Pengembangan Social & Academic Skills melalui Model Social Inquiry dalam Interaksi Belajar-Mengajar Sejarah

Oleh: Hansiswany Kamarga

Abstrak:

Kebanyakan orang menganggap bahwa sejarah adalah ilmu yang unik. Sejarah memang unik, sebab belajar sejarah memaksa orang untuk kembali pada masa yang telah lalu. Dengan demikian maka orang yang akan belajar sejarah harus dapat mempersepsikan masa lalu ke dalam pikirannya. Seringkali hal ini dirasakan sulit, sebab ukuran yang ada dalam pemikiran seseorang adalah ukuran masa kini, sedangkan tinjauan terhadap substansi (content) adalah tentang masa lalu dan hal itu harus dapat diterima dan dipahami oleh orang yang mempelajari sejarah. Membagi pikiran seseorang ke dalam dua dimensi waktu merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh orang yang belajar sejarah.

Kata Kunci : sejarah, dimensi waktu, model pembelajaran

Pendahuluan

Belajar sejarah berarti mempelajari substansi yang melibatkan konsep ruang tempat (space) dan konsep ruang waktu (time). Kajian terhadap peristiwa sejarah yang tidak pernah lepas dari kedua unsur tersebut menggambarkan betapa pentingnya kedua konsep tersebut. Banks (1985 : 136) mengatakan, jika garis waktu akan membantu untuk memahami konsep waktu, maka peta dunia akan membantu memahami konsep ruang. Justru di sini terlihat bahwa studi sejarah berkaitan dengan kedua unsur tersebut, sebagaimana diungkapkan Lucey (1984 : 11)…time and place what make history particularize and what make the social activities of man unique. Unsur spasial memberikan arti tempat suatu peristiwa terjadi, sedangkan unsur waktu menuntun kita kepada bilamana peristiwa tersebut terjadi, sedangkan kajian terhadap sejarah merupakan analisis dari fakta yang melibatkan konsep ruang dan waktu terhadap kepentingan kehidupan masa kini.

Sangat kuat anggapan di kalangan siswa bahwa belajar sejarah tidak lain dari belajar menghafal fakta-fakta. Pandangan yang demikian menyebabkan munculnya sikap yang memperlihatkan rasa bosan, tidak tertarik pada bidang sejarah, dan merasa belajar sejarah sebagai beban yang tidak ada gunanya. Berkaitan dengan hal tersebut, Hertzberg mengemukakan terdapat tiga aspek dalam mempelajari perubahan waktu yakni (a) peserta didik memasuki waktu dan tempat di masa lampau di mana manusia hidup pada masa itu, (b) adanya hubungan sebab-akibat, dan (c) perkembangan sejarah dalam jangka panjang (periodisasi). Ketiga aspek ini menjadi dasar untuk mempelajari masa lampau dan keterampilan yang perlu untuk dikembangkan adalah :

  1. Keterampilan dalam memahami interpretasi sejarah;
  2. Keterampilan dalam menggunakan sumber primer;
  3. Keterampilan dalam melihat hubungan antara kemanusiaan dengan kajian-kajian sosial yang lain (Hertzberg, 1985 : 26-30).

Atas identifikasi Hertzberg terhadap keterampilan yang diperlukan dalam belajar sejarah, maka belajar sejarah bukan hanya sekedar menghafal fakta-fakta, tetapi cenderung kepada melihat keterhubungan antara apa yang terjadi di masa lampau dengan kondisi masa kini agar kemudian peserta didik menjadi lebih bijaksana, seperti ungkapan belajar dari sejarah. Dengan demikian, dalam belajar sejarah diharapkan siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis terhadap fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya maupun yang terjadi di kawasan yang lebih luas.

Berdasarkan kondisi belajar sejarah yang tidak sesuai dengan tujuan seperti yang telah dikemukakan di muka, maka kemudian diidentifikasi suatu permasalahan yakni bagaimana bentuk kegiatan belajar mengajar sejarah yang tidak hanya memaksa siswa menghafal fakta-fakta, tetapi dapat mengembangkan berpikir kritis ?

Permasalahan ini dicoba untuk diuraikan dalam tulisan ini yang menitikberatkan pada pembahasan model belajar mengajar yang dikembangkan lebih mengarah kepada proses penemuan oleh peserta didik (inkuiri). Bentuk kegiatan belajar mengajar ini membawa implikasi baik terhadap guru maupun terhadap siswa, yakni (a) guru dituntut untuk juga memperhatikan nurturant effect disamping menekankan pada aspek instructional effect, (b) siswa dituntut untuk lebih aktif dalam proses belajar mengajar, bahkan berusaha untuk mencoba memecahkan masalah yang ditemui melalui content sejarah. Diharapkan melalui proses interaksi belajar mengajar yang demikian, akan berubah pandangan negatif (terutama dari pihak siswa) terhadap mata pelajaran sejarah.

Belajar Sejarah untuk Memperluas Wawasan Sosial

Apabila dalam ungkapan dikatakan bahwa manusia mampu memperbaiki kehidupannya karena belajar dari sejarah, maka tujuan siswa mempelajari sejarah adalah untuk membentuk pandangan ini dan pikiran kritis berdasarkan pengertiannya terhadap peristiwa-peristiwa sejarah agar dapat digunakan dalam kehidupannya sekarang maupun pada masa yang akan datang.

Banks (1985 : 226-227) mengemukakan, mempelajari sejarah tidak hanya mempelajari apa yang tersurat dalam buku-buku sejarah atau produk terhadap sejarah, tetapi bagaimana memecahkan masalah sejarah tersebut melalui metodologi sejarah. Dengan menggunakan metodologi sejarah, siswa berusaha untuk melakukan generalisasi peristiwa-peristiwa sejarah agar dapat memahami perilaku manusia di masa lampau, masa sekarang, dan memprediksi perilaku manusia di masa yang akan datang. Dengan demikian siswa dapat memahami mengapa kehidupan manusia selalu berubah (tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan).

Studi sejarah dapat berarti sesuatu yang berbeda dengan melibatkan orang yang berbeda. Dengan demikian belajar sejarah meliputi arti memperoleh pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah, memperoleh pengertian atau gambaran tentang manusia dalam periode waktu di masa lampau, memperoleh kemampuan evaluasi dan kritik terhadap karya tulis sejarah, belajar teknik penelitian sejarah, dan belajar bagaimana menulis sejarah (Garvey & Krug, 1977 : 1-2). Di sini tampak bahwa pembelajaran sejarah tidak hanya menghafal fakta-fakta, tetapi lebih kepada mencoba untuk mengarahkan siswa berpikir kritis dalam rangka memperluas wawasan siswa terhadap kehidupan bermasyarakat. Sejarah tidak dapat dipisahkan dari kajian sosial yang lain. Dalam mempelajari sejarah, lebih ditekankan siswa berperan sebagai “sejarawan” di mana pengertian tentang peristiwa sejarah diperoleh melalui metodologi sejarah seperti yang ditekankan oleh Garvey & Krug di atas.

  • Pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah

Apabila belajar sejarah berarti mencoba untuk mengetahui kejadian pada masa lampau, maka pengetahuan mengenai fakta dapat diperoleh :

  1. Melalui seleksi. Tentu dengan keterampilan di mana siswa menggunakan pengetahuan dan kecerdasannya. Masalah sejarah kadang-kadang dapat timbul sebagai ledakan informasi. Kemampuan siswa menyeleksi informasi yang didasarkan atas pengetahuannya tentang peristiwa sejarah merupakan keterampilan dalam mempelajari sejarah. Seleksi dapat dilakukan dengan pembatasan kajian sejarah hanya dalam tinjauan politis, tetapi seiring perkembangan manusia dengan pengetahuannya, tinjauan sejarah berkembang melalui pendekatan ekonomi dan sosiologi. Perkembangan ini menyebabkan sejarah tidak lagi dapat dipandang sebagai ilmu hafalan, sebab telaah interdisipliner merupakan tuntutan baru dalam kajian sejarah.
  2. Melalui pengembangan konsep fakta sejarah. Fakta harus bersumber dari evidensi. Pengenalan terhadap sejarah non-politis menyebabkan guru beralih kepada fakta-fakta yang terdapat di sekitar siswa, seperti contohnya apa yang terjadi di masyarakat ?, bagaimana masyarakat dipengaruhi ?, bagaimana kehidupan masyarakat dalam satu kurun periode tertentu (ditinjau dari aspek ekonomi, agama, atau organisasi budaya) ?. Fakta yang diperoleh bersifat umum (general) dan mengacu pada sejarah sosial. Hal ini memerlukan keterampilan interpretasi bagi siswa.
  • Mengerti tentang masa lampau

Mengerti tentang masa lampau berarti tidak membatasi pengetahuan faktanya dan memiliki imajinasi serta pengertian analisis dalam perkembangan peristiwa sejarah. Bagi guru sejarah, nilai pendidikan berhubungan dengan keterampilan mengerti sejarah. Bagaimana mengerti tentang masa lalu ?

  1. Berminat terhadap pengertian waktu dan identifikasi atau analisis terhadap perubahan / perkembangan. Sejarah selalu berada dalam konsep waktu dan ruang sehingga setiap kajian tentang peristiwa sejarah tidak dapat lepas dari konsep waktu dan konsep ruang.
  2. Mempunyai kemampuan imajinasi dan penggambaran. Menggunakan imajinasi tujuannya adalah untuk mengerti tentang masa lalu. Biasanya sebelum mengembangkan imajinasi, siswa diajak untuk berpikir, kemudian menggambarkan apa yang dipikirkannya. Setelah siswa dapat memberi gambaran, ia diajak untuk mengembangkan imajinasi terhadap penggambarannya tersebut.
  3. Memahami bahwa masa lalu dan masa sekarang hanya dapat dimengerti bila siswa telah memahami peristiwa sejarah, kemudian siswa menganalisis peristiwa tersebut dalam satu kesatuan (periode) yang utuh.
  • Membaca kritis

Membaca kritis mengacu pada pengertian bahwa siswa tidak boleh langsung percaya terhadap suatu kajian sejarah hanya dengan membaca satu buku atau sumber saja. Siswa harus melakukan komparasi terhadap buku yang dibacanya. Dalam hal ini tugas guru adalah membantu siswa dalam membaca, menemukan logika, melakukan kritik, sehingga apa yang dibaca oleh siswa dapat memberi makna yang utuh.

  • Penelitian sejarah

Penelitian sejarah merupakan proses belajar yang sangat mendalam bagi siswa. Sejak dari mengumpulkan fakta sampai kepada interpretasi dari apa yang ditemui (diteliti) oleh siswa, mencerminkan bahwa belajar sejarah bukan hanya menghafal fakta-fakta. Keterampilan dan kemampuan yang dikembangkan meliputi kemampuan membaca, keterampilan menyeleksi sumber, keterampilan menginterpretasi data dan sumber, serta keterampilan melakukan kritik terhadap data dan sumber. Semua yang dilakukan ini mengacu kepada metodologi sejarah.

  • Menulis sejarah

Setelah siswa mampu menganalisis dan menginterpretasi peristiwa sejarah, kemudian dikembangkan belajar sejarah dengan cara menulis karya sejarah. Menulis sejarah tidak berarti mengkompilasi sumber atau data, tetapi siswa dilatih untuk mengeksplanasi (memberikan keterangan / penjelasan / narasi) hasil penelitian sejarahnya. Eksplanasi diperlukan sebab penyimak sejarah hidup pada masa kini dan belum tentu memahami budaya masyarakat masa lalu. Menulis dalam pelajaran sejarah bagi siswa merupakan elemen penting dalam belajar sejarah, sebab bila siswa telah memiliki kemampuan menulis maka berarti ia sudah dapat mengerti apa itu sejarah.

Mengembangkan Berpikir Kritis

Menurut Tyler, berpikir diartikan sebagai mencari dua atau lebih gagasan, bukan hanya sekedar mengingat atau mengulang. Berpikir dapat berupa berpikir induktif, deduktif, atau logis, yang semua ini mengacu kepada berpikir kritis. Bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah, maka selayaknya dibangun suasana sehingga siswa berpikir dengan cara bertahap : merasa menghadapi kesulitan – menganalisis kesulitan tersebut – mencari fakta-fakata yang relevan – memformulasi hipotesis – tes terhadap hipotesis – mencoba untuk menarik kesimpulan (Tyler, 1949 : 68 – 75).

Berpikir kritis adalah proses menguji dan menganalisis informasi dan menggambarkan atau menarik kesimpulan tentang validitas informasi tersebut. Menurut Kurfiss (1988), berpikir kritis termasuk kemampuan untuk menggambarkan pendapat berdasarkan observasi; mengevaluasi kredibilitas dan reliabilitas sumber, mengidentifikasi gagasan utama, asumsi-asumsi yang mendasari dan kesalahan-kesalahan logis; mensintesis gagasan dan interpretasi; mengembangkan argumen yang kuat dalam menyokong validitas thesis; dan mengelompokkan pertanyaan atau eksperimen untuk menguraikan sesuatu yang belum diketahui secara pasti (Brent & Felder, 1992 : 48).

Dalton (1990 : 31-33) mengemukakan aspek-aspek pengembangan keterampilan berpikir kritis meliputi :

  • Perencanaan :

merupakan kemampuan mengorganisasi untuk memperoleh solusi, melalui langkah-langkah identifikasi masalah, sadari adanya keterbatasan, temukan alternatif, organisasi waktu-material-sumber, kembangkan rencana secara rinci, lihat kemungkinan munculnya masalah lain. Sebagai contoh perencanaan terhadap kajian peristiwa sejarah (satu peristiwa tertentu)

  • Meramalkan :

Kemampuan untuk memprediksi, termasuk di dalamnya akibat atau efek yang muncul dari situasi melalui langkah-langkah kembangkan hipotesis, pertimbangkan semua kemungkinan akibat / efek, perhatikan kualitas setiap prediksi, memutuskan prediksi yang terbaik. Sebagai contoh penggunaan kata “kalau” dalam kajian salah satu peristiwa sejarah (if history)

  • Komunikasi :

Merupakan kemampuan mengekspresikan pikiran dan gagasan. Komunikasi merupakan dasar sehingga perlu untuk dikembangkan dan digunakan dalam berpikir kritis. Kategori komunikasi antara lain klasifikasi, deskripsi / diskusi, komparasi dan keterhubungan, komunikasi non verbal, organisasi kalimat dalam rangka membangun pikiran.

  • Membuat keputusan :

Merupakan aspek keterampilan yang sulit untuk dilakukan, sebab terkandung di dalamnya berbagai aspek yang harus dipertimbangkan (termasuk konsekuensi). Salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan ini adalah memberikan solusi atau alternatif terhadap keputusan dengan disertai alasan yang logis. Dengan demikian konsekuensi atau resiko yang dihadapi dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan alasan tersebut.

  • Evaluasi :

Merupakan kemampuan untuk menimbang gagasan yang logis, melihat atas dasar dapat dicapai atau tidak dapat dicapai. Semua ini didasari pertimbangan terhadap semua aspek situasi, isu dari sudut pandang yang berbeda, memilah prioritas, membedakan fakta dan opini, memberi alternatif berdasarkan prioritas dan nilai.

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Dalton di atas, salah satu karakteristik yang perlu untuk diperhatikan dalam rangka mengembangkan berpikir kritis adalah menghindari kebiasaan mengingat dengan cara menghafal. Jika siswa menghadapi informasi dan dibiasakan dengan cara rote learning (repeated study using memory rather than understanding) maka menurut Tyler (1949 : 72-73) yang terjadi adalah (a) tingkat kelupaan lebih besar, (b) organisasi terhadap informasi sangat parsial, (c) informasi yang diperoleh samar-samar (tidak mendalam), dan (d) pengetahuan yang diperoleh terbatas hanya pada informasi yang diperoleh.

Agar siswa tidak terbawa dalam kondisi yang demikian, maka content sejarah sebaiknya memiliki kecenderungan merangsang siswa untuk bertanya. Melalui content, siswa tergugah untuk secara aktif mengolah informasi. Overholser (1992 : 14) mengatakan bahwa informasi yang diterima oleh siswa akan tidak bermakna apabila tidak disertai berpikir kritis. Ia menyarankan agar guru membantu siswa dalam hal selfdiscovery karena hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap belajar dalam tingkat yang mendalam. Belajar dalam tingkat demikian cenderung untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang segala sesuatu (Brend & Felder, 1992 : 46). Dalam hal ini Dalton (1990 : 39-43) memberikan solusi melalui strategi bertanya divergen. Menurut Dalton, keterampilan bertanya divergen adalah keterampilan bertanya yang open-ended. Dalam hal ini jika dihadapkan pada suatu masalah, siswa dapat mengeksplorasi masalah tersebut melalui pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya divergen, sehingga akan terbentuk suatu pemikiran lain (pemikiran yang kreatif) untuk menjawab permasalahan tersebut. Apabila siswa dibiasakan oleh guru mengembangkan pertanyaan yang sifatnya divergen, maka proses berpikir siswa akan berkembang lebih jauh dan mendalam, tidak hanya sekedar menerima fakta dan menghafal fakta yang diberikan oleh guru. Di sini peran guru sangat menentukan untuk membimbing proses pembelajaran lebih terbuka dan kreatif.

Model Social Inquiry sebagai Salah Satu Pendekatan dalam Belajar Sejarah

Pendekatan dengan model social inquiry lebih menekankan pada proses yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan lebih daripada pengetahuan itu sendiri. Proses untuk memperoleh pengetahuan digunakan oleh siswa untuk memperoleh fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan (Banks, 1985 : 67). Tujuan utama dalam menggunakan pendekatan social inquiry adalah untuk membangun teori-teori. Oleh sebab itu harus diformulasikan fakta, konsep, dan generalisasi dalam rangka membangun teori. Teori ini kemudian digunakan untuk mengerti, menerangkan, memprediksi, dan mengontrol perilaku masyarakat. Social inquiry didasarkan pada sejumlah asumsi tentang sifat dunia dan tentang kemanusiaan (Banks, 1985 : 67).

Menurut Joice & Weil (1972 : 62-74), model social inquiry ini dilakukan melalui enam tahap yakni orientasi, hipotesis, definisi, eksplorasi, evidensi, dan generalisasi. Model ini menurut Joice & Weil tidak dapat diterapkan pada semua jenjang pendidikan, lebih ditekankan pada jenjang pendidikan menengah ke atas. Hal ini dapat dipahami, sebab hypothetical solutions hanya dapat dilakukan pada siswa sekolah menengah yang taraf berpikirnya sudah sampai pada fase abstrak. Bertolak belakang dari pendapat Joice & Weil ini, Banks (1985 : 81) mengatakan bahwa pendekatan melalui model ini dapat dilakukan sejak siswa berada pada jenjang sekolah dasar, hanya penekanannya tidak pada langkah-langkah inquiry melainkan lebih kepada memperkenalkan fakta, konsep, dan generalisasi. Ketiga hal ini dikembangkan melalui strategi bertanya, artinya dalam proses pembelajaran siswa dikondisikan untuk bertanya sehingga kemampuan berpikir kritis sudah mulai dikembangkan sejak pendidikan dasar dan kemampuan social inquiry dikembangkan lebih lanjut pada jenjang yang lebih tinggi.

Menurut Banks, langkah-langkah pada social inquiry adalah sebagai berikut : (a) formulasi masalah, (b) formulasi hipotesis, (c) definisi terhadap konsep, (d) mengumpulkan data, (e) evaluasi dan analisis data, dan (f) uji terhadap hipotesis.

  1. Formulasi masalah

Masalah sosial yang akan dikaji didahului dengan memformulasikan pertanyaan yang sifatnya ilmiah. Pertanyaan ilmiah harus merupakan pertanyaan yang lengkap, tepat, dan dapat diukur. Sebagai contoh, pertanyaan bagaimana sikap siswa ? bukan merupakan pertanyaan ilmiah sebab pertanyaan tersebut tidak dapat menjawab tentang ukuran siswa yang mana dan ukuran terhadap sikap mengenai apa. Pertanyaan ilmiah dapat dilengkapi menjadi bagaimana sikap anak-anak Amerika jaman kolonial terhadap persekolahan ?. Dari pertanyaan ilmiah ini dapat diidentifikasi formulasi masalah yang akan dikaji. Menurut Banks, keterampilan membuat pertanyaan-pertanyaan ilmiah inilah yang dapat dikembangkan dan secara sistematik mulai diajarkan pada siswa sekolah dasar, bahkan pada siswa taman kanak-kanak (Banks, 1985 : 70).

Sebagai contoh, permasalahan yang diungkapkan oleh guru yakni banyak buku-buku sejarah Amerika mengungkapkan peran laki-laki dibandingkan dengan peran perempuan. Melalui kajian dengan berbagai pertanyaan, kemudian siswa membuat pertanyaan ilmiah : mengapa lebih banyak nama laki-laki daripada nama perempuan yang terdapat dalam buku-buku sejarah Amerika ?

  1. Formulasi hipotesis

Setelah memformulasikan masalah melalui pertanyaan ilmiah, kemudian dibuat pernyataan tentatif sebagai penuntun pelaksanaan inquiry. Pernyataan tentatif inilah yang disebut sebagai hipotesis (= merupakan pernyataan dugaan yang akan dikaji untuk memperoleh kebenaran jawaban).

Karakteristik hipotesis adalah berhubungan dengan formulasi masalah dan dapat diukur. Hipotesis juga didasarkan pada pengetahuan dan teori-teori yang telah ada. Dalam hal ini peran guru adalah memberi informasi latar belakang permasalahan tersebut sehingga siswa mengerti tentang hipotesisnya.

Siswa mengembangkan hipotesis mengenai masalah yang telah diformulasikan di atas sebagai berikut :

  • Perempuan lebih sedikit mempunyai peran dalam sejarah Amerika
  • Karena perempuan sibuk mengurus rumah tangga maka sangat sedikit yang menerjunkan diri dalam hal politik
  • Laki-laki lebih banyak menulis buku sejarah, dengan demikian lebih banyak pula peran laki-laki yang ditonjolkan.
  1. Definisi terhadap konsep

Untuk mengerti permasalahan tentang sejarah, siswa juga harus mengerti tentang konsep-konsep sejarah. Seperti contoh di atas, konsep tentang masa lalu, fakta, penulisan sejarah, harus jelas bagi siswa. Dalam hal ini berarti siswa dilatih untuk memperoleh keterampilan mendefinisikan secara operasional konsep-konsep sejarah.

  1. Mengumpulkan data

Untuk dapat menjawab pertanyaan atau menguji hipotesa, pengumpulan data atau informasi merupakan langkah keempat. Proses mengumpulkan data dapat dilakukan melalui survey, studi kepustakaan, telaah terhadap peninggalan-peninggalan sejarah, dan lain sebagainya.

Melalui hipotesa contoh di atas, untuk mengkaji hipotesa pertama siswa melakukan kajian melalui studi kepustakaan dengan menelaah majalah, buku-buku biografi tentang perempuan-perempuan yang namanya tidak tercantum dalam buku-buku sejarah Amerika. Hipotesa kedua dikaji melalui film dan tayangan televisi yang berisi tentang peran perempuan pada jaman kolonial Amerika dan masa petualangan ke Barat. Hipotesa ke tiga dikaji melalui wawancara terhadap para pemuka masyarakat dan kajian terhadap dokumen-dokumen pemerintah. Melalui langkah ini, siswa memperoleh pengetahuan sejarah yang lebih luas daripada hanya membaca buku-buku sejarah Amerika.

  1. Evaluasi dan analisis data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dipresentasikan di kelas dalam rangka mengevaluasi dan menganalisis data tersebut. Langkah ini adalah untuk mengevaluasi apakah data-data yang diperoleh cukup valid untuk mendukung hipotesis yang telah ditentukan dalam langkah kedua. Terdapat kemungkinan data yang diperoleh sangat mendukung hipotesis, tetapi tidak tertutup kemungkinan data tersebut tidak mendukung hipotesis.

  1. Uji terhadap hipotesis

Setelah data dievaluasi dan dianalisis, siswa mencoba untuk menetapkan hipotesis mana yang cocok dengan data yang mereka peroleh. Apabila hipotesis mereka cocok dengan data yang diperoleh, berarti mereka telah menggeneralisasi masalah yang dikaji. Pada generalisasi yang lebih tinggi mereka telah berusaha untuk membangun teori.

Berdasarkan contoh di muka, ternyata informasi yang diperoleh siswa tidak mendukung hipotesis pertama, dan untuk hipotesis kedua dan ketiga tidak sepenuhnya dapat diterima. Dengan demikian siswa membangun generalisasi sebagai berikut :

  1. Pada masa lalu laki-laki lebih berperan dalam sejarah sebab perempuan lebih sibuk mengurus rumah tangga dan perempuan lebih sedikit memperoleh kesempatan dalam pendidikan formal.
  2. Peran laki-laki lebih banyak menonjol dalam sejarah lebih dikarenakan bias dari penulisnya.
  3. Perempuan lebih sedikit terjun dalam bidang politik karena jabatan dalam aktivitas kemasyarakatan bukan untuk perempuan.
  4. Peran perempuan berubah sejak mereka memiliki anak terbatas (maksimum dua anak) dan pendidikannya sudah lebih tinggi. Perkembangan teknologi dan ekspansi hak-hak manusia juga merupakan faktor yang mengubah peran perempuan.

Berdasarkan generalisasi yang dibangun oleh siswa, mereka dapat memformulasikan teori bahwa peran utama seorang perempuan adalah mengurus keluarga ; semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin terbuka kesempatan untuk berkarya terhadap bangsanya.

Pendekatan melalui model social inquiry ini memperlihatkan bahwa perolehan yang dicapai siswa adalah fakta, konsep, dan generalisasi. Dalam hal ini fakta, konsep, dan generalisasi membantu siswa memahami hubungan antar manusia dan mengkondisikan siswa kritis terhadap perkembangan masyarakat di sekitarnya. Dasar dari pendekatan social inquiry adalah mengembangkan sikap berpikir kritis.

Belajar sejarah jelas terlihat bukan hanya menghafal fakta-fakta, tetapi lebih kepada mengembangkan berpikir kritis siswa apabila belajar sejarah dikembangkan melalui model social inquiry. Tentu tidak setiap pokok bahasan harus dikembangkan melalui model ini, tetapi guru dapat memilih pokok bahasan / topik mana yang dapat dikembangkan melalui model ini. Hal ini disesuaikan dengan alokasi waktu dan pokok bahasan yang dianggap penting dan relevan dengan kondisi masyarakat sekarang.

Implikasi menggunakan pendekatan ini adalah proses pembelajaran harus dikembangkan lebih kepada aktivitas siswa, dan guru berfungsi mengarahkan kerja siswa, sebagai sumber, dan tidak terlalu jauh memaksa keinginan (child centre).

Kesimpulan

Tuntutan terhadap output siswa menuntun kita untuk mulai memikirkan kemungkinan menerapkan model social inquiry dalam proses pembelajaran sejarah. Tujuan belajar sejarah selain untuk memperkenalkan sejarah bangsa Indonesia kepada siswa, yang lebih bermanfaat apabila sejarah dipandang sebagai kajian untuk membandingkannya dengan kehidupan masyarakat sekarang.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan :

  1. Belajar sejarah bukan hanya sekedar menghafal fakta-fakta, tetapi melihat keterhubungan antara apa yang terjadi di masa lampau dengan kondisi masa kini untuk kemudian siswa menjadi lebih bijaksana, seperti ungkapan belajar dari sejarah. Dengan demikian dalam belajar sejarah diharapkan siswa mengembangkan berpikir kritis terhadap fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya maupun yang terjadi di kawasan yang lebih luas.
  2. Studi sejarah dapat berarti sesuatu yang berbeda dengan melibatkan orang yang berbeda. Dengan demikian belajar sejarah meliputi arti memperoleh pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah, memperoleh pengertian atau gambaran tentang manusia dalam periode waktu di masa lampau, memperoleh kemampuan evaluasi dan kritik terhadap karya tulis sejarah, belajar teknik penelitian sejarah, belajar bagaimana membuat karya tulis sejarah
  3. Pendekatan melalui model social inquiry memperlihatkan bahwa perolehan yang dicapai oleh siswa adalah fakta, konsep, dan generalisasi. Dalam hal ini ketiga perolehan tersebut dapat membantu siswa untuk memahami hubungan antar manusia dan mengkondisikan siswa kritis terhadap perkembangan masyarakat di sekitarnya. Dasar dari pendekatan social inquiry adalah mengembangkan sikap berpikir kritis.

Daftar  Pustaka

Banks, J.A. (1985). Teaching Strategies for the Social Studies Inquiry, Valuing, and Decision Making. New York & London : Longman.

Brent, R. & Felder, R.M. (1992). Writing Assignments – Pathways to Connections, Clarity, Creativity. Journal College Teaching 40 (2), 43-48.

Bruce, J. & Weil, M. (1972). Models of Teaching, New Jersey : Prentice Hall.

Dalton, J. (1990). Adventures in Thinking, Creative Thinking & Co-operative Talk in Small Group. Melbourne : Thomas Nelson Australia.

Garvey, B. & Krug, M. (1977). Models of Teaching in the Secondary School. Oxford : Oxford University Press.

Hertzberg, H.W. (1985). Students, Methods and Materials of Instruction. Bulletin History in the School NCSS (74), 25 – 40.

Lapp, D. et.all. (1975). Teaching and Leaarning, Philosophical, Psychological, Curricular Applications. New York : Macmillan Publishing Co.

Lucey, W.L. (1984). History : Methods and Interpretation. New York & London : Garland Publishing Inc.

Overholser, J.C. (1992). Socrates in the Classroom. Journal College Teaching 40 (1), 14 – 18.

Tyler, R.W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago & London : The University of Chicago Press.

Comments are closed.