Mengembangkan Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Sejarah

Oleh: Dr. Agus Mulyana, M.Hum

Pembelajaran sejarah pada umumnya yang terjadi di lapangan mengajarakan materi yang jauh dari realitas kehidupan siswa. Siswa dihadapkan pada serentetan catatan fakta yang terjadi di masa lampau yang membentuk suatu peristiwa. Materi sejarah diajarkan sebagai sebuah cerita. Kemampuan bercerita sangat ditentukan oleh kemampuan berimajinasi dan retorika penyempaian yang dilakukan oleh guru. Apabila hal ini tidak bisa dilaksanakan, akan berakibat materi pembelajaran sejarah tidak menarik. Pembelajaran sejarah menjadi kering, jauh dari realitas kehidupan siswa. Ada kesan seolah-olah sumber sejarah bukanlah kenyataan yang bisa dirasakan atau diamati dari lingkungan sekitar. Hal ini terjadi dikarenakan materi terlalu tertumpu pada uraian yang disampaikan oleh buku teks yang dipakai oleh guru.

Salah satu cara mendekatkan siswa pada materi sejarah adalah dengan menggunakan sumber-sumber lokal dimana siswa tersebut tinggal. Sumber-sumber tersebut tidak hanya diajarkan sebatas pengetahuan belaka, akan tetapi mampu menanamkan afektif dalam diri siswa. Sumber lokal yang dijadikan materi sejarah dapat berupa kearifan lokal.

Kearifan Lokal dan Kesadaran Sejarah

Istilah kearifan lokal muncul sebagai suatu pandangan hidup ketika orang memiliki pandangan terhadap arus besar. Arus besar yang dimaksud adalah pandangan-pandangan yang lahir dikarenakan oleh penciptaan global. Salah satu faktor penting terciptanya pandangan global adalah media informasi. Media informasi mampu membangun opini masyarakat dan dalam batas-batas tertentu opini tersebut dapat membentuk pandangan masyarakat. Misalnya gaya hidup yang merujuk pada pandangan-pandangan opini dunia. Gaya hidup yang dibangun menggunakan ukuran-ukuran global, mulai dari gaya makanan, pakaian, pergaulan dan sebagainya. Dengan demikian dunia diciptakan oleh informasi.

Tertanamnya pandangan global pada individu-individu dapat berdampak pada tercerabutnya nilai-nilai lokalitas yang dimilikinya. Bahkan dampak yang negative dapat menimbulkan individu lebih mengenal budaya-budaya global yang instan dibandingkan dengan budaya-budaya lokal yang memiliki karakter dan sarat dengan makna. Misalnya pada anak-anak sekarang lebih banyak menikmati kesenian-kesenian yang pop daripada kesenian tradisional. Ada anggapan bahwa kesenian tradisional terbelakang, tidak moderen dan ketinggalan jaman.Ukuran modernisasi yang digunakan adalah arus besar pandangan global.

Derasnya arus pandangan global ternyata menimbulkan persoalan. Modernisasi yang digembar gemborkan menimbulkan krisis kemanusiaan. Krisis yang muncul bisa pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya. Misalnya polusi yang terjadi disebabkan oleh pennggunaan teknologi (kendaraan bermotor) yang tidak terkendali. Bencana banjir terjadi disebabkan oleh implementasi ideologi kapitalis yang lebih mementingkan profit daripada menjaga keseimbangan alam, sehingga pembabatan hutan yang bebas dan tidak terkendali. Krisis kemanusiaan ini lah yang kemudian melahirkan kejenuhan bahkan pada batas-batas tertentu melahirkan ketidakpercayaan terhadap ideologi global.

Kejenuhan manusia terhadap ideologi global menyebabkan manusia mencoba untuk mencari keunikan-keunikan yang bersifat natural. Dalam konteks budaya, orang mulai kembali ke masa lalu. Orang mulai mencari nilai-nilai lokalitas yang bermakna dan original. Nilai-nilai lokal ini lah yang kemudian disebut dengan kearifan lokal. Kearifan lokal sebagai suatu pandangan hidup, dapat muncul sebagai suatu resistensi terhadap ideologi global. Individu atau masyarakat mencoba mencari kembali identitas dirinya sendiri. Sehingga orang sudah banyak mencari icon-icon kelokalan.

Dalam perspektif sejarah, upaya mencari kearifan lokal merupakan bagian dari kesadaran sejarah. Sebab kearifan lokal terbentuk suatu kurun waktu yang cukup lama. Pengakuan terhadap eksistensi kearifan lokal biasanya lakukan melalui pelacakan terhadap bagaimana proses terbentuknya kearifan lokal tersebut. Misalnya suatu kepercayaan yang bersifat mitos. Terbentuknya suatu mitos tersebut biasanya melalui suatu pewarisan dari suatu generasi ke generasi. Pewarisan dilakukan melalui suatu penuturan dari penutur kepada masyarakatnya sehingga membentuk suatu tradisi lisan (Pudentia, 2007 : 81).

Sumber-Sumber Kearifan Lokal

Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu. Dalam perspektif historiografi, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan (I Gde Wijda, 1991 : 15). Lingkungan sekitar (neighborhood) merupakan batasan keruangan dalam konteks yang lebih luas, mulai dari keruangan yang terkecil misalnya keluarga, komunitas tertentu hingga masyarakat yang lebih luas.

Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuknya kearifan lokal mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan. Secara historiografi tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat atau asal-usul suatu komunitas atau adanya sesuatu. Dalam perkembangan berikut tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat.

Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi.  Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa  kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Bahkan masa lalunya harus diyakini sehingga menjadi kepercayaan yang harus dipegang teguh. Masa lalu merupakan suatu pengajaran yang berharga bagi kehidupannya.

Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini.  Ada beberapa hal yang menjadi ciri dari tradisi lisan, yaitu pertama menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik. Berbeda halnya dengan masyarakat yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan itu disampaikan dalam bentuk teks (tertulis).

Kedua tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan sejarah lisan (oral history), disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun oleh generasi sejaman.Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi pewarisan, sedangkan di dalam sejarah lisan tidak ada upaya untuk pewarisan.

Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis (Jan Vasina, 1985 : 13-17). Pertama berupa “petuah-petuah” yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya dinyatakan berualang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat atau kata-kata itu biasanya diusahakan untuk tidak dibah-ubah, meskipun dalam kenyataan perubahan itu biasa saja terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya  bersifat lisan, jadi sukar dicek dengan rumusan aslinya. Namun, karena kedudukannya yang sangat istimewa dalam kehidupan kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah.

Bentuk yang kedua dari tradisi lisan adalah “kisah” tentang kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perorangan (personal tradition) atau sebagai kelompok (group account). Sesusai dengan alam pikiran masyarakat yang magis religius, maka kisah-kisah ini yang sebenarnya berintikan suatu fakta tertentu, maka fakta inti ini dengan cepat biasanya diselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, atau terjadi pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu.  Cara penyampaian fakta memang seperti menyampaikan gosip (penuh dengan tambahan-tambahan menurut selera penuturnya), maka disebut pula dengan istilah “historical gossip” (gossip yang bernilai sejarah). Untuk kisah-kisah perseorangan atau keluarga ini diulang-ulang atau diingat-ingat dalam beberapa generasi, sehingga riwayat keluarga ini kemudian biasa menjadi milik  kelompok yang sering dikeramatkan bagi generasi-generasi berikutnya, yang biasanya diperbaharui  (ditambahkan) secara berkesinambungan.

Ketiga adalah “cerita kepahlawanan”, yang berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pimpinan masyarakat). Beberapa cerita kepahlawanan ini memang ada yang punya dimensi historis yang patut diperhatikan karena unsur fakta sejarahnya yang masih bisa ditelusuri, tapi pada umumnya kebanyakan sudah terselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, sehingga kadang-kadang dianggap lebih bersifat hasil sastra.

Keempat yaitu bentuk cerita “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka. Tentu saja unsur faktanya boleh dikatakan tidak ada, dan memang biasanya terutama berfungsi untuk menyenangkan (menghibur) bagi yang mendengarkannya, meskipun sering didalamnya terkandung unsur-unsur petuah.

Dalam suatu komunitas masyarakat tertentu biasanya memiliki kebudayaannya yang bersifat kolektif, dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga membentuk suatu tradisi. Dalam perspektif akademik kebudayaan tersebut dapat disebut dengan folklor.    Secara keseluruhan folklor dapat didefinisikan yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu (James Danandjaya, 1986 : 2).

Folklor memiliki perbedaan dibandingkan dengan bentuk kebudayaan lainnya. Adapun ciri-ciri folklore (James Danandjaya, 1986 : 3-5) adalah :

  1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
  2. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
  3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingnga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, folklore dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
  4. Folklor bersifat anonim, yaitu penciptanya sudah diketahui orang lagi.
  5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya, selalu menggunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti “sohibul hikayat …… dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita ……. demikianlah konon”.
  6. Folklor mempunyai kegunaan (Function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam.
  7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian lisan.
  8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
  9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Ada empat fungsi folklor yaitu :

  1. Sebagai sistem proyeksi yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif
  2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
  3. Sebagai alat pendidik anak.
  4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Kearifan Lokal dan Nilai-Nilai Pembelajaran

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa umumnya di lapangan pembelajaran sejarah lebih banyak berorientasi pada aspek koginitif saja. Hal yang kita prihatinkan adalah adanya anggapan umum di masyarakat bahwa pelajaran sejarah merupakan pelajaran yang masuk dalam katagori hapalan. Pandangan seperti ini muncul disebabkan evaluasi yang diginakan lebih banyak cenderung menyampaikan fakta dan peristiwa saja. Sejarah kering dengan nilai-nilai yang bermakna dan dapat dirasakan atau dilihat langsung oleh siswa. Kalaupun nilai-nilai yang afektif yang ditanamkan adalah nilai-nilai yang lebih banyak bermuatan politis misalnya nasionalisme.

Penanaman nilai-nilai dalam pembelajaran sejarah pada umumnya bersifat indoktrinasi. Dalam pembelajaran seperti ini tidak akan menumbuhkan sikap kritis siswa, sebab siswa diarahkan pada pembenaran fakta sejarah yang bersifat tunggal bahkan ada kecendrungan pemaksaan terhadap kebenaran tunggal. Siswa tidak dihadapkan pada penemuan fakta dan memberikan interpretasi terhadap fakta atau sumber sejarah yang merupakan salah satu keterampilan dalam pembelajaran sejarah.

Aspek nilai-nilai yang tertanam dalam siswa semestinya merupakan hasil proses mengolah informasi dalam kognitif siswa. Siswa dihadapkan pada sumber sejarah yang dapat menjadi informasi kognisi siswa. Setelah fakta masuk dalam kognisi siswa kemudian diolah dalam kognisi tersebut. Proses pengolahan data dilakukan dalam kognisi siswa yang memberikan penilaian terhadap data terhadap data tersebut. Dengan demikian hasil belajar yang diperoleh berangkat dari proses penemuan (inquiry).

Proses penilaian yang tertanam dalam diri siswa lahir dari hasil temuan. Dalam proses menemukan terdapat beberapa langkah (David T. Naylor, 1987 : 251) yang dilakukan oleh siswa yaitu :

  1. Menyusun dan mendefinisikan masalah
  2. Merumuskan hipotesis.
  3. Memperoleh data untuk menguji hipotesis
  4. Analisis dan evaluasi data.
  5. Menguji data untuk mengkonfirmasi hipotesis.
  6. Merumuskan suatu penjelasan dan kesimpulan yang bersifat tentatif.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa proses penemuan dapat dilakukan dengan pembelajaran yang berbasis masalah. Materi kearifan lokal dapat menjadi masalah ketika dihadapkan pada pandangan-pandangan hidup sekarang yang bersifat global. Misalnya salah satu bagian dari kearifan lokal adalah tradisi lisan. Tradisi lisan berbeda dengan sejarah lisan. Dalam sejarah lisan yang dilihat adalah bagaimana kebenaran fakta dari apa yang dituturkan atau disampaikan oleh saksi hidup. Lahirnya sejarah lisan sebagai upaya untuk mengungkap fakta sejarah yang tidak ada dalam sumber tertulis. Jadi sejarah lisan pada dasarnya merupakan sejarah yang lahir  pada masyarakat yang sudah mengenal tulisan. Bahkan sejarah lisan dapat juga merupakan metode dalam pencarian sumber yaitu sumber lisan (Mestika Zed, 2007 : 54). Sedangkan tradisi lisan tidak dilihat dari kebenaran fakta sejarahnya. Tradisi lisan biasanya lahir pada masyarakat yang belum mengenal tulisan dan biasanya tersimpan dalam memori kata-kata yang secara terus menerus diwariskan.

Hal terpenting yang bisa diambil dari tradisi lisan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam uraiannya, misalnya dongeng, cerita rakyat, puisi, prosa dan lain-lain. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dalam tradisi lisan biasanya banyak mengandung pesan-pesan moral. Pesan-pesan moral ini lah yang harus dikembangkan menjadi kearifan lokal. Misalnya ada beberapa daerah yang memiliki kuburan keramat seorang tokoh dalam masyarakat tersebut. Tokoh tersebut biasanya ada ceritanya dan bagaimana ajaran-ajaran yang disampaikan oleh tokoh tersebut. Ajaran-ajarannya ini lah yang bisa dijadikan sebagai kearifan lokal. Misalnya tokoh tersebut melarang masyarakat menebang pohon, memakan ikan yang masih kecil, dan lain sebagainya. Larangan-larangan ini lah yang bisa didiskusikan dalam pembelajaran sejarah dan bisa menjadi masalah ketika dihadapkan pada kehidupan yang modern. Apakah ajaran-ajaran dari tokoh tersebut masih memiliki relevansi dengan kehidupan sekarang ?.

DAFTAR PUSTAKA

David T. Naylor/Richard Diem, (1987), Elementary And Mddle School Social Studies, New York : Random House.

James Danandjaya, (1991), Folklor Indonesia Ilmu gossip, dongeng dan lain-lain, Jakarta : graffiti.

Pudentia MPSS, “Tradisi Penulisan Sejarah Lokal”, dalam, Agus Mulyana & Restu Gunawan, Ed. (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salamina Press, hlm. 81-90.

Mestika Zed, (2007),”Ingatan Kolektif Lokal dan Keprihatinan Nasional”,  dalam, Agus Mulyana & Restu Gunawan, Ed. (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salamina Press, hlm. 45-64.

Vasina, Jan, (1985), Oral Tradition As History, Winconsin : The University of Winconsin Press.

*) Disajikan pada Seminar Internasional “Mengembangkan Social Skills Dalam Pembelajaran IPS di Sekolah”, Kerjasama Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI dengan Universiti Kebangsaan  Malaysia, Bandung, 29 Januari 2009.

Comments are closed.