Merawat Maestro untuk Regenerasi Kebudayaan

Hari kedua Konggres Kebudayaan Indonesia, menghadirkan diskusi mengenai “Merawat Maestro untuk Regenerasi Kebudayaan”. Pembicara pertama, Melati Suryodarmo membicarakan tentang pentingnya data base maestro dan pelacakannya, belajar pada maestro, tunjangan ekonomi, serta standar budayawan atau seniman disebut Maestro. Butet kertarajasa sebagai pembicara kedua berbicara tentang maestro hanya diidentikan dengan seniman saja padahal kebudayaan itu definisinya luas, misalnya berurusan dengan tokoh yang peduli tentang kedaulatan pangan. Di Indonesia banyak ahli tradisional yang ahli dalam bidang pangan. Hal tersebut penting karena kebudayaan itu memuliakan kehidupan. Banyak ahli yang banyak menghasilkan temuan kebudayaan, namun belum banyak kepeduliaan dari pihak-pihak terkait, termasuk birokrasi. Ada di Yogyakarta yang ahli singkong, di Kebumen ada seorang profesor ahli pertanian, mereka juga layak mendapat gelar Maestro.

Maestro itu adalah sumber pengetahuan, termasuk arsip dan catatan-catatan. Putra-putri Maestro dan yang lebih penting direktorat kebudayaan seharusnya memiliki kepedulian untuk merawat Mestro. Dokumentasi dalam bentuk catatan-catatan, puisi, foto Maestro perlu diselematkan demi pengetahuan untuk generasi sebelumnya. Butet juga menyinggung mengenai maestro-maestro di daerah-daerah yang pengetahuan mereka perlu juga dijaga. Ahli pertanian, permainan tradisional, kesenian tradisional dan lainnya.

Pembicara ketiga Abroorza A. Yusra dari Kalbar berbicara tentang upaya merawat maestro Masyarakat Dayak. Pemimpin adat Dayak memiliki berbagai keahlian sebagai Maestro dari mulai bidang pertanian, kesenian, ritual, termasuk sastra lisan, serta kearifan lokal yang lain. Pembicara menampilkan film tentang masyarakat Dayak. Felencia Hutabarat mewakili Dewan kesenia Jakarta yang banyak mengerjakan proyek tentang merawat Mestro. Menurutnya pendokumentasian maestro merupakan awal dari upaya melestarikan pengetahuan kebudayaan. Banyak pihak yang juga bekerja untuk pendokumentasian maestro. Pendokumentasian memerlukan dana cukup mahal karena perlu produksi yang berkualitas serta perawatan hasil pendokumentasian tersebut. Dewan Kesenian Jakarta sejak 15 tahun yang lalu berusaha melakukan pendokumentasian berupa audio, dokumentasi, namuan belum bisa diakses publik. Tahap setelah pendokumentasian adalah dipelajari dan dianalisa. tahap berikutnya adalah pendistrubisan produk dan pemikiran para maestro tersebut. Apakah hanya dalam bentuk film, pameran atau bentuk lainnya. Ada tantangan lintas disiplin, karena seni budaya bukan hanya ahli seni budaya, tetapi berkaitan dengan sektor-sektor lain seperti ekonomi kreatif, instansi pemerintahan yang lain, serta sektor lainnya yang memanfaatkan refositori seni budaya.

Comments are closed.