Historical Bias dan Controversial Issue dalam Pengajaran Sejarah

Oleh: Hansiswany Kamarga

Abstrak

Tujuan utama pengajaran sejarah adalah untuk membantu  siswa mengembangkan  pemahaman  dan  wawasan  sejarah  (historical understanding  and  insight).  Bangsa  yang  kurang  memberi perhatian  pada  sejarahnya,  akan  kehilangan  kapasitasnya untuk  memahami masa kininya serta merencanakan  pembangunan masa  depannya. Sejarah sebagai rekonstruksi masa lalu  yang disusun  secara  jujur dan sistematis merupakan  guru  dalam kehidupan  (magistra vitae). Sebagai rekonstruksi  peristiwa masa lalu, tentu saja penuturan sejarah amat bervariasi.  

Predikat  profesional yang disandang oleh para guru  sejarah seyogianya menempatkan para guru tidak pada posisi  terkejut dan  kebingungan  jika mereka  berhadapan  dengan  penuturan sejarah  yang berbeda-beda itu. Historical bias dan  controversial issue merupakan hal yang wajar dan menantang. Pengajaran dan pendidikan sejarah akan kehilangan makna dan  arah jika  hanya  didasarkan  pada  prinsip  penafsiran  tunggal, lebih-lebih jika dalam penafsiran itu terselubung niat  atau niat-niat  membelokkan atau memelintir sejarah untuk  kepentingan kelompok tertentu.

Kata Kunci : sejarah, bias sejarah, isu kontroversial, pengajaran sejarah

PENDAHULUAN

Memasuki  era  reformasi sebagaimana  kita  alami  sekarang, berbagai gejala baru menantang kehidupan kita. Apa yang  sebelumnya  dirasakan  sebagai hal yang tidak boleh  dibicarakan  secara terbuka,  kini  dengan  bebasnya  dijadikan  sebagai  pokok-pokok perbincangan dan diskusi, bahkan sampai secara terbuka  dipertontonkan lewat layar kaca. Dengan berdalih kehidupan demokrasi yang menjamin  kebebasan,  tampaknya banyak hal  dapat  dilakukan  dan sering  kali tanpa mengindahkan berbagai norma  atau  rambu-rambu yang mengatur kehidupan berbangsa, bernegara, dan  bermasyarakat. Akibatnya hampir susah membedakan perilaku dalam bingkai  kebebasan  dari perilaku yang mendekati anarkhistis. Apa  yang  tadinya harus diterima sebagai kebenaran  yang  final kini mulai diragukan atau dipertanyakan orang.

Dengan  munculnya berbagai informasi yang  berkaitan  dengan peristiwa-peristiwa sejarah di masa lalu, terutama yang berkaitan dengan  G 30 S/PKI atau yang berhubungan dengan tokoh-tokoh  tertentu  dari  rejim  Orde Baru, penuturan  yang  tadinya  diterima sebagai  kebenaran,  mulai diragukan. Di sana sini  mulai  muncul suara-suara yang berteriak untuk meluruskan sejarah.  Guru-guru sejarah di sekolah menjadi ragu akan apa yang sebelumnya diterima sebagai kebenaran dalam proses belajar-mengajar. Mereka pun  ikut berteriak  untuk  mendapatkan kebenaran yang  sesungguhnya  untuk disampaikan  kepada para peserta didiknya. Arus  deras  informasi baru  seakan  mengubah  cakrawala sejarah.

Berkaitan dengan fenomena baru inilah, dicoba untuk diturunkan tulisan ini sebagai perangsang diskusi lebih lanjut.  Empat pertanyaan pokok yang hendak dijawab, walaupun tidak  terlalu mendalam, lewat tulisan ini adalah sebagai  berikut.

  1. Apakah makna yang terkandung dalam konsep historical bias dan controversial issue, dan bagaimana hal itu bisa terjadi?
  2. Adakah kaitan antara tuntutan pelurusan sejarah itu  dengan konsep historical bias dan controversial issue?
  3. Bagaimana sejarah bermanfaat sebagai guru  dalam  kehidupan jika  para  pengajar sejarah (guru) hanya  berpegang  pada satu penuturan sejarah yang bersumber dari penafsiran  tunggal?
  4. Strategi apa yang harus dilakukan oleh guru dalam menangani historical bias dan controversial issue ini?

HISTORICAL BIAS

Sukar  diyakini bahwa dua atau lebih orang yang  menyaksikan satu  peristiwa  akan  memberikan laporan  yang  identik  tentang peristiwa itu. Dalam melihat suatu peristiwa, orang atau pengamat akan terpengaruh oleh sudut pandang masing-masing dan  selanjutnya mewarnai persepsinya tentang peristiwa tersebut.  Fakta-fakta sejarah  berupa  pernyataan-pernyataan orang berkaitan dengan peristiwa sejarah amat bervariasi, tergantung dari  sudut  mana orang  itu melihatnya. Saksi-saksi sejarah yang  mungkin  masih hidup pun tidak dapat dipastikan akan memberikan kesaksian yang identik.  Sebagai  contoh kecil berikut dikutip  tulisan  Lembaga Analisis  Informasi  (2001:35) tentang kesaksian dua dari tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat berkaitan dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang akhir-akhir ini menimbulkan berbagai kontroversi.

.. menurut versi M. Jusuf, Supersemar ditandatangani pukul 20.55. Menurut Amirmacmud (sic), ketiga Pati TNI AD sudah kembali ke Markas KOSTRAD membawa naskah Supersemar pada pukul 21.00.

Dari  kutipan  di atas, patut dipertanyakan  waktu  penandatanganan  Naskah Supersemar (menurut versi M. Jusuf)  dihubungkan dengan waktu tibanya ketiga perwira tinggi itu ke Markas  KOSTRAD (menurut  versi  Amir Machmud) yang hanya  berjarak  lima  menit, sedangkan ketiga PATI tersebut kembali ke Jakarta dengan  menggunakan mobil.(Lembaga Analisis Informasi, 2001:40). Banyak  faktor yang  mempengaruhi sejarawan dalam melaksanakan  tugasnya;  dalam kaitan dengan kutipan di atas, kiranya perlu dikritisi keakuratan data yang diperoleh.

Dalam  judul tulisan ini terdapat konsep bias  yang  menurut kamus  berarti  (1)  “a tendency to be in favour  of  or  against something  or someone without knowing enough to be able to  judge fairly”; (2) “a tendency of mind”; (3) “prejudice”; (4) “partiality”. Dari pengertian-pengertian itu jelas terlihat bahwa  konsep bias  mengandung  makna tentang kecenderungan  pikiran  seseorang atau  sekelompok  orang yang ada kalanya membela satu  pihak  dan menentang pihak lain, keberpihakan, atau purbasangka.

Berkaitan dengan judul tulisan ini, konsep “historical bias” mengandung  makna  adanya  bias  dalam  merekonstruksi  peristiwa sejarah sehingga melahirkan penuturan yang dianggap tidak  jujur, penuturan yang memihak. Berbagai pihak menganggap bahwa penuturan itu tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya,  melainkan telah membias  (melenceng). Secara umum dipahami bahwa cerita sejarah berguna sebagai upaya membangun memori kolektif, sehingga  dituntut  menuturkan peristiwa di masa lalu itu secara jujur,  relatif seperti  apa adanya. Berkaitan dengan ini perlu  kiranya  diingat selalu  pendapat  Cicero  yang menyatakan  bahwa  sejarah  adalah magistra vitae (Lucey, 1984:14). Dalam uraian selanjutnya,  Lucey mengutip pendapat Cicero tentang ketentuan yang harus diingat dan dipatuhi  oleh  para sejarawan. “The first law of history  is  to dread  uttering  a falsehood; the next not to  fear  stating  the truth.” (Lucey, 1984:15). (Hukum pertama sejarah adalah sungguh-sungguh takut mengatakan dusta; untuk selanjutnya  tidak  takut menyatakan kebenaran). Sejalan dengan itu, orang bijak sering mengingatkan agar generasi sekarang ini tidak lupa berguru  pada pengalaman di masa lalu.  Narasi sejarah seharusnya tidak merupakan hasil pelintiran pengamat atau penulisnya yang dengan sengaja menyalahi  hakikat sejarah sebagai ilmu yang mengutamakan  obyektivitas.  Akan  tetapi,  tugas sejarawan  tidak  sesederhana  dan semudah tuntutan itu.

Untuk lebih memahami aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya historical  bias  ini,  ada  baiknya  diperhatikan  elemen-elemen kegiatan  sejarah (elements of historical activity) dan  struktur kegiatan sejarah (structure of historical activity) yang  dikemukakan oleh Stanford (1987:4-6). Pakar ilmu sejarah ini berpendapat bahwa elemen-elemen kegiatan sejarah itu terdiri atas dua bagian  besar, yaitu elemen-elemen yang tidak  terlihat  (unseen) dan elemen-elemen yang terlihat  (seen).  Sebagaimana  layaknya suatu  struktur, elemen-elemen kegiatan sejarah itu berhubungan satu terhadap yang lain dalam satu kesatuan. Stanford menambahkan bahwa hubungan elemen yang satu dengan elemen yang lain merupakan hubungan sebab-akibat.

The structure of historical activity

Dalam penjelasannya, Stanford menyatakan bahwa tanda panah mengindikasikan hubungan sebab-akibat. Stanford juga menjelaskan bahwa tanda panah itu tidak mewakili semua hubungan sebab-akibat dalam struktur tersebut. Sebagai contoh, Stanford  menjelaskan bahwa construction (3) tidak hanya bersumber dari atau didasarkan pada evidence (2) tetapi juga bersumber dari penafsiran terhadap evidence sebelumnya sebagaimana terdapat dalam karya-karya  sejarah yang ada (4) dan juga dari keyakinan-keyakinan umum (5) yang juga terbentuk sebagian oleh hasil kerja para sejarawan  sebelumnya yang masih ada pada saat sejarawan melakukan aktivitasnya. Stanford melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa  skema yang dikembangkannya itu dapat diterima jika hubungan antarelemen dalam kegiatan sejarah (begitu) sederhana.

Berdasarkan elemen-elemen dan struktur kegiatan sejarah sebagaimana dikemukakan Stanford di atas, dapat dilihat  berbagai kemungkinan terjadinya historical bias. Peristiwa masa lalu (past events or the historical field) menurut Stanford (1987:3) meliputi dua hal, yaitu “… the human acts resulting from human  decisions,  and the given situation within which those acts are  performed.”  Jika  kutipan ini dibaca secara  cermat,  dalam  elemen “Past events” ini saja terdapat paling sedikit tiga aspek yang harus  diperhitungkan, yaitu: (a) human acts  (tindakan  manusia) sebagai  hasil  dari  (b)  human  decisions  (keputusan-keputusan manusia  itu), dan (c) given situation (situasi  yang  sedemikian rupa, hingga memungkinkan tindakan manusia itu  terjadi  seperti itu). Rasanya sulit dibayangkan bahwa semua orang yang memandang elemen ini akan memiliki persepsi yang sama tentang seluruh aspeknya, sehingga kemungkinan tidak terbatas jumlah  pernyataan (statements) yang bisa diungkapkan pengamat atau pemerhati tentang  peristiwa  di  masa  lalu  tersebut.  Pernyataan-pernyataan tersebut bisa berupa opini, tetapi juga bisa berupa fakta.

Jika kemudian sejarawan menggunakan fakta-fakta  yang  jumlahnya  tidak terbatas serta kemungkinan berbeda satu dari yang lain itu (elemen 2) untuk merekonstruksi  peristiwa  tersebut (elemen  3) maka kemungkinan sekali rekonstruksi yang  lahir  pun bisa beraneka ragam. Tentu ada aspek-aspek yang sama atau relatif sama, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan lahirnya perbedaan-perbedaan. Semula rekonstruksi itu terjadi dalam otak sejarawan, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan atau rekaman (elemen 4). Dalam  menuangkannya saja besar sekali kemungkinan akan  berbeda, mengingat cara atau kebiasaan (fashion) setiap orang tidak sama.

Buku dan/atau artikel yang beraneka ragam  itu,  sebagai historical  communication dapat mempengaruhi public mind  (elemen 5) secara berbeda-beda juga. Persepsi yang berbeda-beda itu  bisa saja  mempengaruhi  keputusan-keputusan  untuk  bertindak, lalu terjadilah historical actions (elemen 6). Historical actions  ini kemudian menjadi bagian dari historical events dalam perkembangan selanjutnya.

Berkaitan dengan elemen-elemen sejarah ini, Banks (1985:249) menulis sebagai berikut.

History  has  at least three separate components.  All  past events can be thought of as history. This part of history is sometimes  called history-as-actuality. The method  used  by historians  to  reconstruct the past is another  element  of history.  The statements historians write about past  events are  also part of history. Documents, textbooks,  and  other historical narratives are made up of historical statements.

Banks (1985:249) menyatakan bahwa pandangan sejarawan terhadap  peristiwa  masa  lalu  dipengaruhi  oleh  tersedianya  bukti (evidence), bias pribadi dan tujuan mereka menulis, serta  masyarakat dan waktu di mana mereka hidup dan menulis. Walaupun  seja- rah sebagian besar terdiri atas laporan-laporan tentang  peristiwa-peristiwa lalu dilihat dari berbagai sudut pandang, ada  pihak yang mengatakan bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah merupakan suatu kebenaran yang tidak perlu dipersoalkan, dikritik, atau dimodifikasi.  Pandangan  tentang sejarah  seperti  ini,  menurut Banks  (1985:249) bersumber dari kekeliruan guru tentang  hakikat sejarah  dan keyakinan publik bahwa sejarah mempunyai  kontribusi penting dalam pembinaan patriotisme. Kekeliruan memandang hakikat sejarah sering kali terjadi karena tidak bisa membedakan historical   fact  (fakta sejarah) dari actual event  (kejadian  nyata). Berkaitan  dengan  ini, Banks (1985:249) menyatakan,  “The  event itself has disappeared, never to occur again. An infinite  number of ‘facts’ can be stated about any past event.” Di halaman  berikutnya,  Banks  menulis, “Historical facts are  products  of  the human mind, since the historian must use sources and artifacts to reconstruct past events.”

Dalam  mengilustrasikan pandangannya ini,  Banks  (1985:249-250) menunjuk peristiwa bom bunuh diri di Beirut dalam tahun 1983 yang menewaskan lebih dari 200 marinir Amerika Serikat. Jika para sejarawan merekonstruksi peristiwa ini, maka mereka akan  menemukan fakta-fakta yang tidak terbatas jumlahnya, namun mereka tidak akan mampu merekonstruksi kejadian itu secara lengkap sebagaimana adanya. Penelitian mereka akan terbatas pada  pernyataan-pernyataan serta bukti-bukti yang dicatat oleh para saksi mata,  surat-surat  kabar,  majalah, radio, televisi, dan  sumber-sumber  yang lain.  Mereka tidak akan menggunakan semua fakta  atau  informasi yang  mereka temukan, sebab tujuan penulisan, bias  pribadi,  dan waktu  serta budaya di mana mereka hidup, akan menentukan  fakta-fakta mana yang mereka anggap penting dan syah. Sejarawan  Amerika,  Israel,  dan Libanon boleh jadi akan  menulis  sejarah  yang berbeda  tentang peristiwa itu. Hal ini terjadi  karena  kriteria yang  digunakan oleh para sejarawan untuk menetapkan pilihan  dan tujuannya  sangat  bersifat pribadi.  Menurut  Banks  (1985:250), interpretasi sejarah tentang suatu kejadian amat bervariasi dalam waktu dan budaya yang berbeda.

Jika  otoritas menafsirkan suatu kejadian berada  di  tangan orang  atau  golongan yang sedang berkuasa, hal  yang  biasanya terjadi  dalam negara yang diperintah secara otoriter dan  represif, maka seringkali terjadi penafsiran yang mendukung kekuasaan orang  atau  golongan itu. Dalam keadaan seperti ini seringkali terjadi distorsi  bahkan  pemalsuan  sejarah  untuk  kepentingan penguasa.  Sejarah sebagai refleksi kejujuran bangsa tidak  dapat dipertahankan lagi. Integritas sejarawan yang mengutamakan kejujuran dan obyektivitas, berhadapan dengan pilar-pilar  kekuasaan sehingga  hasrat  untuk menulis sejarah  seobyektif  dan  sejujur mungkin terbendung. Hasrat ini kemudian meledak dan menghempas ke segala penjuru ketika tembok-tembok kekuasaan yang  membendungnya runtuh. Sikap skeptis, bahkan sikap tidak percaya terhadap banyak hal  yang dihasilkan oleh rejim yang sudah tumbang itu,  termasuk tentunya cerita sejarah, muncul dan merebak di mana-mana.   Dalam keadaan seperti inilah terdengar seruan-seruan untuk  “meluruskan sejarah.”

Belakangan  ini,  sebagian  sejarawan  mencoba   menggunakan metode  inkuiri  (method of inquiry), suatu  metode yang biasa digunakan oleh ilmuan behavioral, walaupun mereka mengakui  bahwa metode  ini  harus dimodifikasi dalam riset  sejarah  (historical research). Banks menyatakan bahwa sebagian besar sejarawan adalah penulis sejarah serbacerita (narrative historians). Mereka ini berkeyakinan  bahwa tujuan utama sejarawan adalah  merekonstruksi dan mendeskripsikan peristiwa masa lalu  dengan  langkah-langkah dan  metode  sejarah yang dianggap sudah  baku.   Para  narrative historians ini meyakini bahwa sampai taraf tertentu metode  sejarah bersifat ilmiah, walaupun pada saat yang sama juga  bersifat personal. Sejarah serba cerita merupakan kombinasi ilmu (science) dan  seni.  Banks  (1985:250) mengutip pendapat Gottchalk yang menunjukkan adanya jurang  pemisah antara peristiwa-peristiwa sejarah (events) dengan waktu penulisan sejarah; jurang  pemisah ini hanya bisa dijembatani dengan proses imajinatif, suatu proses yang tergolong seni.

Pengumpulan  data  secara obyektif lebih merupakan impian (ideal)  ketimbang  kenyataan dalam hampir semua disiplin ilmu. Para sejarawan amat menyadari adanya pengaruh bias dalam penelitiannya. Berkaitan dengan ini, Banks (1985:251)  juga  mengutip pendapat Becker yang menyebutkan adanya empat macam bias,  yaitu: (a)  bias  dalam pemilihan subyek, (b) bias dalam penyeleksian material, (c) bias dalam pengorganisasian dan penyajian, dan  (d) bias dalam penafsirannya. Lebih jauh Beckker berkata bahwa sejarawan adalah insan yang terbentuk oleh waktunya, rasnya,  keyakinannya, negerinya, bahkan ia adalah tawanan. (Banks,  1985:251). Pendapat  Becker ini boleh jadi berlebihan bahkan ekstrim,  namun makna  yang  terkandung di dalamnya  menegaskan betapa sukarnya sejarawan melepaskan diri dari berbagai aspek lingkungannya  dan sekaligus  merujuk  pada kuatnya pengaruh bias  pribadi  terhadap penulisan sejarah.

Orang  yang  mendalami ilmu sejarah, tentu  memahami  betapa sulitnya  merekonstruksi  kejadian masa lalu, namun  tidak  perlu menilai  bahwa  sejarah  tidak berisi  kebenaran  dan  kepastian. Betapa pun lemahnya evidens, kritik, dan penafsiran yang  dilakukan  oleh  penulisnya,  suatu cerita  sejarah  diyakini  memiliki unsur-unsur kebenaran. Perbedaan pendapat tentang suatu  kejadian hendaknya  dilihat  sebagai sesuatu yang  wajar.  Sudut  pandang, budaya dan waktu di mana penulisnya hidup, serta bias-bias pribadi penyusun tulisan atau laporan itu sangat mewarnai tulisan atau laporannya. Ada kalanya perbedaan pendapat di antara penulis atau pelapor  itu  sukar  didamaikan sampai  ditemukannya  fakta  atau fakta-fakta  baru (tentang hal ini akan dikupas lebih lanjut pada bagian pembahasan controversial issue).

Berkaitan  dengan kepastian dalam sejarah yang merujuk  pada mana  yang benar dan mana yang salah, kiranya  perlu  direnungkan kembali, bahwa seluruh disiplin ilmu hanya memiliki kepastian yang relatif. Sampai taraf atau waktu tertentu ada kalanya  kebenaran yang disajikan dapat diterima, namun penelitian baru yang menghasilkan  fakta-fakta  baru, tidak  jarang  menggugurkan  kebenaran sebelumnya. Metaanalisis perlu terus dilakukan sambil  membudayakan kemauan dan semangat rereading (membaca ulang) dan  rewriting (menulis ulang).

Guru-guru  sejarah adalah ilmuan atau sejarawan yang sepenuhnya memahami dan menyadari kekompleksan sejarah sebagai  ilmu. Mereka  adalah pelaku-pelaku profesional di bidangnya. Sukar di bayangkan,  bagaimana jadinya pengajaran dan  pendidikan  sejarah dilakukan di sekolah-sekolah, jika para  gurunya  terperangkap dalam kebingungan menilai cerita sejarah. Dengan perkataan  lain, pendidikan  sejarah  akan kehilangan arah jika para guru sejarah tidak dapat mengaplikasikan kompleksitas  teori  sejarah  dalam mengarahkan  kegiatan  belajar  para  peserta  didiknya.

Lucey (1984:10) menyatakan bahwa kata sejarah (history) yang berasal dari bahasa Yunani, jika diterjemahkan ke  dalam  bahasa Inggris berarti an inquiry. Secara tegas Lucey (1984:11) menulis, “History is an inquiry.” Dengan semangat untuk terus merenung dan secara tekun  melakukan  rereading dan  rewriting,  tidak  perlu diragukan kemampuan para profesional ini menilai berbagai  informasi sejarah yang beredar pada zamannya. Para peserta didik  juga perlu disadarkan bahwa pendekatan ilmiah yang dilakukan oleh para sejarawan  hendaknya menggerakkan hati dan pikiran  mereka  untuk menjadi pembaca yang reflektif (reflective reader).

CONTROVERSIAL ISSUE

Konsep lain yang perlu mendapat sorotan adalah controversial yang berarti  “causing much argument or  disagreement.”  Sebagai kata sifat, controversial diartikan sebagai yang banyak menimbulkan percekcokan atau ketidaksetujuan. Berkaitan dengan controversial  issue,  Stradling  dengan  kawan-kawan  (1984:1-2)  menulis sebagaimana dikutip berikut ini.

Often  when  people  say that some topical  theme  in  a syllabus  is controversial they mean that it is  politically sensitive. That is, that suspicions, anger or cocern may  be aroused  amongst some parents, pupils, the school  governors or the Local Education Committee because of the inclusion of the  topic in the curriculum or because of the way in  which that topic is being taught.

Kutipan  di  atas secara eksplisit  menyatakan  bahwa  suatu topik atau tema disebut kontroversial jika topik atau tema itu secara politis sensitif. Maksudnya, berbagai kecurigaan,  kemarahan  atau keprihatinan timbul di kalangan para orangtua,  peserta didik,  dan para pengelola sekolah karena pemasukan tema atau topik tersebut ke dalam kurikulum atau karena cara  pembelajaran topik tersebut. Berdasarkan pemahaman tentang makna yang disebutkan  oleh  Stradling dengan kawan-kawan  di  atas,  controversial issue  mengandung makna isu yang  melahirkan  perbantahan  atau ketidaksetujuan.  Perbantahan atau ketidaksetujuan tersebut  bisa saja  berkaitan  dengan substansi atau isi  isu  tersebut,  akan tetapi  bisa juga berkaitan dengan cara pembelajaran atau  pengajarannya. Lebih  lanjut  Stradling dan  kawan-kawan  (1984:2)  menulis sebagai berikut.

In a sense an issue is controversial ‘if numbers of people are  observed  to disagree about statements  and  assertions made in connection with the issue.’ They may not be able  to agree because there is insufficient evidence is forthcoming.

Menurut pendapat Stradling dan kawan-kawan sebagaimana dikutip di atas, dalam beberapa hal suatu isu disebut kontroversial jika sejumlah orang tidak menyetujui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan orang berkaitan dengan isu  itu.  Ketidaksetujuan  itu boleh  jadi disebabkan oleh ketidakcukupan bukti yang  ditemukan. Akan tetapi tidak jarang kontroversi itu timbul karena penafsiran penulisnya yang amat dipengaruhi oleh bias pribadinya atau tujuan penulisannya.

Sebagai  contoh  dapat dengan jelas terlihat  dalam  tulisan yang  disajikan  oleh Lembaga Analisis Informasi yang berjudul Kontroversi Supersemar. Dalam mempersoalkan sekitar Supersemar tersebut, Lembaga Analisis Informasi antara lain mengutip tulisan Minggu Pagi yang mencatat adanya 21 perbedaan penting dalam  dua reproduksi  Supersemar  yang terdapat dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka (jilid 3 cetakan ke-5, 1981) yang diterbitkan oleh Setneg Republik  Indonesia.  Contoh lain dapat  dilihat  dalam  berbagai tulisan  tentang Gerakan 30 September/PKI, baik yang ditulis  dan diterbitkan  dalam negeri maupun yang ditulis oleh  para  penulis asing dan diterbitkan di luar negeri maupun dalam situs-situs tertentu di internet.

Selama  pemerintahan  Orde  Baru,  tentang  kedua  peristiwa tersebut yakni Gerakan 30 September/PKI dan Supersemar, penafsiran dan penuturan yang syah adalah yang dihasilkan oleh pihak  pemerintah atau oleh pihak lain yang bertujuan mendukung pemerintah. Setelah runtuhnya  rejim Orde Baru tersebut, berbagai pihak secara  bebas mulai  mempersoalkan  kebenaran  dan  keabsahan   tulisan-tulisan tersebut. Walaupun tulisan-tulisan pasca Orde Baru tersebut tidak seluruhnya  bersifat “hitam-putih”, namun kebebasan berpikir  dan mengutarakan  pendapat yang melatarbelakangi tulisan-tulisan  itu rupanya cukup membingungkan para guru sejarah. Mereka serta merta meneriakkan perlunya pelurusan sejarah.

Teriakan-teriakan pelurusan sejarah ini mungkin tidak  perlu terjadi  jika  para  guru profesional itu memperoleh data yang lengkap tentang kedua peristiwa tersebut, atau  kalau  mereka secara  profesional menilai tulisan-tulisan yang ada  dari sudut hakikat penulisan sejarah dengan segala kompleksitasnya secara ilmiah.  Mungkin juga teriakan-teriakan itu  tidak akan pernah muncul jika para guru profesional tersebut membiasakan  proses belajar-mengajar sejarah di kelasnya secara kritis analitik, dan tidak  hanya menggantungkan pemahamannya pada satu versi tulisan saja hingga lebih dekat pada tindakan  indoktrinasi.  Berkaitan dengan ini kiranya perlu diingat pendapat Stradling dengan kawan-kawan  (1984:10) tentang indoktrinasi yang mengemukakan sebagai  berikut,  “Indoctrination  is  usually associated  with  attemps  to teach something as if it were true or universally acceptable regardless of evidence to the contrary or in the absence  of any evidence at all.”

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa indoktrinasi tersebut biasanya dikaitkan dengan upaya-upaya mengajarkan sesuatu sebagai sesuatu  kebenaran atau secara umum dapat diterima dengan mengabaikan bukti-bukti yang bertentangan atau tanpa bukti sama  sekali. Apabila indoktrinasi itu bermaksud menanamkan jiwa dan semangat kepahlawanan, maka bisa jadi penokohan seseorang menjadi amat  tendensius seraya menyembunyikan tokoh  yang  sesungguhnya. Sebagai contoh, dapat dilihat dalam tulisan-tulisan yang masih kontroversial  tentang tokoh di belakang “Serangan Umum  1  Maret 1949”. Jika sampai hal seperti ini terjadi dalam kegiatan belajar  mengajar sejarah, maka hal itu tentu saja merupakan  penyimpangan,  karena cerita-cerita sejarah seharusnya didasarkan  pada bukti-bukti yang teruji kebenarannya.  Sukar  dibayangkan,  mau dibawa ke mana para  peserta  didik jika sejarah sebagai suatu disiplin ilmu yang seharusnya  meningkatkan  kemampuan berpikir dijadikan sebagai  media  indoktrinasi yang menyesatkan.

KESIMPULAN

Setelah mengikuti uraian tentang historical bias dan controversial isu berdasarkan penuturan para ahli sebagaimana  dikemukakan  di  atas,  kiranya empat pertanyaan  yang  dikemukakan  di bagian pendahuluan tulisan ini, dapat diberikan jawaban sederhana sebagai berikut.

  1. Historical bias mengindikasikan adanya penyimpangan dari keadaan yang sesungguhnya  dalam  penuturan  sejarah  atau rekonstruksi  peristiwa masa lalu,  sedangkan  controversial isu  mengacu pada ketidaksesuaian pandangan berbagai  pihak tentang suatu topik, baik berkaitan dengan substansi  maupun cara penyajiannya. Kedua konsep ini  secara umum  disebabkan oleh   keterbatasan bukti, bias pribadi,  tujuan  penulisan, dan  waktu  serta kondisi masyarakat di mana  penulis  hidup dan bekerja.
  1. Ketika berada di bawah kungkungan rejim yang  otoriter  dan represif, hampir tidak ada keberanian untuk  mengekspresikan pikiran atau pendapat, lebih-lebih jika pikiran atau  pendapat itu berbeda dengan apa yang disuarakan oleh juru  bicara penguasa.  Ketika  rejim  itu runtuh,  hasrat  dan  semangat kebebasan yang selama lebih dari tiga dekade tertekan seolah menemukan jalan untuk memanifestasikan diri dalam  berebagai bentuk.  Perhatian  pun ikut  terarah  terhadap  topik-topik tertentu  yang  di masa rejim lama  dijadikan sebagai alat propaganda untuk mendukung tokoh atau rejim tersebut.  Penuturan sejarah tentang peristiwa-peristiwa tertentu  dipandang  sebagai  bagian dari  indoktrinasi  yang  Disadari  bahwa  selama masa rejim yang otoriter  tersebut telah terjadi pembiasan atau distorsi bahkan pemalsuan sejarah, yang semuanya ditujukan untuk mengeramatkan  rejim dan  seluruh  tindakannya yang represif.  Oleh  karena  itu, setelah  rejim  itu runtuh,  membahanalah  suara-suara  yang meneriakkan pelurusan sejarah, termasuk dari guru-guru  yang sesungguhnya menyandang predikat profesional.
  1. Pendapat orang bijak yang mengatakan bahwa  sejarah  adalah guru dalam kehidupan, hanya berlaku jika sejarah benar-benar mengatakan yang benar. Sejarah yang benar  dihasilkan oleh pikiran-pikiran yang jernih dan obyektif serta yang  disusun berdasarkan  kaidah-kaidah ilmu dengan segala  Sulit membayangkan untuk menjadikan sejarah  sebagai guru  dalam  kehidupan  jika  secara  sengaja  di   dalamnya terdapat  berbagai distorsi. Dalam keadaan  demikian, pendidikan sejarah akan kehilangan makna dan arah.
  2. Dalam kegiatan belajar mengajar sejarah di kelas,  para peserta  didik  hendaknya  tidak  diarahkan  hanya  memahami substansi sejarah saja. Mereka harus juga memahami  metode yang  digunakan  oleh para  sejarawan  untuk  merekonstruksi peristiwa  di masa lalu itu. Dengan demikian, peserta  didik juga  menyadari  bahwa  banyak cara  untuk  memandang  suatu peristiwa, dan juga banyak faktor yang berpengaruh  terhadap pendapat  orang  tentang peristiwa itu.  Semuanya  ini  akan mengarahkankan  para peserta didik untuk juga belajar  menghargai berbagai kesulitan yang dihadapi oleh para  sejarawan dan  juga menjadi pembaca sejarah yang  menggunakan  akalnya semaksimal mungkin (reflective readers of history).

Daftar Pustaka

Banks,  James A. with Clegg, A.A.,Jr. (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York & London: Longman.

Lembaga Analisis Informasi (LAI). (2001). Kontroversi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno –  Soeharto.  Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo.

Lucey, W.L. (1984). History: Methods and Interpretation. New York & London: Garland Publishing Inc.

Standford, M. (1987). The Nature of Historical Knowledge. New York: Basil Blackwell Ltd.

Stradling,  R., et  al. (1984).  Teaching  Controversial  Issues. London: Edward Arnold.

Comments are closed.