Sejarah Museum Sangiran I

Perhatian terhadap Museum Sangiran sebenernya sudah diawali sejak tahun 1893 oleh Eguene Dubois seorang peneliti dari Belanda yang saat itu sedang dalam penelusuran mencari fosil manusia purba dan menemukan sisa-sisa spesimen hominid yang kemudian dinamakan Pithecanthropus Erectus. Melalui edukasi dan pembelajaran sejarah seseorang dapat memiliki kesadaran akan arti pentingnya benda-benda peninggalan sejarah. Dengan di sadarinya arti pentingnya benda peninggalan tersebut, maka persepsi seseorang terhadap peninggalan sejarah akan positif dan benar, dan akhirnya masyarakat luas akan ikut melestarikannya. Sejarah Museum Sangiran berawal dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Von Koeningswald sekitar tahun 1930-an. Didalam kegiatannya, Von Koeningswald dibantu oleh Toto Marsono, Kepada Desa Krikilan pada masa itu. Setiap hari Toto Marsono atas perintah Von Koeningswald mengerahkan penduduk sangiran untuk mencari “balung buto” dalam bahasa jawa yang artinya tulang raksasa. Demikian penduduk Sangiran mengistilahkan temuan tulang-tulang berukuran besar yang telah membatu yang berserakan disekitar ladang mereka. Balung buto tersebut adalah fosil dari sisa-sisa organisme manusia purba yang terawetkan di bumi. Fosil-fosil tersebut kemudian dikumpulkan di Pendopo Kelurahan Krikilan untuk bahan penelitian Von Koeningswald dan para ahli lainnya. Setelah itu, Von Koeningswald tidak aktif lagi dan diteruskan oleh Toto Marsono hingga jumlah fosil makin melimpah. Peranan Toto Marsono dan penduduk Sangiran juga sangat penting untuk mengumpulkan sejumlah fosil manusia purba yang ada, hingga keterlibatannya mencari fosil tersebut dengan merelakan tempat tinggalnya sebagai tempat penyimpanan hasil temuan fosil di lapangan dan tempat menginap Von Koeningswald selama penelitian.

Comments are closed.