduk. Interpretasi hermenuetik ini yang ia jadikan sebagai data bagi analisis penelitiannya.

Salah satu karyanya yang mengandung dasar ontology realisme simbolik adalah Negara, The Theater State in Nineteenth-Century Bali (Negara Teater Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas = terjemahan).[15]  Dalam buku ini Geertz membangun kerangka studi sejarah sosial yang ecologis, etnografis, sosiologis dari bentuk perdaban asli Indonesia.

Buku tersebut ditulis oleh Geertz dengan menggunakan pendekatan strukturis.  Penggunaan model pendekatan strkturis nampak dalam buku ini dapat dilihat dalam hal-hal berikut :

Ontology realisme yang menyatakan bahwa masyarakat terbentuk dalam sebuah struktur yang longgar (lostly integrated). Dalam struktur yang longgar  akan menunjukkan bahwa perubahan terjadi bukan disebabkan oleh struktur luar, akan tetapi disebabkan oleh struktur dari dalam yaitu tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi berdasarkan pemikiran tertentu.

Struktur yang longgar nampak sekali pada struktur masyarakat Bali baik individu maupun kelompok yang masing-masing melakukan peran dan tindakan kongkret. Peran dan tindakan ini akan nampak terutama pada upcara-upacara keagamaan, yang masing-masing memerankan fungsinya. Seperti bagaimana peran rakyat, para bangsawan, pendeta dan raja. Dari tindakan-tindakan dan peran-peran tersebut maka akan terlihatlah apa arti dari negara teater, sebagai sebuah pertunjukkan.

Geertz dengan pendekatan yang hermenuetik berhasil menemukan struktur sosial pada masyarakat Bali.  Struktur sosial ini bersifat “emergence” akan nampak  manakala  dilakukan upacara ritual keagamaan. Pada upacara kegamaan inilah peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran mentalitie dapat ditemukan. Dengan pendeketan hermenuetik yang simbolik  Geertz dapat menemukan pemahaman arti sebuah upacara keagamaan seperti yang ia contohkan dalam upacara ngaben.  Dalam pemikiran akal yang sehat, pembakaran mayat adalah suatu tindakan yang  tidak beradab. Akan tetapi, dengan memahami unsur mentalitie yang ada pada masyarakat Bali, makna upacara ngaben ini dapat dipahami secara simbolik.

Mentalitie dalam pengertian pendekatan strukturis adalah bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka  dan bagaimana mereka mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya. Upacara keagamaan merupakan bentuk dari upacara negara. Upacara negara bukanlah suatu kultus negara. Upacara itu merupakan suatu argumen, yang dinyatakan berulang-ulang kali dalam kosakata ritual yang terus menerus, bahwa status duniawi memiliki dasar kosmik, bahwa hierarki adalah asas yang mengatur semesta alam, dan bahwa pengaturan-pengaturan kehidupan manusia hanyalah tiruan-tiruan yang mendekati lebih atau kurang dekat kepada aturan-aturan kehidupan dewata.[16]

Salah satu contoh lagi adalah bagaimana cara memahami seorang janda raja yang ditinggal mati oleh suaminya. Pada saat upacara ngaben janda tersebut harus ikut membakar diri ketika suaminya dibakar. Pada saat menjelang meloncat ke bakaran api, janda tersebut tidak sedikitpun menunjukkan muka kesedihan, dia begitu riangnya bahkan dia merias diri. Tindakan janda tersebut secara akal sehat dapat dikatakan pula suatu tindakan biadab.

Akan tetapi dengan  memahami “mentalitie” masyarakat Bali, tindakan janda tersebut merupakan suatu tindakan yang luhur. Dia menunjukkan kesetiaan yang tinggi pada suami. Melompat pada api, meunjukkan dia akan menuju alam surga yang penuh dengan kedamaian. Sehingga roman muka yang ditampilkan adalah keceriaan.

“Causal mechanism” dapat ditemukan dengan ditemukannya struktur sosial. Dalam “causal mechanism” akan mempertanyakan mengapa orang Bali melakukan upacara keagamaan seperti upacara ngaben tersebut. Maka jawabannya dapat ditemukan dengan mengetahui unsur “mentalitie”nya.

Unsur “agency” dalam karya Geertz dapat ditemukan yaitu pada peran rakyat, pendeta, bangsawan, dan raja. Raja dalam sebuah upacara keagamaan berperan sebagai sutradara dan sekaligus juga pemainnya. Begitu juga rakyat dan kelompok sosial lainnya menjadi pemain dalam pertunjukkan upacara keagamaan. Peran dan tindakan yang dimainkan oleh masing-masing, menunjukkan adanya kekuatan dari masing-masing untuk mengubah struktur.

Dalam memahami realitas sosial Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik yang simbolik. Dalam hal ini Geertz memahami bahasa. Sebagaimana telah dikemukakan, dalam pandangan Geertz bahasa melambangkan struktur sosial. Ritus-ritus keagamaan mengandung ungkapan bahasa. Upacara kegamaan merupakan simbol  terbentuknya apa yang dinamakan negara. Dalam upacara unsur-unsur simbolik banyak diungkap oleh Clifford Geertz. Sebagai contoh dalam upacara ngaben, seperti. bentuk-bentuk peti mati yang digunakan memiliki simbol strata sosial,. Pendeta dibakar dalam peti mati kerbau, bendoro tinggi dalam singa bersayap, bendoro rendah dalam kijang, rakyat jelata dalam binatang mitologis berkepala gajah berbuntut ikan.[17]

Pendidikan sebagai Sistem Budaya

Pemahaman agency dan mentalite sebagaimana telah diuraikan, sesungguhnya dapat diterapkan dalam memahami pendidikan sebagai proses perubahan. Pendidikan pada hakekatnya adalah proses perubahan tingkah laku. Tingkah laku manusia pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh faktor budaya yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian untuk membangun perubahan dalam konteks pendidikan maka harus berpijak pada budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Realitas masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural baik secara etnis, bahasa, agama, budaya dan golongan. Keragaman yang yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, hendaknya harus menjadi dasar filosofis dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Letak geografis wilayah Indonesia yang berimplikasi kepada kwalitas pendidikan yang beragam antar daerah. Penyeragaman terhadap kwalitas pendidikan Indonesia merupakan tindakan yang tidak berpijak terhadap kondisi nyata bangsa Indonesia.

Kebudayaan dalam konteks perubahan pendidikan dapat dipahami sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz. Geertz mengartikan kebudayaan adalah susunan makna di dalam terminologi diri manusia yang meninterpretasikan pengalamannya dan menjadi petunjuk dalam tindakannya.[18] Berangkat dari pemahaman tersebut, maka segala tindakan manusia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimilikinya. Kebudayaan dalam pandangan Geertz hanya ada dalam kognisi manusia dan hal itu terbentuk dikarenakan manusia memberikan interpretasi terhadap pengalamannya. Interpretasi yang diberikan oleh manusia dalam bentuk simbol-simbol yang dapat dilihat dalam prilaku manusia. Jadi Geertz memberikan definisi kebudayaan bersifat idealis.

Pemahaman Geertz tentang kebudayaan sama dengan pengertian mentalite sebagaimana dinyatakan dalam pendekatan strukturis. Mentalite sebagaimana telah dikemukan adalah bagaimana individu atau kelompok mengekspresikan dirinya dan lingkungan sekitarnya melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya. Segalan tindakan manusia menunjukkan mentalite yang ada dalam dirinya. Dengan demikian kebudayaan akan ditafsirkan secara subjektif oleh individu atau kelompok.

Pendidikan sebagai proses perubahan harus melihat bagaimana mentalite yang ada dalam diri individu atau kelompok  suatu masyrakat. Paradigma pendidikan yang harus dibangun adalah dengan berakar dari kebudayaan yang dimiliki oleh suatu mayarakat. Tujuan pendidikan yang harus dibangun adalah bagaimana menemukan dan mengembangkan mentalite suatu kelompok masyarakat menuju pada arah perubahan yang lebih baik.

Nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai positif harus dikembangkan dalam menuju suatu masyarakat yang moderen. Pendidikan yang dikembangkan di Indonesia harus berpijak dari nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indoesia. Modernisasi yang dikembangkan melalui proses pendidikan jangan sampai mencerabut nilai-nilai luhur yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Pendidikan IPS memiliki peran yang sangat penting dalam membangun perubahan msayarakat. IPS adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi. Materi pelajaran IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu sosial yang terintegrasi dalam tema-tema tertentu. Misalkan materi tentang Pasar, maka harus ditampilkan kapan atau bagaimana proses berdirinya (Sejarah), dimana pasar itu berdiri (Geografi), bagaimana hubungan antara orang-orang yang berada di pasar (Sosiologi), bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli di pasar (Antropologi) dan berapa atau jenis-jenis barang yang diperjualbelikan (Ekonomi).[19]

Pengembangan konsep-konsep dari ilmu-ilmu sosial harus berpijak dari kenyataan sosial yang terjadi dan ada di sekitar kehidupan siswa. Sebab ilmu sosial pada hakekatnya adalah studi tentang keberadaan manusia dalam masyarakat.[20] Materi yang dikembangkan dalam IPS harus banyak bersumber dari lingkungan terdekatt siswa. Sebagai contoh sekolah yang berada di daerah perkebunan akan lebih baik tema perkebunan menjadi materi dalam pembelajaran IPS. Perkebunan dapat dijelaskan baik dari aspek geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi dan antropologi. Hal ini penting dilakukan mengingat siswa sudah memiliki interpretasi tersendiri terhadap perkebunan sebagai bentuk dari mentalite yang ada dalam kognisi siswa. Hal yang penting dilakukan oleh guru adalah bagaimana mengembangkan mentalite yang telah tertanam dalam koginisi siswa mampu diarahkan pada sikap untuk mengarah pada perubahan yang lebih baik di masa yang akan datang. Model pengembangan seperti ini merupakan model pengembangan yang berbasis lokal. Akan tetapi pengembangan berbasis lokal dengan tidak menafikan arus besar (globalisasi) dari luar. Basis lokal harus menjadi modal dalam menghadapi masuknya arus besar.

DAFTAR PUSTAKA

Garraghan, Gilbert J., 1957, A Guide To Historical Method,  New York : Fordham University Press.

Geertz, Clifford, (1986), Mojokuto Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Terjemahan, Jakarta : Grafitipers.

…………………….., (2000),  Negara Teater Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas, Terjemahan, Yogyakarta : Bentang Budaya.

Gross, Richard E., et. al. (1978), Social Studies For Our Times, New York : John Wiley & Sons.

Hoed, Benny H. ,”Strukturalisme de Sausure Di Prancis dan Perkembangannya”, dalam Irzanti Sutanto & Ari Angngari Harapan, ed., (2003), Prancis dan KitaStrukturalisme, Sejarah, Politik, Film dan Bahasa, Jakarta : Wedatama Widya Sastra.

Kenworthy, Leonard S., (1981), Social Studies For The Eighties, New York : John Wiley & Sons.

Leirissa, RZ., (1999), Metodologi Strikturis Dalam Ilmu Sejarah, Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Lloyd, Christopher,   (1993), The Structures of History,  Cambridge : Blackwell Publisher.

Maryaeni, (2005), Metodologi Penelitian Kebudayaan, Jakarta : Bumi Aksara.

McCullagh, C. Behan, (1998), The Truth of History,  London & New York : Routledge.

Soekamto, Soerdjono, (1986), Sosiologi Suatu Pengantar, ,  Jakarta : Rajawali Pers.

Sumaryono, E, (1993), Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Ypgyakarta : Kanisius.

Tosh, John, (1984), The Pursuit of History Aims, Methods and new directions in the study of modern history,  New York : Longman.

*) Disampaikan pada Seminar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang diselenggarakan oleh Program Studi IPS  Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 5 Agustus 2006.

 

**) Penulis adalah Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia

[1] R.M. Mac Iver & Charles H. Page, (1961), Society, An Introductory Analysis, New York : Macmillan & Co. Ltd, hlm. 5,  Sebagaimana dikutip Soerdjono Soekamto, (1986), Sosiologi Suatu Pengantar, ,  Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 20.

[2] Ibid, hlm. 20-21.

[3] Benny H. Hoed,”Strukturalisme de Sausure Di Prancis dan Perkembangannya”, dalam Irzanti Sutanto & Ari Angngari Harapan, ed., (2003), Prancis dan KitaStrukturalisme, Sejarah, Politik, Film dan Bahasa, Jakarta : Wedatama Widya Sastra, hlm. 2.

[4] Verstehen secara harfiah berarti pemahaman.Verstehen merupakan cara kerja dalam hermneutik. Lihat E Sumaryono, (1993), Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Ypgyakarta : Kanisius, hlm. 32.

[5] Maryaeni, (2005), Metodologi Penelitian Kebudayaan, Jakarta : Bumi Aksara, hlm. 33.

[6] John Tosh, 1984, The Pursuit of History Aims, Methods and new directions in the study of modern history,  New York : Longman, hlm 1.

[7] Gilbert J. Garraghan, 1957, A Guide To Historical Method,  New York : Fordham University Press, hlm. 21.

[8] C. Behan McCullagh, (1998), The Truth of History,  London & New York : Routledge, hlm. 102.

[9] RZ.Leirissa, (1999), Metodologi Strikturis Dalam Ilmu Sejarah, Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia, hlm. 10-11.

[10] Christopher Lloyd,  (1993), The Structures of History,  Cambridge : Blackwell Publisher, hlm.  93.

[11] Ibid, hlm. 97.

[12] RZ. Leirissa, Op. Cit.,  hlm. 11-12.

[13] Christopher Lloyd,  Op. Cit., hlm. 103

[14] Ibid,  108.

[15] Clifford Geertz (2000),  Negara Teater Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas, Terjemahan, Yogyakarta : Bentang Budaya.

[16] Ibid, hlm. 193

[17] Ibid, hlm. 229.

[18] Amri Marzalai, “Kata Pengantar”, dalam Clifford Geertz, (1986), Mojokuto Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Jakarta : Grafitipers, XV.

[19] Leonard S. Kenworthy, (1981), Social Studies For The Eighties, New York : John Wiley & Sons, hlm. 233.

[20] Richard E. Gross, et. al. (1978), Social Studies For Our Times, New York : John Wiley & Sons, hlm.75.

Comments are closed.