TUNTUTAN PROFESIONALISME GURU SEJARAH PADA ERA ICT[1]

 

Mursidin T[2]

 

[1] Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS di Bandung tanggal 18-20 Maret 2011

[2] Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Haluoleo Kendari

PENDAHULUAN

Pada saat ini wacana tentang profesionalisme guru selalu dihubungkan dengan sertifikasi guru dalam berbagai persoalan yang terkait dengannya, yang bukan hanya disinggung oleh kalangan guru itu sendiri tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menuntut kualifikasi guru untuk ditingkatkan, misalnya guru SD, SMP, dan SMA minimal berpendidikan D4/S1 serta Dosen minimal berpendidikan S2. Hal ini membuat para guru yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang tersebut  mulai berlomba mencari gelar sarjana. Bagi kebanyakan guru, keinginan untuk dapat mengikuti sertifikasi menjadi semacam obsesi. Seperti diketahui bahwa sampai awal 2008 tidak satu pun guru di Indonesia yang memegang sertifikat pendidik. Padahal terdapat sekitar 2,7 juta guru di Indonesia. Mereka membayangkan jika lulus dan mendapat sertifikat pendidik, selain menerima tunjangan fungsional, mereka pun dijanjikan menerima tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji pokok. Jadi seringkali terjadi para guru lebih membayangkan konsekuensi finansial dari sertifikasi daripada idealisme yang ada di balik program sertifikasi itu sendiri. Di samping itu, banyak juga yang mengkhawatirkan bahwa ’kesempatan’ itu akan digunakan oleh Lembaga Pendidikan dan Teknologi Kejuruan (LPTK), termasuk universitas-universitas eks IKIP dan FKIP melakukan sertifikasi massal dengan pendekatan proyek. Hal ini berarti bahwa sertifikasi itu tidak banyak memberikan manfaat positif bagi peningkatan profesionalisme guru. Ujung-ujungnya, negara dan rakyat yang akan dirugikan karena sudah mengeluarkan ongkos yang besar untuk melaksanakan program itu.

Jika disimak secara mendalam maka landasan filosofis di balik penerapan program sertifikasi guru itu adalah untuk peningkatan profesionalisme guru. UU Guru dan Dosen pada dasarnya ingin memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan cerminan rendahnya kualitas sistem pendidikan nasional. Rendahnya kualitas dan kompetensi guru bukan hanya guru sejarah tetapi guru secara umum, semakin membuat laju perkembangan pendidikan belum maksimal. Guru kita dianggap belum memiliki profesionalitas yang baik untuk kemajuan pendidikan secara global. Salah satu kambing yang paling hitam yang jadi penyebab semua ini adalah rendahnya kesejahteraan Guru, tetapi apakah hal tersebut memiliki hubungan korelasional yang signifikan?

 

Permasalahan Guru di Indonesia

Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan guru di Indonesia, yaitu:

  1. Kualitas guru yang masih rendah

Kualitas guru saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Masalah yang lain, seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimilikinya, misalnya guru sejarah mengajar agama atau guru Biologi mengajar Sejarah. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak maksimal.

  1. b. Jumlah guru yang masih kurang

Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu ruang kelas sering diisi lebih dari 30 anak didik. Idealnya, setiap kelas diisi antara 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses pembelajaran yang maksimal.

Berbagai kendala yang dihadapi sekolah terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan subjek atau bidang studi yang sesuai dengan latar belakang guru. Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak popular bagi anak, guru yang mengasuh pelajaran tidak sesuai bidangnya. Daripada kosong sama sekali, lebih baik ada guru yang bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas.

 

Masalah distribusi guru

Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pada umumnya guru hanya mau ditempatkan mengajar di kota, meskipun penempatan pertamanya di daerah terpencil, tetapi hal itu hanya digunakan untuk mendapatkan NIP. Setelah mendapatkan NIP mereka pindah ke kota dengan berbagai alasan, misalnya ikut suami, orang tua, keamanan dan lain-lain. Tidaklah mengherankan jika kemudian di kota guru bertumpuk sementara di daerah sangat kurang. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini terutama di daerah terpencil misalnya dengan memberi insentif gaji dua kali lipat dan kenaikan pangkat otomatis, masalah penyebaran guru yang tidak merata ini belum teratsi dengan baik.

 

Masalah kesejahteraan guru

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita masih sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, di luar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis di lingkungan sekolah di mana mereka mengajar. Peningkatan kesejahteraan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesionalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah, misalnya jual buku/diktat, bahkan ada yang menjadi tukang ojek atau pemulung..

Pengembangan Profesi Guru

Seorang guru profesional bukanlan guru yang asal-asalan. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya (1) guru harus memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan tuntutan perundangan yang berlaku seperti untuk SD minimal Strata 1 dengan kesesuaian untuk guru bidang studi ataupun guru kelas, (2) memenuhi tuntutan dengan memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian, (3) sertifikasi yang harus dimiliki. Apabila ketiga tuntuntutan tersebut telah dimiliki maka jabatan profesional melekat pada diri dan profesinya, sedangkan apabila tidak dapat dipenuhi maka kegiatan-kegiatan wajib diikuti oleh guru seperti penataran, uji kompetensi, penelitian, pengawasan, penghargaan, pendidikan, studi banding, magang, kemitraan, seminar, dan sebagainya sebagai persyaratan untuk memegang dan menyandang gelar profesional.

 Profesionalisme Guru Sejarah pada Era ICT

Perkembangan yang dialami oleh suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya dan kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kompetensi dan profesionalisme gurunya. Suatu contoh dalam sejarah yang sangat mudah diambil hikmahnya adalah apa yang dialami oleh Jepang ketika mereka bangkit dari keterpurukan akibat kekalahan dan kehancuran pada Perang Dunia II tahun 1945. Ketika ratusan ribu warga Jepang meninggal, pemerintah kemudian mencari dan mengatakan bahwa masih adakah guru yang masih hidup. Guru yang masih hidup dikumpulkan untuk mendidik dan membangun kembali Jepang. Jepang kini berjaya dan menjadi raksasa Industri yang sangat diperhitungkan oleh dunia karena keberhasilan pemerintahnya dalam mengelola pendidikan. Pendidikan berkualitas dengan sokongan dana yang memadai telah menjadikan Jepang seperti sekarang ini.

Walaupun terlambat, kesadaran akan pentingnya mengedepankan pengelolaan pendidikan yang berkualitas sebagaimana di Jepang kini juga sudah mulai dirasakan. Selain melakukan pembaharuan dan perombakan kurikulum secara kontinu seperti diberlakukannya KTSP, pemerintah juga mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total RAPBN sesuai amanah UUD 1945. Seiring dengan upaya tersebut, DPR RI juga sudah mensyahkan RUU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini mengatur bagaimana sertifikasi guru dan dosen profesional dilaksanakan. Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di lapangan, ide besar dari disyahkannya RUU tersebut adalah pendidikan di Indonesia akan mengalami lonjakan kualitas jika para guru menjadi sejahtera, kompeten, dan profesional.

Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi dewasa ini, di mana persaingan yang semakin kuat dan proses transfaransi di segala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan generasi penerus bangsa, memiliki peran dan fungsi yang signifikan di masa yang akan datang. Oleh sebab itu pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penangan lebih serius.

Profesinalisme guru adalah sebuah paradigma yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam konteks pemberdayaan guru menuju sebuah profesi yang berkualitas di mana secara empiris dapat dipertanggungjawabkan, memerlukan keterlibatan banyak pihak dari stakeholders, termasuk pemerintah sebagai penyelengara Negara. Diperlukan sebuah kondisi yang dapat memicu dan memacu para guru agar dapat bersikap, berbuat serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing. Kondisi tersebut sebagai faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal lebih mengarah pada guru itu sendiri, baik secara individual maupun secara institusional sebagai sebuah entitas profesi yang menuntut adanya kesadaran, dan tanggung jawab yang lebih kuat dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Diperlukan sebuah komitmen yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah maupun moral, agar guru dapat benar-benar berpikir dan bertindak secara profesional sebagaimana profesi-profesi lain yang menuntut adanya suatu keahlian yang lebih spesifik. Faktor eksternal dalam konteks ini, lebih terkait pada bagaimana kebijakan pemerintah dalam mendorong dan menciptakan kebijakan maupun atmosfir yang dapat merangsang dan melahirkan guru-guru yang profesional. Hal yang paling mendasar berkaitan dengan masalah ini adalah issu kesejahteraan bagi para guru, agar mereka dapat benar-benar fokus pada peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik

Seorang guru yang profesional bukan hanya memiliki selembar kertas sebagai bukti telah lolos sertifikasi. Tidak cukup juga hanya dengan setumpuk kertas portofolio sebagai bukti telah mengikuti seminar, pelatihan atau kejuaraan ini dan itu. Guru yang profesional menjadi narasumber, manakala berhadapan dengan siswa atau masyarakat yang membutuhkan ilmu yang sesuai dengan core competency (bidang)-nya maka seorang guru profesional haruslah bisa terandalkan (reliable).

Apa dan bagaimana guru sejarah agar menjadi guru profesional yang memenuhi tuntutan jaman pada era ICT ini? Agar guru sejarah menjadi profesional yang sesuai dengan era ICT ini hendaknya guru sejarah memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Mahir pada core competency-nya sebagai guru sejarah
  2. Mengerti kurikulum beserta aplikasi dan pengembangannya
  3. Menguasai pedagogik secara teoretis dan praktis beserta pengembangannya
  4. Terampil memotivasi siswa untuk belajar
  5. Dapat melakukan research, seperti penelitian tindakan kelas
  6. Dapat mengaplikasikan ICT
  7. Menguasai bahasa internasional

Dalam pembe­lajaran sejarah diharapkan terjadinya interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Dalam hubungan ini, peranan guru sejarah sangat menentukan demi keberhasilan pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, guru sejarah dituntut untuk memiliki beberapa kompetensi seperti menguasai materi, tidak memonopoli kelas, mengelola program pembe­lajaran, menggunakan media, menguasai landasan kependidikan, menguasai sistem evaluasi, menguasai bimbingan konseling, dan administrasi sekolah, dan prinsip pendidikan guna keperluan proses pembelajaran, serta yang lebih penting adalah menguasai teknologi komunikasi dan informasi yang lebih dikenal dengan istilah ICT.

Jika guru sejarah telah memiliki dan menguasai kemampuan-kemampuan tersebut, diharapkan proses pembelajaran sejarah dapat berjalan secara efektif dan efisien serta bermuara pada keberhasilan belajar siswa, dalam hal ini peningkatan hasil belajar sejarah siswa dan yang lebih penting adalah tercapainya hakikat tujuan pembelajaran sejarah yaitu menghasilkan warga negara yang baik, bertanggung jawab, mengembangkan saling pengertian di antara sesama bangsa maupun antar bangsa, dan menanamkan jiwa patriotisme dan nasionalisme.

Guru sejarah yang profesional merupakan ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan sejarah. Oleh karenanya usaha pemerintah tentu saja tidak akan berjalan normal jika guru sejarah sebagai komponen terpenting dari pendidikan sejarah itu sendiri tidak mendukung sepenuhnya kebijakan peningkatan kualitas pendidikan secara umum. Sebagai contoh, pemerintah sejak jauh-jauh hari telah mengisyaratkan akan pentingnya perubahan dalam pembelajaran dari guru konvensional menjadi guru yang real profesional. Namun kenyataan di lapangan, guru sejarah cenderung mempertahankan pola lama. Guru sejarah masih tetap enak dengan pola lamanya yakni metode ceramah. Materi sejarah dari A sampai Z disajikan dengan menggunakan metode ceramah. Hal Ini tentu sangat memprihatinkan, karena menyebabkan pembelajaran sejarah kurang menarik.

Guru sejarah perlu lebih dimotivasi agar berubah menjadi profesional dan berkompeten seiring dengan perubahan jaman. Sebab guru sejarah adalah agen perubahan. Mau dibawa kemana generasi dan negeri ini jika agen perubahannya saja cenderung pasif dan berpuas diri dengan embel-embel profesional karena sudah memiliki selembar kertas tanda lolos sertifikasi.

 

KESIMPULAN

  1. Permasalahan guru di Indonesia masih terkait dengan kualitas yang masih rendah, jumlah yang masih kurang, penyebaran yang tidak merata, dan tingkat kesejahteraan yang masih memprihatinkan.
  2. Pada dasarnya ada tiga hal pokok yang harus dimiliki oleh guru sejarah dalam menghadapi tantangan yang penuh persaingan pada era ICT ini yaitu: kepribadian yang mantap, Wawasan yang luas, dan kemampuan profesional yang memadai.
  3. Guru sejarah dituntut untuk memiliki kompetensi yang menunjang proses pembelajaran seperti menguasai materi, menggunakan media, dan yang lebih penting adalah menguasai teknologi komunikasi dan informasi yang dikenal dengan istilah ICT.
  4. Guru sejarah harus menjadi narasumber, manakala dia berhadapan dengan siswa atau masyarakat yang membutuhkan ilmu yang sesuai competency-nya.

 

DAFTAR BUKU ACUAN

Hasan, S. Hamid. 1997. “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah”, Kongres Nasional Sejarah 1996, Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Depdikbud,

Kamalia, Sabarini. “Guru dan Hasil Proses Pembelajaran”. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/30/0902.htm).

Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2009. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Su’ud, Abu. 1990. Pengajaran Sejarah, “Seminar Sejarah Nasional V  Sub Tema Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah & Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional

Tomoredjo, Mampuono R. “Penguasaan ICT: Bekal Guru Profesional Menghadapi Era Global”. (http://www.agupenajateng.net.htm)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Widja, I Gde. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *