Kajian Kritis Peristiswa Sejarah di Indonesia (PDRI dan G30 S PKI)

Oleh: Dr.  Abdul Haris Fatgehipon

Pendahuluan

Gerakan  reformasi di Indonesia membawa banyak perubahan di berbagai bidang, kebebasan berpendapat secara terbuka  di era refomasi  memberi peluang kepada peneliti, penulis, dan pemerhati sejarah, untuk mengungkap berbagai fakta-fakta sejarah baru secara objektif. Dalam era orde baru tidak bisa dinafikan bahwa pemerintah mendesain berbagai materi sejarah nasional untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.

Campurtangan kekuasaan dalam mendesain materi sejarah menyebabkan materi sejarah kehilangan nilai-nilai objektifitasnya, para siswa, mahasiswa, hanya diajarkan memahami mengahafal apa yang ada dalam buku pelajaran, tanpa diberi kesempatan untuk melakukan telaah kritis terhadap materi pelajaran sejarah yang diajarkan, ini menyebabkan pelajaran Sejarah Nasional Indonesia, terkesan menjenuhkan bagi para siswa dan mahasiwa. Pengaruh  Kekuasaan dalam penulisan sejarah bukanlah hal yang baru dalam sejarah nusantara, dalam era kerajaan Kutai, Sriwijaya, dan Majapahit, banyak didapati prasasti-prasati yang isinya memuji-muji kemasyuran seorang raja, atau dinasti. Isi dari berbagai prasasti tidak bisa dilepaskan dari  pengaruh campurtangan  kekuasaan seorang raja,  terhadap para empu/pujangga pembuat prasasti, dengan maksud untuk melanggengkan kekuasaan.

Campurtangan kekuasaan dalam penyusunan sejarah nasional, tidak selamanya bernilai negatif, selama itu dimaksudkan untuk membangun karakter nasional dan menjaga integrasi nasional sebuah bangsa.  Salah satu contoh, saat  kami melakukan wawancara dengan mahasiswa Jepang yang melakukan studi di Yogyakarta tahun 2001, hasil wawancara ternyata selama mempelajari sejarah nasionalnya di bangku pendidikan, tidak diajarkan   Jepang pernah menjajah Indonesia. Ini menunjukkan bahwa untuk membangun karakter masyarakat Jepang sebagai masyarakat yang berbudaya sangat menghormati nilai-nilai kemanusiaan, Jepang terpaksa harus menyembunyikan sisi gelap kebiadaban tentara jepang dalam Perang Dunia Kedua.

Makalah ini mencoba untuk mengangkat kembali dua peristiwa sejarah di Indonesia yang memunculkan    kontraversi dalam materi sejarah nasional yaitu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan Gerakan 30 September PKI. Di era Orde Baru dimana militer memegang kekuasan  yang dominan dalam politik  penulisan secara, maupun pembuatan suatu film yang benilai secara selalu memunculkan peranan  dominan dari tokoh-tokoh militer, seperti Sudirman dan Suharto.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Propaganda militer dalam penulisan sejarah .Telah memunculkan presepsi publik  di Indonesia, bahwa militer memainkan peranan penting dalam melahirkan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekan Indonesia. Kalau kita menelusuri Sejarah ketatanegaraan kita, para pendiri Negara yang sebagian besar berpendidikan Eropa Barat (Belanda) mendesain Negara Indonesia beasaskan pada (objective civilian control), dimana militer berada dibawa control sipil, sipil yang memagang kendali pemerintahan secara penuh,dan dimasa revolusi sipil tetap memagang kendali atas militer.

Sewaktu agresi tentara Belanda atas wilayah Indonesia di Yogyakarta pada 19 Desember 1948,  Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para menteri mengambil keputusan untuk tetap berada dalam Istana Presiden (Pusat Sejarah dan Tradisi TNI Jilid I, 2002: 174). Alasan utama Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, dan para menteri tidak keluar dari kota untuk memimpin perang gerilya, ialah karena  pertama tidak tersedia pasukan yang cukup untuk menjaga keamanan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, untuk mengawal Presiden dan Wakil Presiden diperlukan kurang lebih dua kompi pasukan tentara (Agung, 1983: 97). Kedua, pemimpin sipil meragukan kemampuan bertempur dan inteljen tentara. Sewaktu Belanda  melakukan agresi ke wilayah Yogyakarta, sebagian besar pasukan tentara Indonesia   sedang melakukan latihan perang di luar Kota Yogyakarta. Ini menyebabkan dengan mudah Kota Yogyakarta akan dikuasai oleh Belanda. Intelejen tentara  tidak mengetahui adanya tanda-tanda agresi  tentara Belanda. Ketiga, dengan berada di dalam kota,  pemimpin sipil berharap dapat berhubungan dengan Komisi Tiga Negara  (Amerika, Belgia, Australia) guna mendesak Belanda kembali ke meja perundingan (Simatupang, 1980:147).

Agar tidak terjadi  kekosongan pemerintahan sipil di Indonesia, Presiden Soekarno sebelum menyerah kepada  Belanda, terlebih dahulu memberikan kekuasaan pemerintahan  kepada Menteri Kemakmuran Sjafrudin Prawiranegara. Kekuasaan juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis, untuk membentuk pemerintahan pengasingan di luar negeri seandainya usaha Syafruddin Prawiranegara gagal.[3] Wakil Presiden Muhammad Hatta menyampaikan pesan tertulis kepada tentara Indonesia dan rakyat Indonesia untuk tetap melakukan perjuangan melawan tentara Belanda, walaupun  pemimpin sipil ditahan (Sardjono, 1981: 68-107). Belanda awalnya tidak menyangka Soekarno dan Muhammad Hatta, akan memberikan peralihan kekuasaan presiden kepada para menterinya yang berada di luar Pulau Jawa dan luar negeri. Belanda sebelumnya telah mengeluarkan maklumat bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, telah menyerah kepada tentara  Belanda[4]

Sjafruddin Prawiranegara, yang pada ketika itu menjalankan kunjungan kerja  ke Sumatera Barat, kemudian mendirikan pemerintahan darurat sipil. Pelantikan Sjarifudin Prawiranegara sebagai ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) diputuskan didalam musyawarah dengan pemimpin sipil dan Panglima Daerah Militer Sumatera, Kolonel Hidayat.[5] Peranan dari Pemerintahan Darurat, yaitu mengawal kekuatan tentara di samping berusaha mendapatkan dukungan diplomatik dunia internasonal  bagi pengakuan  kemerdekaan Indonesia. Istilah ketua digunakan bukan istilah presiden, karena Sjarifudin Prawiranegara tidak mendapatkan surat resmi  tentang penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno. Sjarifudin  Prawairanegara hanya mendengar penyerahan kekuasaan dari radio, sehingga munculnya keraguan, apakah benar Presiden Soekarno dan Muhammad Hatta menyerahkan diri kepada tentara Belanda.  Sjarifudin Prawiranegara tetap meyakini  Presiden Soekarno, tidak akan pernah mau menyerah, sebab Presiden Sokarno  pernah berjanji  kepada rakyat, akan memimpin perang gerilya, apabila tentara Belanda menyerang Indonesia.

Keberadaan PDRI didukung oleh pemimpin sipil dan tentara. Pemimpin tentara  seperti Jenderal Soedirman, Kolonel TB Simatupang (Wakil II Kepala Staf Tentara Perang), dan Kolonel AH Nasution (Wakil kepala Staf Tentara Perang) selalu mengirimkan berita perkembangan tentara Indonesia yang sementara melakukan perang gerilya di Pulau Jawa. Pemimpin tentara juga meminta pertimbangan politik dan strategi kepada Ketua PDRI Sjarifudin Prawiranegara. Ini menunjukkan bahwa tentara Indonesia mengakui Sjarifudin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI yang memiliki kekuasaan dalam pemerintahan sipil. Saat Belanda meminta Soekarno dan Muhamad Hatta yang saat itu telah menjadi tawanan Belanda di Pulau Bangka  untuk berunding dengan Belanda, Jenderal Soedirman mengirimkan telegram kepada Ketua PDRI, yang isinya antara lain menyatakan hal-hal sebagai berikut.

  1. Soal politik dan soal pertahanan tidak dapat dipisahkan karena pertahanan menjadi pendukung politik dalam keadaan perang. Maka Panglima Tentara Soedirman mempunyai beslissende stem dalam menentukan politik status negara atau soal-soal lain yang bersangkutan dengan
  2. Gencatan senjata hanya dapat diberikan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman  setelah  berunding dengan PDRI.
  3. Di Pulau Jawa, mayoritas pemimpin tentara  menyatakan bahwa mereka tidak akan tunduk pada perintah Soekarno dan Muhammad Hatta karena mereka sudah menyerahkan diri menjadi tawanan Belanda. Pemimpin TNI hanya mengakui Sjarifudin Parwiranagara sebagai pemimpin pemerintahan.
  4. Jika pemerintah membuat gencatan senjata dengan tentara Belanda, maka harus dihadiri oleh Ketua PDRI, Pemimpin TNI, dan Anggota Parlemen Sementara (Komite Nasional Indonesia Pusat).

Atas telegram dari Panglima Besar Jenderal Soedirman ini, Sjarifudin Parwiranegara menjawab bahwa soal politik dan tentara, satu sama lain memang erat hubungannya, tetapi menurut penilaian PDRI, tidak benar Panglima Besar Soedirman mempunyai beslissende stem  dalam menentukan sikap politik yang berbeda dengan pemerintah, tetapi tentu saja dalam soal-soal politik yang penting, pemikiran atau pendapat  Panglima Besar Jenderal Soedirman dijadikan pedoman untuk menentukan sikap politik PDRI (Rosidi, 1998: 106-117).

Hal di atas menunjukkan bahwa saat itu pemerintah sipil berada di dalam krisis politik. Oleh karena itu, kesetiaan tentara bukan kepada individu pemimpin, tetapi kepada pemerintah. Panglima TNI Soedirman mengganggap status Soekarno dan Muhamad Hatta adalah sebagai tawanan perang karena telah menyerahkan mandatnya kepada Syarifudin Prawiranegara (Ketua PDRI). Karena itu  Panglima Besar TNI Soedirman hanya mengakui dan melaksakan perintah dari Ketua PDRI Sjarifudin Prawiranegara. Dalam krisis politik Ketua PDRI Sjarifudin Prawiranegara masih tetap mengawal tentara Indonesia,  agar  tidak terlalu jauh mencampuri urusan politik.  Dalam pengambilan keputusan politik yang strategis dalam negara pemerintahan sipil menghargai pendapat dan pemikiran dari Panglima TNI Jenderal Soedirman.

Penulisan  sejarah tentara di  Indonesia yang sering menuliskan  bahwa Soekarno dan Muhamad Hatta menyerahkan diri  kepada Belanda menyebabkan  pemerintahan sipil kehilangan kekuasaan  politik. Kekuatan  tentara  telah  menyelamatkan kedaulatan negara. Penulisan sejarah mengenai peranan PDRI dalam perjuangan kemerdekaan sangat sedikit diungkap dalam era Orde Baru. Hal ini dapat dipahami bahwa selama Orde Baru sejarah kemerdekan Indonesia yang ditulis banyak membesarkan peranan tentara (perjuangan bersenjata) dan jarang menuliskan peranan pihak sipil (perjuangan  politik dan diplomatik). Tentara terutama Angkatan Darat selalu menggangap dirinya sebagai pelindung dan penjaga keselamtan Republik Indonesia dan juga sebagai kekuatan sosial politik.

Meskipun Soekarno dan Muhammad Hatta telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Sjarifudin Prawiranegara, tetapi Soekarno dan Muhammad Hatta masih mau melakukan perundingan damai dengan Belanda. Ini karena Kolonial Belanda  hanya mengakui Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai pemimpin Indonesia. Selepas perundingan dengan Belanda pada 21 Desember 1948,  Soekarno dan Muhamad Hatta dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Yogyakata. Sjarifudin Prawirangera  menyerahkan kembali kuasa presiden kepada Soekarno di Kraton Sultan Yogyakarta pada 13 Juli 1948.[6]

Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang masih memimpin perang gerilya, tidak mau mengakui Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Hal ini  karena tentara tidak mau mengakui perjanjian damai yang disepakati antara Soekarno dan pihak pemerintah Belanda. Soekarno dan Muhammad Hatta, dalam pandangan Jenderal Soedirman hanyalah tawanan perang bukan Presiden dan wakil presiden. Pemimpin tentara juga menilai perjanjian dengan Belanda, banyak merugikan TNI [7]( Lee, 1981: 129-184).

Presiden Soekarno yang menyatakan kepada Kolonel A.H. Nasution akan mundur dari jabatan presiden jika Jenderal Soedirman tidak mengakui Soekarno sebagai presiden. A.H. Nasution kemudian meminta kepada Jenderal Soedirman agar mau mengakui kembali Soekano dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan alasan untuk menjaga keamanan dan keutuhan negara Indonesia dari perpecahan yang disebabkan oleh konflik antar sesama pemimpin, Jenderal Soedirman memutuskan untuk mengakui kembali Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Penulisan  sejarah tentara di  Indonesia yang sering menuliskan  bahwa Soekarno dan Muhamad Hatta menyerahkan diri  kepada Belanda menyebabkan  pemerintahan sipil kehilangan kekuasaan  politik. Kekuatan  tentara  telah  menyelamatkan kedaulatan negara. Penulisan sejarah mengenai peranan PDRI dalam perjuangan kemerdekaan sangat sedikit diungkap dalam era Orde Baru. Hal ini dapat dipahami bahwa selama Orde Baru sejarah kemerdekan Indonesia yang ditulis banyak membesarkan peranan tentara (perjuangan bersenjata) dan jarang menuliskan peranan pihak sipil (perjuangan  politik dan diplomatik). Karena tidak ada pemisahan yang jelas antara hubungan sipil dan tentara di Indonesia. Tentara terutama Angkatan Darat selalu menggangap dirinya sebagai pelindung dan penjaga keselamtan Republik Indonesia dan juga sebagai kekuatan sosial politik.

Sudah waktunya kita sama-sama mengkaji kembali PDRI, dan menempatkan  Sjarifudin Prawiranegara  pada posisi yang sebenarnya, (Presiden Republik Indoensia kedua) kalau kita tidak mengakui Sjarifudin Prawirangera sebagai Presiden Republik Indonesia kedua, itu artinya kita mengakui Indonesia perna lenyap sebagai sebuah negara saat Agresi Mililter Belanda Kedua, harus diakui PDRI telah menyelamatkan kedaulatan negara Indoensia, yang menempatkan posisi Indonesia lebih terhormat dalam sejarah politik Internasional dibandingkan Belanda. Saat Hitler menggerakkan pasukan Jerman menguasai Belanda, Kerajaan Belanda membuat pemerintahan pelarian di Inggris, ini berbeda dengan Indonesia yang tidak pernah membuat pemerintahan pelarian di luar negeri.

Gerakan G30 September PKI

Puncak persaingan politik antara Angkatan Darat dan PKI terjadi saat  peristiwa  pemberontakan Gerakan 30 September pada tahun 1965. Kelompok pemberontak menyebut aksi itu dengan istilah Gerakan 30 September. Bagi Angkatan Darat istilah Gerakan 30 September dijadikan sinonim menjadi Gestapu. Untuk menunjukkan keterlibatan PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September, Angkatan Darat mengubah lagi istilah dari Gestapu  menjadi Gerakan 30 September PKI. Pemberontakan  Gestapu telah mengorbankan tujuh perwira  Angkatan  Darat, yaitu  Letnan Jenderal A. Yani, Major Jenderal Soeprapto, Major Jenderal S. Parman, Major Jenderal Harjono M.T., Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan,  dan Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo. Jenderal AH Nasution selamat tetapi anak perempuan beliau dan pengawal pribadinya Kapten Piere Tendean menjadi  korban.

Keterlibatan PKI dalam Gestapu menjadi tanda tanya besar dalam sejarah politik di Indonesia. Jika PKI yang terlibat dengan maksud mendirikan pemerintahan komunis di Indonesia, mengapa anggota Dewan Revolusi mayoritas berasal dari perwira tentara. Apakah tentara sengaja bergabung dalam Dewan Revolusi Gestapu agar PKI merasa yakin keberpihakan tentara kepada Gestapu. Setelah itu tentara mempunyai alasan untuk menghancurkan PKI dan menyatakan keterlibatan perwira tentara dalam Dewan Revolusi hanya rekayasa PKI.[8] Beberapa bekas anggota Dewan Revolusi sewaktu Orde Baru, menduduki berbagai jabatan penting, seperti  menteri kabinet,  bahkan  Presiden Soeharto memberikan dukungan kepada Jenderal Umar Wirahadikusama yang merupakan bekas Anggota Dewan Revolusi untuk dilantik menjadi Wakil  Presiden 1982-1987.

Nama Soeharto tidak berarti dan tidak dikenal sebelum 1 Oktober 1965. Soeharto berasal dari anak petani miskin di Jawa Tengah yang memilih berkarier  tentara  (Roeder, 1969: 7). Mayor Jenderal Soeharto menghancurkan Gestapu, dan melakukan peralihan  kekuasaan terhadap jabatan KASAD dan mencari dukungan dari kekuatan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian untuk menghancurkan Gestapu.[9] Walaupun demikian Presiden Soekarno tidak memberi kepercayaan kepada Mayor Soeharto untuk memegang jabatan KASAD. Presiden Soekarno menyatakan bahwa Kepala Staf Angkatan Darat dijabat langsung oleh Presiden Soekarno dan memberi kekuasaan kepada Mayor Jenderal Supranoto untuk melaksanakan tugas sehari-sehari Kepala Staf Angkatan Darat.[10] Presiden Soekarno juga menganggap peristiwa Gestapu adalah persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan (Pusat Penerangan Angkatan Darat, 1965: 75-76). Sikap Presiden Soekarno ini lebih banyak disebabkan oleh keinginan untuk mendamaikan situasi. Mayor Jenderal Soeharto dilihat oleh Presiden Soekarno, mempunyai keinginan yang kuat untuk menghancurkan PKI. Sebagai seorang politisi, Soekarno berpikir dengan dihancurkannya PKI oleh Angkatan Darat, maka Angkatan Darat akan muncul menjadi kekuatan politik utama di Indonesia. Kedudukan Soekarno sebagai presiden akan semakin terancam.

Meskipun Soeharto tidak diberi kuasa oleh Presiden Soekarno untuk menjabat KASAD, Mayor Jenderal Soeharto mendapat dukungan dari para perwira tinggi Tentara Angkatan Darat.  Mayor Jenderal Soeharto kemudian menugaskan Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) melakukan penyerangan terhadap berbagai tempat yang di kuasai oleh Gestapu (stasiun radio, lapangan terbang  Halim Perdana Kusuma).[11] Dalam waktu hanya 9 jam RPKAD dapat menguasai tempat-tempat startegis yang diduduki Gestapu. Hal ini memperlihatkan pemberontakan Gestapu tidak direncanakan dengan baik dan tidak memiliki kekuatan tentara yang kuat. Pasukan yang digunakan dalam pemberontakan Gestapu adalah pasukan penjaga keamanan presiden, Cakrabirawa (bukan pasukan tempur) yang mayoritas berasal dari Angkatan Darat.  Hanya terdapat  dua Batalion tentara Infanteri yang berasal dari Kodam Brawijaya Jawa Timur (Batalion 530) dan Kodam Diponegoro Jawa Tengah (Batalion 454). Kedua batalion tersebut tidak memiliki persiapan untuk berperang karena mereka datang ke Jakarta untuk menghadiri  hari ulang tahun Tentara Indonesia. [12]

Terjadi perbedaan pandangan mengenai peristiwa Gestapu di antara sesama Pemimpin Tentara. KASAU menyatakan Gestapu bertujuan untuk mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi Presiden Soekarno dari   gerakan subversif CIA, karena itu Angkatan Udara akan mendukung setiap gerakan yang progresif revolusioner, dan sebaliknya akan menghancurkan setiap usaha yang membahayakan revolusi Indonesia.[13] (Pusat Sejarah TNI Jilid III, 2000: 228).  Saling curiga di antara tentara terjadi. Angkatan Darat menuduh Angkatan Udara mendukung Gestapu PKI, begitu juga sebaliknya, dengan berbagai alasan Angkatan Udara menuduh Angkatan Darat yang mendukung Gestapu. Hingga saat ini (era reformasi), sejarah Gestapu menjadi duri dalam sejarah tentara di Indonesia.

Mayor Jenderal Soeharto juga menyampikan pernyataan  lewat RRI dan menuduh  organisasi penyokong PKI, Pemuda Rakyat, dan Gerakan Wanita Indonesia sebagai pelaku penculikan dan pembunuhan Perwira Angkatan Darat. Beliau juga menuduh Angkatan  Udara terlibat dalam Gestapu[14] . Letnan  Kolonel Untung sebagai pemimpin kudeta adalah sosok yang tidak dikenal oleh kalangan tentara dan masyarakat sipil. Beliau dikenal sebagai perwira tentara yang setia terhadap Soekarno dan tidak memahami politik. Oleh karena itu, banyak pihak yang menilai Letnan Kolonel Untung hanya digunakan dan dikorbankan untuk kepentingan pihak lain.[15] Mayor Jenderal Soeharto sendiri sangat mengenal Kolonel Untung. Major Jenderal Soeharto pernah menjadi pemimpin Letnan Kolonel Untung di kesatuan Angkatan Darat Solo. Letnan Kolonel Untung pernah bersama-sama Major Jenderal Soeharto ikut dalam perjuangan kemerdekaan Irian Jaya dari Belanda tahun 1962. Karena Letnan Kolonel Untung adalah perwira tentara yang berideologi radikal kiri membuat Soeharto berkesimpulan Gestapu adalah suatu kudeta golongan ektrim kiri (Roeder, 1969:13). Banyak pihak meragukan tuduhan Soeharto bahwa Letnan Kolonel Untung adalah perwira tentara yang berideologi kiri (komunis). Dalam mahkamah yang mengadili Letnan Kolonel Untung, tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa Letnan Kolonel Untung adalah anggota atau agen Partai Komunis Indonesia (Crouch, 1984: 115).

Berbagai teori yang muncul dari para peneliti politik dan sejarah tentara di Indonesia mengenai peristiwa Gestapu. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju tentang keterlibatan PKI dalam Gestapu. Benedict Anderson dan Ruth Mc Vey dalam bulan Januari 1966 mengajukan makalah (baru diterbitkan pada tahun 1977) mereka yang mengemukakan pemikiran bahwa PKI tidak ikut dalam kuteda Gestapu (May, 2001: 104). Para sarjana barat dari Cornel University mengemukakan suatu hipotesis alternatif, bahwa masalah PKI merupakan persolan internal tentara, di mana beberapa Kolonel yang berasal dari etnis Jawa yang tidak puas, kecewa dan memberontak melawan para Jenderal yang tidak mendukung konfrontasi dengan Malaysia. PKI  bukan pelaku kudeta, karena kudeta akan hanya merugikan PKI. Kedudukan PKI saat itu begitu nyaman di bawah naungan kekuasaan Presiden Soekarno. Apabila terjadi perubahan maka sangat merugikan PKI dan strategi terbaik PKI saat itu mempertahankan status quo (Brackman, 2000: 226-227).

Kudeta oleh kelompok Letnan Kolonel Untung bukan kudeta sungguhan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh kelompok kanan Angkatan Darat, yakni Jenderal Soeharto untuk melenyapkan lawan mereka dari golongan tengah, Letnan Jenderal Yani dan kumpulannya. Dengan demikian terbuka jalan golongan kanan (kelompok Soeharto) ini  kemudian untuk melakukan penghancuran terhadap PKI, yang  telah lama dipersiapkan. Selanjutnya menuju pembentukan diktator tentara pada waktu berikutnya (Scott, 1985: 101).

CIA  juga dituduh oleh banyak pihak berada di belakang peristiwa Gestapu, dengan melakukan konspirasi dengan perwira-perwira Angkatan Darat (Bradley & Lubis, 1991: 173). Amerika mempunyai kepentingan luar negeri untuk mengamankan negara-negara di kawasan Asia Tengara agar tidak dikuasai oleh pemerintahan komunis (Legge, 2003: 4). Amerika merasa lebih aman pemerintahan sipil di Indonesia dikuasai oleh tentara, karena mereka adalah satu-satunya kekuatan di Indonesia yang dapat menghancurkan PKI. Politik luar negeri Indonesia di masa itu sangat dekat dengan negara-negara komunis (Cina dan Soviet), dan memusuhi negara-negara kapitalis (Amerika). Salah satu cara untuk menghancurkan PKI adalah Amerika harus bekerjasama dengan perwira tentara yang anti terhadap PKI dan berani menetang Presiden Soekarno. Sejak tahun 50an, Amerika selalu menggunakan tangan tentara yang membangkang terhadap Soekarno untuk membunuh Soekarno tetapi selalu gagal . Amerika juga mendukung dan memberi bantuan dana dan senjata kepada kelompok pemberontak di berbagai daerah di Indonesia, yang membangkang terhadap pemerintahan Soekarno[16] (Adams, 1980: 22).

Banyak perwira tentara Indonesia yang dididik di Amerika di tahun 1950, ada 15  perwira tentara yang belajar di Amerika. Pada tahun 1951 hingga 1957 kurang lebih 200 perwira tentara yang belajar di Amerika dan sebagian besar Angkatan Darat. Pertengahan  tahun 1958 jumlah perwira tentara yang belajar di Amerika sebanyak 300 orang (Mrazek, 1997: 30). Data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika hingga 30 Juni 1963 tidak kurang dari 2050 perwira tentara yang belajar dan berlatih berbagai keterampilan di Amerika. Amerika mendanai bantuan keamanan 1950-1982, kecuali 1965 dan 1966. Besar bantuan 13 juta USD pertahun (Tamara, 2000: 31).

Banyak pemimpin politik utama di Washington, seperti direktorat perencanaan CIA sudah lama berkeyakinan bahwa politik anti komunis di Indonesia dilakukan dengan cara menghancurkan Presiden Soekarno dan PKI (Scott, 2001: 32). Mantan Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green, dalam bukunya menulis bahwa Angkatan Darat dan  kelompok yang bukan komunis di Indonesia beruntung, karena Mayor Jenderal Soeharto tidak dibunuh oleh Gestapu. Mayor Jenderal Soeharto tidak dibunuh oleh Gestapu  mungkin karena ia tidak masuk dalam Staf langsung dari Jenderal A. Yani atau garis komando tingkat atas. Letnan Kolonel  Untung merupakan orang yang tidak dikenal karena ia baru dipindahtugaskan dari Jawa Tengah untuk memimpin Batalion pertama pasukan pengawal Presiden, Resimen Cakrabirawa (Green, 1991: 251). Pernyataan dari Duta Besar Amerika ini mengambarkan suka cita mereka atas kejayaan Mayor Jenderal Soeharto dalam menghancurkan komunis di Indonesia. Walaupun Major Jenderal Soeharto tidak terlibat dalam politik dan tidak mendapatkan pendidikan militer luar negeri (di Amerika) sebagaimana Letnan Jenderal A. Yani dan AH. Nasution, tetapi Soeharto sepertinya bukan merupakan orang asing lagi di mata Duta Besar Amerika. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Soeharto dan Amerika (CIA) mempunyai hubungan kerjasama karena sama-sama berada pada kedudukan yang saling menguntungkan.

Malaysia memberikan dukungan kepada penghancuran komunis di Indonesia, dengan memberikan perlindungan politik kepada anggota-anggota politik yang membangkang kepada Soekarno, seperti Des Alwi dan Sumitro Joyohadikusumo.[17]  Pemimpin Malaysia juga membina hubungan kerjasama secara rahasia dengan perwira-perwira Angkatan Darat. Sewaktu konfrontasi Indonesia dan Malaysia perwira-perwira Angkatan Darat secara rahasia mengambil sikap yang berbeda dengan Presiden Soekarno dan pendukungnya. Pemimpin Angkatan Darat dan Pemimpin Angkatan Laut tidak setuju melakukan konfrontasi dengan Malaysia, karena itu mereka melakukan sabotase sehingga tidak terjadinya perang terbuka dengan pihak Malaysia (Crouch, 1997 :228).

Pemimpin Angkatan Udara yang mendukung konfrontasi dengan Malaysia  melakukan kongsi politik dengan Presiden Soekarno dan PKI (Bracman, 1969: 35). Pemimpin Angkatan Darat dan Angkatan Laut menilai konfrontasi dengan Malaysia hanya akan menguntungkan PKI, dan semakin memperkuat kekuasaan politik komunis di Asia Tenggara; PKI berada di barisan yang paling terdepan dalam perjuangan untuk menghancurkan Malaysia . Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman menyatakan “Nasib negara-negara dunia Melayu bergantung kepada Indonesia, jika komunis berhasil mengambil kekuasaan politik di Indonesia, maka negara-negara Melayu lainnya di Asia Tenggara, menunggu waktu saja untuk jatuh dalam kekuasaan komunis (Malaysian Information Service, 1966:55). Tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, pemimpin Angkatan Darat meminta bantuan Des Alwi yang memiliki hubungan dekat dengan anggota-anggota politik Malaysia guna membuka jalan perundingan damai antara Indonesia dan Malaysia[18] (Pour, 1993: 328) Perundingan  damai tercapai setelah Jenderal Soeharto dilantik sebagai Persiden  Indonesia.

Setelah Pemberontakan Gestapu terjadi unjuk rasa dari para mahasiswa dan pihak sipil, dengan memperjuangkan tiga tuntutan yang dikenal dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu menuntut Presiden Soekarno membubarkan PKI, penurunan harga barang, dan pembubaran Kabinet Dwikora.[19] Presiden Soekarno menolak tuntutan mahasiswa ini, bahkan dalam musyawarah Kabinet Ampera pada tanggal 15 Januari di Bogor, Presiden Soekarno menuduh aksi-aksi mahasiswa telah dipengaruhi  oleh Nekolim (Neo kolonialisme dan imprealisme) terutama CIA (Central Intelligence Agency). Dalam unjuk rasa tersebut salah seorang  mahasiswa yang bernama Arif Rahman Hakim tewas ditembak oleh pasukan tentara. Peristiwa ini menyebabkan keamanan kota   Jakarta tidak terkawal; kerusuhan terjadi di mana-mana dan meluas ke seluruh wilayah Indonesia.[20] Sampai saat ini, tidak jelas siapa pelaku penembakan Arif Rahman Hakim. Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya tidak menjelaskan secara tegas siapa pelaku penembakan terhadap Arif Rahman Hakim ( Dwipayana & Ramadhan, 1998:163).

Menghadapi aksi dari mahasiswa yang menentangnya, Presiden Soekarno dan pendukungnya mendirikan organisasi yang bernama Barisan Soekarno. Berbagai kelompok mahasiswa muncul mendukung organisasi Barisan Soekarno, termasuk di dalamnya Organisasi Mahasiswa Universitas Indonesia. Ini menunjukkan Presiden Soekarno memiliki  banyak pendukung yang setuju dengan ide-idenya tentang perlawan terhadap neo kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara super power (Amerika). Setelah peristiwa Gestapu banyak masyarakat Indonesia yang masih mempercayai dan menaruh harapan kepada Soekarno untuk melakukan perubahan terhadap krisis politik dan ekonomi di Indonesia. Unjuk rasa yang dilakukan oleh para mahasiswa yang menentang Presiden Soekarno tidak berdiri sendiri tetapi mendapat  dukungan dan perlindungan dari Angkatan  Darat, sebagaimana yang diakui oleh Soeharto: ”Saya berulang kali mengadakan hubungan dengan para mahasiswa, saya mendengar pendapat mereka, keinginan mereka, dan hasrat mereka.     

Sewaktu Presiden memberikan arahan dalam musyawarah para menteri di Istana Negara pada 11 Maret 1966, diluar Istana Negara ada pasukan bersenjata tanpa menggunakan uniform tentara. Presiden Soekarno kemudian memberhentikan musyawarah dan bersama stafnya terbang dengan helikopter untuk menyelamatkan diri ke Istana Presiden di Bogor.  Pasukan yang tidak beruniform tersebut adalah pasukan Angkatan  Darat yang ditugaskan oleh Soeharto untuk mengamankan musyawarah. Komandan pasukan tersebur Brigadir Jenderal Kemal Idris. Penempatan pasukan tentara yang tidak berunifrom di sekitar Istana Negara oleh Soeharto, merupakan bentuk tekanan pisikologis (memunculkan perasaan cemas) kepada Presiden Soekarno. Mayor Jenderal Soeharto sengaja menggunakan kekuatan Angkatan Darat yang berpihak kepadanya untuk menekan Presiden Soekarno.

Mayor Jenderal Soeharto mengutus tiga perwira tinggi tentara, meminta kepada Presiden Soekarno untuk memberikan surat resmi pemberian kekuasaan untuk memulihkan  keamanan  negara kepada Mayor Jenderal Soeharto. Sampai  saat ini masih ada perbedaan pendapat  mengenai  pemberian surat kuasa dari  Presiden Soekarno kepada  Mayor Jenderal Soeharto yang lebih dikenal dengan  istilah Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret). Banyak berpendapat pemberian surat kuasa itu diberikan dengan terpaksa karena adanya tekanan dari pihak perwira tinggi Angkatan Darat kepada Presiden Soekarno.

Mayor Jenderal Soeharto tanpa pemberitahuan kepada Presiden Soekarno, kemudian membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia. Tindakan Soeharto membubarkan PKI mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi mahasiswa dan sipil, seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Pemuda Ansor, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.

Selepas penghancuran PKI, organisasi-organisasi mahasiswa dan sipil dengan mendapatkan dukungan dan perlindungan dari Angkatan Darat, melakukan tuntutan untuk meruntuhkan kekuasan Presiden Soekarno. Mayor Jenderal Soeharto mengambil sikap yang tidak jelas, di mana dalam berbagai pernyataan resminya tetap menyatakan dukungan dan memberikan perlindungan atas keamanan Presiden Soekarno, tetapi secara diam-diam beliau menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Soekarno. Hal ini dapat dimengerti sebab apabila Mayor Jenderal Soeharto menyatakan sikap terbuka membangkang terhadap Presiden Soekarno, maka  akan menimbulkan simpati dari masyarakat sipil dan anggota tentara yang masih setia dan hormat kepada Presiden Soekarno. Presiden Soekarno di mata masyarakat Indonesia bukan hanya sebagai Presiden tetapi juga sebagai pemimpin besar yang  berkharisma[21] .

Sikap Presiden Soekarno yang ragu untuk menyatakan PKI sebagai  pelaku Gestapu dan berkeberatan membubarkan PKI di Indonesia, menyebabkan beliau berada pada kedudukan yang berlawanan dengan berbagai kekuatan sipil dan tentara di Indonesia, yang telah bersatu padu melawan PKI. Pihak tentara telah menciptakan isu seolah-olah Presiden Soekarno tahu mengenai Gestapu dan menyebabkan kedudukan Presiden Soekarno berada pada keadaan yang lemah. Pengikut setia Presiden Soekarno, banyak yang dipenjarakan oleh Angkatan Darat dengan alasan terlibat G30/S atau anggota PKI. Banyak pengikut Soekarno (Soekarnoisme) yang tidak tahu menahu dan bukan anggota PKI menjadi korban.

Keadan ini menciptakan rasa ketakutan pada masyarakat sipil. Pengikut Soekarno banyak yang berpaling tidak mendukung Soekarno, karena tidak tahan terhadap resiko politik yang akan dihadapi. Dalam Sidang Parlemen (MPR) Pada 11 Oktober tahun 1967, Jenderal Abdul Haris Nasution (Ketua MPR) – dengan menggunakan uniforom Angkatan  Darat – melantik Jenderal Soeharto yang juga beruniform Angkatan Darat sebagai Presiden Indonesia menggantikan Soekarno. Peristiwa tersebut menandakan terjadinya peralihan  kekuasaan pemerintahan sipil kepada pihak tentara.

Penutup

Dua peritiswa sejarah di Indonesia PDRI dan G30 S PKI, menjadi pekerjaan rumah bagi para sejarawan dan pemerhati sejarah di Indonesia. PDRI  yang menyelamatkan kedaulatan negara seakan terlupakan dalam lembaran sejarah bangsa, kebanyakan masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa Sukarno perna menyerahkan kekuasaan presiden kepada Syarifudin Prawiranegara, untuk menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Belantara hutan Sumatra. Bagaimana Syarifudin Prawira Negara menjalankan pemerintahan darurat Republik Indonesia di Pulau Sumatra dan pengaruh PDRI  dalam diplomasi Internasional, belum banyak ditulis oleh para sejarawan di Indonesia, menjadi tugas kita semua selaku sejarawan untuk meluruskan sejarah negeri ini, berbagai peristiwa sejarah di Indoensia semestinya di dekati dengan pendekatan keilmuan dan bukan pendekatan  kekuasaan, yang mengintrepretasi peristiwa sejarah disesuikan dengan kepentingan politik penguasa. Kalau kita melakukan kajian analisis sejarah terhadap PDRI kita akan sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa Presiden Republik Indoensia yang  kedua. Syarifudin Prawiranegara member pelajaran kepada masyarakat Indonesia, bahwa kekuasan didapat dengan cara yang terhormat di jalankan dengan amanah dan kekausan dikembalikan dengan keiklasan, bisa di bayakan Syarifudin Prawiranegra yang didukung oleh semua kekuatan TNI,(Panglima Besar Jenderal Sudirman)tidak mengembalikan kekuasaan kepada Sukarno di Yogyakarta. Sukarno saat itu suda tidak mendapat simpatik dan dukungan dari militer dan laskar karena dinilai telah ingkar janji, tidak ikut serta bergerilya dan memilih menjadi tawan Belanda. Demi menjaga keutuhan kedaulatan Negara Indoensia dari perpecahan Syaraifudin Prawiranegara menyerahkan kembali  jabatan presiden  kepada Sukarno.

Persistiwa G30 S PKI sampai saat ini menjadi misteri dalam sejarah nasional Indoensia, selepas era Orde Baru banyak penulisan yang muncul mengenai Gerakan 30 S PKI, hal ini sering membingungkan banyak pihak, banyak pertanyan seputar peristiwa G 30 S PKI, yang belum terungkap, apa motif gerakan tersebut, apakah G 30 S PKI hanya persoalan internal Angkatan Darat, adakah peran CIA dalam peristiwa G30S PKI, kenapa Suhato tidak menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Peristiwa G30 S PKI, harus dikaji lebih kritis oleh para sejarawan motif dan faktor penyabab terjadinya peristiwa G30 S PKI, untuk menjadi pelajaran berharga kepada bangsa ini agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi. Prestiwa G30 S PKI, tidak hanya menyebabkan tewasnya bebera orang perwira TNI, tetapi berhujung pada pembentaian masal yang membawa korban ratusan ribu rakyat yang belum tentu bersalah. Meski bangsa Indoensia sering disebut bangsa yang berbudaya, tetapi bangsa Indonesia juga memiliki sejarah kekerasan yang panjang, suda saat nya para sejawaran dan pemerhati sejarah, melakukan rekonsiliasi nasional lewat berbagai pendekatan kajian penulisan  sejarah yang obyektif dan edukatif.di akhir tulisan ini saya meingatkan kepada kita semua pelajaran  Sejarah tidak semata-mata dilihat sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, tetapi pelajaran sejarah  memiliki misi mulia untuk membangun integrasi dan karakter bangsa.

Daftar Pustaka

  1. Nasution.1984. Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 8 hlm. Jakarta : Haji Masagung

____ 1965, Fundamentals of guerrilla warfare. Singapore: Donald Moore Books.

Ajip Rosidi. 1998. Safrudin Prawira Negara Lebih takut Kepada Allah SWT(biografi Jakarta: Inti Idayu Press

Anak Agung Gede Agung.1983. Renville. Jakarta. Sinar Harapan

Amos, Permuter.1984. The Military and Politics And modern Times. Amerika: Yale University Press

Anas Machfidz. Military Without Militarism. Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan. LIPI. Jakarta

Arbi Sanit1998. Reformasi Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar

Bambang Widjanarko.1998. Sewindu Dekat Bung Karno,Jakarta: Gramedia .

Benedict R. Anderson and Ruth T. Mc Vey.1971. A Preliminary Analysis Of The Oktober 1, 1965, Coup In Indonesia. New York: University

Bilveer Singh. 1996. Dwifungsi ABRI. Jakarta: Gramedia.

Danial Dhaikidae.2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Politik. Jakarta:Gramedia.

G Dwipayana dan Ramadhan K.H. 1998. Biografi Soeharto Pikiran, Ucapan  dan Tindakan Saya.  Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada

Harold Crouch.1984. The Army and Politics In Indonesia, Amerika: Cornell University Press

Harsutejo.2000. G30S  Sejarah Yang Digelapkan Tangan Berdara CIA dan Rejim Suharto.Jakarta: Hasta Mitra.

Hermawan Sulistityo.2000. Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta: Gramedia.

Julius Pour, 1997. Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan.Jakarta:Gramedia

Latif,2000. Pledoi Kolonel A Latiif Soeharto Terlibat PKI. Instute Studi Arus Informasi. Jakarta.

Manai Sofhian.1991. Apa Yang Masi Teringat. Yayasan Mencerdaskan Bangsa:Jakarta

Marshall Green.1999  Dari Sukarno Ke Soeharto.Jakarta: Grafiti.

Mestika Zed.1997. Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sebua Mata  Rantai Sejarah Yang Terlupakan. Jakarta: Pustaka utama Grafiti.

Nugroho Notosusanto.1979. The National Struggle and The Armed Forces In Indonesia,  Jakarta:Department of Information.

Oesman  Raliby.1953.  Dokumen Historica I.Jakarta:  Bulan Bintang

O.G. Roeder.1969. Soeharto Dari Prajurit Sampai Presiden. Jakarta:  Gunung Agung.

Peter Dale Scott. 2001.CIA dan Pengulingan Soekarno.Yogyakarta: Lembaga Analisis Informasi.

Pusat Penerangan Angkatan Darat.1965. Fakta-Fakta Persoalan Sekitar Gerakan 30 September. Balai Pustaka,Penerbitan kusus No 1 tanggal 5 Oktober 1965

Pusat Sejarah ABRI, 1989Bahaya Laten Komunis di Indonesi, Jilid A.Jakarta: Pusjarla

Pusat Sejarah TNI 2000.Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). Jakarta: Mabes TNI

Pusat Sejarah TNI 2000. Sejarah TNI Jilid II (1950-1959). Jakarta: Mebes TNI

Pusat Sejarah TNI.2000 .Sejarah TNI Jilid III (1960-1965),  Jakarta: Mabes TNI .

Ramadhan KH.1982. AE Kawilarang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rex Mortimer.1974. Indonesian  Communism Under Sukarno Ideology And Politics 1959-1965. Oxford University Press:  Cornell University Press,London

Salim Said. 1991. Genis of Power. General Sudirman And The Indonesia Military In Politics 1945-949.Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

T.B Simatupang.1980. Laporan Dari Banaran. Jakarta.  Sinara Harapan.

Ulf Sundhaussen. 1982. Road to Power Indonesian Military Politics 1945-1967.New York: Oxford.

Yusril Dalinus.1998. Jenderal tanpa pasukan politisi tanpa partai. Jakarta: PDAT

William L, Bradley dan Mochtar Lubis.1991.  Dokumen –Dokumen Pilihan Tentang Politik Luar Negeri Amerika dan Asia. Jakarta.: Yayasan Obor

[1] Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS di Bandung tanggal 18-20 Maret 2011

[2] Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Pattimura,[email protected]

[3] Syafruddin Prawiranegara berasal dari  etnik Banten . Beliau adalah ahli politisi dari partai Masumi yang berideologi Islam.

[4] Sebelum Belanda menangkap Presiden Soekarno, kekuasaan  presiden telah diserahkan kepada Sjarifudin Prawira  Negara. Sjarifudin kemudian mendirikan pemerintahan darurat di Pulau Sumatera.Tentara Belanda mengalami kegagalan untuk menangkap Sjarifudin Prawira Negara.

[5] Kolonel Hidayat menjabat sebagai Panglima tentara Indonesia Sumatera, beliau berasal dari suku  Sunda  Jawa Barat.Sewaktu era Presiden Soeharto Hidayat perna menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Australia. Hidayat wafat pada tahun 2005 dalam usia 90 tahun.

[6] Kraton Yogyakarta  dalam waktu revolusi kemerdekaan Indonesia, selalu menjadi  tempat bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, (Kampus Universitas Gajah Mada pertama bertempat di Kraton Yogyakarta) hal ini karena Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengambil sikap politik mendukung Kemerdekaan Indonesia berbeda dengan sikap politik yang diambil oleh Sultan Solo yang mendukung Kolonial Belanda.

[7] Dalam  dua kali perundingan antara  Belanda dan Indonesia, yaitu perundingan  Linggarjati dan Renville, pihak  Belanda selalu melakukan tipu muslihat,  meskipun pemerintah Belanda sangat diuntungkan dengan perjanjian tersebut. Pemerintah Belanda melakukan kecurangan pertama setelah melakukan agresi tentara pada Juli 1947. Selepas Belanda melakukan perjanjian Renville, Belanda melakukan agresi tentara kembali pada Desember 1948. Belanda menyatakan perjanjian renville tidak beralaku lagi dan wilayah Indonesia suda tidak ada .

[8] Selepas peristiwa Gestapu Letkol Untung sebagai pemimpin Gestapu mengeluarkan  maklumat pendirian  Dewan  Revolusi .

[9]  Pengambilalihan jabatan KASAD untuk sementara waktu, karena berdasarkan  kebiasaan yang berlaku dalam organinasi Angkatan Darat, apabila  KASAD Letnan Jenderal A Yani, berhalangan dalam melaksanakan tugas,  maka Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Majen Soeharto) yang mengganti sementara jabatan KASAD. Pengambilalihan jabatan KASAD oleh Soeharto mendapat dukungan oleh semua perwira TNI AD, termasuk Jenderal AH Nasution.

[10] Pranoto adalah Kepalah Staf,  ketika Soeharto menjabat Panglima Devisi Diponegoro.Saat Soeharto menjabat Presiden pada 1967, Pranoto ditangkap oleh Polisi Militer  Pranotoa dituduh terlibat kudeta G30/S PKI, beberapa Jenderal termasuk AH Nasution tidak menilai Pranoto sebagai anggota PKI.

[11] Lewat Stasion Radio Republik Indonesia (RRI) Soeharto menyampaikan maklumat, bahwa gerakan 30 September, merupakan kudeta yang dilakukan oleh PKI dengan menewaskn tujuh orang jenderal. dan Soeharto menyatakan dirinya mengambil alih jabatan  KASAD untuk sementara waktu.

[12] Sebelum tanggal 1 Oktober, Major Jenderal Soeharto selaku Pangostrad melakukan pemeriksaan kesiapan pasukan Batalyon 530 dan Batalyon 454 dalam mengikuti upacara HUT TNI pada 5 Oktober 1965

[13] Markas Besar Tentara  Nasional Indonesia, Sejarah TNI Jilid III (1960-1965), Mabes TNI, Jakarta, 2000: hal 228. Setelah Soharto  menjabat Presiden, Omardani ditangkap karena dituduh terlibat G30/S PKI, Omardani dilepaskan pada tahun 1989.

[14] Lubang Buaya merupakan nama dari daerah di pinggiran Kota Jakarta, sewaktu terjadinya  konfrontasi anatara Indonesia dan Malaysia, Lubang Buaya menjadi tempat latihan militer   pemuda (Pemudara Rakyat dan Gerwani), para  pelatih umumnya berasal dari Angkatan Udara karena berada dikawasan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Sewaktu Konfrontasi, Angkatan  udara  yang dipimpin oleh Komodor Udara Omar Dani, sangat memberikan dukungan kepada Presiden Soekarno untuk melakukan konfrontasi. Angkatan Darat, mengambil sikap tidak membantah perintah Presiden Soekarno, tetapi selalu melakukan sabotase guna mengagalkan pengiriman pasukan Angkatan Darat ke wilayah Malaysia. Setelah Orde Baru berkuasa kawasan Lubang Buaya di jadikan Tugu Peringatan Kesaktian Pancasila, setiap  1 Oktober diadakan upacara di  Tugu  Kesaktian Pancasila untuk memperingati tewasnya para pagawai tinggi Angkatan Darat.

[15] Dalam setiap  kudeta yang dilakukan oleh tentara di berbagai negara, biasanya pemimpin kudeta adalah perwira tentara yang dikenal  internal dan pihak sipil, serta  memeliki pengaruh yang kuat pada internal tentara.

[16] Keterlibatan Amerika secara nyata dapat di buktikan dengan tertembaknya pesawat yang di pakai  pasukan PRRI/Permesta di Pulau Ambon pada  18 Mei 1958, Pilotnya berwarganegara Amerika, bernama Alleen Pope. Allen Pope di jatuhkan hukuman mati oleh pengadilan  Indonesia, tetapi  dengan perjuangan diplomasih Pemerintah Amerika kepada Presiden Soekarno atas nama kemanusiaan Allen Pope dibebaskan oleh Presiden Soekarno  pada 2 Julai 1962.

[17] Des  adalah anak asuh dari Syahrir dan Muhamad Hatta. Soemitro Djojohadikoesoemo, lahir di Jawah Tengah, 29 Mei 1917. Mendapat gelar Doktor dalam bidang ekonomi dari sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam, menjabat Menteri Perdagangan Indonesia 1950-195, Beliau merupakan pakar ekonomi terkemuka Indonesia, dan merupakan anggota Partai PSI.

[18]Sewaktu belajar di Inggeris Des Alwi,  merupakan kawan satu Universitas dengan Tengku Abdul Rahman, Tengku Abdul Razak dan Senu Abdul Rahman.Mahasiswa-mahasiswa Malaysia ini belajar ide-ide kemerdekaan dari Sjahrir yang merupakan bapak asuh dari Des Alwi.

[19] Konsep Tri Tura disusun oleh para mahasiswa di kampus Universitas Indonesia Salemba

[20] Arif Rahman Hakim adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.

[21] Istilah Kharisma dipakai untuk merujuk pada sesuatu kualitas tertentu dari kepribadian individual, dimana sesorang dianggap memeliki kekuatan luar biasa yang tidak terdapat pada orang biasa.   Kekuasaan/kekuatan yang  didapatkan tersebut diyakini berasal dari Tuhan (rahmat Allah), dan atas dasar keyakianan (irasional)itulah seseorang individu dipercayai sebagai pemimpin . (Dhakidae, 17: 264).

Comments are closed.