Mengkaji Ulang Doktrin Polisi Republik Indonesia: Perspektif Metodologi Sejarah dan Historiografi

Oleh: Ismaun

MENYAMBUT baik harapan dan permintaan Kepala Sespim Polri  (Sekolah Staf Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia) untuk mengkaji kembali Tri Brata dan Catur Prasatya Polri, terutama dari sudut metodologi sejarahnya, maka dengan senang hati saya bersedia berpartisipasi untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran sesuai batas-batas kemampuan saya dalam upaya kita bersama untuk menemukan paradigma baru Kode Etik Polri. Upaya ini sebaiknya dilakukan dengan telaah pustaka dan naskah, media informasi tentang situasi dan kondisi masyarakat dan negara, serta dialog kreatif dengan semua unsur institusi Polri yang terkait untuk menjaring inti kesamaan pandangan ke arah perumusan paradigma baru tersebut.

Berdasarkan tradisi dan norma akademik, sesuatu pokok permasalahan sebaiknya dikaji secara ilmiah dengan menggunakan metode ataupun metodologi tertentu untuk memperoleh kebenaran objektif. Masalah Tri Brata dan Catur Prasatya Polri dapat dianalisis baik secara monodisiplin, interdisiplin, multidisiplin, maupun transdisiplin. Namun demikian untuk memperoleh pemahaman, gambaran, dan maknanya secara utuh, sebaiknya masalah Tri Brata dan Catur Prasatya ini ditinjau dengan pendekatan sistemik dan metode ilmiah interdisplin terutama dari sudut: Sejarah, Linguistik, Sosiologi, Antropologi, Filsafat, Agama, Hukum, Politik, Militer, Administrasi Negara, serta Sains dan Teknologi.

Doktrin Polri dalam Perspektif Sejarah

Sejak disahkannya Tri Brata sebagai Kode Etik Polri pada tanggal 1 Juli 1955, telah beberapa kali dilakukan pengkajian kembali sesuai dengan keperluan dan tuntutan perkembangan bangsa dan negara oleh lingkungan Polri sendiri yang kemudian dirumuskan oleh Tim Perumus disertai saran alternatifnya. Pada akhirnya rumusan tersebut dituangkan menjadi keputusan Kapolri yang terakhir pada tahun 1985.[1]

Tinjauan historis Tri Brata dan Catur Prasatya yang dimaksud di sini ialah analisis ilmiah dari tiga aspek kesejarahan secara komperehensif. Penjelasan dari masing-masing aspek tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, aspek heuristik, analisis atau kritik, dan interprestasi sumber sejarah yang digunakan baik dari prasasti maupun naskah kuno. Selanjutnya dari segi etimologi dan terminologi, maupun filologi, serta perkembangan arti dan makna bahasa yang digunakan.

Kedua, aspek fungsi dan kegunaan sejarah sebagai pelajaran dari pengalaman kolektif manusia tentang masa lampau, baik dari aspek yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, serta maknanya dalam perkembangan kausalitas sejarah (mata rantai sebab dan akibat dalam sejarah).

Ketiga, aspek dinamika perjalanan sejarah yang menggambarkan adanya pola kelangsungan dan perubahan (continuity and change) itu menunjukkan pula gambaran bahwa dalam setiap periode kehidupan masyarakat manusia ternyata ada semacam jiwa zaman (zeitgeist), seperti masa feodalistik, mistis, dan religius; masa kolonialisme; masa kemerdekaan nasional Indonenesia; masa Orde Lama; masa Orde Baru; serta masa Reformasi dan Globalisasi sekarang.

Sementara itu, riwayat kelahiran Kode Etik Polri sendiri tampaknya belum jelas, yang menurut keterangan dari beberapa sumber tentang peristiwa yang dijadikan acuan adalah sebagai berikut:

Pada anggal 4 Maret 1953, dalam suatu acara peletakan batu pertama pembangunan Mabes (Markas Besar) Polri, Presiden Soekarno dalam pidatonya mengintroduksikan falsafah Kepolisian Indonesia. Falsafah tersebut berbunyi: “Tata tentrem karta raharja” yang dipetik dari ucapan Ki Dalang wayang kulit tentang cita-cita masyarakat dan negara yang ideal pada zaman dahulu. Selain itu Presiden Soekarno juga mengutip sesanti Mahapatih Gadjah Mada ketika melantik pasukan Bhayangkara: “Satya Haprabu, Hanyaken Musuh, Gineung Pratidina, Tan Satresna”.[2]

Atas dorongan Kepala Kepolisian Negara RI pertama, Jenderal R.S. Soekanto, kepada Dewan Guru Besar PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) untuk melakukan pengkajian yang hasilnya melahirkan tiga jalan hidup Polri yang diberi nama Tri Brata, yaitu: Satya Haprabu, Gineung Pratidina, dan Tan Satresna. Doktrin Polri Tri Brata tersebut pada mulanya hanya berlaku terbatas di PTIK dan diikrarkan secara resmi pertama kali oleh Soeparno Soeria Atamadja pada tahun 1953. Dan jika ditelaah isinya, Tri Brata itu mengandung ajaran keruhanian tentang kepribadian Polri yang bersumber dari ceritera Arjuna Wiwaha, karya Empu Kanwa pada tahun 1011 di zaman pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur.[3]

Akhirnya Tri Brata resmi menjadi Kode Etik Polri sejak diikrarkan secara resmi oleh Kapolri, Jenderal R.S. Soekanto, pada upacara peringatan Hari Bhayangkara pertama tanggal 1 Juli 1955 di Lapangan Banteng, Jakarta. Sebagai klarifikasi atas tiga cuplikan nilai luhur tersebut dinyatakan bahwa: (1) Tata Tantrem Karta Raharja sebagai falsafah atau dasar tujuan pelaksanaan tuga Polri; (2) Tri Brata terdiri dari Rastra Sewakottama, Nagara Janottama, dan Jana Anuwasana Dharma; serta (3) Catur Prasatya terdiri dari Satya Haprabu, Hanyaken Musuh, Gineung Pratidina, dan Tan Satresna. Kesemuanya itu sebagai Pedoman Karya Korps Kepolisian RI.[4]

Sumber-sumber yang digunakan untuk merumuskan Kode Etik Polri, rupanya juga kurang jelas, tidak sahih, tidak utuh, dan tidak konsisten. Hal itu pada gilirannya menimbulkan kerancuan baik dalam transkripsi maupun kerancuan dalam arti dan maknanya.[5] Berbagai sumber yang dikutip pun campur baur. Misalnya, kutipan-kutipan itu ada yang berasal dari sumber-sumber seperti: dari ceritera Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa tahun 1011 pada masa kerajaan Airlangga; dari Kekawin Negarakertagama karya Empu Prapanca tahun 1365 pada masa keprabuan Majapahit; dari buku Pararaton (anomim); dan juga dari anggitan pratomo (brata) pujangga keraton Surakarta, R.Ng. Jasadipoera, yang mengutip ceritera wayang kulit tentang nasihat Sri Rama kepada adiknya, Raden Bharata.[6]

Kalau di telusuri secara historis, ternyata Kode Etik Tri Brata itu lebih dekat dengan sumber ajaran filsafat Jawa dalam dunia pewayangan (wayang purwa/kulit) yang berasal dari epik “Mahabharata” dan “Bharatayudha”. Dalam epik itu dicuplik suatu peristiwa ketika Sri Rama berpesan kepada adiknya, Raden Bharata, yang akan menjadi raja agar memperhatikan ajaran moral tentang Asta Brata (delapan jalan kebajikan).[7] Setelah masuknya pengaruh Hinduisme ke Indonesia, terutama dalam masa kerajaan Airlangga pada tahun 1011 Empu Kanwa menulis buku Arjuna Wiwaha. Buku ini merupakan saduran dari ceritera Arjuna bertapa yang melukiskan raja Airlangga melakukan lengser keprabon (turun tahta) dan madek mandita (menjadi pendeta), serta berpesan dan membagi wilayah kerajaan kepada kedua orang puteranya.[8]

Konsep Tri Brata juga lahir dari K.G. Mangkunegoro IX di Surakarta yang memberikan contoh tentang Tripama (Tiga Contoh Utama). Tripama adalah contoh dan pedoman bagi seorang prajurit atau perwira yang mengambil tiga tokoh ideal dalam cerita wayang kulit, yaitu: (1) tokoh Kumbakarna, yang setia kepada negara; (2) tokoh Adipati Karna, yang teguh dan disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajiban negara; serta (3) tokoh Patih Suwanda atau Raden Sumantri, yang rela berkorban dan berani mati demi kebenaran.[9]

Sedangkan mengenai konsep Catur Prasatya sebagai Pedoman Karya Korps Kepolisian RI nampaknya bersumber dari buku Negarakertagama. Buku ini aslinya dalam bahasa Jawa Kuno yang ditulis oleh Empu Prapanca dalam masa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 M. Di dalam buku itu dikutip pula sasanti dari Mahapatih Gadjah Mada pada saat melantik pasukan Bhayangkara, seperti yang diintroduksikan oleh Presiden Soekarno pada waktu peletakan batu pertama pembangunan Mabes Polri pada tanggal 4 Maret 1953, seperti telah disinggung di muka.

Kutipan atau cuplikan dari buku Negarakertagama itu tentu saja tidak utuh dan tidak lengkap. Misalnya kalimat “Satya Haprabu”, sebenarnya dalam buku Negarakertagama, Sarga XII dan Bait 4, selengkapnya berati:

Di Timur Laut terletak rumah Sang Gadjah Mada, patih di Wilwatikta (=Madjapahit), menteri wira, bidjaksana, serta setia berbakti kepada radja [Satya Haprabu], fasih berbitjara, djudjur, pandai, teguh, tangkas, dan tegas. Ia djuga tangan kanan (kepertjajaan) maharadja jang melindungi kehidupan rakjat dan pengatur roda pemerintahan.[10]

Sifat-sifat, watak, dan integritas pribadi mahapatih Gadjah Mada tersebut tentu saja berkaitan pula dengan landasan moral raja dan seluruh rakyatnya.[11] Hal itu juga tercermin dalam Sarga XLIII dan Bait 2 yang artinya:

Itulah sebabnja baginda teguh berbakti menghormati Sakyamuni (sang Budha), berpegang teguh menaati lima larangan (=pantangan), Pantjasila, berperilaku saleh dan melaksanakan upatjara kesutjian agama.[12]

Sesudah Indonesia merdeka,  secara historis dan formal Kode Etik Polri itu merupakan hasil dari gagasan dan saran Presiden Soekarno, serta pengkajian dan pemikiran para ahli di lingkungan Polri yang saya ungkapkan secara singkat dalam lima tahap, yakni sebagai berikut: (1) Hasil Rapat Dewan Guru Besar PTIK di Jakarta pada tahun 1953; (2) Usul dan hasil  kesepakatan konferensi para Kepala Kepolisian Provinsi se-Indonesia di PTIK Jakarta pada tahun 1954; (3) Diikrarkannya Tri Brata oleh Kepala Kepolisian Negara RI pertama, yaitu Jenderal Polisi Drs.R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, bersamaan dengan diserahterimakannya panji-panji kepolisian oleh Presiden Soekarno pada upacara peringatan Hari Bhayangkara pertama pada tanggal 1 Juli 1955 di lapangan Banteng, Jakarta; dan (4) Adanya Surat Keputusan No.Pol. Skep/213/VII/1985 tentang Kode Etik Kepolisian Negara RI beserta lampirannya pada tanggal 1 Juli 1985 yang ditandatangani oleh Kapolri pada waktu itu, Jenderal Polisi Anton Soedjarwo.

Polri dan Masalah Kehidupan Sosial, Budaya, dan Politik di Indonesia

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda maupun pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kepolisian hanya merupakan alat pemerintah yang berkuasa. Sedangkan pada masa Indonesia Merdeka, posisi, fungsi, dan peran Polri berubah-ubah seirama dengan dinamika kehidupan sosial-budaya dan politik bangsa dan negara Indonesia. Kiranya kilas balik berikut ini dapat memberikan gambaran tentang posisi dan peran Polri dari waktu ke waktu.

Berdasarkan Ketetapan Pemerintah RI No.11/SD/1946 tanggal 1 Juli 1946, misalnya, dibentuklah Jawatan Kepolisian Negara sebagai penegak hukum yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri (pada waktu itu PM Sutan Sjahrir). Selanjutnya berdasarkan Ketetapan Pemerintah RI No.1/1948 tanggal 3 Februari 1948, maka Polri di bawah Presiden/Wakil Presiden (pada waktu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta). Tugas Polri pada waktu itu adalah penegak hukum, pelindung, dan pengayom masyarakat. Namun karena situasi negara dalam masa perang kemerdekaan, polisi pun ikut bertempur sebagai combattan. Pada situasi di mana negara RI dilanda oleh pemberontakan bersenjata pada tahun 1950-an, misalnya, polisi juga aktif ikut serta dalam penumpasan pemberontakan.

Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Orde Lama) kedudukan Polri mengalami perubahan. Kepala Polri berkedudukan sebagai Menteri Muda, berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No.153 tahun 1959, tanggal 10 Juli 1959. Berikutnya, berdasarkan TAP MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat) No.II tahun 1960 dan Undang-undang No.13 tahun 1961, maka Polri ditempatkan sebagai salah satu unsur dari ABRI. Sedangkan pada era Orde Baru, berdasarkan UU No.28 tahun 1997 – sebagai pengganti UU No.13/1961 – maka fungsi Kepolisian digabungkan dengan fungsi Pertahanan Keamanan Negara.

Akhirnya, pada masa Reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa, maka berdasarkan TAP MPR No.X/MPR/1998; dan Inpres (Instruksi Presiden) No.2 tahun 1999 tanggal 1 Juli 1999 (dalam masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie), Polri dipisahkan dari TNI ABRI. Hal itu karena dirasakan bahwa terdapat perbedaan dalam fungsi dan cara kerja antara polisi dan tentara, di mana yang pertama diharapkan dapat mewujudkan civil society.[13] Kemudian Keppres No.89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, melepaskan Polri dari Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan). Dan berdasarkan TAP MPR No.VI/2000; dan TAP MPR No.VIII/2000 tanggal 18 Agustus 2000 pula akhirnya ditetapkan secara nyata tentang pemisahan Polri dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia), serta mengatur secara tegas antara peran TNI dan Polri.

Dari uraian singkat tentang kilas balik tersebut menjadi jelas bahwa perjalanan Polri sebenarnya mencerminkan adanya pergeseran nilai-nilai, misi, fungsi, dan tujuan Polri sendiri yang berasal dari kedudukan dan peran yang diberikan oleh negara dalam sistem politik yang dianut, serta karena situasi yang berubah-ubah.

Doktrin dan Kode Etik Polri pada awal kemerdekaan RI sampai dengan era Orde Baru jelas didasarkan pada nilai-nilai tradisional dan pengaruh modern, sebagai prajurit/kesatria profesional yang mengemban dwifungsi sipil-militer. Pembekalan dan transformasi nilai-nilai luhur baik dari zaman kerajaan kuno (masyarakat agraris/maritim yang mistis-religius serta feodalistis), maupun dari nilai-nilai dan semangat juang 1945 pada awal kemerdekaan RI seperti pembinaan jiwa patriotisme, kesatriaan dan bhayangkari negara yang bersifat ideal dan imajiner disertai semangat yang berlebihan, tentunya berdampak pada citra dan kinerja Polri. Kesan eksklusif juga sempat muncul karena adanya anggapan atau citra bahwa TNI dan Polri itu sebagai kelompok warganegara “istimewa” atau “super”; sedangkan warga masyarakat lainnya dipandang sebagai orang-orang biasa yang wajib dilindungi/diayomi dan harus mengikuti ide dan pola politik TNI-Polri atas nama persatuan dan kesatuan bangsa serta demi keseragaman sikap dan tindakan.

Sementara itu dalam masa Reformasi di segala bidang kehidupan sekarang ini – terutama dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum – maka perlu adanya paradigma baru bagi identitas Polri yang mandiri dalam negara hukum demokratis serta menjamin Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka menuju Masyarakat Madani (Civil Society).[14]

Mencari Paradigma Baru Polri

Paradigma Polri sebaiknya dicari berdasarkan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Indonesia sepanjang sejarahnya yang telah tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat dan negara modern yang mampu menyelaraskan nilai-nilai dan kepentingan komunitas: lokal (daerah), nasional, dan global (universal). Selain itu Polri sebagai institusi/lembaga dan aparatur negara sebaiknya berorientasi pada perkembangan bentuk dan sifat relasi negara rakyat/warganegara, yakni negara/masyarakat pluralistis dengan kriteria kenetralan dan kemandiriannya dalam proses kebijakan publik.

Negara sebagai organisasi masyarakat yang terbentuk atas dasar kesepakatan dan komitmen bersama masyarakat berdasarkan nilai dan norma-norma tertentu, yang sebenarnya dikelola oleh tiga unsur/aktor utama yaitu: (1) Pemerintah, (2) Swasta, dan (3) Lembaga Swadaya Masyakat dan Organisasi Akar Rumput atau NGO’S (Non Government Organizations) dan GRO’S (Grass Root Organizations), sehingga otoritas sektor publik diberi peran untuk berkiprah di antara ketiga aktor utama tersebut.

Institusi Polri dalam negara hukum yang demokratis berdasarkan konstitusi sebaiknya adalah Polisi Sipil (Civilian Police) yang berbasis komunitas dan lokalitas masyarakat majemuk Indonesia sehingga memiliki kedekatan dengan warga masyarakat.[15] Polisi sebagai petugas/aparatur negara harus juga memiliki jati diri (integritas dan kredibilitas) yang utuh, yang memenuhi persyaratan kelesarasan dan keserasian dalam penampilan fisik dan kepribadian, baik intelektual, emosional maupun spriritual yang memadai sesuai dengan tuntutan profesionalusme penegak hukum (law enforcement agency) yang secara transparan dan bertanggung jawab secara akuntabel kepada publik (masyarakat umum).

Polisi sebagai aparatur negara dalam relasinya dengan warga masyarakat/warganegara sebaiknya memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat (public servant), penegak hukum (yang berdasar dan taat pada hukum), serta contoh yang baik dalam mematuhi, menaati, dan melaksanakan hukum di tengah-tengah masyarakat yang diberi wewenang untuk menggunakan alat-alat pemaksa (means of coercion) dalam rangka fungsi penyidik kejahatan (fighting crime), melindungi warga masyarakat (protecting people), serta memelihara atau menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (maintaining law and order). Polisi juga berfungsi sebagai pengawal nilai-nilai kehidupan warga sipil (the guardian of civilian values) yang seharusnya menjaga dan mencegah kemungkinan polisi diperalat atau disalahgunakan oleh kepentingan sesaat negara (pemerintah) di dalam membangun hegemoninya, yang memungkinkan terjadinya eksploitasi terhadap rakyat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lord Acton bahwa: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan).[16]

Kepribadian Polisi hendaknya menampilkan watak, temperamen, sikap, dan sifat yang didasarkan pada nilai-nilai inti (core values) yang bersumber dari nilai-nilai dasar (basic values) dalam Pancasila dan UUD 1945, yang mencerminkan perwujudan dari penghayatan pada: (1) Integritas pribadi atau integrity; (2) Kewajaran dan keadilan atau fairness; (3) Rasa hormat atau respect; (4) Kejujuran atau honesty; (5) Keberanian atau courage; dan (6) Kasih sayang atau compassion.[17]

Adapun upaya untuk mencari paradigma baru[18] bagi Polri yang mandiri, berjati diri, dan profesional itu sebaiknya ditempuh dengan cara memanfaatkan rumusan hasil kajian Kode Etik Polri yang telah ada (1946-2001) sebagai hasil karya para ahli di lingkungan Polri sendiri serta masukan dari berbagai pakar di luar Polri, sesuai dengan perubahan dan tuntutan masyarakat dalam era Reformasi menunju masyarakat madani (civil society) yang bercirikan adanya kemandirian warga masyarakat/warga negara terhadap pemerintah/negara, tegaknya supremasi hukum, demokrasi, dan jaminan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dalam alam Indonesia Baru yang berdasarkan pada kenyataan: kemejemukan, kebebasan, keadilan, serta kesejahteraan bagi seluruh warga negara/warga masyarakat Indonesia.[19]

Akhirnya, berbicara mengenai perlu atau tidaknya peninjauan kembali terhadap Kode Etik Polri, saya berpendapat kiranya perlu dilakukan dua hal. Pertama, kaji ulang sumber nilai dan ajaran secara sahih, baik dasar yang dipakai, asal naskah, bahasa, arti, dan maknanya secara faktual, realitis, dan dinamis. Sebagai catatan, misalnya, perlu adanya koreksi/perbaikan atas salah kutip dan salah ketik bahasa, kata-kata, dan istilah aslinya.

Kedua, sebagai alternatif pemecahan masalah dari kerancuan Kode Etik Polri dapat dipilih tiga cara: (1) Berpegang teguh secara utuh pada nilai-nilai luhur budaya lama dan budaya baru yang hidup dalam masyarakat berdasarkan sumber-sumber yang sahih dan otentik; (2) Menyesuaikan rumusan nilai-nilai Kode Etik Polri yang sudah ada (setelah dikoreksi dan diperbaiki) dengan tuntutan perubahan dalam era Reformasi dengan memberi arti dan “makna baru” terhadap rumusan Kode Etik Polri itu. Nama Kode Etiknya tetap, yaitu Tri Brata dan Catur Prasatya, namun rumusan isinya dalam bahasa Indonesia;[20] dan (3) Merumuskan Kode Etik sama sekali berdasarkan standar internasional, yang dijiwai oleh nilai-nilai nasional Indonesia.

Khusus mengenai kemungkinan yang terakhir, proses perumusan paradigma baru tentang posisi, fungsi, dan peran Polri memang harus mengikuti prosedur secara yuridis, legal, dan demokratis, agar terjamin kemantapan dan keabsahan serta dukungan dari semua pihak, karena asas negara hukum yang demokratis dan konstitusional harus dipegang teguh. Tindak lanjut dari perumusan paradigma baru itu ialah pemahaman, penghayatan, dan komitmen seluruh jajaran Polri untuk melakukan pembenahan diri secara internal, baik sistem organisasi dan kebijakan maupun perencanaan strategis untuk program-program pendidikan dan latihan, serta sarana penunjangnya.

Penutup: Sebuah Harapan

Refedinisi dan reposisi Polri agar memiliki jati diri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum menurut pasal 30 ayat 4 UUD 1945 setelah amandemen kedua tahun 2000, harus jelas dan tegas yakni Polri sebagai Polisi Sipil, aparat, dan pegawai negeri sipil yang memiliki tiga karakteristik fungsi dan tugas pokok sebagai berikut: (1) Penegakan hukum, yang harus bekerja sama secara fungsional, profesional, dan sinergik dengan unsur penegak hukum lainnya yakni kejaksaan, pengadilan, dan kehakiman; (2) Sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat (keamanan dalam negeri) juga harus bekerja sama secara fungsional, proporsional, sinergik, dan harmonis dengan TNI, baik AD (Angkatan Darat), AL (Angkatan Laut), dan AU (Angkatan Udara); serta (3) Sebagai abdi masyarakat, Polri dalam melaksanakan tugas pelayanan keamanan, ketertiban, ketentraman, dan kedamaian masyarakat harus mampu menjalin kerja sama secara fungsional, proporsional, dan sinergik dengan unsur-unsur bantuan Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), baik Satpam (Satuan Pengamanan) maupun satuan Swadaya dan Swakarsa pengamanan lainnya oleh masyarakat seperti Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan) misalnya.[21]

Dengan demikian maka jati diri dan kemandirian Polri menurut pengertian paradigma baru ini, tetap menganut pendekatan dan tatanan sistemik, kontekstual, dan fungsional. Hal ini terkait dengan nilai-nilai inti Kode Etik Polri yang seharusnya dirumuskan secara tegas, jernih, dan jelas, serta tidak bias dalam pemahaman petugas-petugas yang beraneka ragam keyakinan dan budayanya. Sebagi contoh dapat dikutip di sini Kode Etik Polri sebagai penegak hukum yang dianggap dapat menjadi rujukan Polisi Sipil secara universal, yaitu: “Sebagai petugas hukum, tugas fundamental saya adalah melayani masyarakat (community), melindungi orang yang tak berdosa terhadap tipu muslihat, melindungi orang lemah terhadap penindasan dan intimidasi”.

Sebagai aparat negara penegak hukum, Polri juga secara universal tidak mengabdi kepada kekuasaan (karena bukan alat politik), melainkan mengabdi kepada masyarakat yang peka dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat serta peran pelindungan dan pemeliharaan hak-hak warga yang berkaitan langsung dengan fungsi hukum, yang melindungi dan memulihkan hak (protecting right) warga masyarakat dan warga negara. Hal ini juga berkaitan dengan kerja sama dan konvensi internasional yang ditetapkan sesuai dengan International Covenant on Civil Political Rights. Polri juga harus bekerja sama dengan Kepolisian Internasional (ICPO INTERPOL), yang jelas-jelas menyatakan diri sebagai Badan Kepolisian Kriminal Internasional, dan tidak mengurusi masalah yang berkaitan dengan politik. Dalam hal ini berbagai konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) harus diikuti oleh Polisi di negera-negara anggotanya, termasuk Polri, seperti telah ditetapkan antara lain: (1) Kode Etik para Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enformcement Officials); dan (2) Prinsip-prinsip Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Fire Arms by Law Enforcement Official).

Sebagai aparat negara penegak hukum dan abdi masyarakat dalam bidang Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) dan Kamdagri (Keamanan Dalam Negeri), maka Polri harus meningkatkan kualitasnya mengenai: (1) Peningkatan sistem organisasi yang ramping dan handal secara efektif dan efisien; serta (2) Peningkatan etika pelaksanaan tugas, sikap, dan perilaku yang bercirikan profesionalisme, budaya kerja, etos kerja, dan kinerja yang maksimal dengan memberikan layanan prima kepada masyarakat yang bermutu dan relevan disertai tanggung jawab secara transparan dan akuntabel.

Akhirnya Polri diharapkan akan menjadi Polisi yang PEEM (Profesional, Efektif, Efisien, dan Modern) demi kepentingan seluruh masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Semoga demikianlah hendaknya, semoga upaya kita bersama ini tercapai serta mendapat taufik, hidayah, kekuatan, dan ridha dari Allah SWT. Demikianlah partisipasi dan kontribusi saya sebagai warga masyarakat dan warga Perguruan Tinggi yang awam tentang Kepolisian RI, dengan harapan semoga memperoleh tanggapan dan koreksi dari para ahli atau pakar kepolisian, serta semoga pula ada manfaatnya.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 2000. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Rosda Karya.

Budiardjo, Miriam. 1987. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Departemen Pertahanan dan Keamanan RI. 1971. Pengertian Dasar bagi Pedoman Implementasi Pantjasila untuk A.B.R.I.. Djakarta: Dephankam RI.

Departemen Pertahanan dan Keamanan RI. 1972. Pola Dasar Pembinaan Mental A.B.R.I.. Djakarta: Penerbit Baladika, cet.kedua.

Ismail, Chaeruddin. 2001. Polisi: Demokrasi Versus Anarkhi. Jakarta: Penerbit Jakarta Citra.

Ismail, Chaeruddin. 2001. Polisi yang Keder: Memformat Polisi Sipil pada Masyarakat Demokratis. Jakarta: Penerbit Jakarta Citra.

Ismaun. 1967. Tindjauan Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia (Dalam Rangkaian Tjita-tjita dan Sedjarah Perdjuangan Kemerdekaan). Bandung: Penerbit Carya Remadja.

Ismaun. 2001. “Paradigma Pendidikan Sejarah yang Terarah dan Bermakna” dalam Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.4, Vol.II (Desember). Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

Jurnal Polisi Indonesia, Th.I (September 1999-April 2000). Jakarta: Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI dan Yayasan Obor Indonesia.

Kunarto. 1977. Tri Brata dan Catur Prasatya: Sejarah, Perspektif & Prospeknya. Jakarta: Penerbit Cipta Manunggal.

Moedjanto, G.. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Muljana, Slamet. 1965. Menudju Puntjak Kemegahan Sedjarah Keradjaan Madjapahit. Djakarta: Balai Pustaka.

Muljana, Slamet. 1967. Perundang-undangan Madjapahit. Djakarta: Penerbit Bharata.

Prapantja. 1953. Negarakretagama. Terjemahan. Djakarta: N.V. Siliwangi.

Roestam, Soedjono. 1945. Soempah Palapa Menggalang Mahasthi Noesantara: Goebahan Sjair Dharma Teroena Kilasan Sedjarah Indonesia. Semarang: Penerbit Patna.

Rais, M. Amien et.al.. 2001. Reformasi dalam Stagnasi. Jakarta: Yayasan Al-Mukmin.

Surat Keputusan Kapolri, No.Pol: Skep/213/VII/1985. Jakarta: 1 Juli 1985.

Undang-Undang Republik Indonesia, No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI. Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2002.

Undang-Undang Republik Indonesia, No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2002.

Wadong, Maulana Hasan. 2000. Islam & TNI-POLRI dalam Reformasi Ideologi dan Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Yamin, Muhammad. 1960. Gadjah Mada. Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka.

Yamin, Muhammad. 1962. Tatanegara Madjapahit: Naskah Sapta Parwa. Djakarta: t.p..

**)Prof.Dr.H. Ismaun, M.Pd. adalah Guru Besar di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung.

[1]Lihat Surat Keputusan Kapolri, No.Pol: Skep/213/VII/1985 (Jakarta: 1 Juli 1985).

[2]Kunarto, Tri Brata dan Catur Prasatya: Sejarah, Perspektif & Prospeknya (Jakarta: Penerbit Cipta Manunggal, 1977).

[3]Ibid..

[4]Ibid..

[5]Maulana Hasan Wadong, Islam & TNI-POLRI dalam Reformasi Ideologi dan Politik (Jakarta: PT Gramedia, 2000).

[6]Untuk sumber-sumber ini, lihat Prapantja, Negarakretagama, Terjemahan (Djakarta: N.V. Siliwangi, 1953); Slamet Muljana, Menudju Puntjak Kemegahan Sedjarah Keradjaan Madjapahit (Djakarta: Balai Pustaka, 1965); Soedjono Roestam, Soempah Palapa Menggalang Mahasthi Noesantara: Goebahan Sjair Dharma Teroena Kilasan Sedjarah Indonesia (Semarang: Penerbit Patna, 1945); dan Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit: Naskah Sapta Parwa (Djakarta: t.p., 1962).

[7]Tentang “Asta Brata” dan implemetasinya bagi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), termasuk Polri, lihat Departemen Pertahanan dan Keamanan RI, Pengertian Dasar bagi Pedoman Implementasi Pantjasila untuk A.B.R.I. (Djakarta: Dephankam RI, 1971); dan Pola Dasar Pembinaan Mental A.B.R.I (Djakarta: Penerbit Baladika, 1972, cet.kedua).

[8]Untuk kisah Airlangga ini, lihat Slamet Muljana, 1965, Op.Cit..

[9]Lihat G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987).

[10]Lihat Slamet Muljana, Perundang-undangan Madjapahit (Djakarta: Penerbit Bharata, 1967). Huruf tebal dari saya.

[11]Tentang tokoh Gadjah Mada ini, lihat Muhammad Yamin, Gadjah Mada (Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1960).

[12]Slamet Muljana, 1967, Op.Cit..

[13]Chaeruddin Ismail, Polisi yang Keder: Memformat Polisi Sipil pada Masyarakat Demokratis (Jakarta: Penerbit Citra, 2001).

[14]Ibid..

[15]Chaeruddin Ismail, 2001, Op.Cit..

[16]Lihat, misalnya, Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1987); dan Ismaun, Tindjauan Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia (Dalam Rangkaian Tjita-tjita dan Sedjarah Perdjuangan Kemerdekaan) (Bandung: Penerbit Carya Remadja, 1967).

[17]Lihat artikel-artikel dalam Jurnal Polisi Indonesia, Th.I (Jakarta: Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI dan Yayasan Obor Indonesia, September 1999-April 2000).

[18]Tentang konsep paradigma baru, lihat Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar saya, “Paradigma Pendidikan Sejarah yang Terarah dan Bermakna” di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tanggal 16 Oktober 2001; dan dimuat kembali – dengan perbaikan seperlunya – dalam Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.4, Vol.II (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, Desember 2001).

[19]Chaeruddin Ismail, Polisi: Demokrasi Versus Anarkhi (Jakarta: Penerbit Jakarta Citra, 2001). Tentang Reformasi dan Civil Society, lihat M. Amien Rais et.al., Reformasi dalam Stagnasi (Jakarta: Yayasan Al-Mukmin, 2001); dan Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani (Bandung: Rosda Karya, 2000).

[20]Adalah menarik bahwa dalam acara-acara SEMILOKA (Seminar dan Lokakarya) yang intensif akhirnya disepakati bahwa Kode Etik Polri yang sudah ada tetap dipertahankan, namun dengan diberi makna baru dan koreksi seperlunya. Lihat, misalnya, teks asli Tri Brata yang berbunyi: “Polisi adalah: (1) Rastra Sewakottama, Abdi Utama dari pada Nusa dan Bangsa; (2) Nagara Janottama, Warga Negara Tauladan dari pada Negara; dan (3) Jana Anuca Sanadharma, Wajib Menjaga Ketertiban Pribadi dari pada Rakyat” itu dikoreksi menjadi Tri Brata yang berbunyi: “Polisi adalah: (1) Rastra Sewakottama, artinya: Abdi Utama Negara; (2) Nagara Janottama, artinya: Warga Negara Utama; dan (3) Jana Anuwasana Dharma, artinya: Wajib Menjaga Tertib Pribadi Rakyat (Selfdiscipline)”, yang pada akhirnya dikoreksi kembali dan diberi makna baru menjadi Tri Brata yang berbunyi: “Polisi adalah: (1) Rastra Sewakottama, maknanya: Aparatur Negara, Penegak Hukum; (2) Nagara Janottama, maknanya: Abdi Masyarakat/Pelayan Masyarakat Umum (Publik); dan (3) Jana Anuwasanan Dharma, maknanya: Petugas Pemelihara Ketertiban dan Keamanan Masyarakat dan Negara”. Begitu juga dengan Catur Prasatya yang semula berbunyi: “(1) Satya Haprabu, Setia Kepada Negara dan Pimpinannya; (2) Hayaken Musuh, Mengenyahkan Musuh-musuh Negara dalam Masyarakat; (3) Gineung Pratidina, Mengagungkan Negara; dan (4) Tan Satresna, Tidak Terikat Trisna Kepada Sesuatu” itu dikoreksi menjadi Catur Prasatya yang berbunyi: “(1) Satya Haprabu, artinya: Setia Kepada Raja; (2) Hanyaken Musuh, artinya: Mengenyahkan Musuh; (3) Gineung Pratidina, artinya: Mengagungkan Negara; dan (4) Tan Satresna, artinya: Tidak Mementingkan Diri Sendiri”, akhirnya dikoreksi kembali dan diberi makna baru menjadi Catur Prasatya yang berbunyi: (1) Satya Haprabu, maknanya: Setia Kepada Bangsa dan Negara Indonesia; (2) Hanyaken Musuh, maknanya: Memberantas Kejahatan dan Kemaksiatan Sebagai Musuh Negara dan Masyarakat; (3) Gineung Pratidina, maknanya: Menjunjung Tinggi Nama Baik dan Martabat Bangsa dan Negara; serta (4) Tan Satresna, maknanya: Disipilin dan Rela Berkorban dalam Melaksanakan Tugas demi Kepentingan Masyarakat dan Negara”.

[21]Lihat Undang-Undang Republik Indonesia, No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI; dan Undang-Undang Republik Indonesia, No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara (Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2002).

Comments are closed.