Pers dan Masalah Emansipasi Wanita: Kajian Terhadap Surat Kabar Bulanan Poetri Mardika di Indonesia, 1915-1920 *)

 

Ratna Utami **)

 

)Tulisan ini merupakan ringkasan dari skripsi sarjana Ratna Utami, “Pandangan dan Peranan Surat Kabar Bulanan Poetri Mardika dalam Memperjuangkan Emansipasi Wanita di Indonesia, 1915-1920” (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2001), di bawah bimbingan Prof.Dr.Hj. Rochiati Wiriaatmadja, M.A. dan Drs. Andi Suwirta, M.Hum.

**)Ratna Utami adalah Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI); dan  S-2 di Program Studi Pendidikan IPS Pascasarjana UPI di Bandung.

ZAMAN pergerakan nasional adalah suatu masa di mana perjuangan bangsa Indonesia dilakukan dengan menggunakan organisasi dan institusi modern sebagai alat perjuangannya. Dalam perjuangannya itu, organisasi-organisasi pergerakan nasional juga menggunakan surat kabar sebagai media yang berfungsi sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia, terutama dalam menumbuhkan semangat untuk mencapai kemajuan bangsa.[1]

Tulisan ini akan membahas tentang perkumpulan “Putri Mardika”, yang pada zaman pergerakan nasional juga menerbitkan surat kabar untuk kepentingan memajukan kaum wanita pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Di dalamnya akan dibahas sejarah kelahiran surat kabar Poetri Mardika dan pandangan-pandangan surat kabar tersebut terhadap masalah emansipasi wanita di Indonesia.

 

Kelahiran Surat Kabar Poetri Mardika

Poetri Mardika adalah nama surat kabar yang diterbitkan satu bulan sekali oleh sebuah organisasi perkumpulan wanita, Putri Mardika, pada tahun 1914 di Jakarta, tepatnya di jalan Batu Tulis No.21, Weltevreden (daerah Gambir sekarang), Jakarta. Perkumpulan wanita, Putri Mardika, sendiri didirikan pada tahun 1912 dan memiliki tujuan untuk memajukan kaum wanita Indonesia dengan mencari bantuan keuangan bagi wanita (terutama gadis-gadis) yang ingin melanjutkan sekolah. Di samping itu, organisasi wanita ini juga bertujuan untuk memberi penerangan dan nasihat yang baik kepada kaum wanita Indonesia.[2]

Keanggotaan perkumpulan Putri Mardika ini terdiri dari kaum wanita dan kaum laki-laki yang sangat mendukung terhadap gerakan emansipsai wanita di Indonesia. Kegiatan perkumpulan ini ditujukan untuk memperbaiki kedudukan kaum wanita Indonesia melalui pendidikan dan pengajaran. Usaha perbaikan ini sendiri dilakukan karena kedudukan wanita yang sangat buruk dalam keluarga maupun di masyarakat akibat adanya kungkungan adat serta penjajahan kolonial Belanda.

Perjuangan perkumpulan Putri Mardika ini lebih mengutamakan pendidikan dan pengajaran untuk kemajuan bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat perkumpulan Putri Mardika yang terdapat dalam surat kabarnya, Poetri Mardika, antara lain sebagai berikut :

 

Madjoenja bangsa itoe lantaran pengadjaran. Selama bangsa kita masih di dalam kebodohan, kami pertjaja tidak akan berhasil maksoed kemadjoean itoe. Boekankah benar pada dewasa ini, bangsa kita tidak hanja kaoem lelaki sadja, sedangkan kaoem poetri poen tidak soeka ketinggalan.[3]

 

Menurut Sabaroedin, selaku Presiden perkumpulan Putri Mardika, organisasi ini selain untuk memajukan pendidikan dan pengajaran, juga memiliki tujuan yang bersifat sosio-kultural. Dengan perkataan lain bahwa perkumpulan ini tidak hanya memperjuangkan kedudukan sosial kaum wanita belaka. Sabaroedin juga menjelaskan bahwa perkumpulan Putri Mardika ini bukan organisasi yang bergerak di bidang politik. Tujuan perkumpulan Putri Mardika disampaikan oleh Sabaroedin dalam sidang besar (kongres) pada tanggal 6 Juni 1915 di Bogor. Ia menjelaskan bahwa perkumpulan Putri Mardika merupakan organisasinya orang-orang yang peduli terhadap kemerdekaan kaum wanita, di mana tujuan organisasi ini sendiri bisa dilihat dari namanya, Putri Mardika, yaitu untuk memerdekakan kaum wanita Indonesia dari belenggu adat dengan memberikannya kebebasan. Selanjutnya Sabaroedin menjelaskan sebagai berikut:

Poetri Mardika artinja perempoean jang bebas. Boleh djadi beloem bebas sama sekali, tetapi selama soedah ada pergerakan kaoem perempoean di alam doenia ini, pihak perempoean soedah mentjari kemardikaannja dari koengkoengan adat. [4]

Poetri Mardika yang diartikan sebagai wanita yang bebas ini menginginkan adanya kebebasan bagi kaum wanita dari ikatan adat atau tradisi. Kemerdekaan atau kebebasan ini menurut perkumpulan Poetri Mardika adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada seluruh makhluk hidup di muka bumi, karena itulah kemerdekaan itu harus diperjuangkan. Keinginan untuk mendapatkan kebebasan ini terdapat dalam surat kabar Poetri Mardika, antara lain sebagai berikut:

Sesoenggoehnja djoega poetri di kamar (dipingit) soedah semistinja sekarang diseboet Poetri Mardika jang mendapat kemardikaannja, siapakah tidak hendak mardika, terlepas, bebas…? Sekali lagi kami katakan, ini perkataan boekan soeatoe perkataan baroe! Di mana Toehan  telah mengadakan boemi dan langit serta isinja dengan tida ada perdjandjiannja ini bahagianmoe dan itoe bahagian engkaoe […]. [5]

 

Untuk mencapai kebebasan atau kemerdekaan itu, perkumpulan Putri Mardika memiliki beberapa program seperti yang tercantum dalam surat kabar Poetri Mardika antara lain sebagai berikut:

Fatsal 2: Memperhatikan keada’an perempoean dengan lantaran memoeliakan kesopanan dan ketertiban begitoe djoega melinjapkan segala adat istiadat jang melintangi kemadjoean.

Fatsal 3: Boeat mendapat hasilnja dari fatsal terseboet tadi, maka Poetri Mardika beroepaja akan mendapat hasil pantes dengan menjoembang tenaganja dengan:

Bab 1: Membantoe dengan warna oewang kepada anak-anak perempoean jang miskin atau jang tidak mampoe boeat beladjar dan memoedahkan dalam meneroeskan peladjarannja.

Bab 2: Memebri nasehat dan keterangan pada anak-anak perempoean jang ingin beladjar.

Bab 3: Membangoenkan kasopanannja pengrasa’an dan ingatan dari pihak perempoean.

Bab 4: Memberi waktoe pada perempoean boeat melahirkan pikirannja dalam pandangan agar soepaja dapat melinjapkan keketjilan hati; dan

Bab 5: Segala oesaha jang dapat mendjadikan kesampoerna’anja alam perempoean.[6]

Dari program-program tersebut di atas, terlihat bahwa perkumpulan ini berusaha untuk memajukan kaum wanita dengan memberikan pendidikan dan pengajaran. Karena itulah kemudian pada tahun 1914 perkumpulan Putri Mardika ini merealisasikan programnya seperti yang tercantum pada pasal 3 bab 1 yaitu dengan memberi bantuan kepada 30 (tiga puluh) orang gadis-gadis yang ingin melanjutkan pendidikannya.[7] Pemberian dana pendidikan ini dilakukan dengan alasan bahwa pendidikan dan pengajaran adalah pintu masuk menuju kesempurnaan bangsa yang mampu mengasah pikiran dan ilmu pengetahuan yang merupakan tiang pintu menuju kesempurnaan.[8]

Selain melaksanakan program pendidikan dan pengajaran, perkumpulan Putri Mardika juga berusaha untuk memajukan program-program yang lainnya, seperti memberi nasihat dan penerangan dan mengadakan kursus-kursus. Untuk melaksanakan program tersebut, perkumpulan Putri Mardika memerlukan alat untuk memperjuangkan terlaksananya program-program yang dimiliki oleh perkumpulan ini. Karena itulah maka pada tahun 1914  diterbitkan surat kabar Poetri Mardika.

 

Tujuan Diterbitkannya Surat Kabar

Poetri Mardika

Putri Mardika merupakan perkumpulan yang didirikan pada masa pergerakan nasional, di mana perjuangan bangsa Indonesia tidak lagi menggunakan senjata, melainkan menggunakan organisasi-organisasi modern. Pada masa tersebut setiap organisasi pergerakan memiliki surat kabar yang dipergunakan sebagai juru bicara dalam pergerakannya.[9] Begitu pula dengan perkumpulan-perkumpulan wanita yang dibentuk pada masa pergerakan ini berusaha untuk memiliki surat kabar dan majalah sebagai alat penyebar gagasan kemajuan golongan dan juga sebagai alat praktis pendidikan dan pengajaran.

Adanya surat kabar sebagai alat penyebar gagasan ini tidak lepas dari pengamatan perkumpulan Putri Mardika, sampai akhirnya perkumpulan ini pun berusaha menerbitkan surat kabar pada tahun 1914 dengan nama yang sama dengan perkumpulan tersebut yaitu Poetri Mardika. Adapun tujuan diterbitkannya surat kabar Poetri Mardika ini adalah sebagai berikut:

Soerat kabar Poetri Mardika diterbitkan goena terbatja oleh sekalian orang, terlebih-lebih pada kaoem Poetri, karena saoedara itoe jang ditodjoenja, agar soepaja menambah pemandangan dan pendengarannja. Oleh karena itoe, barang siapa mempoenjai soerat kabar Poetri Mardika sesoedahnja terbatja soedi apalah kiranja memberikan pada handai dan taoelannja, agar soepaja lambat laoen sekalian orang mengetahoei toedjoean Poetri Mardika. [10]

Selain itu, tujuan diterbitkannya surat kabar Poetri Mardika terdapat dalam surat kabar itu sendiri dan dimuat dalam nomor edisi ekstra yang menyatakan sebagai berikut:

Sebagaimana jang telah dimakloemkan, maka soerat kabar Poetri Mardika ini hanja soeatu alat boeat mentjapai maksoed kita, akan tetapi soeatoe alat jang terpenting dan pertama, jaitoe boeat menjiarkan maksoed dan haloean kita dan selandjoetnja boeat tempat odjian dari matjem-matjem pendapat atau fikiran dari beberapa saoedara jang bersetoedjoe dan tidak bersetoedjoe peroebahan alam perempoean Boemipoetra. Dengan ditoeliskannja soerat kabar ini dengan maksoed soepaja kekendaknja kita ampoenja perhimpoenan diketahoei oleh beberapa golongan dari Boemipoetra.[11] 

Dari pernyataan tersebut di atas sangatlah jelas kalau penerbitan surat kabar Poetri Mardika ditujukan untuk merubah alam pikiran (wawasan) dengan cara penyampaian gagasan tentang kemajuan kepada kaum wanita khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, sesuai dengan tujuan didirikannya perkumpulan Putri Mardika, yaitu untuk memberi bantuan penerangan, pendidikan dan pengajaran, serta nasihat yang baik kepada kaum wanita. Adapun misi yang diemban oleh surat kabar Poetri Mardika ini tertera dalam sampul surat kabar bulanan tersebut. Adapun misi yang diembannya adalah: “Manndblad gewijd aan belangen der Inlandsche vrouwen (Soerat kabar boelanan memperhatikan keadaannja perempoean boemi poetra)”. Misi yang diemban oleh surat kabar Poetri Mardika juga dapat dilihat dalam sajian artikel atau opini-opininya yang dimuat dalam surat kabar ini yang selalu membahas tentang bagaimana upaya memajukan kaum wanita.

 

Kepengurusan Penerbitan Surat Kabar Poetri Mardika

Menurut surat kabar Poetri Mardika nomor edisi ekstra tahun 1920, dewan pengurus dalam perkumpulan Putri Mardika ini dipegang oleh orang-orang yang dipilih dalam algemene vergadering pada tanggal 1 Maret 1914. Kepengurusan ini  berlaku untuk periode tahun 1914-1919. Adapun orang-orang yang ditetapkan menjadi bestuur antara lain adalah sebagai berikut: (1) Sabaroedin: Presiden; (2) R. Nganten Asiah Koesrin: Wakil Presiden; (3) R. Djojopranoto: Sekretaris; (4) R.A.J. Noerbaiti Moehadjir: Bendahara; (5) Abdoel Rahman: Komisaris; (6) M. Sastrodirono: Leden (anggota); (7) R.A. Djaetoen: Leden (anggota); (8) Mas Moehammad: Leden (anggota); (9) S. Toendokoesoemo: Leden (anggota); dan (10) R. Tjokrodibroto: Leden (anggota).[12]

Dengan diterbitkannya surat kabar pada tahun 1914 yang dipergunakan sebagai salah satu alat penyebar gagasan atau pemikiran tentang pergerakan emansipasi wanita, maka perkumpulan Putri Mardika membentuk dewan redaksi, yaitu orang-orang yang terlibat dalam penerbitan surat kabar Poetri Mardika. Adapun susunan dewan redaksinya antara lain adalah sebagai berikut: Komisaris (R.A. Djaetoen dan R.A.J. Djojopranoto); Dewan Redaksi (Sadikoen Toendokoesoemo, R.Ng. Asiah, Soetinah Djojopranoto, Abdoel Rachman, I.G. Tjipto Rahardjo, dan Kadiroen); Bagian Administrasi (Mohamad dan Sadikoen Toendokoesoemo).[13]

           

Isi Surat Kabar Poetri Mardika

Surat kabar Poetri Mardika ini memuat berbagai rubrik, antara lain: “Warta Redaksi”, “Warta Administrasi”, “Pemandangan” (opini atau pun artikel), “Soerat Terboeka”, “Correspondeen”, “Permohonan”, “Pengarepan”, “Daftar Anggota”, dan “Verslaag Poetri Mardika”.

Rubrik “Warta Redaksi” merupakan berita-berita yang ditulis oleh anggota dewan direksi surat kabar Poetri Mardika yang membahas seputar kegiatan redaksi ataupun perkumpulan. “Warta Administrasi” merupakan rubrik untuk memberitakan masalah administrasi, misalnya masalah-masalah tagihan keuangan kepada para pelanggan yang menunggak biaya abonnement. Rubrik ini diletakkan pada halaman pertama. “Rublik Pemandangan” selalu mengupas tentang pandangan-pandangan para penulis yang biasanya menyoroti masalah monogami dan poligami, perkawinan anak-anak, dan perkawinan campuran (antar suku maupun antar bangsa). Orang-orang yang aktif mengirimkan artikel dalam surat kabar Poetri Mardika ini antara lain adalah: Singgih, Sd. Koesoemo, Pr, Man, Joeng Koedering, Abdoel Rachman, Notosoeroto, Sadikoen, Ringener, Bintang Pagi, Tioeng, Tjipto Rahardjo, Moerdjinah Dirdjoatmodjo, R.A. Dewatyah, Mely Koesoemo, Soedibjo, Siti Soendari, dan Koemoro Ningrat.

Rubrik “Soerat Terboeka” adalah bagian dari surat kabar Poetri Mardika yang memuat tentang undangan atau pemberitahuan dari redaksi kepada anggota perkumpulan tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan. Sedangkan rubrik “Correspondent” merupakan surat-surat pembaca yang isinya biasanya berupa pertanyaan-pertanyaan dari pembaca dan dijawab oleh redaksi. Rubrik “Permohonan” biasanya berisi tentang permintaan dari redaksi kepada pelanggan. Untuk rubrik “Pengarepan” biasanya berisi tentang harapan-harapan dari pelanggan surat kabar Poetri Mardika yang ditujukan kepada redaktur.

“Daftar Anggota” merupakan rubrik dalam surat kabar Poetri Mardika yang isinya berupa pemberitahuan dari redaktur tentang anggota baru yang masuk dalam perkumpulan ataupun tentang orang-orang yang keluar dari keanggotaan perkumpulan Putri Mardika. Sampai bulan Oktober 1918, jumlah anggota perkumpulan Putri Mardika mencapai 309 orang. Sedangkan dalam rubrik “Verslag” berisi tentang laporan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh perkumpulan Putri Mardika. Dan rubrik yang khas dalam surat kabar Poetri Mardika adalah perdebatan antara pihak yang kolot dengan pihak yang berpikiran maju.

 

Perkembangan Surat Kabar Poetri Mardika

Untuk mengetahui perkembangan surat kabar Poetri Mardika, saya berusaha untuk menganalisanya dari setiap edisi pada setiap tahun penerbitan. Surat kabar Poetri Mardika untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1914. Tetapi karena sumber primer yang sangat terbatas, saya hanya akan membahas perkembangan surat kabar ini dari tahun 1915 sampai tahun 1920.

Pada tahun 1915, redaktur surat kabar Poetri Mardika dipegang oleh Sadikoen, Sabaroedin, dan Noerbaiti Permansjah. Penerbitan surat kabar ini dilakukan satu bulan sekali yaitu setiap tanggal satu. Surat kabar Poetri Mardika ini pada tahun pertama (1914) menggunakan bahasa Melayu, dan pada tahun kedua (1915) surat kabar ini menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Surat kabar Poetri Mardika yang diterbitkan setiap awal bulan ini diberikan cuma-cuma, seperti yang tertera dalam setiap sampul surat kabar Poetri Mardika  yaitu: “Leden onvanggen het blaad graties (Lid-lid dapat soerat kabar pertjoema). Meskipun demikian, setiap lid atau anggota perkumpulan Putri Mardika ini diharuskan untuk membayar abonnement surat kabar sebesar f 1 per tahun. Uang abonnement ini harus dibayar lebih dulu pada awal tahun dan dikirim dengan jasa wesel secara langsung ke alamat redaksi Poetri Mardika, yaitu Jalan Batu Tulis No.21, Weltevreden.

Pada tahun 1916, redaktur surat kabar Poetri Mardika dipegang oleh: Sadikoen Toendokoesoemo, Asiah, dan Soetinah Djojokoesoemo secara bergantian. Sedangkan bagian administrasi dipegang oleh Moehammad. Pada bulan Januari 1916, surat kabar Poetri Mardika juga menerbitkan surat kabarnya dalam bahasa Jawa dan Sunda. Pada bulan April 1916, abonnement surat kabar Poetri Mardika naik menjadi f  1,5 per tahun. Hal ini disebabkan karena naiknya harga kertas yang mencapai 100 persen.

Pada tanggal 5 Juni 1917 dikeluarkan keputusan tentang Basstuur Vergadering Poetri Mardika yang menugaskan Sadikoen, Toendokoesoemo, dan Abdoel Rachman sebagai redaktur surat kabar Poetri Mardika. Di tahun 1917 ini pula, Asiah menerbitkan surat kabar Poetri Mardika dalam bahasa Belanda. Untuk biaya abonnement, para pelanggan surat kabar Poetri Mardika masih harus membayar sebesar f  1,5 per tahun.

Pada bulan Januari 1918, harga abonnement surat kabar Poetri Mardika dalam satu tahun naik menjadi f 2 per tahun untuk pelanggan bumi putera, dan f  2,5 per tahun untuk orang Belanda dan keturunannya. Kenaikan harga ini, menurut para redaktur, disebabkan karena kenaikan harga kertas yang sangat mahal.[14] Pada tahun 1918 ini, surat kabar Poetri Mardika menyatakan hanya akan menulis berita tentang perkumpulan saja. Hal ini disebabkan karena kurangnya biaya percetakan dan semakin berkurangnya orang-orang yang bekerja pada redaksi surat kabar Poetri Mardika. Meskipun demikian, surat kabar ini masih sempat untuk menerbitkan surat kabar Poetri Mardika dalam bahasa Sunda pada bulan Januari 1918.

Redaksi surat kabar Poetri Mardika untuk tahun 1919 dipegang oleh Kadiroen. Pada tahun 1919 ini pula penerbitan surat kabar Poetri Mardika banyak mengalami kesulitan, teutama pada masalah keuangaan dan kepengurusan. Hal ini disebabkan karena banyaknya pelanggan surat kabar Poetri Mardika yang menunggak dan banyaknya pengurus yang tinggal di luar kota. Pada tahun 1919 ini, surat kabar Poetri Mardika sempat tidak diterbitkan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pelanggan. Tetapi atas bantuan dana dari R.R Satariah (seorang anggota perkumpulan) maka surat kabar Poetri Mardika bisa diterbitkan setiap bulan seperti biasanya.

Pada tahun 1920 surat kabar Poetri Mardika hanya terbit bulan Januari dengan memberi nama “Edisi Extra Nomor 1920”. Isi surat kabar yang terakhir dari perkumpulan Putri Mardika ini hanya membahas perjalanan perkumpulan ini selama enam tahun. Dan untuk selanjutnya, perkumpulan Putri Mardika tidak menerbitkan lagi surat kabarnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya dana untuk menebitkan surat kabar tersebut. Meskipun demikian, perkumpulan ini masih tetap melaksanakan program-program lainnya.

Pada tahun 1920 pula surat kabar Poetri Mardika menyajikan tentang perhitungan uang kas milik perkumpulan Putri Mardika dari tahun 1916 sampai dengan tahun 1920. Soerat kabar Poetri Mardika ini juga menyajikan laporan pemasukan dan pengeluaran dana yang dimiliki oleh perkumpulan ini dari tahun 1916 sampai dengan tahun 1919. Apa yang ingin disajikan oleh surat kabar ini barangkali adalah sebuah pertanggungjawaban publik yang terbuka dan jujur.

Pandangan Surat Kabar Poetri Mardika

Dalam pembahasan ini saya akan memaparkan dan menganalisa rubrik “Pemandangan” yang terdapat dalam surat kabar Poetri Mardika yang berisi tentang pandangan perkumpulan Putri Mardika terhadap: (a) adat istiadat, (b) pendidikan dan pengajaran, serta (c) kedudukan wanita dalam perkawinan. Pembahasan mengenai rubrik “Pemandangan” ini dilakukan dengan menganalisa artikel-artikel yang ditulis oleh anggota perkumpulan Putri Mardika  mulai tahun 1915 sampai tahun 1920.

 Tentang Adat Istiadat

Pandangan surat kabar Poetri Mardika yang memuat tentang adat istiadat terdapat dalam edisi bulan Juli tahun 1915. Surat kabar Poetri Mardika memuat tulisan seseorang yang berinisial “Pr” dengan judul “Adat jang Haroes Kita Lenjapkan”, yang menjelaskan tentang kesalahan orang tua dalam menerapkan adat kepada anak wanita. Menurut Pr, adat yang kuno (feodal) sudah tidak pantas lagi diterapkan pada abad ke-20. Diterapkannya adat kepada anak-anak wanita adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh orang tua. Adat yang diterapkan orang tua kepada anak wanita yaitu dengan adanya kebiasaan orang tua memingit serta menikahkan seorang anak wanita pada usia belia dengan seorang laki-laki yang belum dikenal sama sekali oleh sang anak, bahkan orang tua melakukan kawin gantung yang dilakukan saat anak wanita masih kecil sekali.

Menurut Pr, diterapkannya adat istiadat seperti kawin gantung oleh orang tua pada masa itu memiliki tujuan yaitu untuk melindungi anak-anak wanita dari bahaya. Tetapi dengan diterapkannya adat istiadat seperti memingit serta menikahkan anak-anak pada usia belia, menurut Pr, hanya akan menyengsarakan anak-anaknya dan dan cara seperti ini bukan cara yang tepat untuk melindungi anak-anaknya. Kebiasaan seperti itu hanya akan menyengsarakan anak-anaknya. Menikahkan anak gadis pada usia 12 tahun adalah kesalahan besar karena anak seusia itu belum cukup umur serta tidak memiliki kepandaian apa-apa. Karena itulah Pr menghimbau kepada para pembaca surat kabar Poetri Mardika untuk tidak memaksakan kehendaknya. Penjelaskan Pr tentang buruknya adat istiadat yang sangat mengikat ini dapat dilihat dari penjelasan selanjutnya sebagai berikut:

Akan tetapi banjak orang tidak soeka mengerti, kalau djaman sekarang soedah lain tentoe semoea toeroet lain, djoega kita ampoenja adat. Tidak pantas sekali, djika sekarang misih ada oerang toea, jang memaksakan dia ampoenya anak perempoean soepaja ia kawin, tidak lantaran lain tjoema sebab dia soedah terlaloe besar, djadi memboeat maloe orang toeanja, apabila ia beloem mempunjai laki. Pantaskah perdjalanan jang begini? Tidak boekan? Dari itoe, sekalian pembatja P.M. haraplah soeka memperhatikan apa jang mendjadi pikiran saja di atas.[17]

Dalam surat kabar Poetri Mardika edisi bulan September 1915, redaksi surat kabar ini memuat tulisan tentang “Peroebahan Alam Perempoean”. Dalam tulisan yang bersifat opini redaksi itu surat kabar Poetri Mardika masih mengulas tentang kekeliruan orang tua di zaman dahulu dalam menerapkan adat istiadat. Menurut redaksi, terdapat kesalahan dari orang tua dalam menerapkan adat istiadat. Mereka mengira bahwa dengan dilakukannya pingitan terhadap anak wanita akan membuatnya merasa terlindungi. Dengan dilakukannya pingitan, para orang tua menganggap bahwa mereka bisa melindungi anak-anak wanita dari pergaulan. Menurut orang tua, pergaulan dianggap sesuatu yang sangat berbahaya bagi kaum wanita. Karena anggapan inilah maka orang tua melarang anak-anak wanita bergaul dengan laki-laki ataupun anak-anak yang dianggap tidak memiliki sopan santun. Karena itulah orang tua melarang anak-anak wanita ke luar rumah atau ke sekolah karena dengan sekolah akan terjadi pergaulan dengan anak-anak yang tidak memiliki kesopanan seperti anggah-ungguh dan tata-krama.

Kekeliruan orang tua dalam menerapkan adat istiadat hanya ditujukan untuk melindungi anak wanita dari pengaruh buruk dan perlindungan seperti ini hanya bersifat fisik atau “wadag(physiek levan). Menurut Poetri Mardika, kewajiban orang tua tidak hanya memberi perlindungan fisik, tetapi orang tua juga harus melindungi serta menyempurnakan jiwa seorang anak wanita dengan cara memberi pengetahuan. Sebagaimana layaknya fisik yang membutuhkan makanan, mereka menganggap bahwa jiwa atau ruh juga memerlukan adanya makanan yaitu ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah yang akan menyempurnakan jiwa kemanusiaan seorang wanita.

Poetri Mardika berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu hanya bisa diperoleh dari sekolah karena hanya sekolah yang dianggap sebagai “piranti” (middel) untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan adanya pengetahuan yang diperoleh dari sekolah ini, maka seorang anak wanita bisa menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sekolah dalam kehidupannya. Dengan demikian ilmu pengetahuan ini akan sangat berguna bagi kehidupan seorang wanita. Ilmu pengetahuan yang didapat dari sekolah ini, menurut Poetri Mardika, bukan hanya hak kaum laki-laki saja, karena seorang  wanita pun berhak mendapatkannya. Hal ini disebabkan karena wanita juga adalah manusia, sebagian dari bangsa (een gedelte van een volk).

Dengan demikian maka untuk memajukan bangsa dan negara adalah tanggung jawab bersama. Artinya bahwa wanita juga memiliki hak yang sama seperti kaum laki-laki dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk memajukan bangsa dan negara. Dan untuk menegaskan pentingnya persamaan derajat antara laki-laki dan wanita, surat kabar ini kemudian membuat satu pernyataan antara lain sebagai berikut: “Meskipoen pihak laki2 terbang setinggi langit, kalaoe pihak perempoean tidak memiliki kepintaran, maka suatu bangsa djaoeh dari kata moelia”.[18] Untuk mencapai kemuliaan bangsa dan negara inilah, maka orang tua hendaknya membebaskan anak gadisnya untuk sekolah sehingga ia memiliki tanggung jawab yang sama dengan kaum laki-laki dalam memajukan bangsa dan negaranya. Karena itu maka redaksi surat kabar Poetri Mardika menghimbau kepada para pembaca khususnya dan para orang tua pada umumnya untuk memperbaiki kekeliruan dalam menerapkan adat istiadat yang dianggap kuno.[19]

Pada edisi bulan Agustus 1916 surat kabar Poetri Mardika memuat tulisan dari Joeng Koedering. Adapun tulisan yang dimuat itu berjudul “Kelakoean Hina”. Tulisan ini sebenarnya bertujuan untuk membantah pernyataan yang terdapat dalam surat kabar Djawa Moeda yang juga memuat tulisan tentang “Perempoean Hina”. Dalam surat kabar Djawa Moeda itu terdapat pernyataan bahwa banyak wanita yang hina seperti menjadi gundik  (wanita peliharaan orang-orang Belanda). Pernyataan tersebut membuat Joeng Koedering berkeinginan untuk meluruskan arti kata “hina”. Kata “hina” ini tidak seharusnya diterapkan pada wanita, karena bagaimana pun juga wanita harus dihormati dan dihargai. Kata “hina” ini jangan diterapkan pada wanita, tetapi pada kelakuannya. Jadi Menurut Joeng Koedering yang “hina” itu bukan wanitanya, tetapi kelakuannya.

Menurutnya tidak semua wanita Indonesia memiliki kelakuan yang hina, karena wanita baik-baik pun tidak mau bergaul dengan wanita yang memiliki kelakuan hina. Selanjutnya Joeng Koedering menyatakan sebagai berikut:

 

[…] kelakoean hina dan moelia, baik dan djahat itoelah tergantoeng kepada keada’an dan kelakoeannja masing2. Adanja perempoean djalang yang memiliki kelakoean hina, maka sekalian orang perempoean baik2 poen tidak soeka bergaul dengan perempoean djalang itoe. Apakah gerangan sebabnja maka perempoean2 djalang itoe dipandang hina? Sedang parasnja elok, pakaiannja serba bagoes. Maka sebabnja tiada lain, melainkan karena pekerdjaanja jang amat nista terseboet.[20]

 

Selain memuat tulisan dari Joeng Koedering, surat kabar Poetri Mardika juga memuat tulisan dari Bintang Pagi, nama samaran, yang berjudul “Perobahan Zaman” di mana di dalamnya terdapat sub judul “Kawin Terpaksa”. Dalam tulisan itu Bintang Pagi membahas tentang kebiasaan orang tua dalam menjodohkan anak wanita. Adanya perjodohan ini dilakukan dengan paksaan tanpa adanya persetujuan antara anak dengan orang tua. Meskipun ada di antara anak-anaknya yang protes terhadap tindakan orang tuanya, tetapi orang tua tetap memaksakan kehendak terhadap anaknya dengan anggapan bahwa seorang anak harus tunduk terhadap perintah orang tua. “Orang toea tida dibawah perintah anak, melainkan anak misti dibawah perintah orang tuanja”, demikian Bintang Pagi menandaskan. Adanya kebiasaan menjodohkan seperti ini  menurut Bintang Pagi sangat sulit untuk dirubah, sebagaimana penjelasannya lebih lanjut sebagai berikut:

Adat seperti ini soedah begitoe soesah sekali akan dioebah, apalagi atoeran ini roepa2nja soedah masoek kedalam toelang soemsoem bangsa kita inlanders. Mereka kebanjakan tjari menantoe (laki anaknja jang perempoen) tidak pilih orang itoe seperti kakek-kakek asal banjak kapital tjokoeplah soepaja boleh memeliharakan dia (mertoeanja). Dalam hal jang demikian itoe si bapa atau si iboe tadi tidak menimbang lebih djaoeh, adapoen segala hal jang tidak bersetodjoe dengan maksoed jang dikehendaki itoelah jang mendjadikan bahaja jang sangat besar bagi kehidupan anaknja.[21]

Menurut Bintang Pagi, kebiasaan menjodohkan anak wanita itu kebanyakan hanya akan membuat malu orang tua. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perceraian dan adanya perceraian ini merupakan aib bagi keluarga. Oleh karena itu Bintang Pagi menghimbau kepada para orang tua untuk tidak melakukan kawin paksa terhadap anak gadisnya.[22]

Pada edisi bulan Agustus 1916 itu juga surat kabar Poetri Mardika memuat tulisan dari Tioeng yang berjudul “Perempoean Boemipoetra”. Pada awal tulisannya Tioeng menjelaskan tentang ayat Al-Qur’an yang menyebutkan kedudukan kaum wanita. Adapun ayat itu berbunyi “Huna libasun lakum wa antum libasulahunna” yang artinya: kamu kaum laki-laki ingatlah, bahwa wanita itu sebagai pakaianmu dan kamu itupun sebagai pakaian wanita. Karena ayat tersebut maka Tioeng berpendapat bahwa wanita itu harus dikasihani, dihargai, dan diperbaiki nasibnya. Seperti juga pakaian, seorang wanita harus dijaga karena siapapun tidak mau  menggunakan pakaian yang buruk. Selain itu juga kaum laki-laki harus menjadi pakaian yang baik bagi kaum wanita. Selain itu, kaum laki-laki harus menghargai wanita sebagaimana ia menghargai dirinya sendiri.

Dari bunyi ayat tersebut di atas, Tioeng juga berpendapat bahwa derajat wanita tidak lebih rendah dari kaum laki-laki. Karena itu pula Tioeng mempertanyakan, mengapa wanita selalu diperlakukan dengan hina oleh kaum laki-laki seperti dalam rumah tangga, di mana kaum wanita selalu menjadi objek penderita? Menurutnya, apakah hal ini tidak menyimpang dari ajaran Islam, khususnya bunyi ayat tersebut di atas? Karena itulah maka Tioeng berpendapat bahwa saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memperjuangkan derajat kaum wanita. Dalam memperjuangkan derajat kaum wanita itu, kaum laki-laki hendaknya membantu mengupayakan tercapainya cita-cita yang hendak dicapai sebagaimana ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Wa’asjirohuna bil ma’ruf” yang artinya: berkumpul-kumpulah kamu, hai kaum laki-laki dan kaum wanita dengan memakai adat dan sopan santun. Dari ayat itu Tioeng menghimbau kepada kaum laki-laki dan wanita untuk melakukan kerja sama antar mereka untuk memperbaiki derajat dan martabat kaum wanita.[23]

Pada edisi bulan Maret 1917, surat kabar Poetri Mardika memuat tulisan Sd. Koesoemo yang berjudul “Perobahan Adat Istiadat Boemipoetra”. Dari judul tersebut terdapat sub judul “Tjara Memadjoekan Fihak Perempoean”. Menurut Sd. Koesoemo, keadaan wanita setelah adanya gerakan kesadaran wanita pada masa itu lebih baik dibandingkan dengan masa sepuluh tahun sebelumnya. Keadaan ini menunjukkan tanda-tanda adanya menuju perbaikan bagi wanita Indonesia. Semula, kedudukan wanita sangat rendah terutama karena adanya belenggu adat, tetapi dengan adanya pengajaran menurut Eropa (sekolah) maka lambat laun kedudukan wanita dapat diperbaiki. Meskipun Sd. Koesoemo tidak menyangkal bahwa sistem pengajaran Eropa (sekolah) ini sangat baik untuk memajukan para wanita Indonesia, ia menyarankan agar mereka tidak meninggalkan adat istiadat Bumiputera, karena tidak seluruh adat istiadat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah adat yang buruk dan harus ditinggalkan. Sd. Koesoemo kemudian menjelaskan sebagai berikut:

Akan menghilangken sifat bodoh, tidak lain adalah pengadjaran Eropalah jang misti dikedjar hingga terpegang. Pengadjaran Eropa memang saja ta’ sangkal memang bagoes sekali, tetapi adanja kita tidak tjotjok semuanja. Betoel djoega adat kita ada sebagian jang haroes diboeang, tetapi toch tidak semoeanja adat Eropa baik bagi kita.[24]     

Selanjutnya Sd. Koesoemo menjelaskan tentang pentingnya agama sebagai pegangan ketika wanita Indonesia menggunakan pengajaran Eropa. Menurutnya, pengajaran Eropa yang dipergunakan oleh kaum wanita harus berlandaskan ajaran agama Islam agar tidak bertentangan dengan zedelijkheid (budi pekerti) sehingga adanya kebebasan bagi wanita ini tidak ke luar dari garis batas kewajaran. Dalam hal ini Sd. Koesoemo, antara lain, menjelaskan sebagai berikut:

Kalau kita menggoenakan adat Eropa sepenoehnja adalah jang mendjadi pantangan agama Islam, ja’ni kemerdekaannja perempoean jang melangkah garis batasnja. Maka agama kita melarang keras kemerdekaan perempoean jang melangkah garis itoe, semata-mata mendjaga djangan sampe bertentangan dengan djatmikanja boedi pekerti.[25]

Menurut Sd. Koesoemo, adat, agama, dan pendidikan Eropa adalah hal yang sangat penting untuk memajukan wanita Indonesia. Adapun penjelasan Sd. Koesoemo tentang pentingnya adat istiadat, agama Islam, dan pendidikan Eropa itu dinyatakan lebih lanjut sebagai berikut:

Njatalah bagi kita sekarang bahwa adat, pengadjaran Eropa, dan agama Islam tidak tjampoer alias berlainan. Maka dari itoe harapan saja kepada saoedara2 perempoean soedilah memegang adat sendiri jang baik, pengadjaran Eropa ditoentoet, agama sendiri djangan dilaloekan. Kalo ketiga hal terseboet salah satoe tidak dipikirkan akan tersesal hidoepnja.[26]

Dari tulisan Sd. Koesoemo tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam memperjuangkan emansipasi wanita, terutama dalam aspek pendidikan, wanita Indonesia hendaknya bisa memilah-milah mana hal yang baik dan yang buruk terlebih dahulu, terutama memilah adat Bumiputera dan pendidikan Eropa (sekolah).

Surat kabar Poetri Mardika edisi bulan Desember 1920 akhirnya memuat tulisan tentang “adat istiadat”. Menurut pihak redaksi Poetri Mardika, lahirnya adat istiadat ini dihasilkan dari kebiasaan orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat. Selanjutnya pihak redaksi menyatakan bahwa:

Adat itoe hasil dari peri hidoep bersama dengan orang banjak, itoe memang tidak moedah, di sitoelah laloe timboel adat istiadat. Adat istiadat itoe tentoe ada pada sekalian bangsa, setiap bangsa poenja adatnja sendiri sendiri.[27]

Begitu pula bangsa Indonesia memiliki adat istiadat tersendiri. Menurut redaksi surat kabar Poetri Mardika, di antara adat kebiasaan bangsa Indonesia terdapat adat yang baik dan buruk. Adat istiadat yang buruk itu di antaranya adalah kebiasaan menyelir, memadu, pernyaian, selingkuh, menjodohkan anak-anak, dan sebagainya. Adat seperti inilah yang akan dihapuskan oleh organisasi Putri Mardika. Tindakan seperti itu, menurut pihak redaksi, merupakan aksi menentang adat istiadat yang buruk sebagai upaya untuk membela kehormatan bangsanya sendiri, karena bangsa Indonesia tidak suka bangsanya direndahkan oleh adat istiadatnya sendiri sesuai dengan pepatah “menjadi hormat negeri”. Pada bagian akhir tulisannya, pihak redaksi surat kabar Poetri Mardika mengajak seluruh anak negeri bangsa Indonesia untuk beramai-ramai menghapus adat istiadat yang buruk seperti yang tertulis di atas, sebelum adat tersebut menjadi darah-daging bagi bangsa Indonesia sendiri.[28]

 

Tentang Pendidikan dan Pengajaran

Surat kabar Poetri Mardika edisi bulan November 1915 memuat tulisan dari S. Djojopranoto, yang merupakan Wakil Presiden perkumpulan Putri Mardika. Artikel yang ditulisnya berjudul “Maksoed Oetama”, yang menjelaskan maksud perkumpulan Putri Mardika yang ingin mengangkat derajat dan martabat kaum wanita menuju kemajuan yaitu dengan memberikan kepandaian agar wanita Indonesia memiliki budi pekerti yang luhur sehingga sanggup melaksanakan peranannya, baik dalam keluarga, lingkungan, maupun bangsa dan negaranya.

Menurut S. Djojopranoto, perkumpulan Putri Mardika memiliki maksud yang utama yaitu mengajak wanita Indonesia untuk memiliki ilmu pengetahuan yang cukup, karena dengan ilmu pengetehuan itulah wanita akan sanggup untuk melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut S. Djodjopranoto memberikan penjelasan sebagai berikut:

Sepandjang pendapetan saja, kaoem perampoean itoe perloe sekali mengetahoei segala pengetahuan, kesampoernaan dan kepandaian, sebab perempoean itoe haroes mendapat koewadjiban roepa2, jaitoe no.1 haroes mengetahoei pada lakinja, no.2 mendidik anak2nja, no.3 mengetahoei keperloean roemah tangganja, dan no.4 haroes menjampaikan keadaan dan segala keperloean. Koewadjiban jang misti ditrima pada kaoem perempoean itoe djika tidak mempoenjai kepandaian atawa kesampoernaan, djaoeh sekali djika kaoem perempoean bisanja hanja menerima koewadjiban itoe.[29]

Dari pernyataan tersebut di atas, S. Djojopranoto sesungguhnya mengajak kepada seluruh wanita Indonesia untuk mendapatkan ilmu pengetahuan karena dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, wanita Indonesia akan memahami kewajibannya dalam rumah tangga, seperti mendidik anak-anaknya.

Pada bulan Februari 1916 surat kabar ini memuat tulisan dari Sd. Koesoemo (anggota perkumpulan Putri Mardika) yang membahas tentang maksud dari pergerakan wanita di Indonesia. Adapun tulisan Sd. Koesoemo itu berjudul “Maksoed dan Keadaannja Pergerakan Perempoean”. Pada awal tulisannya, Sd. Koesoemo membahas tentang fitrah manusia dalam menjalani kehidupan. Menurutnya, semua agama di dunia menginginkan agar manusia mengalami kesenangan di dalam hidupnya (tevredenheid), tetapi meski demikian segala sesuatu yang menimpa pada diri manusia harus diterima dengan senang hati.

Sehubungan dengan itu Sd. Koesoemo melihat bahwa wanita di Indonesia sudah menerima keadaan dirinya sesuai dengan kodratnya yaitu menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Tetapi apabila keadaan wanita yang nerimo ini disalahartikan oleh kaum laki-laki seperti adanya kebiasaan serong (selingkuh), menyelir, dan mewayuh (memadu) maka kaum wanita memiliki kewajiban untuk bergerak memperbaiki nasib dan kedudukannya dalam masyarakat. Pergerakan wanita ini tiada lain harus diawali dengan pendidikan dan pengajaran.[30]

Pada edisi bulan Maret 1916 surat kabar Poetri Mardika memuat artikel yang dikiriman oleh Man, nama samaran. Tulisan Man ini membahas tentang peranan dan jasa wanita yang besar yaitu dengan melihat perjuangan seorang ibu, sehingga ia memberi judul tulisannya, “Iboe”. Tulisan Man ini ditujukan untuk kaum laki-laki agar mereka menyadari kedudukan seorang wanita bagi umat manusia, sehingga kaum laki-laki memberi kebebasan bagi kaum wanita untuk mengembangkan diri melalui pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, kaum laki-laki semestinya menjadi guru-laki, yaitu menjadi seorang penuntun atau panutan bagi kaum wanita, seperti pernyataan Dr. Foerster (seorang ilmuwan Belanda) yang mengatakan bahwa kaum laki-laki memiliki kewajiban menolong dan melindungi kaum wanita.

Selain menjadi guru-laki bagi kaum wanita, seorang laki-laki juga memiliki kewajiban untuk menghormati, menjaga, memuliakan serta memberi kesempatan kepada kaum wanita dalam upaya mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki, terutama dengan memberikan kebebasan bagi kaum wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan.[31]

Pada bulan Juni 1916 surat kabar Poetri Mardika memuat kembali tulisan dari Sd. Koesoemo yang berjudul “Pendidik Diri Sendiri (Zelfopvoeding)”. Dalam tulisan itu disoroti tentang pentingnya ingatan dan perasaan (intelektual yang disertai dengan moral yang baik) bagi wanita yang ditujukan dalam mendidik keluarga untuk kemajuan bangsa Indonesia. Karena itu Sd. Koesoemo menekankan ditanamkannya ingatan dan perasaan tesebut di dalam jiwa seorang wanita Indonesia. Dengan adanya ingatan dan perasaan itu wanita Indonesia akan mampu mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik anak-anaknya. Seorang wanita harus memiliki ingatan dan perasaan yang kuat karena ia merupakan pendidik bagi generasi bangsa selanjutnya. Pendidikan yang utama adalah pendidikan dari keluarga karena, menurut Sd. Koesoemo, pendidikan di sekolah itu hanya piranti untuk mendapatkan kepandaian, sedangkan yang utama adalah pendidikan yang diberikan oleh ibunya (keluarga).

Dengan mendidik anak-anak secara baik, menurut Sd. Koesoemo, seorang wanita akan mampu mendidik anaknya dengan baik, yang juga berarti bahwa ia telah berhasil dalam mendidik diri sendiri. Hal ini menurut Sd. Koesoemo sebenarnya sejalan dengan pernyataan R.A. Kartini, seorang pejuang emansipasi wanita Indonesia, yaitu bahwa “Met het kind aanfardt de moeder haar toekomst” (bersama dengan anak-anak, maka seorang ibu menginjak jalan yang menuntun ke tempat di mana ia hidup kelak dengan masa depan yang baik).[32]

Surat kabar Poetri Mardika edisi bulan Juli 1916 memuat artikel tentang pergaulan yang juga ditulis oleh Sd. Koesoemo. Judul artikel itu adalah “Bertjampoer Gaoel (Vrijen Omgang)”. Pada awal tulisannya, Sd. Koesoemo masih membahas tentang kesalahan orang tua dengan adanya larangan sekolah bagi wanita. Dengan adanya larangan tersebut Sd. Koesoemo berpendapat bahwa pergaulan dalam sekolah tidak dilarang asalkan ditujukan untuk mencari ilmu dan bukan untuk bersenang-senang. Kemudian Sd. Koesoemo menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

Djadi, vrijen omgang jang kita (Poetri Mardika) maksoed tida sekali2 tjari kapling oentoek kesenangan main2, tapi oentoek beladjar. Dari itoe haroes dilakoekan pada waktoe dan tempat jang tida melanggar kesopanan.[33]

Di akhir tulisannya, Sd. Koesoemo berharap kepada kaum wanita dan para pembaca Poetri Mardika umumnya untuk ikut serta dalam memajukan kaum wanita, terutama dalam bidang pendidikan. Ajakan dari Sd. Koesoemo itu dinyatakan, antara lain, sebagai berikut:

Oleh karena itoe, agar soepaja pergerakan alam perempoean dapat berdjalan selamat dan koewat, haraplah sekalian saoedara pemoeda perempoean dan laki2 memperhatikan betoel apa jang dimaksoed dalam vrijen omgang dan bagaimana boleh melakoekannja. Haraplah mengerti bahoewa orang perempoean haroes menoentoet ilmoe kepandaian, djadi masoek dalam kemadjoean.[34]

Pada edisi bulan Juli 1917, surat kabar Poetri Mardika masih memuat tulisan Sd. Koesoemo yang berjudul “Probahan Ingetan Boemipoetra atas Alam Perempoean”. Dalam tulisannya itu Sd. Koesoemo membahas tentang perubahan-perubahan besar yang terjadi pada kaun wanita setelah 5 tahun ke belakang. Pada awalnya, wanita Indonesia dianggap sebagai perkakas dapur, tetapi setelah adanya pendidikan, kaum laki-laki mulai  menghargai keberadaan kaum wanita. Menurut Sd. Koesoemo, perubahan yang besar menuju perbaikan kedudukan kaum wanita itu terlihat dari banyaknya surat kabar yang memuat tulisan tentang usaha-usaha kaum wanita dalam memperjuangkan kemajuannya.

Dalam tulisan itu juga Sd. Koesoemo menyatakan bahwa penghormatan terhadap kaum wanita mulai tersiar di seluruh kalangan bumiputera. Dengan adanya kesempatan yang lebih baik ini, Sd. Koesoemo mengharapkan agar seluruh wanita Indonesia terus memperjuangkan kedudukannya dalam masyarakat. Selain itu, Sd. Koesoemo juga menghimbau kepada seluruh penerbit yang didirikan oleh perkumpulan-perkumpulan wanita untuk terus memperjuangkan emansipasi wanita. “Sepengetahuan saja”, demikian Sd. Koesoemo menyatakan, “segala perobahan-perobahan itoe adalah lantaran dari soeara kita, semoeanja jang sering kali terbatja dalam soerat kabar, karena itu teroeskan perdjuangan kita melaloei soerat kabar ini”.[35]

 Tentang Kedudukan Wanitadalam Perkawinan

Pada edisi bulan Agustus 1917, surat kabar Poetri Mardika memuat tulisan Tjipto Rahardjo yang berjudul “Perihal Pemandangan Laki Isteri (I)”. Dalam tulisannya itu ia membahas tentang aturan-aturan yang terdapat dalam rumah tangga. Menurut Tjipto Rahardjo, seorang suami dan seorang isteri memiliki kedudukan yang sama dalam keluarga. Karena itu mereka harus saling mencintai, percaya, menghargai, menghormati, dan tolong-menolong. Selain itu juga, seorang suami harus memikirkan kemajuan isteri. Ia harus berpikir bahwa di dalam rumah tangga, peranan isteri sangatlah penting, terutama dalam mendidik anak-anaknya yang merupakan penerus keluarga. Oleh karena itu seorang isteri harus memiliki kepandaian.

Dalam tulisan itu Tjipto Rahardjo menekankan tentang pentingnya pendidikan bagi kaum wanita dalam rumah tangga dengan membuat pernyataan retoris sebagai berikut: “Bagaimana pehak poetry dapat mendjalankan kewadjibannja dengan sempoerna, kalau mereka itoe tida pandai??? Kepandaian bagi poetry sekarang ini soedah moesti”.[36] Dari hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa pada saat itu sudah terdapat kesadaran dari kaum laki-laki akan pentingnya pendidikan seorang isteri.

Kemudian pada edisi bulan September 1917 surat kabar Poetri Mardika masih memuat tulisan bersambung dari Tjipto Rahardjo yang berjudul “Perihal Pemandangan Laki Isteri (II)”. Dalam tulisannya itu ia menjelaskan tentang pernyaian, yaitu pernikahan antara wanita Indonesia dengan orang asing (Belanda, Cina, dan sebagainya). Nyai, menurut Tjipto Rahardjo, adalah “isteri dari bangsa asing jang tiada sjah atas perkawinannja, lebih njata lagi perkawinan itoe tida diketahoei oleh penghoeloe (menoeroet adjaran Islam)”.[37] Dalam pandangannya, wanita yang menjadi nyai itu biasa dikatakan merupakan wanita tidak terpelajar yang hadir dari kalangan kromo (kelas bawah). Keberadaan nyai-nyai ini merupakan hal yang menyebabkan rendahnya derajat wanita. Menurut Tjipto Rahardjo, wanita nyai ini hanya menginginkan harta saja, seperti yang dijelaskannya lebih lanjut sebagai berikut:

Kebanjakan orang jang diseboet njai itoe orang jang hina, ja, hina karena kasar boedinja. Lagi poela pada awal moelanja orang jang soeka djadi njai itoe, terikat dari keinginan harta benda. Nach, maoe dimana lagi, seorang jang bodoh dan melarat! Siapakah jang tida soeka pada doewit? Pakaian bagoes? Kami rasa semoea orang soeka! Itoe dia boeat orang jang bodoh, melarat, dan lemah fikirannja tentoe sadja dengan moedah berobah hatinja, menjeboer pada tempat jang membikin hina pada diri dan bangsanja; mareka itoe tiada akan sjak lagi mengeloearkan dirinja dari kalangan bangsanja, meskipoen dirinja itoe mendjadi riwajat doenia selama-lamanja, asal sadja mareka itoe dapat memoeaskan hawa nafsoenja.[38]

Menurut Tjipto Rahardjo, adanya pernyaian dalam masyarakat Indonesia itu disebabkan karena kurangnya pendidikan bagi kaum wanita di Indonesia. Ini terlihat dari penjelasannya bahwa: “[…] Kami tida akan heran lagi nasibnja kaum kromo terseboet, hal ini disebabkan kebodohannja karena tida mengindjak bangkoe sekolah”.[39] Oleh karena itu, Tjipto Rahardjo mengajak kepada wanita Indonesia untuk memperbaiki derajat wanita Indonesia dengan cara mengenyam pendidikan di sekolah. Dengan adanya pendidikan, wanita Indonesia akan memahami betapa rendahnya kedudukan seorang nyai itu.

Selain membahas tentang pernyaian, Tjipto Rahardjo juga membahas tentang kedudukan wanita dalam rumah tangga. Menurutnya, wanita Indonesia akan mendapat kedudukan yang baik dalam rumah tangganya jika ia mempunyai pendidikan yang cukup. Pendidikan ini diperoleh atas dudukngan sang suami. Menurut Tjipto Rahardjo, wanita Indonesia lebih terhormat jika menikah dengan kaum laki-laki bangsa sendiri dari pada menjadi nyai-nyai bagi orang asing. Dengan menikah dengan kaum laki-laki dari kalangan bangsa sendiri, kaum wanita masih memiliki penghargaan dari masyarakat. Sedangkan jika menjadi nyai, maka masyarakat akan selamanya menganggap rendah terhadap derajat wanita tersebut. Karena itulah kebiasaan menjadi nyai ini harus segera dilenyapkan. Tjipto Rahardjo kemudian memberikan penjelasan sebagai berikut:

Selama adat istiadat jang demikian itoe masih melekat pada hati sanoebarinja kaoem kita, kami berani tanggung akan menambah lambat kemadjoeannja kaoem kita, poetri. Tabiat jang demikian ini (mendjadi nyai) akan selamanja mendjadi moesoeh kaoem poetri karena aken menghilangken sekoerang2nja merendahkan deradjat kaoem poetri. Seharoesnja mereka itoe (kaoem poetri) berdaja oepaja menjirnakan moesoehnja tadi. Pergerakan ini telah mistinja, sebab barang siapa sakit, tentoe mentjari obatnja.[40]

Dari tulisan di atas, Tjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa betapa masih rendahnya pendidikan bagi kaum wanita, terutama dari kalangan kromo. Menurutnya, pendidikan yang kurang bagi kaum wanita ini menyebabkan mereka melupakan derajatnya, terutama dengan menjadi nyai bagi orang Barat. Karena itulah Tjipto Rahardjo kemudian mengajak agar kaum wanita Indonesia mau belajar di bangku sekolah untuk  memperbaiki kedudukannya dalam masyarakat.

 

Penutup

Gerakan kaum wanita dalam memperjuangkan emansipasinya pada masa pergerakan nasional Indonesia dilakukan dengan membentuk perkumpulaan-perkumpulan wanita sebagai wadah perjuangannya. Dan Putri Mardika adalah salah satu organisasi yang dibentuk pada tahun 1912 untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita tersebut.

Dalam perjuangannya, perkumpulan wanita ini menggunakan surat kabar sebagai salah satu alat perjuangan emansipasi wanita di mana surat kabar itu digunakan sebagai alat praktis dalam pendidikan dan pengajaran serta sebagai alat penyebar gagasan tentang emansipasi wanita.

Jika dilihat dari keanggotaan dan kepengurusan perkumpulan Putri Mardika, ataupun dalam dewan redaksi surat kabar Poetri Mardika, ternyata terdapat kaum laki-laki. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa perjuangan emansipasi wanita ternyata mendapat perhatian khusus dari kaum laki-laki di mana mereka dapat bekerja sama dalam memperjuangkan emansipasi wanita, yaitu memperjuangkan persamaan hak dalam beberapa aspek kehidupan seperti kedudukan sosial, serta hak memperolah pendidikan dan pengajaran.

 

Daftar Pustaka

“Adat Istiadat” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Desember 1920.

Djojopranoto, S.. 1915. “Maksoed Oetama” dalam Poetri Mardika. Jakarta: November.

Koedering, Joeng. 1916. “Kelakoean Hina” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Agustus.

Koesoemo, Sd.. 1916. “Maksoed dan Keadaannja Pergerakan Perempoean” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Pebruari.

Koesoemo, Sd.. 1916. “Pendidik Diri Sendiri (Zelfopvoeding)” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Juni.

Koesoemo, Sd.. 1916. “Bertjampoer Gaoel (Vrijen Omgang)” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Juli.

Koesoemo, Sd.. 1917. “Perobahan Adat Istiadat Boemipoetra” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Maret.

Koesoemo, Sd.. 1917. “Perobahan Ingetan Boemipoetra atas Alam Perempoean” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Juli.

Man. 1916. “Iboe” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Maret.

Pagi, Bintang. 1916. “Perobahan Zaman” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Agustus.

“Peroebahan Alam Perempoean” dalam Poetri Mardika. Jakarta: September 1915.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed.). 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Pr. 1915. “Adat jang Haroes Kita Lenjapkan” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Juli.

Rahardjo, Tjipto. 1917. “Perihal Pemandangan Laki Isteri (I)” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Agustus.

Rahardjo, Tjipto. 1917. “Perihal Pemandangan Laki Isteri (II)” dalam Poetri Mardika. Jakarta: September.

Suwirta, Andi. 2001. Revolusi Indonesia dalam News and Views: Sebuah Antologi Sejarah. Bandung: Penerbit Suci Press.

Tioeng. 1916. “Perempoean Boemipoetra” dalam Poetri Mardika. Jakarta: Agustus.

Utami, Ratna. 2001. “Pandangan dan Peranan Surat Kabar Bulanan Poetri Mardika dalam Memperjuangkan Emansipasi Wanita di Indonesia, 1915-1920”. Skripsi Sarjana Tidak Diterbitkan. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

Surat Kabar:

Poetri Mardika. Jakarta: 1915-1920.

 

 

 

*

[1]Andi Suwirta, Revolusi Indonesia dalam News and Views: Sebuah Antologi Sejarah (Bandung: Penerbit Suci Press, 2001), hlm.1-5.

[2]Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1993), hlm.240.

[3]Lihat Poetri Mardika, No.9, Th.IV (Jakarta: September 1917), hlm.90.

[4]Poetri Mardika, No.5, Th.II (Jakarta: Agustus 1915), hlm.1.

[5]Poetri Mardika, No.5, Th.II (Jakarta: Agustus 1915), hlm.46.

[6]Poetri Mardika, No.5, Th.II (Jakarta: Agustus 1915).

[7]Lihat Poetri Mardika, No.10, Th.V (Jakarta: Oktober 1919).

[8]Poetri Mardika, No.8, Th.II (Jakarta: Agustus 1915).

[9]Andi Suwirta, 2001, Op.Cit., hlm.5-8.

[10]Poetri Mardika, No.7, Th.IV (Jakarta: Juli 1917).

[11]Poetri Mardika, No.Edisi Ekstra (Jakarta: 1920), hlm.7.

[12]Ibid..

[13]Ibid..

[14]Poetri Mardika, No.1, Th.V (Jakarta: Januari 1918), hlm.1.

[15]Lihat Poetri Mardika, No.Edisi Ekstra (Jakarta: 1920), hlm.6.

[16]Ibid., hlm.7.

[17]Lihat Pr, “Adat jang Haroes Kita Lenjapkan” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Juli 1915), hlm.43.

[18]Lihat “Peroebahan Alam Perempoean” dalam Poetri Mardika (Jakarta: September 1915), hlm.58.

[19]Ibid..

[20]Joeng Koedering, “Kelakoean Hina” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Agustus 1916), hlm.79.

[21]Bintang Pagi, “Perobahan Zaman” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Agustus 1916), hlm.83.

[22]Ibid..

[23]Tioeng, “Perempoean Boemipoetra” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Agustus 1916).

[24]Lihat Sd. Koesoemo, “Perobahan Adat Istiadat Boemipoetra” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Maret 1917), hlm.28.

[25]Ibid., hlm.29.

[26]Ibid..

[27]Lihat “Adat Istiadat” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Desember 1920), hlm.101.

[28]Ibid., hlm.111.

[29]Lihat S. Djojopranoto, “Maksoed Oetama” dalam Poetri Mardika (Jakarta: November 1915), hlm.78.     

[30]Lihat Sd. Koesoemo, “Maksoed dan Keadaannja Pergerakan Perempoean” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Pebruari 1916).     

[31]Man, “Iboe” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Maret 1916), hlm.27.     

[32]Lihat Sd. Koesoemo, “Pendidik Diri Sendiri (Zelfopvoeding)” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Juni 1916).     

[33]Lihat juga Sd. Koesoemo, “Bertjampoer Gaoel (Vrijen Omgang)” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Juli 1916), hlm.70.     

[34]Ibid., hlm.71.

[35]Lihat Sd. Koesoemo, “Probahan Ingetan Boemipoetra atas Alam Perempoean” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Juli 1917).     

[36]Tjipto Rahardjo, “Perihal Pemandangan Laki Isteri (I)” dalam Poetri Mardika (Jakarta: Agustus 1917), hlm.77.     

[37]Tjipto Rahardjo, “Perihal Pemandangan Laki Isteri (II)” dalam Poetri Mardika (Jakarta: September 1917).

[38]Ibid., hlm.88. Huruf tebal sesuai dengan aslinya.

[39]Ibid.. Cetak miring dari saya.

[40]Ibid., hlm.88.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *