PENERAPAN ASESMEN KINERJA DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADU

OLEH YANI KUSMARNI

PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan (1) latar belakang masalah, (2) perumusan masalah, dan
(3) tujuan penulisan.

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Acapkali diungkapkan bahwa sudah 62 tahun Indonesia merdeka, dunia
pendidikan kita belum mencapai kemajuan yang berarti. Bahkan sesudah
amandemen UUD 1945 dan ditetapkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, tetap saja mutu pendidikan kita dari waktu ke
waktu tak kunjung mengalami perbaikan, kalau tidak disebut “memburuk”.
Keprihatinan itu ada kalanya diungkapkan dengan perasaan jengkel dan tak habis
mengerti, karena ternyata mutu pendidikan di Indonesia jauh tertinggal bahkan
dibandingkan dengan Malayasia, negara yang konon pernah banyak belajar dari
Indonesia. Menurut Dodi Nandika (2007:4-5) hasil studi UNDP (2004)
menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi ke- 111 dari 177 negara dalam hal
indeks pembangunan manusia (human development index), sementara hasil studi
yang dilakukan oleh lembaga internasional lainnya seperti International Institute for
Management Development (IIMD) dan Political and Economic Risk Concultancy
(PERC) menunjukkan hasil yang sama. Hasil studi IIMD (2001) tentang indeks
kompetisi mendudukkan Indonesia di peringkat ke-49 dari 49 negara; hasil PERC
(2001) tentang kinerja pendidikan menunjukkan Indonesia di peringkat ke-12 dari 12
negara di Asia, sedangkan hasil studi PERC (2004) tentang indeks korupsi
mendudukkan Indonesia di peringkat ke-1 dari 12 negara di Asia.
Paparan di atas, menunjukkan indikator makro tentang belum optimalnya
keberhasilan pendidikan di Indonesia. Di samping indikator yang lainnya adalah
hasil pembelajaran di dunia persekolahan kita yang menunjukkan ketidakmampuan
peserta didik menghubungkan antara yang “dipelajari” dengan bagaimana
pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari. Di dalam proses pembelajaran persekolahan kita, peserta didik sebagian
besar hanya memperoleh hafalan dengan tingkat kognitif yang rendah. Peserta didik
kita hanya tahu tentang bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara
keterkaitan antara fakta-fakta dan pemecahan masalah belum mereka kuasai.
Rendahnya mutu pembelajaran peserta kita dapat dilihat dari hasil studi Vincent
Greanary tentang kemampuan membaca peserta didik di Asia Tenggara dalam
publikasi Bank Dunia (1998) menyatakan bahwa peserta didik Indonesia hanya
menduduki peringkat ke-5 dari peserta didik yang berasal dari lima negara.
Sementara laporan The Third International Mathematic and Science Study (TIMSS,
1997) menyatakan bahwa peserta didik Indonesia hanya berada pada peringkat ke-39
dari peserta didik yang berasal dari 42 negara dalam hal prestasi matematika dan
pada peringkat ke-40 dari peserta didik yang berasal dari 42 negara dalam hal
prestasi fisika (The Jakarta Post, 3 September 2001). Salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan adalah menciptakan kurikulum yang dapat
membekali peserta didik untuk menghadapi tantangan kehidupan masa depan secara
mandiri, cerdas, kritis, rasional dan kreatif .
Untuk menjawab tantangan tersebut, tahun 2006 pemerintah
“meluncurkan” Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang meluaskan
partisipasi kreatif guru, pengelolaan sekolah dan peserta didik dalam PBM
berdasarkan suatu rumusan kompetensi yang ditentukan. Para praktisi (guru, kepala
sekolah dan semua yang berkepentingan dalam pengelolaan sekolah) memiliki
“peluang yang besar” untuk menjabarkan kompetensi dasar secara kontekstual dan
mempraktekkan konsepsi ideal mereka tentang pendidikan dan pengajaran. Hal ini
menggambarkan bahwa “politik” kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan
operasionalisasi kurikulum kita mulai desentralisasi, akomodatif dan terbuka.
Walaupun demikian, efektivitas perubahan politik kebijakan tersebut dalam
menjawab problem fungsional kurikulum, masih harus dibuktikan.
Posisi IPS SMP dalam KTSP tidak merupakan pengajaran disipin ilmu
yang terpisah (separated diciplinary approach) tetapi terpadu (integrated approach)
yang acapkali disebut dengan IPS terpadu. Melalui pendekatan IPS terpadu peserta
didik dapat memperoleh pengalaman langsung. Dengan demikian, peserta didik
dilatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara
holistik, bermakna, otentik dan aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang
dirancang guru sangat berpengaruh terhadap “kebermaknaan” pengalaman belajar
bagi para peserta didik. (Williams dalam Puskur, 2006b:1). Namun demikian,
pelaksanaan IPS terpadu di persekolahan pada saat ini sebagian besar masih
dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar mata pelajaran IPS masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masingmasing
(sosiologi, sejarah, geografi dan ekonomi) tanpa ada keterpaduan di
dalamnya. Hal ini tentu saja menghambat ketercapaian tujuan IPS itu sendiri yang
dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang diwujudkan melalui
pendekatan interdisipliner dari ilmu sosial.
Kondisi pembelajaran yang demikian itu, berdampak pula pada penilaian
hasil belajarnya. Kenyataan di lapangan, penilaian hasil belajar yang dilakukan guru
IPS sebagian besar masih ditujukan kepada pengetahuan siswa berdasarkan apa yang
telah di bahas di kelas dan mengarah kepada penguasaan fakta-fakta saja dengan
kecenderungan pelaksanaan penilaian hasil belajarnya mengutamakan penggunaan
tes (paper and pencil test) sebagai satu-satunya alat ukur yang terpenting dalam
proses pendidikan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Martono (1997:2) bahwa
di lingkungan sekolah pada umumnya para guru SMP sudah terkondisikan untuk
selalu berupaya agar para siswanya berhasil mengerjakan THB. Keberhasilan dalam
menempuh THB yang ditandai dengan pencapaian nilai yang baik, karena nilai yang
diperoleh para siswanya akan mempengaruhi “kredibilitas” guru di sekolah. Kondisi
seperti ini mendorong penggunaan tes secara berlebihan untuk mengukur semua
tujuan pembelajaran yang telah direncanakan, sedangkan alat ukur yang lain seperti
pedoman wawancara, pedoman observasi, pedoman diskusi, tugas individu/mandiri
dan tugas kelompok, portofolio, project, dll hanya sebagai pelengkap dari tes,
padahal semua alat ukur tersebut memiliki peranan tersendiri dan saling mendukung
dalam pengukuran hasil belajar di persekolahan.
Berdasarkan paparan di atas, permasalahan penilaian hasil belajar menjadi
masalah yang perlu dipikirkan. Asesmen kinerja dapat digunakan sebagai alternatif
dari tes yang selama ini banyak digunakan untuk mengukur keberhasilan belajar
peserta didik di persekolahan. Dengan asesmen kinerja ini, diharapkan proses
pengukuran hasil belajar tidak lagi dianggap sebagai suatu kegiatan yang tidak
menarik dan bukan merupakan bagian yang terpisah dari proses pembelajaran. Oleh
karena itu penggunaan asesmen kinerja menjadi penting dalam proses pembelajaran
IPS terpadu karena dapat memberikan informasi lebih banyak tentang kemampuan
peserta didik dalam proses maupun produk, bukan sekedar memperoleh informasi
tentang jawaban benar atau salah saja. Selain itu melalui asesmen kinerja diharapkan
para guru IPS di tingkat SMP dapat bekerjasama dan berkolaborasi dalam
menentukan kinerja, rubric dan penilaian yang bermanfaat bagi siswanya, yakni
kinerja yang tidak melepaskan peserta didik dari masyarakat dan kehidupan
masyarakat sekitarnya, kinerja yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan
kemampuan inquiry seperti mencari, mengolah dan menggunakan informasi.
Sehingga melalui asesmen kinerja, Pendidikan IPS diharapkan dapat
mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi seharihari
baik yang menimpa dirinya maupun yang menimpa kehidupan masyarakat .Atas
dasar inilah maka penggunaan asesmen kinerja dari tes kertas dan pensil merupakan
kebutuhan yang menarik untuk dikaji dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
ingin menyoroti tentang bagaimana penerapan asesmen kinerja dalam pembelajaran
IPS terpadu ?.

1.2 PERUMUSAN MASALAH
Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki
sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan
terampil mengatasi masalah setiap masalah yang sehari-hari baik yang menimpa
dirinya maupun yang menimpa kehidupan masyarakat. Tujuan tersebut dapat
tercapai manakala program-program pelajaran IPS di persekolahan diorganisasikan
dengan baik, yang salah satunya dapat diupayakan melalui pembelajaran IPS
terpadu. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diperlukan penilaian yang
mengungkap aspek-aspek proses dan hasil. Seperti yang dikemukakan dalam
pedoman penilaian pembelajaran terpadu (KTSP, 2007:349) bahwa penilaian
pembelajaran terpadu mencakup penilaian terhadap proses dan hasil belajar peserta
didik..Untuk itu perlu adanya pemberlakuan penilaian yang sesuai dengan tuntutan
kurikulum tersebut dalam hal ini evaluasi bentuk tes dan non-tes. Untuk mengukur
hasil belajar yang mencakup aspek keterampilan, sikap dan nilai-nilai perlu
mengembangan alternatif penilaian selain tes. Berdasarkan hal tersebut
permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengembangan Asesmen
Kinerja Dalam Proses Pembelajaran IPS Terpadu di SMP (Suatu Alternatif
Penilaian Untuk Mengembangkan Keterpaduan IPS )”
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah :
1. Mengkaji asesmen kinerja yang dapat digunakan untuk pembelajaran IPS
terpadu pada tingkat SMP
2. Mendeskripsikan model asesmen kinerja yang dapat digunakan dalam
pembelajaran IPS terpadu pada tingkat SMP

PEMBAHASAN
2.1 Pentingnya Penerapan Asesmen Kinerja dalam Pembelajaran IPS Terpadu
Kelas yang baik tidak cukup hanya didukung oleh perencanaan
pembelajaran, kemampuan guru mengembangkan proses pembelajaran serta
penguasaannya terhadap bahan ajar dan juga tidak cukup dengan kemampuan guru
mengusai kelas, tanpa diimbangi dengan kemampuan melakukan penilaian terhadap
pencapaian kompetensi peserta didik yang sangat menentukan dalam konteks
perencanaan berikutnya atau kebijakan perlakuan terhadap peserta didik terkait
dengan konsep ketuntasan belajar. Secara teoritis penilaian hendaknya menjangkau
ketiga ranah yang menjadi acuan pengukuran kompetensi hasil belajar, yakni ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik bahkan mungkin termasuk kemampuan
metakognisi, jika pembelajaran siswa dikembangkan sampai kompetensi-kompetensi
critikal thinking atau creative thinking (Anderson, Orin W and Krathwohl, David R,
2001:63). Oleh sebab itu penilaian yang dikembangkan guru sebaiknya menjangkau
ketiga ranah tersebut, walaupun dengan menggunakan instrumen tes hanya terbatas
untuk indikator kompetensi kognitif sementara itu kompetensi lainnya dapat
menggunakan instrumen non-tes, apakah dengan pengamatan, anecdotal record,
skala likert, kinerja atau menggunakan data-data portofolio yang dapat menjangkau
pengukuran kompetensi peserta didik sampai pada level metakognitif.
Paparan di atas menunjukkan bahwa untuk mengetahui keberhasilan suatu
proses pembelajaran penilaian mutlak harus dilaksanakan. Dengan demikian
kegiatan penilaian itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
pembelajaran. Menurut Davies (1991:294) mengemukakan bahwa penilaian dapat
memungkinkan: (1) mengukur kompetensi atau kapabilitas peserta didik apakah
mereka telah merealisasikan tujuan yang telah ditentukan; (2) menentukan tujuan
mana yang belum direalisasikan, sehingga tindakan perbaikan yang cocok dapat
diadakan; (3) memutuskan ranking siswa, dalam hal kesuksesan mereka mencapai
tujuan yang telah disepakati; (4) memberikan informasi kepada guru tentang cocok
tidaknya startegi mengajar yang ia gunakan, supaya kelebihan dan kekurangan
strategi mengajar tersebut dapat ditentukan; (5) merencanakan prosedur untuk
memperbaiki rencana pelajaran dan menentukan apakah sumber belajar tambahan
perlu digunakan.
Untuk itu, kesadaran akan pentingnya penilaian terutama penilaian afektif
dan psikomotorik mulai muncul dan terus digali instrumen-instrumen yang efektif
untuk menguji ketercapaian kompetensi tersebut, yaitu sikap menerima,
menanggapi, menanamkan nilai-nilai pada perilaku, mengadaptasi nilai dan
keterampilan-keterampilan yang hendaknya dimiliki peserta didik seperti
keterampilan sosial, keterampilan berkomunikasi dan sebagainya. Semua level-level
kompetensi ini diakui penting oleh para guru dan pendidik, namun tidak menjadi
kultur untuk dievaluasi dan tidak juga dijadikan kebiasaan di persekolahan. Padahal
penilaian itu harus holistis, sehingga guru dapat mendapatkan gambaran menyeluruh
tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta didiknya. Oleh karena itu,
Gronlund menyampaikan kritiknya terhadap tes kertas dan pensil yang hanya
mampu mengukur perubahan-perubahan kognisi peserta didik, sementara itu
perilaku berpikir, kebiasaan, sikap sosial, apresiasi jarang digunakan bahkan tidak
pernah tersentuh oleh penilaian. Untuk itu, Gronlund menawarkan penggunaan cara
observasi sebagai alat untuk mengukur perubahan sikap, perilaku dan keterampilan
peserta didik dengan menggunakan tiga bentuk instrumen, yaitu anecdotal record,
rating scale dan checklist (Gronlund, 1990:275). Sementara itu, Worthen
menawarkan questionnaire, interview dan observasi sebagai alat pengukuran rating
scale (Worthen, 1999:319). Sementara W. James Popham mengangkat instrumen
skala sikap likert dan semantic differential sebagai instrumen untuk mengukur
perubahan-perubahan afektif (Popham, 1999:207). Kemudian Roger Farr dan Bruce
Tone menambahkan dengan memposisikan portofolio, tidak sekedar kumpulan karya
peserta didik selama mereka menempuh pembelajaran dalam mata pelajaran tertentu,
tetapi juga menjadi sumber informasi data tentang kemajuan kompetensi siswa yang
bisa diasses oleh siswa sendiri dan juga gurunya (Farr, 1998:10). Sedangkan Lynn S.
Fuchs (Dalam Zainul, 2001:10) menyoroti asesmen kinerja yang dapat memperbaiki
proses pembelajaran, karena asesmen ini membantu guru untuk membuat keputusan
selama proses pembelajaran masih berjalan. Lebih anjut Fuchs mengemukakan
setidak-tidaknya ada tiga bentuk keputusan yang dibuat guru selama mengajar, yaitu
keputusan tentang: penempatan, formatif dan diagnostik . Ketiga bentuk keputusan
ini akan sangat membantu proses pembelajaran sehingga dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara lebih baik.
Paparan di atas menunjukkan bahwa penilaian proses sangat diperlukan,
terutama untuk mengukur aspek keterampilan, sikap dan nilai. Salah satunya berupa
asesmen kinerja. Asesmen kinerja merupakan salah satu bentuk asesmen alternatif
yang selalu mengajak siswa untuk berpikir secara lebih luas dan mendalam
mengenai suatu kasus. Menurut Asmawi Zainul (2001:10-11) asesmen kinerja
adalah asesmen yang mengharuskan peserta didik mempertunjukkan kinerja bukan
menjawab atau memilih jawaban dari alternative jawaban yang telah disediakan.
Lebih lanjut Asmawi mengemukakan bahwa secara prinsip asesmen kinerja terdiri
dari dua bagian, yaitu tugas (taks) dan criteria . Tugas-tugas kinerja dapat berupa
suatu proyek, pameran, portofolio atau tugas-tugas yang mengharuskan peserta didik
memperlihatkan kemampuan kinerja. Tugas-tugas asesmen kinerja dapat
diwujudkan dengan bentuk: computer adaptive testing, tes pilihan ganda yang
diperluas, extended-response atau open ended question, group performance
assessment, individual performance assessment, interview, observasi, portofolio,
project, exhibition, short answer dan lain sebagainya.
Karakteristik utama asesmen kinerja tidak hanya mengukur hasil belajar
peserta didik saja, tetapi secara lengkap memberi informasi yang lebih jelas tentang
proses pembelajaran. Dengan perkataan lain asesmen kinerja merupakan proses yang
menyertai seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran dengan cara siswa
mempertunjukkan kinerjanya. Seperti yang dikemukakan Frederick Drake (2000)
bahwa asesmen kinerja adalah alat untuk memperbaiki cara mengajar guru dan cara
belajar peserta didik.
Uraian di atas memperlihatkan keterhubungan antara asesmen dengan
proses pembelajaran bahkan asesmen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
proses pembelajaran tersebut. Karena itu asesmen tidak hanya mengukur salah satu
atau beberapa aspek kemampuan peserta didik saja, tetapi harus mengukur seluruh
kemampuan peserta didik. Oleh karena itu, asesmen kinerja dapat dijadikan alternatif
penilaian bagi menumbuhkan minat siswa dalam belajar karena melalui asesmen ini
peserta didik dapat belajar dari banyak hal, misalnya dari: (1) pengalaman selama
mengerjakan tugas-tugas kelompok atau individu yang diberikan pendidik, (2)
kegiatan membaca buku-buku, jurnal, majalah, koran atau internet, (3) hasil-hasil
penelitian, project, exhibition atau demontrasi, (4) hasil observasi atau hasil
wawancara yang dilakukan peserta didik, (5) kumpulan hasil karya peserta didik
dalam bentuk portofolio, (6) mengerjakan tes pilihan ganda yang diperluas, yakni tes
yang menuntut peserta tes bukan hanya memilih jawaban yang dianggap benar tetapi
juga tes ini menuntut peserta tes berpikir tentang alasan mengapa memilih jawaban
tersebut sebagai jawaban yang benar, dan lain sebagainya, sehingga diharapkan
terjadi proses perubahan tingkah laku peserta didik menuju kondisi belajar yang
lebih baik dan pada akhirnya diharapkan kegiatan belajar menjadi bagian dari
kehidupan dan kebutuhan hidupnya. Dalam melaksanakan asesmen kinerja
hendaknya diikuti dengan asesmen rubric merupakan panduan untuk memberi skor
secara jelas dan disepakati oleh guru dan peserta didik. Karena kedua pihak memiliki
kesepatan dan pedoman bersama yang jelas maka rubric diharapkan dapat menjadi
pendorong atau motivator bagi peserta didik dalam proses pembelajaran. Rubrik
terdiri dari dua bentuk yaitu holistic rubric dan analytic rubric.
Pendidikan IPS pada hakekatnya berfungsi untuk membantu perkembangan
peserta didik memiliki konsep diri yang baik, membantu pengenalan dan apresiasi
tentang masyarakat global dan komposisi budaya, sosialisasi proses sosial, ekonomi,
politik, membantu siswa untuk mengetahui waktu lampau dan sekarang sebagai
dasar untuk mengambil keputusan, mengembangkan kemampuan untuk
memecahkan masalah dan keterampilan menilai, membantu perkembangan peserta
didik untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan masyarakat (Skeel,
1995:11). Banks dan Clegg (1985) mengemukakan bahwa pendidikan IPS berupaya
membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik, mampu berperilaku
sesuai dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakatnya. Lebih lanjut Banks
dan Clegg (1985) menyatakan bahwa keterampilan mengambil keputusan
merupakan tujuan dari pendidikan IPS. Salah satu komponen esensial dari faktor
pengambilan keputusan adalah pengetahuan yang meliputi pengetahuan yang ilmiah,
tingkat tinggi dan interdisipliner. Oleh karena itu, “cara pengemasan” pengalaman
belajar yang dirancang untuk para peserta didik yang belajar IPS akan sangat
berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman tersebut bagi mereka. Menurut
Raka Joni (1996) pengalaman belajar yang lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur
konseptual baik intra maupun antar bidang studi akan meningkatkan peluang bagi
terjadinya pembelajaran yang efektif. Untuk itulah diperlukan pembelajaran IPS
terpadu. Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering disebut dengan
pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan
suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual
maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsipprinsip
secara holistik dan otentik (Depdikbud, 1996:3).
Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperolah pengalaman
langsung, sehingga peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai
konsep yang dipelajarinya. Pembelajaran terpadu ini dikembangkan dengan landasan
pemikiran Progresivisme, Konstruktivisme, Developmentaly Appropriate Practice
(DAP), Landasan Normatif dan Landasan Praktis (Depdikbud, 1996:5). Aliran
progresivisme mengemukakan bahwa pembelajaran seharusnya berlangsung secara
alami, tidak artifisial. Pendidikan progresif menekankan kepada “learning by doing”,
belajar aktif, belajar secara mandiri dan kelompok serta problem solving (Tilaar,
2005:314). Sedangkan konstruktivisme menekankan kepada pengetahuan yang
dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar
bermakna (Supriatna, 2007: 34). Belajar bermakna tidak akan terwujud dengan
hanya mendengarkan ceramah atau membaca buku saja tetapi mengalami sendiri
merupakan kunci untuk kebermaknaan. Lebih lanjut dalam Development
Appropriate Practice (DAP) dinyatakan bahwa pembelajaran harus disesuaikan
dengan perkembangan usia dan individu yang meliputi perkembangan kognisi,
emosi, minat dan bakat siswa (Trianto, 2007:21). Selain itu, pembelajaran terpadu
juga dilandasi oleh landasan normatif dan landasan praktis. Landasan normatif
menghendaki bahwa pembelajaran terpadu hendaknya dilaksanakan berdasarkan
gambaran ideal yang ingin dicapai oleh tujuan-tujuan pembelajaran. Sedangkan
landasan praktis mengharapkan bahwa pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan
memperhatikan situasi dan kondisi praktis yang berpengaruh terhadap kemungkinan
pelaksanaannya mencapai hasil yang optimal.
Paparan di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran IPS terpadu merupakan
suatu pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi IPS
(Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, dan Geografi) untuk memberikan pengalaman
bermakna kepada peserta didik melalui pengamatan langsung dan
menghubungkannya dengan konsep lain yang mereka pahami. Dengan berperan
secara aktif di dalam eksplorasi tersebut, peserta didik akan mempelajari materi
pelajaran dan proses belajar beberapa bidang studi secara bersamaan, sehingga
terhubungan antar bidang studi IPS dapat dipahami secara lebih baik oleh peserta
didik.
Implementasi pembelajaran IPS terpadu di sekolah bukan hanya ditentukan
oleh keberhasilan dalam mengembangkan strategi pelaksanaan pembelajaran saja,
tetapi aspek penilaian juga merupakan komponen penting dalam sebuah
pembelajaran terpadu. Dalam Panduan Lengkap KTSP (2007:349) dikemukakan
bahwa objek dalam penilaian pembelajaran terpadu mencakup penilaian terhadap
proses dan hasil belajar peserta didik. Hasil belajar tersebut pada hakikatnya
merupakan pencapaian kompetensi-kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak. Oleh karena itu penilaian yang diperlukan adalah penilaian yang mampu
mengungkapkan aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai dari suatu
kegiatan tertentu seperti yang diharapkan oleh kurikulum tersebut. Untuk itu
diperlukan alat penilaian yang sesuai dengan tuntutan tersebut.
Asesmen kinerja merupakan penilaian yang berkembang melalui berbagai
pendekatan, salah satunya adalah pendekatan experiential learning yang merupakan
landasan yang kuat bagi pertumbuhan dan perubahan pribadi peserta didik, yang
ditandai dengan adanya keterlibatan pribadi, insiatif diri, evaluasi diri dan dampak
langsung yang terjadi pada diri peserta didik dalam proses belajar. Untuk itu tugas
pokok guru hanya sebagai fasilitator yang dapat menciptakan lingkungan belajar
yang baik, membantu peserta didik merumuskan tujuan belajar, menyediakan
sumber belajar, tempat berbagi pemikiran dengan peserta didik. Oleh karena itu,
melalui pendekatan ini, proses belajar mengajar, termasuk pelaksanaan asesmen
kinerja dilakukan bersama-sama antara guru dengan peserta didik.
Untuk itu keterlaksanaan asesmen kinerja sangat ditentukan oleh tingkat
keaktifan dan kekreatifan guru dan peserta didik selama mengikuti proses
pembelajaran IPS. Semakin tinggi tingkat keaktifan dan kekreatifan peserta didik
dan guru semakin tinggi pula tingkat keefektifan pelaksanaan asesmen kinerja dan
semakin rendah tingkat keaktifan dan kreativitas peserta didik dan guru maka
semakin rendah pula tingkat keefektifan asesmen kinerja bahkan mungkin tidak
dapat berjalan dengan baik, asesmen kinerja menjadi kumpulan tugas yang tidak
bermakna bagi peserta didik dan guru. Oleh karena itu, , guru harus mampu
merancang dan melaksanakan suatu program pengajaran dan penilaian (asesmen
kinerja) yang mampu membuat siswa aktif dan kreatif. Untuk itu program
pengajarannya harus bersifat terpadu.
Tema pembelajaran terpadu harus bersifat problematik sehingga terbuka
kesempatan yang luas dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang beragam.
Sebagai konsekuensinya, tujuan belajar yang ingin dicapai lebih bersifat
komprehensif, jauh lebih luas bila dibandingkan dengan tujuan konvensional yang
membatasi diri pada kemampuan “menyebut ini …” atau “menyebut itu …”
(Hadiwinarto, 1996:2). Pada pendekatan terpadu, program pembelajaran sebaiknya
dirancang secara team teaching antar guru IPS dibandingkan dengan guru tunggal.
Program tersebut disusun dari berbagai disiplin ilmu. Pengembangan pembelajaran
terpadu dapat mengambil suatu topik dari suatu bidang studi IPS tertentu, kemudian
dilengkapi, dibahas, diperluas dan diperdalam dengan antar bidang studi lainnya.
Topik atau tema yang dikembangkan dari mulai isu, peristiwa dan permasalahanpermasalahan
yang berkembang di masyarakat. Bisa membentuk permasalahan yang
dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya:
banjir, pemukiman kumuh, narkoba, pergaulan bebas, korupsi, potensi pariwisata,
wisata kuliner, IPTEK, mobilitas sosial, modernisasi, revolusi, berbagai macam
konflik baik politik, sosial, maupun agama yang dibahas dari berbagai disiplin ilmuilmu
sosial. Berdasarkan pada tema atau topik tersebut, para guru IPS dapat
menyusun kinerja yang sesuai dengan temanya.
Paparan di atas, menunjukkan bahwa asesmen kinerja merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, oleh karena itu, agar asesmen
kinerja dapat tercapai dengan baik diperlukan perubahan pandangan dari guru IPS
terhadap proses pembelajaran, yakni: (1) guru tidak lagi memandang dirinya
sebagai pusat belajar, sedangkan peserta didik dipandang sebagai unsur yang harus
menerima apa yang disampaikan oleh guru; (2) materi pelajaran yang terdapat dalam
dokumen kurikulum tidak harus disampaikan dalam kegiatan tatap muka di kelas,
tetapi dapat disampaikan melalui tugas, proyek atau simulasi dan lain-lain; (3) guru
harus memulai mengorganisasikan bahan pelajaran secara terpadu, yaitu
pengorganisasian melalui penggabungan materi pelajaran antar bidang studi IPS
yang memiliki tema yang sama. Hal ini sangat memerlukan kemampuan para guru
IPS dalam melihat esensi yang relevan dari setiap materi pelajaran yang akan
dikembangkan. Dengan cara seperti ini maka guru tidak akan selalu mengeluhkan
soal kekurangan waktu pembelajaran IPS, yang makin hari makin dikurangi jam
pelajarannya; (4) menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran yang
menekankan kepada aktifiktas siswa dalam PBM, seperti: inquiry, cooperative
learning, contextual learning, sosio drama, bermain peran, diskusi dan lain
sebagainya. Melalui pendekatan itu diharapkan mampu membangkitkan motivasi
belajar, keaktifan dan kreativitas peserta didik dalam belajar IPS.

2.2 Contoh Penerapan Asesmen Kinerja dalam Pembelajaran IPS Terpadu
Keterpaduan IPS dalam pembelajaran di kelas dapat dikembangkan
berdasarkan:
• Topik atau tema
Keterpaduan ini dapat diangkat dari tema yang sedang menjadi “topik
pembicaraan” di masyarakat. Misalnya: “Kepedulian terhadap Lingkungan
Hidup”. Tema ini dapat dikaji dari berbagai aspek seperti: Geografi akan
membahas pemanasan global dapat kita rasakan sampai “perubahan iklim
global” yang ditandai dengan musim hujan menjadi banjir, musim panas
kekeringan, tanah longsor, dan lain-lain. Sosial, membahas perilaku manusia
terhadap alam. Ekonomi, pengaruh dampak budaya konsumtif sehingga
pembangunan sarana perekonomian tanpa melihat tata ruang yang baik. Budaya,
budaya masyarakat yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sejarah, bagaimana proses suatu masyarakat melestarikan lingkungan hidupnya,
seperti: Suku Badui atau Suku Naga
Asesmen Kinerja yang dapat dikembangkan pada model ini adalah:
􀀹 Project Paper, selama satu semester baik melalui tugas individu maupun
tugas kelompok menyusun tulisan, misalnya budaya suku Badui di Banten
atau suku Naga di Tasikmalaya yang ketat dalam pelestarian lingkungan.
􀀹 Panduan Observasi dan Panduan Wawancara, yakni mengamati dan
mewawancara masyarakat di sekitar bantaran sungai, atau masyarakat yang
menjadi langganan banjir, atau opini masyarakat tentang lingkungan hidup.
• Potensi Utama
Keterpaduan IPS dapat dikembangkan melalui topik yang didasarkan
pada potensi utama wilayah setempat, misalnya: Candi Borobudur atau potensipontensi
lokal di lingkungan masyarakat tempat siswa tinggal. Melalui kajian ini
diharapkan siswa memahami potensi lokal di sekitarnya. Kajian ini dapat
dikembangkan melalui, faktor geografis, sosial, sejarah, budaya dan ekonomi.
Asesmen Kinerja yang dapat dikembangkan pada model ini adalah:
􀀹 Panduan Observasi dan Panduan Wawancara, mengobservasi dan
mewawancarai masyarakat yang hidup potensi lokal daerah-daerah di
lingkungan siswa atau potensi lokal yang menjadi objek wisata
􀀹 Tugas Kelompok atau Tugas Individu
􀀹 Project Paper
• Permasalahan
Model ini dapat dikembangkan berdasarkan permasalahan yang
berkembang di masyarakat, contohnya: “ Penggunaan Narkoba Pada Generasi
Muda”. Pada pembelajaran terpadu , penggunaan narkoba pada generasi muda
ditinjau dari beberapa faktor sosial yang mempengaruhinya. Diantaranya adalah
faktor ekonomi, faktor sosial, geografi, sejarah, agama, pendidikan
kewarganegaraan atau faktor budaya masyarakat.
Asesmen Kinerja yang dapat dikembangkan pada model ini adalah:
􀀹 Panduan Observasi (Pengamatan), yakni para peserta didik mengamati
pencandu narkoba yang terdapat di lingkungan sekolah, rumah, atau tempat
rehabilitasi kemudian dapat menganalisa dampak dari penggunaan narkoba
bagi generasi muda
􀀹 Panduan Wawancara, yakni para siswa melakukan wawancara dengan para
pecandu narkoba yang terdapat di lingkungan sekolah, rumah atau tempat
rehabilitasi. Dari hasil wawancara siswa dapat menyimpulkan dampak
penggunaan narkoba bagi generasi muda
􀀹 Tugas individual atau tugas kelompok
􀀹 Project Paper selama satu semester, siswa diberi tugas baik kelompok atau
individu menyusun tulisan “bagaimana mencegah penggunaan narkoba pada
generasi muda”.
Pelaksanaan Asesmen Kinerja melalui Pembelajaran IPS Terpadu adalah sebagai
berikut :
Langkah pertama : Merancang pembelajaran
• Analisis Kurikulum, sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan
• Mengidentifikasi pengetahuan keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh
peserta didik pada saat/setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar dan/atau
setelah mengerjakan atau menyelesaikan tugas (taks) asesmen kinerja. Identifikasi
pengetahuan dan keterampilan tersebut meliputi:
a.Jenis pengetahuan dan keterampilan yang dapat dilatih dan dicapai oleh peserta
didik
b.Pengetahuan dan keterampilan bernilai tinggi untuk dipelajari
c.Penerapan pengetahuan dan keterampilan tersebut memang terdapat dalam
kehidupan nyata di masyarakat
• Merancang model pembelajaran melalui pendekatan berpikir seperti: perspektif
global dengan orientasi masalah yang kontroversial, pemetaan konsep atau
pengembangan keterampilan sosial, media pembelajaran dan tugas-tugas untuk
asesmen kinerja yang memungkinkan peserta didik menunjukkan kemampuan
berpikir dan keterampilan sesuai tingkat perkembangan peserta didik. Dengan
demikian model pembelajaran yang digunakan serta tugas-tugas yang diberikan
dapat memotivasi peserta didik untuk belajar.
• Menetapkan kriteria keberhasilan (rubrik) yang akan dijadikan tolak ukur untuk
menyatakan bahwa seorang peserta didik telah mencapai tingkat mastery
pengetahuan atau keterampilan yang diharapkan. Kriteria tersebut sebaiknya cukup
rinci, sehingga setiap aspek kinerja yang diharapkan dicapai oleh peserta didik
mempunyai kriteria tersendiri.
• Melakukan uji coba dengan membandingkan kinerja atau hasil kerja peserta didik
dengan rubrik yang telah dikembangkan. Berdasarkan hasil penilaian terhadap
kinerja atau hasil kerja peserta didik dari uji coba tersebut kemudian dilakukan
revisi, terhadap deskripsi kinerja maupun konsep dan keterampilan yang akan
diases (dinilai). Hal ini dapat dilakukan secara periodik, yakni: satu semester atau
satu tahun.
Langkah kedua: Melaksanakan pembelajaran
• Dikembangkan misalnya melalui pendekatan berpikir dalam bentuk pendidik
menjelaskan (ekspositori), menggunakan orientasi masalah yang kontroversial,
pengembangan keterampilan sosial, diskusi, penggunaan berbagai media
pembelajaran seperti: peta konsep, kartun, bagan, film, novel dan lain sebagainya,
peserta didik melakukan eksperimen, menyusun media pembelajaran, melakukan
observasi dan wawancara atau menyelesaikan suatu proyek dengan jangka waktu
tertentu, mendemontrasikan, bermain peran, sosio drama dan lain sebagainya.
Dalam aspek ini yang perlu diperhatikan adalah memelihara perhatian peserta
didik dan menyusun organisasi materi dan tugas secara eksplisit, sehingga mereka
tetap memiliki perhatian langsung pada proses pembelajaran. Selain itu
pelaksanaan proses pembelajaran harus memiliki hubungan logis antar materi dan
tugas yang dilaksanakan sehingga peserta didik dapat melihat keterhubungan
antara gagasan satu sama lainnya.
• Guru mendorong dan memotivasi peserta didik
• Guru melakukan pertemuan secara rutin dengan peserta didik guna mendiskusikan
proses pembelajaran yang akan menghasilkan suatu kinerja peserta didik, sehingga
setiap langkah peserta didik dapat memperbaiki kelemahan yang mungkin terjadi
• Memberikan umpan balik secara bersinambungan kepada peserta didik
• Mempresentasikan dan “memamerkan” keseluruhan hasil karya yang disimpan
dalam portofolio bersama-sama dengan karya keseluruhan peserta didik sehingga
memotivasi peserta didik untuk mengerjakan tugas dengan baik dan serius
Langkah ketiga: Mengevaluasi pembelajaran
• Penilaian suatu tugas (taks) dimulai dengan menegakkan kriteria penilaian yang
dilakukan bersama-sama antara pendidik dan peserta didik atau dengan partisipasi
peserta didik
• Kriteria yang disepakati itu diterapkan secara konsisten, baik oleh pendidik
maupun peserta didik. Bila ada persepsi yang berbeda maka hal itu dibicarakan
pada waktu pertemuan secara berkala antara pendidik dengan peserta didik
• Arti penting dari tahap asesmen alternatif ini adalah self assessment yang
dilakukan oleh peserta didik sehingga peserta didik menghayati dengan baik
kekuatan dan kelemahannya
• Hasil penilaian kinerja ini dijadikan tujuan baru bagi proses pembelajaran
berikutnya
Contoh Penerapan Asesmen Kinerja Dalam Pembelajaran IPS Terpadu :
Cara menerapkan IPS Terpadu berwawasan lingkungan 1 :
Guru IPS di tingkat SLTP, ingin mengembangkan sikap peduli terhadap
lingkungan untuk tidak membuang limbah domestic secara sembarangan, guru
perlu memberikan contoh membuang sampah pada tempatnya. Guru bersama-sama
dengan peserta didik dan juga pihak sekolah perlu menyediakan lingkungan yang
kondusif seperti menyediakan tempat sampah, tempat cuci tangan, kemoceng di
setiap kelas dan di lingkungan sekolah serta membuat tanaman gantung atau potpot
kecil memanjang tepat di bawah turunnya air dari atap, sehingga air cucuran
atap yang terbuang sia-sia dapat diminimalkan. Selain itu, di setiap kegiatan
pembelajaran sebaiknya selalu diselingi kegiatan yang mengkondisikan peserta
didik untuk membuang sampah pada tempat, misalnya sebelum pelajaran di mulai
kelas harus dalam keadaan bersih dari sampah. Atau mengkondisikan peserta didik
untuk membuang dan memilah sampah organic dan non-organik . Sampah organic
dapat diolah bersama-sama guru dan siswa dengan bantuan guru IPA dan
matematika, sedangkan sampah non-organik dimasukkan pada tempat khusus yang
telah disediakan.
Asesmen Kinerja yang dapat digunakan: Panduan Observasi Guru, Skala Sikap, Rating
Scale, Daftar Cek
Cara menerapkan IPS Terpadu berwawasan lingkungan 2 :
Antar guru IPS atau dapat bersama-sama dengan guru IPA membentuk “team
teaching” untuk mendiskusikan dan merencanakan kegiatan proyek yang
menyoroti satu tema khusus yang dapat diangkat dalam pembelajaran selama satu
semester. Misalnya: Tema tentang pencemaran sumberdaya lahan dan air di
lingkungan sekitar sekolah dan atau rumah. Tema tersebut dapat dikaji dari
berbagai disiplin ilmu sebagai berikut :
• Sejarah, dengan mencari asal-usul konsep “sumberdaya”, “lahan” dan “air”
mempelajari sumber-sumber primer yang menjabarkan dan
mempermasalahkan konsep-konsep dan menganalisis perkembangan konsepkonsep
tersebut dari waktu ke waktu.
• Geografi, dengan menentukan lokasi dan bagaimana pencemaran sumberdaya
lahan dan air di lingkungan sekitar sekolah dan atau rumah
• Sosiologi, dengan mempelajari peranan individu, kelompok atau lembaga dan
hubungan-hubungan di antaranya yang menunjukkan keterlibatan dalam proses
“pencemaran sumberdaya lahan dan air”, serta memahami kompleksitas
hubungan-hubungan tersebut disebabkan adanya perbedaan kepercayaan, nilai
dan struktur dalam masyarakat yang bersangkutan.
• Antropologi, dengan mempelajari “pencemaran sumberdaya lahan dan air”
dalam aspek budaya serta proses perubahan dalam budaya yang diikuti oleh
proses perubahan social
• Politik, mengkaji peranan pemerintah dan peraturan yang diterapkan oleh
pemerintah dalam “pencemaran sumberdaya lahan dan air” serta memahami
keterlibatan warga negara dalam pencemaran sumberdaya lahan dan air dan
bagaimana menjaga keseimbangan ekologis dalam kehidupan sehari-hari.
• Ekonomi, mengkaji dampak pencemaran sumberdaya lahan dan air pada
kehidupan ekonomi masyarakat sekitar sekolah dan atau rumah di lingkungan
peserta didik.
• IPA dan Matematika, mengkaji dampak pencemaran sumberdaya lahan dan
air dalam bidang kesehatan, unsur kimia yang mencemari lahan dan air serta
menyajikan unsur pencemaran lahan dan air dengan menampilkannya dalam
bentuk bagan dan grafik.
Kegiatan Belajar Mengajar IPS Terpadu berwawasan lingkungan 3 :
Para guru IPS di tingkat SLTP, secara terpadu dalam berbagai mata pelajaran
sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan politik dapat menyajikan
kegiatan belajar mengajar dengan diskusi dalam memecahkan suatu kasus dengan
“simulasi” dan “role playing”. Misalnya, kasus rekaan yang terjadi di masyarakat
dan kemudian disimulasikan. Tema yang akan didiskusikan adalah “Bagaimana
mengatasi limbah industri dari perusahaan tekstil yang mencemari air tanah ?”.
Persyaratan dari diskusi ini, perusahaan tetap beroperasi tetapi air taah tidak
tercemar. Simulasi di suatu wilayah kecamatan yang air tanahnya tercemar limbah
industri perusahaan tekstil. Kelas dikondisikan seperti rapat di kecamatan yang
dihadiri oleh aparat kecamatan, lurah, sekertaris camat dan lurah, tokoh masyarakat,
korami, polsek, anggota LSM dan wakil dari pengusaha tekstil. Bangku-bangku
dirancang dengan bentuk U dengan camat duduk di bagian depan memimpin rapat
untuk mengatasi pencemaran air tanah oleh limbah industri perusahaan tekstil yang
ada di kecamatan itu. Pada kondisi seperti ini, peserta didik diberi “pengalaman
belajar” seperti: diskusi kelas, diskusi kasus dalam situasi simulasi, melakukan
penelitian, wawancara dengan masyarakat sekitar serta melakukan kegiatan social
untuk membersihkan lingkungan.
Asesmen Kinerja yang dapat digunakan pada contoh 2 dan 3 adalah: Project Paper,
Panduan Diskusi, Panduan Observasi, Panduan Wawancara, Daftar Cek, Rating Scale,
Skala Sikap

KESIMPULAN
Karakteristik utama asesmen kinerja tidak hanya mengukur hasil belajar
peserta didik saja, tetapi secara lengkap memberi informasi yang lebih jelas tentang proses
pembelajaran. Dengan perkataan lain asesmen kinerja merupakan proses yang menyertai
seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran dengan cara siswa mempertunjukkan
kinerjanya. Tugas-tugas asesmen kinerja dapat diwujudkan dengan bentuk: computer
adaptive testing, tes pilihan ganda yang diperluas, extended-response atau open ended
question, group performance assessment, individual performance assessment, interview,
observasi, portofolio, project, exhibition, short answer dan lain sebagainya.
Keterlaksanaan asesmen kinerja sangat ditentukan oleh tingkat keaktifan dan
kekreatifan guru dan peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran IPS. Semakin
tinggi tingkat keaktifan dan kekreatifan peserta didik dan guru semakin tinggi pula tingkat
keefektifan pelaksanaan asesmen kinerja dan semakin rendah tingkat keaktifan dan
kreativitas peserta didik dan guru maka semakin rendah pula tingkat keefektifan asesmen
kinerja bahkan mungkin tidak dapat berjalan dengan baik, asesmen kinerja menjadi
kumpulan tugas yang tidak bermakna bagi peserta didik dan guru. Oleh karena itu, , guru
harus mampu merancang dan melaksanakan suatu program pengajaran dan penilaian
(asesmen kinerja) yang mampu membuat siswa aktif dan kreatif. Untuk itu program
pengajarannya harus bersifat terpadu.
Asesmen kinerja dapat tercapai dengan baik diperlukan perubahan pandangan
dari guru IPS terhadap proses pembelajaran, yakni: (1) guru tidak lagi memandang
dirinya sebagai pusat belajar, sedangkan peserta didik dipandang sebagai unsur yang harus
menerima apa yang disampaikan oleh guru; (2) materi pelajaran yang terdapat dalam
dokumen kurikulum tidak harus disampaikan dalam kegiatan tatap muka di kelas, tetapi
dapat disampaikan melalui tugas, proyek atau simulasi dan lain-lain; (3) guru harus
memulai mengorganisasikan bahan pelajaran secara terpadu, yaitu pengorganisasian
melalui penggabungan materi pelajaran antar bidang studi IPS yang memiliki tema yang
sama. Hal ini sangat memerlukan kemampuan para guru IPS dalam melihat esensi yang
relevan dari setiap materi pelajaran yang akan dikembangkan. Dengan cara seperti ini
maka guru tidak akan selalu mengeluhkan soal kekurangan waktu pembelajaran IPS, yang
makin hari makin dikurangi jam pelajarannya; (4) menggunakan berbagai pendekatan
pembelajaran yang menekankan kepada aktifiktas siswa dalam PBM, seperti: inquiry,
cooperative learning, contextual learning, sosio drama, bermain peran, diskusi dan lain
sebagainya. Melalui pendekatan itu diharapkan mampu membangkitkan motivasi belajar,
keaktifan dan kreativitas peserta didik dalam belajar IPS.

DAFTAR PUSTAKA
Drake, Frederick. (2000). Using Alternative Assessment To Improve The Teaching and
Learning of History. ERIC: Clearinghouse for Social Studies/Social Science
Education
Gronlund, Norman E.,and Linn, Robert L. (1994). Measurement and Evaluation in
Teaching. New York: Mcmillan Publishing Company
Farr, Roger dan Tone, Bruce. (1998). Portofolio and Performance Assessment:Helping
Student Evaluate Their Progress as Readers and Writer. New York: Harcourt
Brace College Publisher
Hasan,Hamid (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: DIKTI
Hasan,Hamid. (2006). IPS Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah yang
disampaikan pada seminar Program IPS-PPS, 20 November 2006
Popham, W James. (1999). Classroom Assessment What Teacher Need to Know, Boston:
Allyn and Bacon
Rosyada, Dede. (2007). Paradigma Pendidikan Demokratis:Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Supriatna, Nana. (2007). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung: Historia
Utama Press
Skeel, Dorothy J. (1995). Elementary Social Studies: Challenges for Tomorrow’s World.
New York: Harcout Brace College Publisher
Trianto. (2007). Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher
Tilaar, H.A.R . (2005). Manifesto Pendidikan Nasional:Tinjauan Dari Perspektif
Postmoderisme dan Studi Kultural. Jakarta:KOMPAS
Tim Pustaka Yustisia. (2007). Panduan Lengkap KTSP. Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Worthen, Blaine R., et al. (1999). Measurement and Evaluation in the School, New York:
Longman
Zainul, Asmawi. (2001). Alternative Assessment. Jakarta: UT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *