Tantangan Nasionalisme Indonesia dalam Era Globalisasi

Oleh: Prof. Dr. Dadang Supardan
(Universitas Pendidikan Indonesia)

Pendahuluan

Masih segar dalam ingatan kita, bahwa krisis multidimensi yang berkepanjangan—puncaknya tahun 1997-2000—merupakan pengalaman terpahit dalam krisis ekonomi, politik, dan hukum pasca kemerdekaan Indonesia. Krisis yang dapat diibaratkan negara-bangsa yang turbulensi (chaos) di mana banyak pengamat menyebutnya sebagai  “A Country in Despair” suatu negara bangsa yang bukan sekedar dilterpa bencana, tetapi telah tenggelam dalam ketiadaan harapan yang mendalam (Dhakidae, 2002; xvii).

Krisis multidimensi Indonesia, telah membuka seluruh “topeng” sampai ke bagian-bagian yang tersembunyi. Ia dengan putus asa dan emosional penuh sinis serta sindiran terhadap Indonesia sebagi negeri yang serba seolah-olah, a heap of delusions, tidak ada lagi sebenarnya apa yang disebut nasionalisme, heroisme, keadilan, persatuan, kejujuran maupun kebanggaan.

Pendeknya, lembaga-lembaga lama bertahan kendati tanpa wibawa.  Indonesia membangun dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat, dengan politik yang seolah-olah stabil; dengan kesadaran selolah-olah bersatu; dengan pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan ABRI yang seolah-olah satria; dengan ahli hukum seolah-olah adil; dengan pengusaha yang seolah-olah captains of industri;… Semua tampak salah, ibarat gigi palsu yang memang lebih kemilau daripada gigi asli,…mirip kebohongan di atas kebohongan (Simbolon, 2000: 2-6).

Rasa kebangsaan tersebut, telah mencapai titik nadir yang memilukan. Apakah itu rasa kebangsaan kwarganegaraan atau nasionalisme sipil seperti yang dikemukakan oleh J.J. Rousseau dalam Du Contract Sociale; begitu juga dalam  nasionalisme budaya sebagaimana kesediaan Dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa yang membuktikan keutuhan budaya Tionghoa; begitupun pada nasionalisme ekonomi seperti yang mengikuti model Sumitro yang dikemukakan Mudrajad Kuncoro, serta nasionalisme etnik seperti yang ditulis oleh Johann Gottfried von Herder dengan memperkenalkan konsep Volk dan berkaitan dengan nasionalisme kenegaraan—dimana  penyelenggaraan sebuah ‘national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri—contohnya nasionalisme Fleming di Belgia dan Basque di Spanyol serta Kurdi di Turki. Kemudian nasionalisme keagamaan di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari Agama Hindu. Semuanya mengalami fluktuasi.

Nasionalisme Indonesia masa kini sedang mengalami degradasi dengan meningkatnya konflik-konflik antaretnik, antaragama, dan fenomena disintegrasi bangsa lainnya. Konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia sejak tahun 1997 barangkali dapat dijelaskan dengan teori chaos—yang mulai dikenal di kalangan sains pada penghujung abad 20. Secara sederhana fenomena chaos dapat digambarkan dengan ungkapan terkenal, ”Does the flap of a butterly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas” (Lorenz, 1993: 14). Atau ada juga yang mengatakan “Kepak sayap seekor kupu-kupu di pelabuhan Sydney sudah cukup menimbulkan angin taufan dua minggu kemudian di Jamaica”¾ soal-soal kecil dan spele bisa menimbulkan kekacauan besar.

Konflik-konflik yang terjadi di berbagai pulau-pulau besar—Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, Sumatera—salah satu buntutnya adalah pilihan penduduk untuk bertahan tinggal ataukah meninggalkan kediaman mereka yang telah berubah menjadi daerah konflik berkepanjangan. Sampai dengan tanggal 5 April 2002 saja sudah 1.247.449 orang Indonesia hidup mengungsi di negerinya sendiri (Sugiya, 2002: 337). Saat itu pengungsi tersebar di di 20 provinsi. Kemudian data sampai tanggal 5 April 2002 memperlihatkan Maluku sebagai provinsi yang paling banyak menampung pengungsi: 300.091 orang sekitar 24,06 persen.  Begitu juga korban konflik di Aceh menyebabkan 48.489 mengungsi ke Sumatera Utara. Selanjutnya korban konflik di Timor Timur sebagian besar mencari perlindungan di Nusa Tenggara Timur mencapai 26.196 keluarga atau 136.143 orang.

Di Kalimantan Barat dan Kalimentan Tengah dua provinsi ini memang provinsi yang rentan dengan konflik. Setidaknya sudah terjadi 11 konflik besar yang melibatkan etnik-etnik tertentu di daerah itu sejak tahun 1950 sampai 1999. Penyebab langsungnya hampir sama; soal-soal spele. Konflik terjadi di Sambas tahun 1999 misalnya, dimulai dengan terbunuhnya seorang pencuri dari salah satu etnik yang bertikai. Kapak sayap kupu-kupu ini kemudian berkembang dalam waktu relatif singkat menjadi perseteruan antaretnik. Tidak kurang dari 3.000 orang warga Desa Paritsetia yang tidak tahu-menahu dengan persoalan itu terpaksa mengungsi. Manakala derajat konflik membesar 68.000 jiwa dari etnik tertentu terpaksa mengungsi (Triardiantoro dan Suwardiman, 2002: 322).

Pola kepak sayap kupu-kupu itu pula yang terjadi di Maluku dan Poso. Sama-sama dimulai dengan perkelahian atau bentrokan antarwarga. Jika faktor pemicu di Kalmantan Barat adalah etnik, sedangkan di dua kawasan Indonesia Timur ini faktor pemicunya adalah penganut agama. Kerusuhan di Poso berawal dari konflik antarpemeluk agama di penghujung tahun 1998. Berlangsungnya selama seminggu, lalu reda, tetapi kambuh lagi pada pertengahan 1999. Bentrokan susul-menyusul sampai-sampai Poso lumpuh total. Tidak hanya aktivitas masyarakat yang terhenti, kantor-kantor pemerintah juga terpaksa ditutup untuk sementara waktu.

Seperti biasanya, kerusuhan disulut oleh hal-hal spele. Kerusuhan di Maluku diawali dengan bentrokan antara seorang warga dan seorang sopir angkutan di Ambon pada pertengahan Januari 1999 (Triardianto, 2002: 32!). Bentrok itu berkembang menjadi konflik antaragama dan menjalar ke Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Sebetulnya upaya pemerintah dalam mengatasi konflik itu signifikan. Berakhirnya konflik di Sambas dan Sampit tidak lepas dari keseriusan pemerintah membentuk tim peneliti yang beranggotakan pakar berbagai kajian displin ilmu. Pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat dan Tengah oleh keempat etnik—Dayak, Melayu, Tionghoa, dan Madura—turut menghentikan konflik dengan menempatkan perselisihan antarwarga sebagai perselisihan perseorangan, bukan sebagai pertikaian antaretnik (Triardianto, 2002: 32!). Yang tampak lama adalah di Poso, Ambon, bahkan Aceh, dan Papua.

Sindhunata dalam tulisannya Demitologisasi Persatuan Nasional menyebutkan:

”… kelumpuhan terasa dalam ketidakberdayaan kita menghadapi fenomena perpecahan dan disintegrasi bangsa. Kita khawatir, bila Aceh jadi merdeka, jangan-jangan kita juga tidak mampu mencegah Ambon, Riau, Papua, Poso, bila mereka ikut-ikutan ingin merdeka. Di manakah kiranya akar dari kerapuhan dan kelumpuhan itu? (Sidhunata, 2000: 93).

Ketahanan integrasi bangsa kita di sini sedang diuji kehandalan karena kelalaiannya. Pemerintah Orde Lama, Orde Baru telah keliru dengan merasionalkan persatuan yang bersifat mitis itu menjadi suatu nasionalisme tanpa mewujudkan ke-mitis-an persatuan tersebut secara empiris. Maksudnya, pemerintah tidak memberi kesempatan bahwa masing-masing kelompok etnik untuk mengekspresikan keleluasaannya dalam persatuan bangsa ini. Ini sungguh mengerikan di mana orang tidak lagi menghargai bahwa perbedaan agama-budaya itu sebagai Rachmatan lil-Allamin. Bukankah negara ini juga dibangun atas dasar motto Bhineka Tunggal Ika? Yang digali sejak jaman Majapahit dahulu dari Mpu Tantular dalam Negara Kertagama “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Belum lagi gerakan-gerakan yang ingin memproklamirkan diri seperti kelompok GAM di Aceh, RMS di Ambon atau Maluku Selatan, dan Gerakan Papua Merdeka. Semuanya ini jika dibiarkan akan mencabik-cabik kesatuan dan persatuan bangsa. Hal-hal yang semacam inilah yang dalam bukunya Francis Fukuyama  dalam The Great Disruption si penulis buku terlaris abad ini The End History of Last Man,  bahwa Social Capital kita menjadi rendah karena tidak adanya rasa saling percaya antar etnik, budaya, agama, justru yang ada adalah rasa curiga yang dalam. Ini berbahaya jika tidak ada rasa percaya-mempercayai, harga menghargai antar anak bangsa yang ada.

Memang banyak generasi muda yang mampu mengukir prestasi seperti dalam berbagai lomba maupun olimpiade sains di berbagai negara yang telah diselenggarakan. Tetapi suatu hal yang memprihatinkan aktivitas generasi muda yang telah ditulis dan diteliti oleh beberapa Harian Terkemuka Ibu Kota, bahwa tidak sedikit anak-anak muda kita yang terjebak dalam “The Pursuit of Wow” mengejar kegemerlapan, mengedepankan kenikmatan-kepuasan, mengabaikan idealisme dalam arti lebih materialis dan idividualistik, serta sikap-sikap yang acuh tak acuh terhadap kemajuan negara-bangsa. Pendeknya tidak sedikit anak-anak muda yang lebih mengedepankan budaya hedonik yang ditandai oleh pengejaran kepuasan dan kenikmatan. Maraknya patologis seksual dan budaya kekerasan. Lebih mengerikan lagi dalam hasil penelitian tersebut siswa-siswi, mahasiswa, dan generasi muda umumnya banyak terlibat dalam tawuran, “kumpul kebo”, maupun pelecehan-pelecehan seksual lainnya dari perkosaan sampai dengan “berteman tapi mesra” tanpa merasa berdosa. Begitu juga di kalangan orang tua sekarang ini nampaknya penyakit masyarakat tentang, selingkuh, KKN, khususnya korupsi masih melekat dan merajalela di Indonesia, walaupun ironisnya hanya sedikit koruptor-koruptor yang tertangkap dan diadili dan itupun lebih banyak  kelas teri.

Sungguh menyedihkan, bangsa yang terkenal peramah, religius, dan menjunjung kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas, suka berkelahi dan saling membunuh. Nilai-nilai yang dahulu kita anggap agung, luhur, dan mulia, zaman sekarang ibarat binatang ”langka” yang hampir musnah ”mati suri” makin tidak berdaya. Penulis teringat akan penyair Latin Klasik Publius Ovidius yang telah menulis pada awal abad pertama Masehi: ”video meliora proboque, pejora autem sequor” (saya melihat hal-hal yang baik dan menyetujuinya, tetapi ternyata saya mengikuti juga hal-hal yang kurang baik). Kemudian Filosof Nietzche dengan caranya yang khas bahkan menulis bahwa ”der Irrtum hat aus Tirren Menschen gemacht” atau kekeliruanlah yang membuat hewan menjadi manusia—karena hewan tak bisa khilaf, sedangkan manusia sering keliru (Kleden, 2001: 27).

Ada semacam dugaan umum bahwa untuk menenganalisis stagnasi kajian nilai-nilai  Indonesia dewasa ini disebabkan adanya kesenjangan yang bersifat struktural dalam masyarakat sendiri. Kesenjangan itu mencuat tidak saja dengan hadir dan diintrodusirnya nilai-nilai budaya Barat dalam pola pikir dan tingkah laku, tetapi juga sekaligus diperuncing oleh ketidaksiapan dan ketidakmatangan budaya domestik, untuk merangkul dan memberi inspirasi terhadap apa yang disebut kemajuan dalam kemodernan (Bulkin, 16 Juli 1985)..

Di satu sisi nilai-nilai Barat yang hendak dikembangkan di Indonesia ternyata tidak mendapat dukungan yang kokoh dari struktur sosial, ekonomi, maupun politik. Tetapi di sisi lain, banyak contoh dan kasus yang menunjukkan bahwa situasi ekonomi, sosial, politik ini tidak bisa disimpulkan sepenuhnya bersandar pada nilai asli domestik, kendati usaha-usaha ke arah itu dirasakan sangat gencar dalam praktik pembangunan. Di lain pihak, dalam orasi ilmiahnya memperingati 25 tahun CSIS (18-19 September, 1996) Prof. Robert A. Scalapino mengatakan: nilai-nilai politik pada akhir-akhir ini telah memudar dan ada kekuatan-kekuatan (nilai-nilai) lain yang segera mengisi kekosongan ini, yaitu kesadaran etnik yang meningkat, dan di wilayah-wilayah tertentu oleh komitmen keagamaan yang meningkat. Dengan demikian, kita menjalani abad XXI dengan mempertanayakan ”Apa yang saya percayai?”(What do I belives?), dan ”Siapa saya ini sebenarnya?” (Who am I?). Kedua pertanyaan itu merupakan tantangan kembar di masa sekarang dan mendatang.

  1. Perlunya Redefinisi dan Revitalisasi Nasionalisme Indonesia

Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata ’nation’ berasal dari kata Latin ’natio’ yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang).

Selanjutnya, kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.

Sebetulnya pengertian nasion sesungguhnya merupakan istilah yanag lebih tepat daripada pengertian bangsa yang masih mengandung unsur-unsur anggapan bahwa sekalian anggota-anggota bangsa yang bersangkutan berasal dari nenek moyang yang sama.. Hal ini dijelaskan oleh Ernest Renan dalam perkuliahan umum berjudul ”Qu’est-ce qu’un nation?” (Apakah nasion itu?) yang diadakan dio Universitas Sorbone, Paris 1882 (Bachtiar, 2002:31).

Dengan banyaknya gerakan-gerakan kebangsaan di Eropa waktu itu—menentang kerajaan-kerajaan besar sperti; Austria-Hongaria, Turki, dan Prancis—kemudia terpecah-pecah menjadi negara-negara merdeka yang lebih kecil. Kemudian timbul arti ”nasion” yang merupakan inti dari faham nasionalisme. Renan (1990: 15) yang sering dikategorikan dalam nasionalisme terminologi klasik, melihat bahwa salah satu unsur esensial dari suatu bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri atas komunitas manusia yang saling merasa bersetiakawan dengan satu sama lain.

“Nasion adalah suatu jiwa, suatu azas spiritual. Ia adalah suatu kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan yang oleh manusia-manusia yang bersangkutan bersedia dibuat di masa depan. Nasion mempunyai masa lampau, tetapi ia melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu kenyataan yang jelas: yaitu kesepakatan, keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama”. Suatu nasion tidak tergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografis, atau hal-hal lain yang sejenis. Kehadiran suatu nasion adalah suatu kesepakatan bersama yang seolah-olah terjadi setiap hari antara manusia-manusia yang bersama-sama mewujudkan nasion yang bersangkutan (Bachtiar, 2001: 33).

Otto Bauer mencoba berusaha mencari sejarah sebagai karakteristik bersama yang objektif dengan mengemukakan konsep community of fate (Schiksalgemein-schaft) yang mengikat para warga suatu bangsa ke dalam suatu community of character (Charactergemeinschaft). Kemudian Bung Karno mencoba menambahkan konsep Geopolitik yang menyatakan bahwa bumi yang terdapat di antara ujung Sumatera sampai ke Irian itu adalah kesatuan bumi Indonesia, karena atas “ketentuan Allah SWT” didiami oleh berjuta-juta manusia yang mempunyai le desire d’ etre ensemble dan Charaktergemeinschaft (community of character). Bung Karno mengemukakan untuk “mendirikan suatu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia  dari Ujung Sumatera sampai ke Irian” .Bung Karno, berkeyakinan bahwa bentuk ideal suatu negara bukanlah negara yang rakyatnya yang terdiri dari hanya satu kelompok etnis saja.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita jang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat.

Kita hanja dua kali mengalami nationale staat, jaitu zaman Sriwidjaja dan di zaman Madjapahit. Di luar dari itu tidak mengalami nationale staat. Saja berkata dengan penuh hormat kita punya radja-radja dahulu, saja berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan Hormat kepada Prabu Siliwangi di Padjadjaran, saja berkata, bahwa keradjaannja bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Ageng Tirtajasa, saja berkata bahwa keradjaannja di Banten, meskipun merdeka bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi jang telah membentuk Keradjaan Bugis (Gowa), saja berkata, bahwa tanah Bugis (Gowa) jang merdeka itu bukan nationale staat (Soekarno,  1961: 27-28)

Nasionalisme, dalam perspektif sejarah menunjukkan perkembangannya sangat pesat. Jika abad sembilan belas sering disebut abad ‘Nasionalisme Eropa’, maka pada abad ke dua puluh nasionalisme telah menjadi  a universal idea-force dalam kekuatan sejarah global kontemporer, bahkan sebagai abad pan-nasionalisme (Kohn, 1965: 72-73). Nasionalisme Indonesia-pun terlihat jelas menjadi suatu kekuatan besar sebagai proses yang dimotori oleh kemunculan kesadaran nasional yang dirumuskan  oleh kaum inteligensia dan diperluas melalui partai politik pergerakan nasional hingga menjadi gerakan massa yang anti kolonial (Alfian, 1996: 34). Akan tetapi perjalanan nasionalisme itu tidak selalu menggembirakan dan belum berakhir. Terdapat kesan bahwa dalam perkembangan baru di berbagai bidang semakin gencar mendera nasionalisme.

Guibernau (1996: 150) mencoba meringkas permasalahan ganda yang dihadapi negara-negara berkembang khususnya:

In the Third world conflict will be unavoidable and will stem primarily from two main sources; the differences arising between the ethnic group included in the mostly arbitrarily created states received from the colonial period, and the wide gap between a small affluent elite and large numbers of people living in conditions of property.

Nasionalisme pada tahap awal berhasil merekatkan penduduk yang heterogen menentang kolonialisme. Tetapi setelah proses dekolonisasi berlangsung terutama dalam nation building, perlu ada revitalisasi dan redifinisi nasionalisme yang makin kompleks tantangannya. Tjokrowinoto (1996: 42) berpendapat bahwa nasionalisme dapat memainkan dua peran pokok, yaitu; (1) sebagai ideologi yang mengatasi loyalitas dan solidaritas parochial, (2) sebagai mekanisme pertahanan terhadap ancaman kekuatan eksternal baik kekuasaan kolonial, penetrasi transnational corporation, multinational corporation, maupun lembaga-lembaga internasional lainnya pengaruh globalisasi. Semuanya itu memerlukan elaborasi nasionalisme yang tidak hanya menekankan aspek idelogi-politik—bentuk nasionalisme romantik, kewarganegaraan, kebudayaan, perekonomian, etnik, maupun penyelenggaraan pemerintahan.

Nasionalisme dan Kewarganegaraan

Rapuhnya spirit rasa kebangsaan Indonesia sebagai suatu bangsa yang telah dibangun semenjak pergeragerakan nasional, nampaknya juga disebabkan oleh karena lemahnya visi kebangsaan dan adanya kekaburan mendasar dalam memandang ke-Indonesia-an. Walaupun secara yuridis undang-undang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami perubahan dari Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 diubah menjadi Undang-Undang Kewarganegaraan No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, namun sikap dan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan rasa nasionalisme tersebut, masih lebih banyak dipengaruhi oleh Undang-undang kewarganegaraan terdahulu.

Selama ini, pemahaman terhadap kebangsaan masih merujuk pada terminologi klasik Renansian—suatu bangsa adalah ”a daily plesbicite—yang tergantung pada kehendak warganya untuk hidup secara bersama dalam identitas kolektif baru yang melampaui garis-garis primordial-sektarian (Harjanto, 2002: 86), Sebab, secara normatif kebangsaan dalam pengertian komunalistik seperti itu memang mungkin dibangun. Masalahnya, kebangsaan Indonesia seperti itu telah tereduksi menjadi suatu konsepsi politik yang semakin kehilangan makna filosofisnya, yang sering dipertentangkan dengan konsepsi politik keagamaan. Padahal, secara inherent konsep tersebut sudah bermuatan konflik kepentingan  antar anggotanya, mengingat perbedaan preferensi politik dalam menyikapi perkembangan dari hari ke hari.

Sementara itu dalam tatanan kehidupan bernegara, kesadaran kewarganegaraan seolah-olah kurang mendapat tempat untuk tumbuh berkembang.  Pemahaman selama ini lebih banyak menekankan kewarganegaraan sebagai konsep hukum, yang sepertinya tidak memiliki kekuatan untuk mentransformasikan masyarakat menjadi suatu entitas politik yang modern dan demokratis. Kewarganegaraan (citizenship) padahal tidak hanya sebagai aspek legal dari individu dalam kedudukannya di suatu negara Westphalian yang berdaulat, tetapi juga mengandung unsur atribut sosial-politik yang memiliki pengaruh secara personal dan berdaya sentripetal (mempersatukan) serta terkait erat dengan masalah partisipasi politik (Marshal, Kymlicka, dan Norman,1991).

Kewargaannegaraan Indonesia selama ini masih kuat pengaruh Undang-undang No. 62 Tahun 1958, di mana yang dikonstruksikan sebagai ciri pembeda antara warganegara sendiri (pribumi) dan keturunan (Cina). Maka menarik untuk dipertanyakan konsepsi kewarganegaraan seperti apa yang akan kita perjuangkan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita memerlukan klarifikasi terhadap konsep kebangsaan (nationality) dan kewarganegaraan (citizenship) terlebih dahulu. Sebagaimana penulis resapi, bahwa konsep kebangsaan memiliki beragam karakteristik dan kriteria di setiap negara, tergantung pada tradisi-tradisinya. Hal tersebut akan nampak pada bagaimana statusa kebangsaan akan dilekatkan pada individu-individu. Setidaknya kebangsaan akan didasarkan dua prinsip utama, yaitu berdasar keturunan (ius sanguinis) seperti di Indonesia tempo dahulu. Yang satu lagi adalah azas kelahiran (ius soli) dianut di Amerika Serikat. Varian lain dari dua prinsip tersebut seperti melalui proses naturalisasi, pemberian suaka politik (political Asylum) sampai model undian (lottery).

Dalam azas keturunan (ius sanguinis) biasanya akan menimbulkan terbentuknya ethnic nationalism maupun ethnocultural nationalism, yang didasarkan atas mitos-mitos  mengenai kesamaan leluhur dan kepemilikan tanah air yang diwariskannya. Dengan demikian konsepsi ini akan mementingkan adanya bukti-bukti fisik keturunan, bahasa,  dan keagamaan. Akhirnya visi ini akan membawa masyarakat yang kurang demokratis. Sedangkan dalam azas kelahiran (ius soli) akan mengarahkan pada penguatan civic-nationalism (Fieschi dan Varouxakis, 2001: 22; Harjanto, 2002: 88). Dalam civic nationalism sendiri terbangun di atas satu kontrak sosial. Untuk kepentingan bersama dalam lembaga-lembaga publik dan way of life mereka. Konsepsi ini dalam beberapa hal dapat mengakomodasi perbedaan etnis dan budaya sejauh negara mampu menjaga netralitasnya. Singkatnya model ini menawarkan visi ”community of equal citizens”, walaupun di satu sisi kadang menimbulkan belum tentu demokratis paratisipatif, apalagi mereka tercerabut dari preseden dan akar historisnya dan sangat tergantung kepada kesukarelaan individu, bahkan sering dikreasi sebagai mitos untuk kepentingan mayoritas dalam menyamarkan atau camouflage sambil melakukan subordinasi terhadap minoritas (Kymlicka, 2000: 51).

Kemudian kebangsaan ideal yang bagaimana yang harus dituju?, teruata dalam masyarakat plural seperti Indonesia? Memang tidak ada jawaban yang mutlak, tetapi dalam tatanan masyarakat majemuk dan konteks masyarakat global setidaknya tersedia suatu visi alternatif yang layak dipertimbangkan yaitu multicultural nationalism. Para penganjur  model masyarakat seperti ini berkeyakinan bahwa menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama, sehingga terwujud suatu ”social and political ideal of togetherness in difference” (Rawls, 1971). Visi ini sebenarnya menggabungkan antara tujuan civic nationalism dengan ethnocultural nationalism.

Nasionalisme dan Kebudayaan

Mungkin agak asing kedengarannya jika seseorang berjuang mencapai kemerdekaan malalui perjuangan kebudayaan nasional. Cabral (1973: 41), seorang pahlawan kemerdekaan di Guine-Bissau Afrika yang menulis  buku Return to the Source, ia menegaskan bahwa kebudayaan menjadi unsur perlawanan terhadap dominasi asing: “manifestasi yang kuat di bidang ideologi atau idealis dari realitas fisik dan historis masyarakat yang didominasi”. Selanjutnya pernyataan Cabral (1979: 143)  dalam buku yang lain, yakni Unity and Struggle, menegaskan bahwa kebudayaan adalah unsur vital dalam proses pembebasan. Pembebasan nasional diekspresikan sebagai tindakan kebudayaan, ekspresi politik dari rakyat yang sedang melakukan perjuangan. Kebudayaan dengan demikian bisa berpengaruh positif terhadap rakyat dan kondisi mereka.

Franz Fanon (1979: 143), seorang pejuang Aljazair berprofesi sebagai psikiater yang disegani dan berjaya karena berhasil merebut kemeredekaan, dalam bukunya berjudul The Wretched of the Earth,  mengatakan bahwa

… klaim kebudayaan nasional di masa lalu tidak hanya mampu merehabilitasi bangsa itu dan berfungsi   sebagai pembenaran  bagi harapan akan kebudayaan nasional masa depan. Dalam tataran  keseimbangan jiwa-afektif, kolonialisme  mestinya bertanggung jawab  atas perubahan penting pada pribumi…. Keteguhan dalam mengikuti bentuk-bentuk kebudayaan yang sudah punah itu merupakan demonstrasi nalsionalitas; namun demonstrasi itu kini merupakan kemunduran ke hukum kelembaban. Tidak ada ofensif dan tidak ada redifinisi tentang hubungan-bungan itu. Yang ada hanyalah  konsentrasi pada inti kebudayaan kita  yang makin layu, diam, dan kosong.

Pendapat serupa di atas, dikemukakan juga oleh Said (1996; 13), seorang intelektual humanis, perintis Teori Postkolonial,  dan kritikus budaya terkemuka dunia dari Timur Tengah dalam karyanya Culture and Imperialism.  Ia mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan bangsa-bangsa terjajah dan identitas nasional adalah masih merupakan entitas-entitas yang tunggal dan murni. Sebaliknya kebudayaan dan identitas budaya nasional bangsa-bangsa terjajah telah dirusak oleh Barat. Said (1996; 14) selanjutnya mengatakan:

… kebudayaan adalah semacam panggung sandiwara di mana berbagai kuasa politik dan ideologi saling terkait. Bukannya menjadi  suatu lingkup kesantunan Apollonia yang tenang, kebudayaan bahkan dapat menjadi sebuah medan pertempuran di mana penyebab-penyebab itu menampakkan diri secara gamblang dan saling bertikai…. melainkan juga anggapan Barat bahwa kebudayaan itu dianggap lebih penting,  membiarkan terpisah dari dunia keseharian. Akibatnya kebanyakan humanis profesional tidak mampu menetapkan kaitan  antara kekejaman yang berlarut-larut dan kotor dari praktik-praktik seperti perbudakan, penindasan kolonial dan rasial, serta penaklukan  imperial disatu pihak, dengan puisi, fiksi, dan filosofi masyarakat dilain pihak.

Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan penjelasan di atas; dapatkah kebudayaan yang heterogen (majemuk) dalam suatu bangsa menjadi suatu kekuatan positip  khususnya dalam meningkatkan integrasi bangsa?  Sebab selama ini kita lebih terbiasa membenarkan pendapat sosiolog Emile Durkheim (1964: 79)  yang dituangkan dalam karya besarnya The Division of Labor in Society, bahwa kesamaan merupakan  sumber terciptanya solidaritas  sosial yang didorong oleh kesadaran kolektif (terutama oleh  solidaritas mekanik, yang berbeda dengan solidaritas organik). Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan  dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga  masyarakat yang sama itu. Jadi, tergantung dari individu-individu yang memiliki persamaan karakteristik, kepercayaan, dan pola normatif yang sama pula.

Berbeda dengan solidaritas organik, solidaritas itu muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar, sehingga tercipta suatu struktur masyarakat  yang saling memiliki ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan  itu bertambah  sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan dan juga semakin menggairahkan perbedaan di kalangan individu (Johnson, 1986; 184-185). Solidaritas dengan demikian muncul karena perbedaan-perbedaan  di tingkat individu ini yang merombak kesadaran kolektif tersebut.  Solidaritas organik, pada dasarnya sangat memungkinkan tercapainya solidaritas dan integrasi bangsa karena adanya tingkat ketergantungan anatar individu maupun etnis itu menjadi semakin tinggi. Pernyataan tersebut sejalan pula dengan contoh kesadaran masyarakat yang dibutuhkan di Amerika Serikat yang ditulis oleh Bellah (1985: 117), dalam buku Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, bahwa konsep kita tentang  komunitas antar etnis/ras itu sendiri harus memungkinkan bagi adanya pengakuan tentang perbedaan. Tradisi dalam pemikiran kita yang kuat namun menyesatkan mengenai komunitas adalah bahwa manusia hanya merasakan  perasaan sebagai komunitas  ketika mereka menganggap diri mereka “sama” dengan anggota-anggota lain dari masyarakatnya. Namun di sinilah Bellah (1985: 118) menegaskan bahwa jenis komunitas yang diperlukan di Amerika Serikat adalah  komunitas yang pluralistik, komunitas yang   meliputi rasa keterikatan dan hubungan yang berasal dari aktivitas, keadaan, tugas, lokasi bersama dan sebagainya ¾ dan terutama didasarkan pada pengalaman kemanusiaan bersama ¾ namun dengan mengakui dan menilai perbedaan-perbedaan budaya dan jenis-jenis perbedaan lainnya juga.

Nasionalisme Ekonomi

Dalam dimensi ekonomi, nasionalisme ekonomi sering dikonotasikan dengan upaya  untuk mengisolasi perekonomian dari pengaruh-pengaruh asing. Hal ini bisa dipahami mengingat sebagian besar negara Dunia Ketiga baru saja lepas dari belenggu penjajahan. Boleh dikata, nasionalisme ekonomi di Dunia Ketiga merupakan refleksi dari reaksi penolakan masyarakat terhadap dominasi asing. Penyebabnya: sejarah panjang kekecewaan, penderitaan, kecemburuan dan ketidakpuasan. Masalahnya adalah: apakah pandangan nasionalisme masih relevan dalam menjawab tantangan ekonomi global?

Tentu menarik menjawab pertanyaan ini dengan menelusur pasang surut nasionalisme ekonomi Indonesia dan membandingkan dengan negara lain. Dalam catatan sejarah nasionalisme ekonomi Indonesia terdapat dua titik ekstrim.Yang pertama adalah kutub yang moderat, di mana pendukungnya berkeyakinan bahwa mengundang modal dan investasi asing masih diperlukan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Para teknokrat, yang pragmatis dan banyak diilhami oleh pemikiran Harrod-Domar  mengenai pentingnya akumulasi kapital, merupakan pendukung utama kutub ini. Intervensi negara, menurut kalangan ini, lebih ditujukan untuk “mempribumikan” kredit, yaitu sebatas memberikan subsidi suku bunga bagi pemberian kredit kepada  para pengusaha pribumi yang umumnya kredit berskala kecil dan menengah. Kutub moderat ini bisa dilihat dari Rencana Urgensi Perekonomian yang diperkenalkan oleh Soemitro sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam  Kabinet Natsir pada tahun 1951. Boleh dikata inilah pertama kali dilakukan  pemasyarakatan pembangunan industri yang bercorak teknokratis. Sikap moderat Soemitro yang moderat terhadap modal asing merupakan refleksi trend politik masa itu karena enam kabinet yang dibentuk dan dibubarkan selama 1949-1955 didominasi  para anggota PSI, Masjumi, dan PNI. Namun, Soemitro juga peduli dengan upaya memajukan pengusaha pribumi karena keinginannya untuk mengatasi dualisme ekonomi.

Kutub ekstrim yang kedua adalah para nasionalis yang menekankan pentingnya  memajukan bisnis para pengusaha pribumi, menasionalisasi perusahaan asing sebagai  upaya membebaskan diri dari kekangan imperialis, dan meningkatkan peranan badan  usaha milik negara (BUMN) untuk membangun industri nasional. Dengan demikian, nasionalisme ekonomi identik dengan “gerakan pribumisasi” dan menghilangkan  dominasi pihak asing dalam sektor tertentu. Contoh paling terkenal dari kutub kedua adalah program Benteng yang diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Djuanda sebagai Menteri Kemakmuran saat itu. Tujuannya, memajukan kelompok bisnis pribumi dengan penjatahan impor barang-barang tertentu dan pemberian peluang usaha di balik tempok proteksi. Djuanda juga memperkenalkan Rencana Lima Tahun pada tahun 1956 dengan elemen paling ambisius berupa sejumlah proyek industri skala besar yang dilakukan oleh perusahaan negara dan dibiayai oleh anggaran negara tanpa banyak mengandalkan bantuan luar negeri. Fakta menunjukan bahwa pelaksanaan program pribumisasi berjalan tersendat-sendat. Para pengusaha pribumi yang diberi prioritas dalam Program Benteng kalah bersaing dengan pengusaha asing dan Cina. Penyitaan perkebunan dan perusahaan milik Belanda, serta nasionalisasi seluruh kekayaan Belanda pada tahun 1958 lebih didorong oleh letupan “kegusaran” atas penolakan Belanda terhadap syarat-syarat hasil Konferensi Meja Bundar. Muncullah para pengusaha “Ali-Baba”, yaitu suatu aliansi strategik pertama setelah kemerdekaan antara pengusaha pribumi (Ali), yang mendapat lisensi dan perlakukan khusus namun minim dalam kemampuan bisnis, dengan pengusaha Cina (Baba) yang tidak mendapat perlakuan khusus namun amat mahir dalam berdagang dan berbisnis. Karena itu bisa dipahami bila para pengusaha pribumi seringkali tidak “tahan uji”, apalagi bila sang “pelindung” (dalam bahasa politik disebut patron) tidak lagi berkuasa.

Di masa Orde Baru, sampai taraf tertentu, warna nasionalisme juga terlihat. Sebelum terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), kebijakan pemerintah cenderung menerapkan kebijakan pintu terbuka terhadap modal asing. Dikeluarkannya UU 1967 tentang PMA untuk menarik investasi asing dan UU 1968 tentang PMDN untuk menarik kembali modal nasional yang diparkir di luar negeri, menandai masa rehabilitasi ekonomi yang amat liberal. Periode pasca Malari memberikan peluang munculnya kembali sentimen nasionalis. Rejeki minyak telah memungkinkan pemerintah menerapkan strategi perdagangan yang lebih inward-looking dan membantu para pengusaha golongan ekonomi lemah lewat berbagai kredit yang disubsidi.Bagaimana nasionalisme ekonomi masa kini? Nasionalisme kita baru terusik ketika aset dan saham perusahaan Indonesia diborong oleh orang atau perusahaan asing. Banyak yang menuduh bahwa tren privatisasi BUMN sekarang direduksi menjadi “asingisasi”, penjualan saham BUMN kepada investor/perusahaan asing. Sebagai konsumen, sadarkah kita bahwa kita lebih menyukai barang dengan merek asing  daripada merek buatan dalam negeri? Tahukah anda berapakah kandungan lokal dari  kain batik, pakaian, susu, tahu, tempe, mie instan, mobil, dan sepeda motor misalnya?  Sebagian besar bahan baku produk pertanian dan industri Indonesia masih diimpor. Sekarang saja, sadar atau tidak, kita sudah mengkonsumsi garam, gula, dan beras  impor. Memang strategi industri substitusi impor sudah dianggap ketinggalan jaman, dan strategi promosi ekspor lebih banyak diterapkan. Para pengajur globalisasi berpendapat ini sudah menjadi trend yang tak dapat dihindarkan. Keniscayaan. Namun tidak berarti nasionalisme sudah ditinggalkan. Buktinya, Inggris tidak mau bergabung sepenuhnya dengan Uni Eropa karena mata uang poundsterling, sebagai lambang  nasionalisme, akan dilebur bila menerima Euro. Jepang tetap mengedepankan Bahasa Jepang dan memproteksi produk-produk pertaniannya. Nasionalisme bangsa Korea, setidaknya tercermin dari motto raksasa Samsung: “We do business for the sake of nation-building”.

Dilema yang akan kita hadapi nantinya adalah: mana lebih penting mengutamakan penggunaan barang domestik (yang sering diikuti dengan proteksi), ataukah berorientasi pada efisiensi yang berarti mengkonsumsi barang yang lebih murah dan berkualitas tanpa peduli dari negara mana asalnya? Inilah saatya mengkaji ulang nasionalisme di tengah gelombang globalisasi. Jelas ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, juga partai-partai politik yang menekankan nasionalisme sebagai platform politik.

 Nasionalisme Etnik

Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith, ethnie merupakan sumber inspirasi yang mendefinisikan batas-batas budaya yang memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang. Implikasi titik pandang ini adalah bahwa nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).

Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk mengamati fenomena nasionalisme di negara “monokultur” seperti Jerman, Itali, dan Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat, Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa. Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik.

Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat. Pembacaan sejarah yang demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.

Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.

Sebagai sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun, nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.

Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan.

Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial. Bukan kebetulan jika konsep Anderson sebagian besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya seminal Anderson yang dapat menjadi subyek kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat Simon Philpott, 2000).

Dalam bukunya, Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan Eropa (Partha Chatterjee, 1993).

Secara esensial nasionalisme masyarakat pascakolonial dibentuk berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. John Plamenatz (1976) membuat dikotomi antara nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Kategorisasi ini mungkin kedengaran terlalu sederhana, walaupun Plamenatz cukup layak didengar. Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, mereka beruntung karena budaya mereka memungkinkan mereka menciptakan sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi standar-standar modernitas. Sebaliknya, nasionalisme Timur lahir dalam masyarakat yang terobsesi akan apa yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara budaya mereka tidak dilengkapi oleh prakondisi-prakondisi modernitas yang memadai. Karena itu, nasionalisme Timur, dalam hal ini masyarakat pascakolonial, penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi, dia merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di Barat. Di sisi lain dia juga menolak dominasi Barat.

Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah “dunia luar” meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah “dunia dalam” yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.

Walaupun demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah statis, melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat pascakolonial memproklamasikan budaya “modern” mereka yang berbeda dari Barat.

Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat pascakolonial mencoba mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur. Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pascakolonial dapat dilihat dari upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme yang memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.

Orientasi spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat Indonesia (Soekarno, 1955). Jika dicermati secara kritis, ada beberapa poin yang problematis dengan klaim Soekarno di atas. Pertama, masa penjajahan 350 tahun adalah sebuah mitos (Onghokham, 2003). Mitos ini menjadi strategi retorika untuk membakar sentimen anti-Belanda saat itu. Kedua dan yang lebih penting, apakah Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous? Dalam pidato Soekarno terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis.

Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya seperti yang diklaim Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pengamatan ini adalah bahwa penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur yang menjadi domain kedaulatan masyarakat pascakolonial menjadi problematis ketika dipakai untuk mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional. Problematis karena ketika kita mencari akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai produk “alamiah”, yang kita temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (John Bowen, 1986). Indikasi lain dapat ditemui pada salah satu elemen pembentuk nasionalisme Indonesia, yaitu budaya (aristokrat) Jawa yang diklaim sebagai akar budaya bangsa Indonesia. Klaim demikian menjadi goyah setelah kita membaca John Pemberton (1994) yang menunjukkan bagaimana budaya aristokrat Jawa itu sendiri tidak sepenuhnya bersifat lokal, melainkan terbentuk dari proses asimilasi dengan budaya Eropa selama masa kolonialisme beberapa abad. Tentu saja kita bisa mengkritik apa yang dikatakan oleh Bowen maupun Pemberton sebagai pengamatan yang mengandung bias orientalisme. Ironisnya, kita tidak memiliki bukti yang “autentik” untuk mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia dibentuk oleh warisan akar budaya lokal.

Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih kompleks dan ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pascakolonial mampu membangun autentitasnya. Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara “alami” pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat juga menjadi sumber inspirasi utama.

Kesimpulan demikian tentu saja memiliki implikasi politik. Namun, ini tak berarti membatalkan bangunan nasionalisme yang telah dibangun oleh para elite nasionalis selama beberapa dekade terakhir. Hanya saja patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan nasionalisme Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis.

Nasionalisme dan Penyelenggaraan Pemrintahan

Sebagaimana telah disinggung, bahwa terminologi “nasionalisme” merupakan suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation“) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Konsep terwujudnya rasa kebangsaan di atas kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam implementasinya tidaklah semudah itu. Persoalannya tidak cukup dengan kesadaran perjuangan yang menuntut keberanian semata, melainkan telah menjadi suatu tuntutan perubahan atau pergeseran nilai-nilai sosial budaya itu adalah perlunya ditegakkan kejujuran (truthfulness) dan keadilan (justice). Bahkan kejujuran dan keadilan-pun tidak cukup jika tanpa disertai dengan transparansi atau ketyerbukaan—tiga komponen ini menjadi penting terutama untuk memperoleh ”kepercayaan” sebagai modal sosial  atau social capital (Fukuyama, 2000: 8).

Modal sosial, secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Jika para anggota kelompok itu mengharapkan anggota-anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai dan ini memudahkan dalam bekerjasama. Begitu juga sebaliknya, jika di antara mereka ada dusta, maka sulit untuk bisa percaya dan sulit untuk bisa bekerjasama. Jadi kepercayaan, ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi masyarakat itu lebih efisien. Sekali lagi, norma-norma yang menghasilkan social capital harus secara substantif memasukkan nilai-nilai kejujuran, transparanbsi dan keadilan. Hal ini semua akan memudahkan untuk memiliki komitmen bersama seperti; rasa memiliki, rasa solidaritas yang tinggi, dan tolong-menolong.

Jika kepercayaan adalah ukuran yang signifikan dari social capital, maka ada tanda-tanda yang jelas bahwa social capital di Indonesia tengah mengalami penurunan atau kemerosotan. Banyak orang-orang Indonesia menyadari bahwa kepercayaan terhadap lembaga-lembaga dalam segala bentuknya, mulai dengan pemerintah Indonesia, DPR, hakim, jaksa, kepolisian, telah lama mengalami kemerosotan dan mencapai kerendahan historik selama terjadinya krisis multidimensi terjadi.

Adapun kemerosotan itu dapat kita lihat dalam sikap masyarakat yang lebih suka main hakim sendiri, jika mendapatkan maling maupun copet tertangkap basah. Tidak jarang terjadi dalam main hakim sendiri tersebut mereka bersama-sama mengarak keliling kampung menganiaya pelaku, membakar pelaku, dan amuk massa. Kepercayaan yang seharusnya diingat dan merupakan kebajikan moral, tapi dirusak, dihancurkan oleh sikap mementingkan diri sendiri atau eksesif atau oportunisme dan aroganisme kekuasaan (Fukuyama, 2000: x). Memang sulit untuk mengukur tingkat mementingkan diri sndiri maupun aroganismenya itu, tetapi yang pasti fenomena ini semakin meningkat dalam diri orang Indonesia masa kini. Oleh karena itu kini dibutuhksn rasa saling percaya, pemerintah atau aparatur yang bersih, jujur, dan terpercaya.

Dalam hal ini kita bisa mengambil pelajaran dari seorang filsuf  politik terkemuka abad ke-20 Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition (1958). Ia menyatakan bahwa  ada dua sifat utama dari tindakan manusia: unpredictable dan irreversible. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan manusia dalam ruang publik tidak bisa diramalkan dan tidak bisa diulang dari nol. Untuk menanggulangi yang unpredictable, manusia memerlukan janji. Janji tersebut harus keluar dari hati nurani kemanusiaan, di mana setelah berjanji harus dilanjutkan dengan upaya yang sungguh-sungguh ditepati. Sedangkan untuk menanggulangi yang irreversible adalah dengan penagampunan. Walaupun kita tahu bahwa tidak ada seorangpun yang tidak pernah melakukan kesalahan. No body perpect. Artinya kita harus memberi kesempatan kepada mereka yang pernah melakukan kesalahan untuk memperbaiki kesalahannya, bukan dengan menghina atau menghujatnya. Dalam hal ini, Hannah Arendt sendiri bersedia memaafkan Martin Heidegger yang menjadi salah serorang tokoh propaganda Nazi, setelah Heidegger menyatakan penyesalan atas tindakannya pada masa kekuasaan Hitler.

Satu hal lagi yang dapat kita terapkan di Indonesia dalam usaha memperkuat rasa nasionalaisme yang kuat dalam persatuan bangsa, adalah perlunya menghilangkan pendekatan dominant groups bangsa Indonesia sebagai kesatuan yang lebih besar, maupun  foreign groups dengan satuan-satuan atau kelompok-kelompok yang lebih kecil yang menjadi unsur pembentuk bangsa Indonesia itu. Kondisi obyektif di Indonesia yang menggambarkan paradoksal itu sebenarnya tidak selalu menampakkan sisi positif ataupun negatif. Namun yang jelas ada faktor-faktor kondusif yang bisa bekerja dalam mencapai nasionalisme yang kokoh adalah yang diharapkan. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sosiolog Universitas Indonesia Sujatmiko (1999: 3), dalam karyanya Integrasi dan Disintegrasi Nasional, sebetulnya Indonesia mempunyai modal dasar dalam nasionalisme dan integrasi bangsa yang kuat, yakni dengan adanya kesepakatan bersama yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maupun Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, hal itu dapat menjadi perekat integrasi bangsa. Tetapi Sujatmiko menambahkan bahwa sisi lain yang negatif bahwa Indonesia kini memasuki “masa kritis” (tahap 51-100 tahun) karena semakin  hilangnya generasi pertama yang telah melakukan kesepakatan momentum historis tersebut. Generasi pasca 1945 (terutama kalangan intelektual / mahasiswa, maupun pemuda kelas menengah) lebih bersifat rasional,  asertif, dan mereka tidak menerima “integrasi buta” atau “integrasi  tanpa reserve”. Pemecahan masalah terpenting dalam integrasi bangsa tersebut, maka perlu diimbangi dengan unsur keadilan dan  memerlukan  “renegosiasi” antara pusat dan daerah dalam bidang politik-hukum, ekonomi, dan sosial-budaya. Pola once and for all social contract yang selama ini digunakan, tidak dapat dipertahankan lagi dengan ketergantungan ekonomi pada pemerintah pusat..

Sujatmiko (1999: 3) menambahkan bahwa pengembangan nasionalisme “dari  bawah” oleh masyarakat (popular nationalism) perlu ditingkatkan, bukan nasionalisme  “dari atas” oleh negara yang formal atau official nationalism yang dapat mengarah kepada statism-militerism yang justru akan berfungsi sebagai disintegrator. Nasionalisme dari bawah ini diperlukan dalam pengembangan paradigma integrasi bangsa yang dilandasi keseimbangan  antara hak dan kewajiban.

Pendapat di atas sesuai dengan pandangan Buchanan dalam bukunya Secession: The Morality of Political Divorce from For Sumter to Lithuania and Quebec. Buchanan (1991: 115) mengemukakan bahwa alasan-alasan yang sah, suatu daerah yang meminta memisahkan diri antara lain terancam kebebasan dan keragamannya. Mengalami redistribusi yang diskriminatif dan inefisiensi, mempertahankan budaya; bela diri, dan pemaksaan integrasi masa lalu. Di situlah pentingnya aspek kebebasan, penghargaan dalam kebersamaan bangsa.

Pentingnya penghargaan dan rasa kebersamaan dan persatuan tersebut selaras pula dengan pandangan  Hirschman (1970: 133) dalam bukunya Exit, Voice, and Loyalty, dapat membantu memahami masalah integrasi bangsa. Hirschman berpendapat bahwa disintegrasi bangsa (exit) terjadi karena merasa tidak ada lagi rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa (loyalty). Namun protes daerah  (voice) janganlah selalu dilihat dari sebagai tanda “tidak loyal”, melainkan sinyal bahwa nasionalisme dan integrasi bangsa  yang berlangsung dianggap tidak adil. Voice yang ditanggapi  dengan baik  dapat mempertahankan integrasi bangsa ¾ bahkan meningkatkan loyalty. Namun voice yang diabaikan dapat mengarah kepada exit (Hirscman,1970: 337).

Nasionalisme dan Globalisme

Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya Perang Dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Sebaliknya, narasi-narasi nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju, seperti Amerika Serikat (khususnya pascatragedi WTC), Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara Dunia Ketiga, seperti India, China, Brasil, dan Indonesia.

Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah politik bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme. Dalam sebuah artikel pendek yang ditulis pada 1948, Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasionalisme hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang nasionalisme, baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif. Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Mungkin dengan alasan yang sama, dua bapak ilmu sosial-Karl Marx dan Emile Durkheim-tidak menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme.

Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja upaya memecahkan teka-teki nasionalisme tidak mudah mengingat, seperti yang dikatakan Weber, begitu beragam faktor yang membentuk bangunan nasionalisme.

Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap upaya mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda. Konsekuensinya, teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal seperti yang diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam paradigma pascamodernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen. Beragamnya pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan fenomena di sekelilingnya.

Memang disadari bahwa dengan adanya globalisme, setidaknya membuat nasionalisme tidak semerbak ketika maraknya terbentuk negara-bangsa pasca Perang Dunia II. Hal ini bisa dipahami karena pola kehidupan manusia dalam pelbagai aspeknya teraduk seolah menjadi satu, tanpa terikat oleh batas-batas negara bangsa, peran dan efektivitas adanya negara bangsa mulai dipertanyakan. Sebab, beberapa negara-bangsa yang dicirikan oleh adanya territorium, kontrol atas kekerasan, struktur kekuasaan,  dan legitimasi, perlahan-lahan mulai kehilangan fungsinya. Tetapi ini semua tidak berarti habisnya riwayat nasionalisme, karena justru ditengah-tengah universal-global tersebut, banyak orang merindukan setelah adanya beberapa kecemasan para sejarawan maupun sosiolog mencermati perkembangan sosio-budaya sekarang ini. Featherstone (2001: 270) dalam bukunya Consumer Culture and Posmodernism, mengatakan fenomena kehidupan yang berkembang sekarang ini sangat destruktif bagi agama dan kebudayaan dalam kaitannya dengan penekanannya pada hedonisme, pengejaran kesenangan di sini dan saat ini (here and now) penanaman gaya hidup ekspresif, pengembangan narsistik dan tipe kepribadian egoistik. Gerakan mengenai kapitalisme multinasional, Amerikanisasi, imperialisme media  serta budaya konsumen, seolah-olah telah mengasumsikan bahwa perbedaan  lokal-tradisional terhapus oleh beberapa kekuatan universal tersebut walaupun sesungguhnya hal itu mustahil.

Kesimpulan

Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme sempit dan bukan pula suatu nasionalisme anakronistis: ”survival of barbarism” maupun sebagai “[the] spirit of archaism’ yang mendasari “the nationalistic craze for distinctiveness and cultural self-sufficiency”. Memang pada saat ini, banyak orang yang menganggap nasionalisme dan produk-produk turunannya seperti negara-bangsa (nation-state) dikatakan sudah kuno; namun banyak pula yang melihat bahwa nasionalisme dan produk turunannya itu masih masih relevan, bahkan sangat berguna untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan suatu bangsa. Adanya dikhotomi yang ekstrem antara tugas-tugas fenomena historis nasionalisme, modernisme, bahkan post-modernisme, sebetulnya hanya akan menyesatkan, mengingat nasionalisme juga pada dasarnya merupakan visi masa depan (nationalism is a vision of the future).

Menghadapi era globalisasi, bangsa Indonesia tidak boleh menganut paham post-nasionalisme, bagaimana-pun kuatnya arus interdependensi yang terjadi. Untuk mengahadapi dunia luar, Indonesia harus selalu membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan untuk membina dan mempertahankan nasionalisme bangsa Indonesia, persyaratan utama adalah kesiapan dan dan kegigihan serta fleksibilitas dalam mengelaborasikan bentuk-bentuk nasionalisme yang lebih relevan dengan tantangan zaman. Nasionalisme romantik, kewarganegaraan, kebudayaan, etnik, agama, maupun penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, dan accountable.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, H.M. Amin, (2003) Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press.

Adam, Asvi, W. (2001) “Ancaman Disintegrasi di Depan Mata”, dalam Kompas, 16 Agustus 2001.

Alfian, Teuku. I. (1996) “Nasionalisme dalam Perspektif Sejarah” dalam Jurnal Filsafat Pancasila No.2, Th. II Desmber 1998, Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Asy’ari, Musa (2003) “Desentralisasi Pemikiran Keagamaan Muhammadyah dalam onteks Budaya Lokal” dalam Zakiyuddin Baidhaway dan Muthoharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadyah University Press.

Bachtiar,W.Harsja (2001) “Integrsai Nasional Indonesia” dalam Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Bauman, Zygmunt, (1998) Globalization: The Human Consequences, New York: Columbia University Press.

Bellah, Robert et all (1985) Habit of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, Barkeley: University of California Press.

Bowen, John, (1986)

Buchanan A. (1991) Secession: The Morality of Political Divorce from For Sumter to Lithuania and Quebec, New York: Basic Books.

Burke, Peter (1993) History and Social Theory, New York: Cornel University Press.

Cabral, Amilcar, (1973) Return to the Source: Selected Speeches of Amilcac Cabral, disunting oleh Africa Information Service, New York: Monthly Review Press.

Cabral, Amilcar, (1979) Unity and Struggle: Speeches and Writing, terjemahan bahasa Inggeris oleh Miichael Wolters, New York : Monththly Review Press.

Darmodiharjo, D. (1985)   Pancasila   dalam   Beberapa  Perspektif,  Jakarta:  Aries Lima.

Deutsch, Karl W (1966) Nationalism and Social Communications, ed. Cambridge, Mass: The MIT Press.

Deutsch, Karl.W. (1984) “The Growth of Nations: Some Ecurrent Patterns of Political and Social Integration” , Mac Allister (Ed), The Politic of Ntional Integration, New York: Random House, Inc.

Dhakidae, Daniel, (2002) Indonesia dalam Krisis 1997-2002,  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Durkheim,E. (1964) The Devision of Labour in Society, translated by George Simson, New York: Free Press.

Duverger, Maurice (1985) Sosiologi Politik, Penerjemah: Daniel Dhakidae, Jakarta: CV. Rajawali.

Fanon, Frantz, (2000) Bumi Berantakan: Buku Pegangan Untuk Revolusi Kulit Hitam yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ahmad Asnawi, Jakarta:  C.V. Adipura.

Gaffar, H.M. (1996) “High Tech dan High Touch” dalam Pengembangan SDM untuk Tahun 2020 dalam  Mimbar Pendidikan, Jurnal No.4 Tahun XV, University Press IKIP Bandung.

Giddens, A. (1990) The Consequences Modernity, Stanford, Calif.: Stanford  University Presss.

Giddens, A. (2000) Runway World: How Globalization Is Reshaping Our Live, New York, Routledge.

Guilbernau, M. (1996) Nationalism, The Nation State and Nationalism in the  Twentieth Century, Cambridge: Polity Press.

Harjanto, Nico,T.,(2001) “Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan” dalam Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Hetzler, Joyce O., (1965) A Sociology of Language, New York: Random Huose.

Hirschman, Albert, O. (1970) Exit, Voice, and Loyalty, Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Hobsbaum E.J. (1990) Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Penerjemah: Hajartian Silawati,  Yogyakarta: Tiara Wacana.

Johnson, Doyle.P., (1986) Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia.

Kammen, Michael, (1977) Bangsa yang Penuh Paradox, Penerjemah Mochtar Pabotinggi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kartodirdjo, Sartono (1992) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono (1999) “Ideologi Bangsa dan Pendidikan Sejarah”,  dalam Sejarah, 8 , Jakarta: MSI dan Arsip Nasional RI.

Kellner, Douglass (2002) “Theorizing Globalization” dalam Sociology Theory 20: hlm. 285-305.

Kennedy, P. (1995) Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke 21, Diterjemahkan Oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Kleden, Ignas, (2001) Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Knapp, M.L. (1985) “Tahap-Tahap Interaksi” dalam Pengantar Sosiologi, Sebuah Bunga Rampai, Penerjemah Kamanto Sunarto, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan anusia di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal.

Lorenz, Edward (1993) The Essence of Chaos. London: University College London Press.

Philpot, Simon (2003) Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, Penerjemah: Nuruddin dkk.Yogyakarta: LKIS.

Poespowardojo, Soerjanto, (1999) Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan, Jakarta: Sejarah, 8. LP3ES.

Prasodjo, Imam (2000) “Solidaritas Sosial Terancam Menghilang” dalam Media Indonesia, 22 Mei 2000.

Rawls, John (1971) A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press.

Ray, P.H. (1995) The Integral Culture Survey: A Study of Values Subcultures and the Use of alternative Health Care America, A. Report to Fetzer Institute and the Institute of Noetic Science, Oktober, 1995.

Ray, P.H (1996) “The Rise of Integral Culture”  dalam Yes ! Journal of Positive Futures,  hlm. 4 – 15.

Renan, Ernest. (1990) “What Is A Nation ?” dalam Nation and Narration, Diedit oleh Homi Bhabha, London: Routledge.

Ricklefs, M.C. (1983) A History of Modern Indonesia Since c 1300, Houndmills, Basingstoke, Hampshire: The Macmillan Press.

Ritzer, George (1995) Expressing America; A Critique of the Global Credit Card Society, Thousand Oaks, Calif; Pine Forge Press.

Ritzer, George (2000) The McDonaldization of Society: New Century Ediotion, Thousand Oaks, California: Pine Forge Press.

Ritzer, George (2004) The Globalization of Nothing: Why So Many Make So Much Out of So Little, Thousand Oaks, Calif.,: Pne Forge Press.

Ritzer, dan Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Terjemahan  Alimandan, Jakarta: Prenada Media.

Robertson, Roland (1992) Globalization: Social Theory and Global Culture, London: Sage.

Said,Edward.W. (1996) Kebudayaan dan Kekuasaan, Terjemahan Rahmani Astuti,  Bandung : Mizan.

Said, Edward,W. (1998) Peran Intelektual, Penerjemah Rin Hindryati P., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sartori, Giovani (1968) “Democracy” dalam David L. Sills, editor, International Encyclopedia of Social Sciences, vol.4, New York: Macmillan and Free Press.

Scalapino, Robert A. (1997)  “Asia The Past 50 Years and the Next Fifty Years”, dalam One Sotheast Asia in New Regional and International Setting, Hadi Soesastro, ed, Jakarta: CSIS.

Simanjuntak, Djisman (2001) “Penemuan Kembali Kebangsaan”, dalam Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Shills, Edward, (1981) Tradition,  Chicago: University of Chisago Press.

Simatupang, Maurits (2002) Budaya Indonesia yang Supraetnis, Jakarta: Sinar Sinanti.

Silalahi, Harry, Tjan, (2001) “Pemahaman Baru Kebangsaan “dalam Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Simbolon, Parakitri. T (2000) “Indonesia Memasuki Milenium Ketiga”, dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sindhunata, (2000) “Demitologisasi Persatuan Nasional” dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Smith, Anthony, D. (1992) “Toward a Global Culture” dalam Featherstone (ed) Global Culture, 18.1.

Smith, M.G. (1965) The Plural Society in the British West Indies, Berkeley: University of California Press.

Sobol, T. (1990) “Understanding Diversity” dalam Education Leadership, 48 (3), hlm.27-30.

Soedjatmoko (1976) “Kesadaran Sejarah dan Pembangunan” dalam Prisma, 7, Jakarta: LP3ES.

Soedjatmoko (1984) “Antara Filsafat dan Kesadaran Sejarah”, dalam William Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Soekarno, (1961) “Pidato Bung Karno 1 Djuni 1945 (Lahirnya Pantja-Sila)” dalam Tudjuh Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi, Djakarta: Panitia Pembina Djiwa Revolusi.

Stiglitz, G. (2002) Globalization and Its Discontents, New York: W.W. Norton.

Sudjana, (1992) Metoda Statistika, Bandung: Tarsito.

Sujatmiko, Iwan, G. (1999) “Integrasi dan Disintegrasi Nasional” dalam Harian Umum Kompas, 20 Desember 1999.

Svalastoga, Kaare (1989) Diferensiasi Sosial, Terjemahan Alimandan S.U, Jakarta: Bina Aksara.

Supardan, Dadang (2000) Kreativitas Guru Sejarah dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Deskriptif-Analitis terhadap Guru dan Implikasinya untuk Program Pengembangan Kreativitas Guru Sejarah SMU di Kota Bandung), Tesis Untuk Memperoleh  Gelar Magister Pendidikan, Pascasarjana UPI Bandung.

Suryadinata, Leo, (2003)  Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor

Svalastoga, Kaare (1989) Diferensiasi Sosial, Terjemahan Alimandan S.U, Jakarta: Bina Aksara.

Thohari, Harijanto Y. (2000) “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tjokrowinito, Moeljarto, (1998) “Nasionalisme dalam Perspektif Politik” dalam Jurnal Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Toffler, Alvin (1992)  Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan Di Penghujung Abad ke 21 (Bagian Kedua),  Alih Bahasa: Hermawan Sulistyo dkk. Jakarta: PT Pantja Simapti.

Triardianto,Tweki. dan  Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Yamin, Mohammad (1959) Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid I,

Young, Iris Marion (1990) Justice and the Politics of Differnce, New Jersey: Pricenton University Press.

Comments are closed.