MENYIAPKAN DIRI MENGHADAPI ABAD KE-21 PAUL KENNEDY

Oleh Yani Kusmarni

PENDAHULUAN
Globalisasi bukanlah suatu fenomena baru dalam sejarah peradaban
dunia. Sebelum kemunculan nation-state, perdagangan dan migrasi lintas benua
telah sejak lama berlangsung. Jauh sebelumnya perdagangan regional telah
membuat interaksi antar suku bangsa terjadi secara alamiah. Usai Perang
Dingin arus globalisasi semakin deras. Proses globalisasi menginteraksikan
kehidupan global di dalam suatu ruang dan waktu yang terpadatkan (spacetime
compression) melalui internasionalisasi perdagangan, internasionalisasi
pasar dari produksi dan keuangan, internasionalisasi dari komoditas budaya
yang ditopang oleh jaringan sistem telekomunikasi global yang semakin canggih
dan cepat. Dengan perkataan lain, proses globalisasi telah menyentuh hampir
seluruh aspek kehidupan yang tidak saja di bidang ekonomi, bisnis, budaya,
politik, ideologi, tetapi juga telah menyentuh ke tataran systems, processes,
actors dan events. Seperti yang diungkapkan Paul Kennedy bahwa era Pasca
Perang Dingin dewasa ini mulai menampilkan kejadian-kejadian, aktor-aktor
maupun proses-proses yang serba baru.2
Dalam bukunya yang berjudul “Menyiapkan Diri Menghadapi Abad Ke-
21”, Paul Kennedy mencoba untuk menggugah pembacanya agar lebih sigap
dan tanggap dalam memahami dan menyikapi realitas baru yang akan dihadapi
oleh umat manusia di dunia ini. Dengan memberi gambaran melalui analisis
sejarah yang menggunakan pendekatan “large history”, Kennedy mencoba
melacak perjalanan sejarah berbagai negara-bangsa (nation-state) dengan
menampilkan siapa yang menang (winner) dan siapa yang kalah (loser) dalam
menghadapi proses perubahan yang fundamental dan revolusioner melanda
dunia.3 Melalui analisis “large history” Kennedy mencoba untuk menguraikan
1 Paul Kennedy lahir di Wallsend-on-Tyne England Utara pada tahun 1945. Ia
menempuh kuliah di Universitas Newcastle dan memperoleh gelar kehormatan dalam bidang
Sejarah serta menerima gelar doktornya dari Oxford. Paul Kennedy melakukan penelitian dan
mengajar di berbagai tempat baik di Eropa maupun di Amerika Utara. Ia menjadi Fellow of
Royal Historical Society dan mantan Visiting Fellow of Institute for Advanced Study di Princeton
dan Alexander von Humboldt Foundation di Jerman. Kennedy mengarang tujuh buku termasuk
buku The Rise and Fall of the Great Powers yang menjadi bestseller pada tahun 1988 dan buku
Preparing for the Twenty-First Century pada tahun 1993.
2 Dapat dilihat di buku Paul Kennedy. (Terj). Menyiapkan Diri Menghadapi Abad Ke-
21.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. xiv
3 Ibid, hlm. xi

tantangan-tantangan lama yang telah dicatat dalam sejarah seperti perubahan
multidimensional yang diakibatkan oleh revolusi Perancis pada akhir abad ke-18
yang fenomenanya meluas ke berbagai pelosok dunia dengan tantangantantangan
baru yang meliputi permasalahan demografis, revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi, revolusi industri beserta dampaknya untuk
membentuk kekuatan-kekuatan masa depan yang saling menguntungkan di
antara bangsa-bangsa dalam menghadapi abad ke-21.
Analisis yang berjangka panjang (epochal) hingga mencapai ratusan
tahun tersebut memperlihatkan ketidaksamaan persepsi dan respon dari setiap
negara-bangsa terhadap perubahan revolusioner yang menyebabkan suatu
negara-bangsa menang atau kalah. Sejumlah negara-bangsa mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan cepat (fast adjusters) dan melakukan
reforms, tetapi juga terdapat sejumlah negara-bangsa lainnya yang bergerak
dengan lamban (slow adjusters), peimistis bahkan memandang perubahan
cepat itu sebagai ancaman dan membahayakan bagi eksistensi negara-bangsa.
Untuk itu perubahan tersebut harus ditentang.4 Paul Kennedy menunjukkan
berbagai faktor yang berperan sebagai pendorong dan penghambat negarabangsa
dalam merespons perubahan itu, seperti: struktur sosial, sikap kultural,
keyakinan agama, pengalaman sejarah dan kemahiran ekonomi (economic
powers).5
Buku ini memberikan cerminan bahwa pengalaman dan keberhasilan
masa lalu jelas sangat diperlukan bagi kita dalam menghadapi perubahanperubahan
yang terjadi pada saat ini. Paul Kennedy mengajak pembacanya
untuk “menjelajahi” masa lampau dengan melihat masa depan melalui analisis
sejarah yang luas cakupannya untuk mempersiapkan diri menghadapi ledakan
penduduk, dampak komunikasi yang serba cepat, liberalisasi perdagangan,
disintegrasi di satu pihak dan integrasi di pihak lain dengan menawarkan
kemungkinan-kemungkinan baru melalui kombinasi yang tepat antara Resource
Management (Manajemen Sumber Daya), Population Management (Manajemen
Populasi) dan Technologi Management (Manajemen Teknologi) untuk
menyongsong abad ke-21.
Lebih lanjut buku ini mengisyaratkan bahwa Paul Kennedy adalah
seorang “penulis” yang objektif dalam memandang proses globalisasi. Ia
mencoba memberikan gambaran bahwa globalisasi bukan sesuatu yang
“homogen”, globalisasi tergantung kepada “kreativitas” negara-bangsa dalam
merespon tantangan tersebut. Oleh karena itu Kennedy mencoba untuk merinci
4 Ibid, hlm.xii
5 Ibid, hlm.xiii

negara-negara mana yang menang dan yang kalah dalam menghadapi proses
perubahan yang fundamental yang melanda dunia saat ini. Hal ini sejalan
dengan pendapat Micklethwait dan Wooldridge yang mengemukakan bahwa
globalisasi bergerak dengan kecepatan berbeda, di wilayah berbeda dan pada
masyarakat yang berbeda pula sehingga meresponnya pun berbeda satu sama
lain.6 Lebih lanjut Micklethwait dan Wooldridge mengungkapkan bahwa
globalisasi merupakan “proses yang kasar” tetapi juga merupakan “proses yang
bermanfaat”, jumlah pemenang jauh lebih banyak daripada jumlah yang kalah.
Untuk itu kita bukan hanya perlu “mengerti globalisasi”, tetapi juga hendaknya
memperjuangkannya dengan keras.7
Melalui struktur penyajian yang sederhana, Kennedy merinci
paparannya menjadi tiga bagian yaitu: pada bagian pertama, Kennedy
mencoba untuk menganalisis bagaimana teknologi baru (komputer, satelit,
komunikasi) mengglobalisasikan bisnis dunia dan mengubah operasionalisasi
perusahaan. Ia mensejajarkan transformasi ini untuk menunjukkan kesenjangan
antara perkembangan negara miskin dengan penduduknya yang berlebih
dengan negara maju dari segi teknologi dan memiliki kecenderungan
penyusutan penduduk. Lebih lanjut Kennedy menggambarkan bahwa revolusi
pertanian kontemporer (pertanian biotek) dan revolusi teknologi (industri) justru
dapat memperburuk ledakkan penduduk, karena semua ini mengarah pada
kesenjangan yang lebih luas antara negara maju dengan negara berkembang.
Tidak seperti di Inggris pada jaman Malthus, revolusi-revolusi itu justru dapat
meredakan ledakan penduduk. Hal lain yang dibahas Kennedy pada bagian ini
adalah kerusakan lingkungan hidup yang meluas, khususnya pemanasan global.
Cara alternatif untuk menangani pemanasan global ini adalah pencegahan
dengan mengubah cara hidup kita pada masa yang akan datang. Pembahasan
pada bagian ini, diakhiri dengan pemaparan tentang perubahan transnasional
yang mempengaruhi negara-bangsa.
Bagian kedua dari buku ini membahas tentang berbagai wilayah di
dunia serta kapasitasnya masing-masing dalam merespons tantangan baru.
Kennedy memilih negara Jepang, karena negara ini, kini merupakan pusat
finansial terbesar dunia, bangsa yang berteknologi tinggi paling inovatif di
bidang non-militer. Kemudian diikuti oleh keempat “macan” atau “naga” Asia
Timur, Ekonomi Industri Baru (EIB) yakni Singapura, Hongkong, Taiwan dan
Korea Selatan . India dan Cina masih “bergulat” dengan tugas mengendalikan
pertumbuhan penduduk dan memanfaatkan teknologi. Sedangkan negara-
6 John Micklethwait dan Adrian Wooldridge, Masa Depan Sempurna: Tantangan dan
Janji Globalisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 42
7 Ibid, hlm. 40

negara berkembang lainnya seperti Amerika Latin , Arab dan Afrika memiliki
perbedaan dalam merespon tantangan demografis dan teknologi. Lebih lanjut
Kennedy mengungkapkan bahwa krisis dalam “legitimasi politik” sistem Soviet
berinteraksi dengan krisis dalam “produk ekonomi dan penyediaan sosial” dan
keduanya diperburuk oleh krisis dalam “hubungan-hubungan etnis dan
kebudayaan”. Hasilnya gabungan tantangan-tantangan yang tidak dapat diatasi
oleh Soviet sehingga kesatuannya hancur. Masyarakat Eropa harus menangani
perkembangan dan perubahan global dengan memperdalam dan memperluas
integrasinya. Sedangkan Amerika Serikat yang dilengkapi dengan baik secara
militer menghadapi secara radikal tantangan baru dari jenis non-militer, yakni
faktor demografis. Sedangkan bagian ketiga Kennedy mencoba menyajikan
bagaimana masyarakat paling baik mempersiapkan diri untuk menghadapi abad
ke-21 mendatang melalui pendidikan, kedudukan kaum wanita dan kualitas
pemimpinnya.

KECENDERUNGAN-KECENDERUNGAN UMUM
Pada bagian tantangan lama dan tantangan baru, Kennedy mencoba
memberikan gambaran bahwa kita harus memandang kondisi-kondisi
demografis dan ekonomi dari akhir abad ke-18 sebagai “metafor” untuk
tantangan yang dihadapi masyarakat global kita pada saat ini, yakni dua abad
setelah “renungan” Malthus. Hal ini penting bagi kita untuk memahami “sifat
saling berhubungan satu sama lain” dari isu-isu ini pada dilema dewasa ini yang
dapat dibandingkan. Perbedaan sebenarnya bukan dalam sifat masalah global
kita, tetapi dalam “intensitas” sekarang lebih besar apabila dibandingkan
dengan akhir abad ke-18. “Bumi” pada saat ini kembali menghadapi ledakan
penduduk, bukan dalam masyarakat maju Eropa barat-laut tetapi juga di daerah
Afrika, Amerika Tengah, Timur Tengah, India dan Cina yang dilanda kemiskinan
serta melibatkan miliaran rakyat. Pada saat yang bersamaan kita menyaksikan
ledakan pengetahuan dalam jumlah yang luar biasa di bidang teknologi dan
produksi.8 Dampak inilah yang dirasakan lebih besar, lebih cepat dan luas
daripada akhir abad ke-18. Penduduk global di abad ke-18 menambah ¼ miliar
orang setiap 75 tahun, sekarang kenaikan itu terjadi setiap tiga tahun.
Sementara itu, perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan komunikasi sangat
mempercepat perubahan teknologi.
Lebih lanjut Kennedy mengungkapkan bahwa di akhir abad ke-18 di
Inggris, ledakan penduduk dan ledakan teknologi terjadi pada masyarakat yang
sama dan berinteraksi satu sama lain dengan cara yang akhirnya
8 Paul Kennedy., Op.Cit., hlm. 15

menguntungkan, yakni penduduk yang bertambah itu dapat merangsang
tuntutan untuk pangan dan mendorong investasi dalam pertanian, industrialisasi
mendorong kekayaan nasional dan pada gilirannya menyebabkan kenaikan
pembelian bahan pangan, peralatan dapur atau sandang. Tantangan dari suatu
kekuatan besar dijawab oleh kekuatan lainnya.9 Akan tetapi, di “dunia sekarang”
kondisinya tidak seperti itu. Ledakan teknologi terjadi secara berlimpah, cepat
dan meluas di masyarakat ekonomi maju, hal ini berdampak pada pertumbuhan
penduduk yang lamban bahkan cenderung menurun di negara maju. Sedangkan
di negara berkembang dan miskin cenderung terjadi ledakan penduduk yang
besar dengan sumber daya teknologi yang terbatas. Apabila para pemimpin
politiknya tidak menaruh perhatian dalam bidang teknologi serta bias
kebudayaan dan ideologi lebih banyak condong melawan perubahan maka
negara-negara itu akan sulit untuk menjawab tantangan yang dihadapinya.
Seperti yang diungkapkan oleh Kennedy bahwa terdapat “dua kesulitan” yang
dihadapi negara-negara berkembang pada saat ini, yakni : (1) tekanan
penduduk di banyak negara berkembang menyebabkan penyusutan sumber
daya pertanian lokal; (2) terdapat indikasi bahwa “teknologi baru” dunia justru
bukan menyelamatkan penduduk dunia berkembang yang “meledak” tetapi
justru dapat merugikan negara-negara yang lebih miskin dengan menjadikan
kegiatan sektor ekonomi secara berlebihan.10 Dengan perkataan lain terobosan
ilmiah yang baru justru sering menciptakan masalah struktural dari pemindahan
manfaat dari “yang kaya” dan “yang miskin” dalam masyarakat. Masyarakat
global sekarang dihadapkan kepada tantangan yang jauh lebih besar lagi,seperti
ledakan penduduk, peningkatan migrasi gelap, terobosan teknologi yang banyak
berdampak negatif, kedaulatan nasional yang mulai menyusut, isu lingkungan
hidup dan lain sebagainya. Hal ini memerlukan kreativitas setiap negara untuk
menjawab tantangan tersebut.11 Oleh karena itu Kennedy mencoba untuk
9 Permasalahan kehidupan manusia pada akhir abad ke-18 dan 19 terletak dalam
garis lurus dengan produktivitas bumi karena sistem pertanian masih merupakan sumber
kehidupan utama yang kemudian dijawab dengan kemampuan akal budi manusia yang
berdasarkan kajian dan penelitian dalam menemukan berbagai ciptaan peralatan baru,
mengubah sistem produksi, transportasi dan komunikasi serta menemukan solusi-solusi baru
untuk menyeleksi permasalahan yang dihadapi. Kemajuan ilmu dan teknologi ini kemudian
diikuti dengan revolusi politik, yakni perkembangan nilai-nilai kultural yang berkembang pada
jaman pencerahan (aufklarung)
10 Ibid, hlm. 16-17
11 Negara-negara Inggris yang dapat keluar dari bencana seperti yang diramalkan
Malthus dengan memberikan respons yang kreatif melalui kemajuan ilmu dan teknologi.
Pertama, adanya migrasi penduduk besar-besaran ke daerah koloni yang subur seperti Australia,
Amerika Serikat, Kanada, Asia dan Afrika Selatan; Kedua, perbaikan sistem pertanian yang
kemudian disebut revolusi agraria; Ketiga, adanya revolusi industri yang memberkan
kesejahteraan kepada kehidupan manusia, walaupun pendistribusiannya tidak merata. Contoh
ini mungkin tidak sesuai untuk saat ini, tetapi kreativitas negara-negara Inggris pada abad ke-19

mengurai negara-negara mana yang menang dan yang kalah dalam
menghadapi proses perubahan fundamental yang melanda dunia saat ini.
Secara historis, tingkat kesuburan dalam masyarakat agraris lebih
tinggi daripada tingkat kesuburan dalam masyarakat industri demikianpun
tingkat kematiannya. Apabila kita melihat “kilas balik” ke masa lampau,
khususnya mengingat pengalaman Eropa pada abad ke-19, ledakan demografis
ini dapat diramalkan. Tetapi ledakan demografis pada saat ini jumlahnya jauh
melebihi dari apa yang dibayangkan Malthus. Misalnya, di Afrika yang termiskin
dari semua benua, kini memiliki kira-kira 650 juta orang, jumlah ini diramalkan
meningkat hampir tiga kalilipat menjadi 1,58 miliar menjelang tahun 2025.
Demikianpun Cina yang sekarang berjumlah 1,3 miliar menuju kira-kira 1,5
miliar di tahun 2025, sedangkan penduduk India yang tumbuh lebih cepat dapat
mencapai jumlah yang sama dari 853 juta sekarang. Oleh karena itu, Kennedy
mengungkapkan bahwa kecenderungan “ledakan penduduk” ini tidak hanya
melibatkan masalah jumlah tetapi juga mempengaruhi tatanan sosial dan sistem
internasional. Ledakan demografis ini tidak saja merugikan generasi yang akan
datang dengan kepadatan yang berlebih dan kekurangan gizi yang membentuk
ledakan itu, tetapi juga menyebabkan kerusakan besar dalam lingkungan hidup,
sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan yang diproyeksikan dalam
penduduk dunia pada saat ini tidak dapat dipertahankan dengan pola dan
tingkat konsumsi kita sekarang.
Untuk mengatasi ledakkan demografis itu, Kennedy mencoba
membahasnya melalui “pendekatan” yang digunakan negara Inggris dalam
menjawab ramalan Malthus yakni: migrasi, sistem pertanian dan terobosan
teknologi baru. Namun dengan masalah ketidakseimbangan demografis global
saat ini antara masyarakat yang lebih kaya dengan masyarakat lebih miskin
telah membentuk latar belakang yang berbeda sehingga “ketiga pendekatan” itu
“diragukan” akan berhasil menghadapi ledakan demografis yang ratusan kali
lebih besar daripada yang terjadi di Inggris jaman Malthus.
Dalam aspek migrasi, terdapat perbedaan yang besar antara migrasi
pada masa lalu dengan migrasi pada masa kini. Migrasi pada masa lampau
berangkat dari masyarakat yang maju secara teknologi ke masyarakat yang
kurang maju, sedangkan migrasi pada masa kini bergerak dari masyarakat
kurang maju ke masyarakat maju seperti ke Eropa, Amerika Utara dan
Australia.12 Apabila dihubungkan dengan ketidakseimbangan global dalam
untuk merespons tantangan tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi kita dalam menghadapi
abad ke-21.
12 Paul Kennedy, hlm. 58

kecenderungan penduduk pada saat ini, gerakan migrasi ini akan membantu
semua negara yang terlibat proses tersebut. Namun, terjadinya ketegangan
politik dan sosial pada saat ini yang disebabkan oleh migrasi transnasional dan
terjadinya kecenderungan demografis antara masyarakat “kaya” dan “miskin”
tampaknya tidak mungkin ada gelombang migrasi besar dalam abad ke-21 ini.13
Menurut Kennedy, kecenderungan migrasi dapat diminimalkan apabila negara
berkembang berhasil meningkatkan hasil produksi dan standar hidupnya,
sehingga proporsi hasil ekonomi dari Barat, kekuatan global dan pengaruh
politik akan berkurang dengan sendirinya. Namun, apabila negara berkembang
masih tetap terperangkap dalam kemiskinannya, negara maju akan “terkepung”
oleh puluhan juta pengungsi migran yang ingin tinggal di negara demokrasi
yang berpenduduk makmur tetapi kurang produktif.14
Terobosan teknologi baru pada saat ini sangat tergantung kepada
kelompok atau individu yang menciptakan, mengendalikan dan memilih akses
ke penemuan baru serta kondisi ekonomi secara umum. Ekonomi dunia saat ini
jauh lebih banyak terpadu dan tingkatan pencapaiannya secara keseluruhan
jauh lebih makmur, walaupun penciptaan dan kenikmatan kekayaannya sangat
tidak merata. Pengendali utama teknologi adalah perusahaan multinasional
besar dengan jangkauan lebih global ketimbang tanggung jawab global,
sehingga makin memperlebar kesenjangan antara masyakarat kaya dengan
masyarakat miskin. Struktur bisnis dan investasi internasional akan lebih
memperburuk kondisi negara yang lebih miskin.15 Hal ini berbeda dengan
pendapat John McMillan bahwa globalisasi tidak menyebabkan negara-negara
miskin tambah kaya. Tetapi ia juga tidak menyebabkan negara-negara miskin
makin miskin. Negara miskin makin miskin bukan karena globalisasi tetapi
karena mereka gagal dalam pertumbuhan ekonomi mereka.16
Salah satu cara yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan standar
kehidupan manusia melalui sistem pertanian dengan pembiakan bioteknologi.
Bioteknologi berkembang dari terobosan luar biasa yang dilakukan ilmuwan
sejak tahun 1950-an dalam memahami kode genetik. Pemakaian bioteknologi ini
13 Ibid, hlm. 60-61
14 Ibid, hlm. 63-64
15 Paparan Kennedy tersebut sejalan dengan pandangan Steger (Globalism, The
New Market Ideology, 2002) yang menyatakan bahwa Internasionalisasi perdagangan, sumbersumber
keuangan, lahirnya multinational corporation telah melahirkan apa yang digambarkan
oleh Marshall McLuhan sebagai lahirnya suatu global village yang telah “mengkomoditifisasikan
berbagai karya manusia termasuk manusia itu sendiri. Inilah yang disebut gejala komersialisasi
dalam kehidupan manusia. Komoditifikasi dan komersialisasi telah melahirkan komoditi budaya
universal.
16 Dapat dilihat di buku John Micklethwait dan Wooldridge, Op.Cit., hlm. 44

dapat dipandang sebagai tahap baru dalam usaha umat manusia untuk
menghasilkan lebih banyak panen dan tanaman. Ia membuka pasaran baru,
mengurangi banyaknya biaya manufaktur dan jasa serta mungkin mengubah
pola perdagangan internasional. Di negara yang lebih kaya dengan defisit
pangan akan menggunakan revolusi biotek untuk menghemat devisa atas
barang pertanian yang diimpor, sedangkan negara yang surplus pangan akan
membatasi teknologi untuk menjaga kawasan pertaniannya. Untuk negara
berkembang, pertanian biotek memiliki keuntungan dan kerugian. Kesenjangan
antara kenaikan penduduk dan hasil pangan akan mempengaruhi revolusi ini di
negara berkembang. Tanpa revolusi ini nasib rakyat berkembang akan sulit,
oleh karena revolusi ini tampaknya merupakan pemecahan yang menarik bagi
kemajuan suatu negara berkembang.
Selanjutnya, terobosan teknologi baru yang dibahas oleh Paul
Kennedy pada bagian ini adalah revolusi robotik. Dampak potensial dari robot
industri ini banyak dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi. Seperti di Amerika
Serikat dengan naiknya biaya perawatan kesehatan jangka panjang, rumah
sakit menguji pembelian robot yang mampu menggerakkan spesimen dalam
laboratorium, mensterilkan alat-alat bedah, menyerahkan obat-obat dari
farmasi, dll. Sedangkan di Jepang pemakaian robotik sangat dipengaruhi oleh
faktor khusus, yaitu demografis. Alasan utama Jepang menggunakan teknologi
ini adalah untuk menutupi kekurangan tenaga kerja. Keuntungan ekonomi dari
pemakaian robot industri pada saat ini besar sekali, karena biaya robot lebih
rendah dibandingkan dengan menggunakan tenaga manusia. Oleh karena itu,
tempat dominan dalam robotik kini diduduki oleh Jepang.17 Menurut Kennedy,
revolusi ini akan memperburuk dilema global untuk jangka panjang, karena jika
revolusi biotek dapat melimpahkan bentuk pertanian tertentu, revolusi robotik
dapat “menyingkirkan” banyak jenis pekerjaan pabrik perakitan dan
manufakturing.18
Pada bagian ini, Kennedy membahas pula tentang dampak dari
“ledakan penduduk” yang dialami manusia pada saat ini, bukan saja
kesenjangan demografis antara masyarakat miskin dan kaya menghadapi banjir
migrasi dari negara berkembang ke negara maju dengan semua permasalahan
sosial yang akan dihadapi oleh masyarakat pada masa yang akan datang, tetapi
juga kerusakan lingkungan hidup kita. Menurut Kennedy, krisis lingkungan hidup
yang kita hadapi pada saat ini secara kuantitatif dan kualitatif berbeda dengan
masa sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh ledakan penduduk yang telah
menimbulkan kerusakan atas ekosistem dunia dewasa ini. Memasuki tahun
17 Ibid, hlm.121-126
18 Ibid, hlm. 135

1990-an kerusakan lingkungan hidup kita semakin parah. Perkembangan
penduduk di negara berkembang telah mengganggu ekosistem karena makin
banyak yang mengeksploitasi sumber daya alam sekitar. Tekanan ini diperparah
dengan industrialisasi di Asia dan di tempat lain yang semuanya ini makin
memperparah kerusakan ekologi di negara berkembang. Kennedy menyatakan
bahwa semua kerusakan lingkungan hidup di negara berkembang ini sebagai
dampak dari tindakan yang tidak bijaksana dari negara maju. Lebih lanjut
Kennedy mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan juga dipengaruhi oleh
efek rumah kaca yang secara langsung berpengaruh pada pemanasan global,
yang menyebabkan temperatur bumi lebih tinggi. Ini akan memperburuk pada
pemakaian air, polusi atmosfir, penyusutan hutan dan mengurangi
keanekaragaman hayati dari spesies tumbuh-tumbuhan. Cara alternatif untuk
menangani pemanasan global ini adalah pencegahan dengan menngubah cara
hidup kita pada masa yang akan datang.
Tema terakhir yang dibahas Kennedy dalam kecenderungankecenderungan
umum ini adalah masa depan negara bangsa, dalam arti
perkembangan transnasional untuk masa depan negara-bangsa sendiri yang
merupakan “unit pengorganisir” rakyat dalam menghadapi perubahan global.
Kennedy memulai pemaparan tema ini dengan menggambarkan negara dalam
aspek geografis yang memiliki simbol-simbol seperti bendera, lagu kebangsaan,
tokoh dan peristiwa sejarah, hari libur khusus. Dalam bidang pendidikan, para
siswa mempelajari subjek yang bersifat universal seperti matematika, sains,
geografi, unsur-unsur lain dalam kurikulum (khususnya sejarah) memiliki fokus
nasional, sebagaimana pola pengajarannya sendiri mengikuti pola nasional dan
penggunaan bahasa nasional. Juga secara kelembagaan dan ekonomi, negara
bangsa adalah pusat segala-galanya dan tetap sebagai aktor pusat dalam
urusan dunia.19
Kennedy mengungkapkan walaupun banyak pihak yang menggugat
“keberadaan negara-bangsa” dalam perubahan global saat ini, tetapi negarabangsa
tetap menjadi “fokus utama” identitas kebanyakan rakyat. Hal ini
dikarenakan rakyat secara “naluriah” berpaling (paling tidak dalam demokrasi)
kepada pemerintahnya sendiri. Sifat tantangan baru jauh lebih sulit daripada
sebelumnya bagi “pemerintah” untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi. Akan tetapi mereka masih menyediakan lembaga utamanya, yaitu
negara-bangsa, melalui ini masyarakat akan berusaha menanggapi perubahan.
Dengan perkataan lain, sekalipun fungsi dan otonomi negara telah “dikikis” oleh
gejala transnasional, penggantinya belum muncul untuk menggantikannya
sebagai unit utama untuk menghadapi perubahan global abad ke-21. Untuk itu
19 Ibid, hlm. 180-184

konsep negara bangsa tetap diperlukan dalam menanggapi tantangan abad
mendatang.
Pandangan Kennedy tentang nation-state ini berbeda dengan
pandangan Kenichi Ohmae dan John Naisbitt yang memandang negara bangsa
dari konsep “ekonomi”. Keduanya menyatakan bahwa di panggung global yang
akan datang “konsep negara-bangsa” benar-benar telah berakhir dan mengarah
kepada kerjasama regional di dalam dunia tanpa batas. Kenichi Ohmae lebih
menitikberatkan kepada pandangan bahwa gloibalisasi tidak dapat
membendung “potensi kreatif” dari suatu daerah/wilayah/region. Hal ini
dikarenakan unit-unit geografis menjadi lebih terfokus di tempat pekerjaan yang
secara kongkrit berada dalam pasar yang sedang berkembang sehingga
wilayah-wilayah tidak lagi berpikir tentang negara sebagai “monolith politis”
tetapi negara sebagai pencampuran wilayah. Atau dengan kata lain ilmu
ekonomi dan teknologi mengimplementasikan skala baru ke organisasi
geopolitis.20 Sedangkan John Naisbit mengemukakan bahwa berakhirnya negara
bangsa bukan karena ditundukkan oleh negara super power tetapi dikarenakan
mereka terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih efisien.
Ketika ekonomi global menjadi semakin besar, negara bangsa menjadi lebih
kecil dan semakin kecil. Hal ini dikarenakan revolusi dalam telekomunikasi
sehingga kita bergerak ke arah penghubungan jutaan jaringan komputer host
(induk), negara-negara akan menjadi tidak relevan dan cenderung memudar.
Penyebaran kekuasaan berubah dari negara ke individu. Dari vertikal ke
horizontal. Dari hierarki ke pembentukan jaringan. Kekuasaan mengalir ke
segala arah tanpa dapat diramalkan. Menurut Naisbitt untuk menghadapi
demokrasi dan revolusi dalam telekomunikasi dengan cara menyeimbangkan
antara kesukuan dengan universal ke tingkat yang lebih intens. “Berpikirlah
lokal, Bertindaklah global. Berpikirlah secara Kesukuan, Bertindaklah secara
Universal”.21 Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa
peranan multikulturalisme di dalam nation-state memang merupakan suatu
proses yang masih terus berjalan. Apakah nanti nation state di dalam bentuknya
yang baru akan lahir, sejarah manusia akan membuktikannya di kemudian hari.
20 Disarikan dari buku Kenichi Ohmae. (Terj). The Next Global Stage: Tantangan
dan Peluang Di Dunia Yang Tidak Megenal Batas Kewilayahan (Jakarta: Indeks, 2005)
21 Disarikan dari buku John Naisbitt. (Terj). Global Paradoks: Semakin Besar
Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil. (Jakarta: Binarupa Aksara, 1994), hlm.35-50

DAMPAK-DAMPAK REGIONAL
Paul Kennedy memulai pemaparan pada bagian ini dengan mengkaji
“rencana” Jepang untuk sebuah dunia pasca tahun 2000. Menurut Kennedy,
Jepang merupakan negara yang paling kecil memiliki kemungkinan akan
dirugikan oleh kerusakan bruto dan kerusakan langsung karena kelebihan
penduduk global, migrasi massal dan bencana lingkungan hidup di satu pihak
atau karena globalisasi produksi di pihak lain. Prestasi Jepang dalam
menciptakan kekayaan nasionalnya tidak dapat disamai oleh negara besar
dimanapun. Ini dikarenakan oleh pondasi kuat yang dimiliki rakyat Jepang,
yaitu:
(1) Jepang memiliki identitas nasional yang kuat dan keunikan kebudayaan.
Rakyat Jepang jarang melakukan perkawinan antar bangsa atau dengan
kelompok etnis lain. Mereka “menikmati” periode isolasi dari urusan
internasional yang relatif panjang, hal ini membawa dampak terciptanya
keserasian sosial, kebutuhan akan konsensus, rasa menghormati antar
generasi dan menempatkan keinginan pribadi di tempat kedua demi
kebaikan kolektivitas.
(2) Pendidikan merupakan aspek penting di Jepang. Mereka memberikan
“tekanan” kepada belajar sebagai kegiatan kelompok daripada mendorong
keunggulan individu. Guru adalah aset yang bernilai tinggi di Jepang,
setiap tahunnya banyak pelamar yang berkualifikasi tinggi untuk pekerjaan
guru sekolah daripada tempat yang tersedia. Di Jepang, belajar bukan
hanya di sekolah tetapi juga di rumah atau di lembaga kursus dengan
penekanan kepada aspek faktual dibandingkan diskusi, debat atau
penyampaian suatu ide. Para lulusan sekolah yang memiliki kualifikasi
tinggi didorong untuk “cocok” dalam perusahaan yang merekrut mereka,
sehingga menjadi anggota tenaga kerja berdisiplin dan ahli yang memiliki
pengabdian untuk memperbaiki produktivitas perusahaan. Sedangkan yang
lebih berbakat akan diarahkan ke karier yang mendukung manufakturing
yang berkembang dan memiliki basis teknologi: insinyur dari segala
jurusan, ilmuwan, ahli komputer, pegawai Riset dan Pengembangan.
Dengan kata lain orang yang membantu “membuat” sesuatu. Ahli hukum
dan konsultan manajemen sebagai penyedia jasa bukan menghasilkan
barang.
(3) Struktur finansial dan fiskal Jepang turut menciptakan kekayaan nasional.
Sistem pajak, perumahan dan keperluan menabung untuk hari tua telah
menjamin tingkat tabungan pribadi yang tinggi. Hal ini memberikan
dampak pada bank-bank dan perusahaan asuransi modal dalam jumlah
besar. Kemudian meminjamkannya dengan suku bunga rendah kepada
pihak manufaktur Jepang yang memberi mereka keuntungan biaya atas

perusahaan asing. Di samping itu, bank-bank dan perusahaan-perusahaan
itu memiliki jaringan crossholding atas saham satu sama lain yang
memungkinkan para menajer perusahaan merencanakan strategi jangka
panjang, melibatkan invesasi modal yang besar dengan tidak
memperhatikan keuntungan triwulan untuk membawa produk baru kepada
konsumen dan meningkatkan “andil” pasar. Kombinasi seperti ini banyak
menyulitkan perusahaan asing untuk bersaing dengan perusahaan Jepang.
(4) Kemampuan Jepang dalam mengelola bidang perekonomiannya seperti
dalam point 3 di atas, berdampak pada muculnya sejumlah perusahaan
“raksasa Jepang” yang memiliki banyak modal dan strategi dunia untuk
membuat dan menjual barang mereka. Perusahaan-perusahaan yang
ambisius tersebut dengan staf yang memiliki “intelegensia industri” demi
memantau dunia untuk produk dan gagasan baru telah membeli
perusahaan asing, mendirikan laboratorium dan pusat riset di Eropa dan
Amerika Utara serta membiayai riset akademis dan ilmuwan di berbagai
belahan dunia. Bagi Jepang tantangan-tantangan yang dihadapi dijawab
dengan usaha-usaha keras yang dilakukan untuk menyingkirkan
kekurangan itu.22
Selain memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang dikemukakan di atas,
Kennedy juga mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki Jepang
yaitu:
1. Sifat eksklusif kebudayaan Jepang seperti yang dikemukakan di atas,
menyulitkan orang Jepang sendiri untuk menawarkan nilai-nilai transedental
kepada orang lain, seperti yang telah dilakukan oleh Athena, Italia pada
masa Renaisance dan Amerika Serikat modern yang menyumbangkan
kepada peradaban dunia
2. “Japan Inc” secara sistematis telah menghindari peraturan perdagangan
bebas internasional. Selama puluhan tahun, barang luar negeri yang
dianggap menyaingi produk Jepang dilarang memasuki pasar dalam negeri
baik dengan cara tarif diskrimatif maupun dengan berbagai rintangan yang
kurang jelas sistem distribusinya. Sebagai contoh: “sistem dumping” yang
banyak merugikan perusahaan asing dengan menetapkan barang melalui
harga di bawah harga pasar di luar negeri, sementara tetap menjaga tinggi
harga mereka di pasar dalam negeri yang dilindungi.
3. Kesuksesan ekonomi dan teknologi Jepang di dunia tidak diimbangi dengan
perhatiannya dalam bidang politik, terutama politik internasionalnya.
Berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menganggap kepimpinan
politik sebagai unsur utama dalam kesuksesan bangsanya pada masa yang
22 Disarikan dari buku Paul Kennedy., hlm 201 – 207

akan datang, Jepang tampaknya tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut.
Hal ini cukup mengkhawatirkan karena faktor kepemimpinan politik yang
akan membawa rakyat Jepang “bekerjasama” dengan sukses dalam
masyarakat global pada masa mendatang.23
Paparan-paparan di atas menunjukkan bahwa Jepang dengan cerdik
telah menempatkan diri baik untuk mengambil manfaat dari gejala teknologi
baru maupun mengurangi dampak demografis yang dapat merusak lingkungan
serta tidak terlalu mengkhawatirkan transformasi global dari negara-negara lain
melalui standar pendidikan yang seragam, kode sosial yang tegas kepada
kepatuhan, hierarki dan rasa hormat, pedoman birokratis elite, komitmen
kepada tabungan dan investasi, perhatian fanatik atas perencanaan jasa, etos
semangat beregu yang bertekad untuk berhasil dalam melawan pesaing
domestik dan asing. Semuanya ini merupakan unsur kekuatan yang “menarik”
untuk merancang masa depan Jepang menghadapi abad ke-21.
Tema lain yang dibahas Kennedy pada bagian ini adalah Cina dan
India yang merupakan dua negara di dunia dengan penduduk terpadat.
Penduduk mereka masing-masing sebanyak 1,135 miliar dan 853 juta orang kini
melebihi 37 % dari seluruh penduduk dunia.24 Kenaikan jumlah populasi dunia
akan mempengaruhi permintaan bahan pangan global, pemakaian energi dan
lingkungan hidup. Cina dan India sudah menjadi kontributor ke-4 dan ke-5
terbesar di dunia dalam kenaikan tahunan efek rumah kaca. Selain itu Cina dan
India memegang peranan dalam urusan luar negeri dan militer di masa depan
karena dapat mempengaruhi keamanan regional di Asia Timur dan Asia Selatan.
Kennedy mengungkapkan bahwa dengan struktur pemerintahan yang otoriter
dan terpusat melalui pendekatan monopoli kekuasaan Partai Komunis Cina lebih
berhasil merespons tantangan abad ke-21 dibandingkan dengan India. Hal ini
dapat dilihat dari aspek cara mengatasi ledakan penduduk, sistem pertanian,
industrialisasi, militer, sistem pendidikan dan kepemimpinan politik di Cina lebih
baik dibandingkan dengan India.
Pada pembahasan tentang “yang kalah dan yang menang” di negara
berkembang,25 Kennedy memberika gambaran bahwa negara berkembang yang
paling berhasil mengejar barat adalah negara dari Pasifik dan Asia Timur,
kecuali negara-negara yang dikuasai komunis di kawasan itu seperti: Vietnam,
Kamboja dan Korea Utara maupun Myanmar yang isolasionis, menempuh “cara
orang-orang Birma menuju Sosialisme”. Kennedy mengungkapkan bahwa “pusat
23 Disarikan dari buku Paul Kennedy., hlm 210-211-212 dan 239
24 Ibid, hlm. 241
25 Disarikan dari buku Paul Kennedy, hlm. 287-340

pesatnya” dalam bidang manufakturing, perdagangan dan investasi di Asia dan
Pasifik adalah Jepang. Negara ini, kini merupakan pusat finansial terbesar dunia,
bangsa yang berteknologi tinggi paling inovatif di bidang non-militer. Kemudian
diikuti oleh keempat “macan” atau “naga” Asia Timur, Ekonomi Industri Baru
(EIB) yakni Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan . Sedangkan
negara-negara Asia Tenggara seperti: Thailand, Malaysia dan Indonesia
dirangsang oleh investasi asing (terutama Jepang) dan terlibat dalam
manufakturing, perakitan dan ekspor. Kesuksesan negara Jepang dan keempat
macan Asia Timur dalam menjawab tantangan perubahan global adalah: (1)
menekankan pada bidang pendidikan. Ini diperoleh dari tradisi Konfusianis
tentang ujian kompetitif dan rasa hormat pada pengetahuan, peranan keluarga
sangat menentukan dalam melengkapi apa yang telah diajarkan di sekolah; (2)
tingkat tabungan nasional yang tinggi, dengan memakai langkah-langkah fiskal,
pajak dan pengendalian import untuk mendorong tabungan pribadi, sejumlah
besar modal berbunga rendah disediakan untuk investasi dalam manufaktur dan
perdagangan; (3) kerangka politik yang kuat dengan menunjang pertumbuhan
ekonomi; (4) komitmen pada ekspor, hal ini berlawanan dengan kebijakan India
tentang substitusi impor dan kebijakan yang didorong konsumen dari Amerika
Serikat.
Kondisi Asia Timur, berbeda dengan kondisi Amerika Latin yang
mengalami kemunduran menjelang akhir tahun 1980-an. Kondisi ini banyak
dipengaruhi oleh sistem politik negara-negara di Amerika Latin, terutama
kerapuhan demokrasi baru dan semua negaranya banyak dipengaruhi oleh
hubungan dengan negara maju, khususnya Amerika Serikat. Kebijakan ekonomi
Amerika Latin sangat berbeda dengan Asia Timur. Daripada mendorong kaum
industrialis dalam menentukan target pasar-pasar luar negeri dan merangsang
ekonomi melalui pertumbuhan berdasarkan ekspor, pemerintah Amerika Latin
menempuh kebijakan “subsidi” impor dengan menciptakan industri baja, semen,
kertas, mobil dan barang elektronik mereka sendiri yang diberi tarif protektif,
subsidi pemerintah dan kelonggaran pajak untuk mereka dari persaingan
internasional. Akibatnya produk mereka menjadi kurang menarik di luar negeri.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi disertai kebijakan finansial yang lemah dan
meningkatnya ketergantungan pada pinjaman asing. Pemerintah mengalirkan
uang tidak saja ke dalam prasarana dan sekolah, tetapi juga ke dalam
perusahaan milik negara, birokrasi besar dan angkatan bersenjata yang terlalu
besar, membayar dengan mencetak uang dan menaikkan pinjaman dari bank
dan badan internasional barat (terutama Amerika Serikat). Dua kelemahan lain
juga memperlambat pemulihan Amerika Latin, yakni kinerja sistem pendidikan
dan mengabaikan dan kekurangan investasi.

Menurut Kennedy, banyak negara Arab dan Islam akan memiliki
kesulitan untuk menghadapi abad ke-21. Tekanan penduduk, kekurangan
sumber daya, kekurangan pendidikan dan teknologi dan konflik regional.
Disamping itu lokasi tidak merata dari minyak di Timur Tengah telah
menciptakan dikotomi antara masyarakat super-kaya dan sangat miskin.
Kesenjangan ini pula dipertegas oleh sistem politik yang berbeda yaitu:
konservatif, anti-demokratis, tradisionalis di daerah Teluk yang diperintah oleh
syekh, demagogis, populis dimiliterisir di negara-negara seperti Libia, Suriah,
Irak dan Iran. Kennedy mengungkapkan sulit mengetahui alasan untuk kondisi
dunia Muslim sekarang ini bersumber dari budaya atau sejarah. Namun,
menurut Kennedy Islam menderita banyak masalah akibat perbuatannya
sendiri. Selain banyak dari sikap konfrontasinya terhadap tatanan internasional
dewasa ini “disebabkan” oleh rasa khawatir yang tersimpan lama akan “ditelan”
oleh negara-negara barat. Untuk itu Kennedy mengungkapkan bahwa tidak
banyak perubahan yang dapat diharapkan dari negara-negara Arab dan Islam
sampai rasa takut itu dihilangkan.
Kondisi Afrika sub-Sahara yang dikenal dengan “Dunia Ketiganya dari
Dunia Ketiga” karena kondisinya yang begitu memprihatinkan. Kennedy
menggambarkan Afrika sebagai daerah bencana manusia dan lingkungan
hidup, sebagai hampir mati, termarginalisir dan periferal terhadap sisa dunia
serta banyak masalah yang sulit dipecahkan sehingga banyak ditinggalkan oleh
ahli pembangunan luar negeri untuk bekerja di tempat lain. Afrika sub-Sahara
menderita karena kombinasi rintangan ekonomi, politik, sosial, kelembagaan
dan lingkungan hidup yang begitu parah, sehingga sebagian negara donatur
enggan untuk berinvestasi di Afrika. Menurut Kennedy kondisi Afrika yang
seperti ini disebabkan oleh: (1) pertumbuhan pesat penduduknya, hal ini
merupakan masalah yang paling serius . Pertumbuhan penduduk ini belum
disertai dengan kenaikan produktivitas Afrika, terutama di bidang sumber daya
pertanian; (2) kondisi perekonomian di Afrika jauh lebih buruk dibandingkan
pada saat Kemerdekaan, hal ini dapat dilihat dari biaya manufaktur yang
diimport tetap tinggi, harga minyak yang empat kali lipat, campur tangan
birokrasi, kekurangan tenaga ahli, perencanaan perekonomian yang tidak
realistis dan fasilitas dasar yang mencukupi; (3) peperangan, kudeta dan
ketidakstabilan politik yang sering terjadi, penguasa-penguasa baru di Afrika
cepat beralih apakah ke bentuk kediktaktoran pribadi atau pemerintah partai
tunggal. Afrika juga banyak menganut ekonomi politik Soviet atau Mao, yakni
melembagakan pengendalian harga, target produksi, industrialisasi yang
dipaksakan, pengambilalihan perusahaan swasta dan sifat-sifat lain “sosialisme
ilmiah” yang tidak diketahui oleh mereka bahwa perekonomian seperti itu telah
menghancurkan perekonomian Uni Soviet; (4) investasi yang sama sekali tidak

cukup dalam sumber daya manusia dan dalam mengembangkan kebudayaan
wiraswasta, penelitian ilmiah dan kecakapan teknis.
Tema lain yang dibahas pada bagian ini adalah Uni Soviet yang
dahulu dan imperiumnya yang ambruk.26 Menurut Kennedy, inti permasalahan
ambruknya imperium Uni Soviet adalah “krisis berlipat tiga”, tiap bagian
berhubungan satu sama lain sehingga mempercepat keruntuhan. Krisis dalam
“legitimasi politik” sistem Soviet berinteraksi dengan krisis dalam “produk
ekonomi dan penyediaan sosial” dan keduanya diperburuk oleh krisis dalam
“hubungan-hubungan etnis dan kebudayaan”. Hasilnya gabungan tantangantantangan
yang tidak dapat diatasi oleh Soviet. Kondisi ekonomi yang buruk,
sarana dan prasarana yang buruk, kesehatan umum, tidak adanya legitimasi
politik dan munculnya kembali masalah kebangsaan, terutama perbedaan
golongan etnis dan nasionalisme.
Tema-tema lain yang dibahas pada bagian ini adalah Eropa dan
Masa Depan serta Dilema Amerika Serikat.27 Kennedy menyatakan terdapat dua
masalah serius, yakni : (1) gerakan menuju globalisasi yang tidak berbatas
dapat menciptakan kesenjangan sosial, yaitu timbulnya golongan masyarakat
tingkat atas dengan masyarakat yang lebih bawah “dikendalikan” oleh
kekuasaan perusahaan multinasional yang memindahkan produksi masuk dan
keluar wilayah demi keuntungan komparatif; (2) timbulnya “dunia tanpa batas”
berlawanan dengan tujuan Masyarakat Eropa(ME) yang memperdalam kesatuan
politik dan ekonomi. Lebih lanjut Kennedy mengungkapkan bahwa integrasionis
Eropa (ME) lebih mengejar nasibnya sendiri, kurang berminat pada peningkatan
ekonomi global dengan membuka pasar. ME lebih bersedia melindungi petani
dan pekerja industrinya sendiri, bahkan dengan biaya yang “memperburuk”
hubungan dagang dengan maju dan merugikan prospek negara berkembang.
Menurut Kennedy, Eropa tidak memiliki alternatif untuk bergerak maju, karena
permasalahan yang dihadapi dunia saat ini, yakni: lenyapnya Uni Soviet,
kemungkinan terjadinya konflik regional dalam wilayah pengganti, timbulnya
kekuatan ekonomi Asia Timur, munculnya negara adidaya lokal yang bersenjata
nuklir seperti India dan Cina, kesulitan sosial dan ekonomi Amerika Serikat yang
berkepanjangan, kemungkinan perjuangan yang didorong secara demografis,
perang sumber daya dan migrasi massa, ketidakseimbangan penduduk antara
Utara-Selatan, bahaya kerusakan lingkungan hidup jangka panjang. Untuk itu
Kennedy menyatakan bahwa apabila Eropa (ME) dapat menghadapi perubahan
global dengan cara “memperdalam” ME dan “memperluas” keanggotaannya.
26 Disarikan dari buku Kennedy, hlm. 341-382
27 Dapat dilihat dalam buku Paul Kennedy, hlm. 383-488

Menurut Kennedy, Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara
dengan “jangkauan” global sebenarnya, dengan pangkalan laut dan udara serta
pasukan darat di tiap bagian penting di dunia yang strategis, ditambah dengan
kemampuan memperkuat posisi-posisi itu dengan baik. Produktivitas Amerika
Serikat pada abad ke-21 hendaknya ditingkatkan pada pertumbuhan jangka
panjang. Hal ini disebabkan “kemunduran” pembaharuan Amerika berpusat
pada ekonomi, kegagalan dalam sistem pendidikan, struktur sosial,
kesejahteraan rakyat bahkan budaya politik . Salah satu faktor penyebabnya
adalah faktor demografis. Perubahan ini secara langsung mempengaruhi
ekonomi Amerika baik dalam komposisi tenaga kerja maupun dalam masalah
daya saing Amerika. Menurut ramalan di masa depan Amerika dikuasai oleh
masyarakat yang mendominasi teknologi.
BAGAIMANA CARA YANG PALING BAIK MEMPERSIAPKAN DIRI
UNTUK MENGHADAPI ABAD KE-21 ?
Paul Kennedy mengungkapkan bahwa terdapat tiga unsur utama
untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi abad ke-21 yaitu: (1) peran
pendidikan; (2) kedudukan kaum perempuan dan (3) kepemimpinan politik.28
Menghadapi perubahan lingkungan yang kompleks, interaktif dan serba cepat ini
proses pendidikan diperlukan bagi pengembangan individu-individu yang siap
menghadapi kehidupan yang selalu berubah. Menurut Kennedy, pemerhati
sosial seperti Toynbee dan Well acapkali “memperdebatkan” bahwa masyarakat
global sedang berpacu antara pendidikan dan bencana. Mereka mengungkapkan
bahwa ”taruhan” yang lebih tinggi di akhir abad ke-20 bagi manusia adalah
tekanan penduduk, kerusakan lingkungan hidup dan kemampuan umat manusia
dalam menimbulkan kerusakan massal.29 Oleh karena itu diperlukan
peningkatan peran pendidikan baik secara filosofis maupun praktis. Lebih lanjut
Kennedy mengemukakan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi negara
maju dengan negara berkembang dalam bidang pendidikan berbeda. Ia
mencontohkan Inggris atau Italia melakukan restrukturisasi sistem pendidikan
yang berbeda dengan Somalia atau Korea Selatan. Di Somalia, dengan laju
melek huruf pria dewasa hanya 18 persen dan wanita 6 persen saja, hanya
terdapat 37.000 siswa dalam sekolah menengah, sedikit sekali tenaga
profesional yang terlatih, beberapa ratus dokter, hampir tidak ada insinyur,
desainer perangkat lunak komputer agak sulit untuk membawa Somalia
memasuki dunia modern. Sebaliknya, Korea Selatan dengan laju melek huruf
28Ibid., hlm. 505
29Dapat dilihat dalam buku Paul Kennedy, hlm. 506

pria dan wanita masing-masing 96% dan 88% serta 5 juta orang di sekolah
menengah dan 1,3 juta di perguruan tinggi dengan sejumlah besar profesional
setiap tahun memasuki lapangan kerja yang produktif lebih siap membawa
Korea Selatan memasuki dunia global. Untuk itu Kennedy mengungkapkan
bahwa negara berkembang yang dapat mengikuti jejak Korea dapat
mengharapkan masa depan ekonomi yang cerah, tetapi tidak sedikit pula
masyarakat yang lebih miskin karena tidak berhasil melewati tantangan yang
dihadapinya. Penyebab utama kegagalan dan keterbelakangan tersebut adalah
pendidikan dianggap tidak begitu penting di banyak negara kecuali Asia Timur.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa untuk menghadapi masa yang
sedang berubah ini, kita memerlukan sistem pendidikan yang tidak hanya
memperbaharui tenaga kerja secara teknis atau munculnya kelas profesional
atau mendorong bagi perkembangan budaya manufakturing di sekolah dan
universitas tetapi juga perlu melengkapi diri dengan sistem etika, rasa adil dan
rasa keersamaan baik secara kolektif maupun perorangan agar dapat
menyiapkan diri lebih baik menghadapi abad ke-21.
Sejalan dengan meningkatnya peran pendidikan dalam masyarakat,
secara tidak langsung berhubungan pula dengan kedudukan kaum wanita baik
di negara berkembang maupun di negara maju. Berbagai data menunjukkan
bahwa jika pendidikan untuk wanita tersedia secara luas maka ukuran rata-rata
keluarga berkurang tajam dan transisi demografis dimulai. Dengan pendidikan
akan terjadi penundaan usia perkawinan, kelahiran anak dan pemilihan karir
untuk kaum wanita, terutama di negara berkembang,  pendidikan membawa perubahan
dalam status kaum wanita secara signifikan akan mengurangi pertumbuhan
penduduk di negara berkembang. Tetapi di negara maju, peran pendidikan
terhadap kaum wanita membawa tantangan tersendiri, karena dengan tingginya
pendidikan yang dimiliki kaum wanita membawa dampak terhadap laju tingkat
kesuburan yang rendah. Hal ini disebabkan kaum wanita memilih untuk memiliki
anak lebih sedikit bahkan mungkin lebih memilih tidak memiliki keturunan
karena lebih memilih berkarir di luar rumah. Hal ini apabila dibiarkan akan
membawa dampak “tidak baik” bagi masyarakat di negara maju, karena jika
gagal “memperbaharui” jumlah penduduknya akan menimbulkan
“ketergantungan kaum tua” serta dikhawatirkan akan membawa dampak
kekurangan tenaga kerja. Sebagai contoh di Jepang, Italia dan Spanyol pada
tahun-tahun terakhir ini jumlah laju kesuburan merosot secara tajam, hal ini
membawa dampak pemakaian robot yang meningkat (di Jepang). Untuk
mengatasi hal tersebut Kennedy memberi saran agar Jepang dan Italia belajar
dari Swedia yang setelah mengalami puluhan tahun kemunduran demografis,
laju kesuburan dengan mantap naik dari 1,6 (tahun 1983) menuju 2,1 (tahun
1990) dengan cara menyeimbangkan fungsi sosial wanita dengan pria. Oleh
karena itu menurut Kennedy, jika dunia hendak bergerak menuju keseimbangan
“demografis yang lebih baik” dengan menurunkan laju kesuburan di masyarakat
miskin/berkembang dan meningkatkannya di masyarakat maju, setiap negara
perlu belajar dari negara lain. Seperti bangsa Afrika dan Timur Tengah perlu
mendidik kaum wanitanya seperti Korea Selatan. Sedangkan Jepang, Portugal,
Spanyol dan Italia perlu meniru Skandinavia. Masing-masing menyangkut
perubahan dalam peran “jenis kelamin” dan seperangkat tantangan yang
berbeda.
Kennedy mengemukakan bahwa setelah Perang Dingin selesai, kita
menghadapi “tata dunia baru” dengan segala permasalahannya yang
memerlukan perhatian serius baik dari politisi maupun publik, seperti tantangan
teknologi, masalah jenis kelamin, migrasi, masa depan pertanian, kerusakan
lingkungan hidup. Tantangan-tantangan itu memungkinkan pria dan wanita
yang “cerdas” untuk memimpin suatu masyarakat dengan tugas yang rumit.
Pandangan Kennedy ini hampir sama dengan pendapat Micklethwait dan
Wooldridge bahwa globalisasi menjanjikan dunia yang lebih baik bagi sebagian
besar umat manusia, tetapi janji itu tidak akan terjadi dengan sendirinya berkat
teknologi modern melainkan bergantung pada kualitas kepemimpinan
politiknya.30 Untuk itu menghadapi abad ke-21, para pemimpin politik
hendaknya mampu memperbaharui keterampilan dan prasarana nasionalnya
serta mengubah kebiasaan lama atau mungkin mengubah struktur
30 John Micklethwait and Adrian Wooldridge,.Op.Cit

pemerintahan sesuai dengan karakteristik di setiap negara. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Naisbitt bahwa penyebaran kekuasaan berubah dari negara
ke individu, dari vertikal ke horizontal, dari hierarki ke pembentukan jaringan.
Kekuasaan mengalir ke segala arah tanpa dapat diramalkan, sedikit kacau,
berantakan, tidak tersusun baik seperti pengaturan hierarki dari atas ke bawah.
Oleh karena itu, kepemimpinan baru hendaknya dapat membantu memilahmilah
ini karena politik mulai bangkit kembali sebagai mesin dari
individualisme.31 Seperti yang diungkapkan oleh Kenichi Ohmae bahwa peran
pemimpin pada masa yang akan datang hendaknya memiliki visi sebagai
berikut: (1) mereka akan menjadi duta bagi teknologi baru; (2) mereka akan
mengurangi hambatan arus masuk dan arus keluar modal; (3) mereka akan
menghapus hambatan-hambatan bagi perusahaan dalam menarik orang-orang
terbaik untuk bekerja bersama mereka, baik di level pekerja berkeahlian
maupun manajer; (4) mereka akan meminimalkan birokrasi dan (5) mereka
akan menjadi spesialis dalam menarik dan mempromosikan
negaranya/wilayahnya.32
BAGAIMANA BANGSA INDONESIA MENYIAPKAN DIRI MENGHADAPI
ABAD KE-21 SEHINGGA TIDAK MENJADI NEGARA KALAH (LOSER) ?
Menghadapi dunia yang sedang mengalami perubahan besar pada
saat ini, seluruh sendi kehidupan harus dibenahi. Buku karya Paul Kennedy ini
dapat menjadi salah satu acuan bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi abad
ke-21. Bangsa Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak keempat di
antara negara-negara di dunia setelah Cina, India dan Amerika. Paul Kennedy
mengungkapkan bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2025 diramalkan
akan berjumlah 263 juta. Sumber Daya Manusia yang cukup potensial ini,
sangat berguna untuk menghadapi perubahan. Dengan membahas proses
globalisasi terutama di negara-negara berkembang, baik negara yang termasuk
kelompok winner maupun losers serta mengamati kecenderungankecenderungan
umum yang mendunia, buku ini dibutuhkan oleh bangsa kita
untuk menjawab tantangan, ancaman dan bahaya dari perubahan yang berskala
global ini. Cara yang dapat dipersiapkan bangsa kita adalah membenahi sistem
pendidikan dan kedudukan kaum perempuan, serta memperbaiki kualitas
kepemimpinan bangsa.33 Apabila ketiga aspek ini tidak dapat diantisipasi
31 John Naisbitt,. Op.Cit., hlm.49
32 Kenichi Ohmae,. Op.Cit., hlm. 267-268
33 Penulis dalam hal ini merujuk pandangan Kennedy yang mengungkapkan bahwa
terdapat tiga unsur utama untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi abad ke-21 yaitu: (1)
peran pendidikan; (2) kedudukan kaum wanita dan (3) kepemimpinan politik. Menghadapi
perubahan lingkungan yang kompleks, interaktif dan serba cepat ini proses pendidikan

dengan baik oleh bangsa Indonesia, maka kita tetap akan menjadi negara yang
kalah yang akan tergerus oleh arus globalisasi yang bergerak cepat.
Pendidikan
Bidang pendidikan menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia untuk menghadapi proses
globalisasi di hampir semua aspek kehidupan. Kondisi pendidikan di Indonesia
pada saat ini dalam keadaan yang memprihatinkan. Kualitas pendidikan kita
semakin menurun seiring dengan minimnya alokasi dana pendidikan. Hasil
survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
pada tahun 2001 tentang kualitas pendidikan di Asia, menempatkan Indonesia
pada posisi 12 dari 12 negara yang di survei atau berada pada posisi di bawah
Vietnam.34

sistem pendidikan Indonesia merupakan
yang terburuk di Asia. Untuk itu kemampuan bersaing SDM kita pun sangat
mengkhawatirkan. Menurut data yang dipublikasikan oleh United Nations
Development Programe (UNDP) tahun 2006 yang salah satu laporannya
memuat indeks kualitas SDM (Human Development Index-HDI) dari 153 negara
di dunia. Menurut laporan tersebut, posisi Indonesia berada di peringkat ke 134.
Hal ini dapat dibayangkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk
diperlukan bagi pengembangan individu-individu yang siap menghadapi kehidupan yang selalu
berubah.
34 Dapat dilihat di The Jakarta Post terbitan 3 September 2001

memperoleh posisi kerja yang baik dalam era global saat ini. Posisi ini jauh
tertinggal di bawah Singapura yang berada pada posisi 34, Brunei pada posisi
36, Malaysia pada posisi 53, Thailand pada posisi 52 dan Philipina pada posisi
85.35
Salah satu indikator penilaian kualitas pendidikan ini adalah
persentase melek huruf penduduk. Berdasarkan Data SUSENAS 2004
menunjukkan adanya perbaikan tingkat melek huruf penduduk di Indonesia.
Tingkat melek huruf usia 15-24 tahun ke atas meningkat dari 96,2% pada tahun
1990 menjadi 98,7% pada tahun 2004. Tetapi laporan pendidikan yang
dilaporkan oleh media massa menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi
rendah tingkat melek hurufnya di antara negara-negara ASEAN berturut-turut
sebagai berikut: Thailand (95,3%), Philipina (95,1%), Vietnam (93,1%),
Singapura (92,1%), Malaysia (87,0%) dan Indonesia (86,3%).36 Hal ini
berdampak pada angkatan kerja Indonesia yang sebagian besar (53%) tidak
berpendidikan; 11% mereka yang berpendidikan menengah pertama dan atas,
sedangkan tenaga kerja kita yang berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2 %.
35 Suyanto, Ph.D. Dinamika Pendidikan Nasional . (Jakarta: PSAP Muhammadiyah,
2006), hlm. 12-13
36 Iva Sasmita, Pendidikan Alternatif Perempuan: Perlawanan Terhadap Mainstream
Pendidikan. (Jakarta: Yayasan Jurnal Pendidikan, 2005), hlm. 12

Padahal tuntutan tenaga kerja pembangunan bangsa kita pada masa yang akan
datang mengharuskan angkatan kerja kita berpendidikan: 11% saja yang tidak
berpendidikan; 52% berpendidikan dasar; 32% berpendidikan menengah dan
5% dari angkatan kerja harus berpendidikan universitas.37
Berdasarkan paparan di atas, langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah :
1. Perbaikan manajemen
Aspek managerial dalam pendidikan di Indonesia sampai sekarang
selalu terabaikan. Managemen sebenarnya melibatkan berbagai unsur
penting seperti: Sumber Daya Manusia, dana, kebijakan, sistem dan lainlain,
sampai sekarang masih menyisakan permasalahan, terutama faktor
SDM. Seperti yang diungkapkan oleh Suyanto bahwa tanpa ada political will
dan komitmen yang kuat dari bangsa untuk membangun sektor pendidikan,
cepat atau lambat kita sebagai bangsa akan termarjinalisasikan secara alami
dalam kehidupan global dan bangsa kita semakin tertinggal dalam segala
aspek kehidupan.38 Rendahnya kompetensi managerial, mentalitas dan
kreativitas di kalangan para pengelola pendidikan adalah masalah serius
yang harus segera dipecahkan. Hal ini sangat tergantung kepada faktor
kepemimpinan, karena berhasil tidaknya suatu sistem pendidikan tergantung
kepada baik tidaknya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengelola
pendidikan. Menurut Benny Susetyo, pendidikan kita sudah kehilangan
esensinya sebagai lahan untuk mendidik. Lembaga pendidikan hanya
dijadikan sebagai wahana untuk pengajaran semata dan tidak untuk
pendidikan. Siswa hanya diajar untuk memahami mata pelajaran yang
diajarkan, sedangkan perkara siswa tidak memiliki moralitas dan hati nurani
tampaknya bukan urusan sekolah lagi.39 Kebijakan pendidikan pemerintah
kita sampai saat ini masih “carut marut, mendua” . Di satu sisi menekankan
akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam suasana “desentralisasi”. Di
sisi lain, pelaksanaan kebijakan Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan
bentuk evaluasi belajar siswa yang “sentralistik”. Serta di sisi lain, privatisasi
sekolah menjadi pemandangan yang sangat biasa, siapa kaya dia bisa
sekolah di sekolah favorit, dan siapa miskin bersekolahlah di gedung yang
akan ambruk. Apapun dapat dibeli asalkan dengan uang. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Romo Wahono bahwa paradigma pendidikan kita adalah
37 Boediono. Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi. (Yogyakarta: Aditya Media,
1997), hlm. 82
38 Suyanto,. Op.Cit., hlm. 5-6
39 Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa. (Yogyakarta: PT LKIS Pelangi
Aksara, 2005), hlm. 13

liberalis-feodalis yang dipayungi oleh paradigma kompetisi yang diajarkan
oleh paradigma global.40 Mungkin kita harus belajar dari Jepang, Cina dan
Korea Selatan yang memandang pendidikan merupakan aspek penting.
Mereka memberikan “tekanan” kepada belajar sebagai kegiatan kelompok
yang mendorong keunggulan individu. Di Jepang, Cina dan Korsel belajar
bukan hanya di sekolah tetapi juga di rumah atau di lembaga kursus. Untuk
itu Suyanto mengungkapkan bahwa kita memang perlu menetapkan model
rekrutmen pejabat pendidikan secara profesional, sehingga dapat diperoleh
the right person in the right place, bukanya the right person in the wrong
place, atau bahkan lebih parah lagi the wrong person in the wrong place.41
2. Perbaikan mutu guru
secara nasional pada tingkat SD terdapat 62,12%
yang dinilai tidak layak untuk menjadi guru SD, sedangkan 37,88% dianggap
layak menjadi guru SD. Pada tingkat SMP terdapat 50,70% yang layak
berdasarkan kualifikasi mengajar pada tingkat SMP yaitu D-3, sedangkan
yang tidak layak mengajar adalah 49,30%. Data ini menunjukkan masih
perlunya upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk meningkatkan
kualitas guru di Indonesia karena guru merupakan “potret” keberhasilan
pendidikan yang paling nyata. Ungkapan lama yang menyatakan guru berarti
digugu dan ditiru bagaimanapun masih berlaku sampai saat ini. Oleh karena
itu guru sampai saat ini menjadi tumpuan harapan untuk keberhasilan
pendidikan tetapi sekaligus juga sebagai tumpuan utama untuk
menumpahkan kegagalan sistem pendidikan kita. Kedudukan guru sampai
sekarang selalu menjadi rujukan para siswanya baik tentang keilmuan, etika
moral maupun perilakunya. Tetapi perhatian pemerintah dan masyarakat
terhadap guru masih rendah. Profesi guru cenderung menjadi profesi yang
acapkali dianggap rendah. Profesi guru dianggap tidak sebanding dengan
40 Ibid, hlm. 12
41 Suyanto, Op.Cit, hlm. 20

profesi lainnya seperti: dokter, insinyur, ekonomi. Kita mungkin harus belajar
dari Jepang yang menganggap guru sebagai aset negara yang bernilai tinggi
di Jepang, setiap tahunnya banyak pelamar yang berkualifikasi tinggi untuk
pekerjaan guru sekolah daripada tempat yang tersedia. Untuk itu diperlukan
kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru bukan hanya
menaikkan jaminan pendapatan saja, tetapi juga mempersiapkan guru yang
memiliki kompetensi dalam bidangnya, inovatif, kreatif, kritis, memiliki
pengetahuan yang luas serta kewibawaan sehingga dapat mewujudkan
proses pembelajaran yang dinamis dan dapat mendidik siswa yang memiliki
kualitas untuk bersaing pada abad ke-21.
3. Perbaikan sarana pendidikan dan sumber belajar
Kelengkapan sarana pendidikan dan sumber belajar kita masih rendah
mutunya. Jarang sekali sekolah atau PT yang memiliki perpustakaan lengkap
dengan pengelolaan bagus. Apalagi memiliki laboratorium bahasa, IPA
maupun IPS yang “memadai” sangat jarang dimiliki oleh sekolah ataupun
perguruan tinggi kita. Kalaupun ada sangat jarang digunakan, disamping
karena peralatannya kurang, tenaga pengelolanya pun juga sulit didapat.
Inilah salah satu permasalahan besar yang harus segera diselesaikan oleh
pemerintah, karena kebijakan managemen berbasis apapun tidak akan
bermakna kalau tidak ada kelengkapan sarana dan sumber belajar. Kualitas
pendidikan tidak akan tercapai apabila kelengkapan ini belum terpenuhi
dengan baik.
4. Inovasi proses pembelajaran
Penerapan aspek ini tidak lepas dari peranan guru, sarana dan
sumber belajar. Untuk itu inovasi ini hendaknya mengacu pada
pengembangan potensi dan kreativitas siswa dalam totalitasnya. Oleh
karena, tolok ukur keberhasilannya tidak semata-mata pada UAN dan tes
saja, tetapi juga terkait dengan keberhasilan seseorang dalam
pengembangan aspek emosi, sikap dan keterampilannya sehingga mampu
merekonstruksi berbagai penyakit sosial, mental dan moral yang terdapat
dalam masyarakat, pada akhirnya akan dapat ditanamkan sikap-sikap
toleransi etnis, rasial, agama dan budaya kepada siswa dalam konteks
kehidupan yang kosmopolit dan plural.

Kedudukan Kaum Perempuan
Menurut Kennedy, sejalan dengan meningkatnya peran pendidikan
dalam masyarakat, secara tidak langsung berhubungan pula dengan kedudukan
kaum perempuan baik di negara berkembang maupun di negara maju. Berbagai
data menunjukkan bahwa jika pendidikan untuk perempuan tersedia secara luas
maka ukuran rata-rata keluarga berkurang tajam dan transisi demografis
dimulai. Dengan pendidikan akan terjadi penundaan usia perkawinan, kelahiran
anak dan pemilihan karir untuk kaum perempuan, terutama di negara
berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan membawa perubahan
dalam status kaum perempuan secara signifikan akan mengurangi pertumbuhan
penduduk di negara berkembang.
Pada konteks Indonesia, diketahui bahwa penduduk perempuan usia
20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat
penduduk laki-laki (11,56% berbanding 5,43%).42 Data BPS (2003)
menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas yang buta
aksara sebesar 15.533.271 orang terdiri dari perempuan sebanyak 10.643.823
atau 67,9% dan laki-laki sebanyak 5.042.338 orang atau 32,1%. Di daerah
pedesaan kondisi ini lebih parah lagi, perempuan di desa yang belum melek
huruf masih sebesar 19,20% dibandingkan laki-laki sebesar 9,63% berarti
hampir mendekati perbandingan 1 diantara 3.43

berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Pulau Jawa selalu lebih rendah dari
laki-laki. Ini berdampak pada kedudukan kaum perempuan di Indonesia,
seperti: kekerasan terhadap kaum perempuan baik di dalam rumah tangga
maupun TKW-TKW di dalam dan di luar negeri makin meningkat, demikian pula
dengan kasus trafiking, diskriminasi upah, terabaikannya hak-hak reproduksi
perempuan seperti hak cuti haid dll. Kondisi ini diperburuk dengan kondisi sosio
kultural masyarakat Indonesia yang mengutamakan kaum laki-laki, yang kian
membuat perempuan semakin terbelakang, berpendidikan rendah dan buta
huruf.
Salah satu cara untuk membuat para perempuan kita lebih “sadar”
akan hak dan kewajibannya adalah dengan pendidikan untuk kaum perempuan
yang lebih dititikberatkan pada belajar dari pengalaman hidup. Sekolah-sekolah
untuk perempuan dapat bersifat formal maupun informal, yakni tidak harus
menggunakan sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, tetapi
merupakan “kelompok” perempuan yang melakukan kegiatan belajar dengan
gubuk-gubuk di sawah atau rumah-rumah mereka. Kegiatan belajar seperti ini
sangat berguna bagi kaum perempuan meskipun sibuk mengurus rumah tangga
tetapi tetap dapat ikut berpartisipasi dalam belajar. Sistem pendidikan seperti ini
dapat diterapkan pada perempuan di daerah pedesaan, pesisir, urban, anak
jalanan, pekerja rumah tangga dll. Dengan dibekali dengan pendidikan, kaum
perempuan diharapkan dapat menjadi “ibu” yang dapat menghasilkan generasi
yang memiliki keunggulan kompetitif untuk bersaing di dunia global. Seperti
yang dikemukakan oleh Tilaar anak yang kreatif terwujud dalam lingkungan
budayanya, terutama lingkungan keluarga. Selain itu dengan dibekali
pendidikan, perempuan dapat meminimalkan angka kemiskinan. Dengan bekal
pendidikannya perempuan Indonesia dapat menata keluarganya seperti :
memberikan gizi yang baik untuk keluarganya, ber-KB, bekerja untuk menopang
keluarganya dll. Hal ini secara tidak langsung hal ini dapat mengurangi “ledakan
penduduk” Indonesia di masa yang akan datang.

Kepemimpinan politik
Kennedy, Micklethwait dan Wooldridge, Naisbitt mengungkapkan
bahwa globalisasi menjanjikan dunia yang lebih baik bagi sebagian besar umat
manusia, tetapi janji itu tidak akan terjadi dengan sendirinya berkat teknologi
modern melainkan bergantung pada kualitas kepemimpinan politiknya. Lebih
lanjut Luthans menyatakan bahwa gambaran kepemimpian masa depan adalah
sebagai berikut: (1) mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan
(pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4)
bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu atau
atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuan
secara terus menerus sepanjang hayatnya; (6) memiliki kemampuan untuk
menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu dan (7) memiliki
visi ke depan.44 Sedangkan Kenichi Ohmae bahwa peran pemimpin pada masa
yang akan datang hendaknya memiliki visi sebagai berikut: (1) mereka akan
menjadi duta bagi teknologi baru; (2) mereka akan mengurangi hambatan arus
masuk dan arus keluar modal; (3) mereka akan menghapus hambatanhambatan
bagi perusahaan dalam menarik orang-orang terbaik untuk bekerja
bersama mereka, baik di level pekerja berkeahlian maupun manajer; (4) mereka
akan meminimalkan birokrasi dan (5) mereka akan menjadi spesialis dalam
menarik dan mempromosikan negaranya/wilayahnya.45
Berdasarkan paparan di atas dapat diuraikan bahwa untuk
menghadapi abad ke-21, para pemimpin politik hendaknya mampu
memperbaharui keterampilan dan prasarana nasionalnya serta mengubah
kebiasaan lama atau mungkin mengubah struktur pemerintahan sesuai dengan
karakteristik di setiap negara. Bangsa Indonesia telah mengalami pergantian
presiden sebanyak enam kali tetapi tetap saja perbaikan hukum, ekonomi,
kehidupan politik, budaya dan pendidikan masih jauh dari harapan. Reformasi
kita belum menyentuh reformasi di birokrasi, kecuali pergantian presiden dan
wakil presiden. Mental birokrat yang korup, polusi, nepotis, manipulatif, minta
dilayani, membohongi rakyat, memanipulasi rakyat, cari untung sendiri dsb
masih melekat sangat kuat. Seperti data yang tercantum pada tabel berikut ini :
44 Luthans.Organizational Behavior (7th ed). (New York: McGraw-Hill, 1995), hlm 358
45 Kenichi Ohmae,. Op.Cit., hlm. 267-268

Data memperlihatkan begitu parahnya kasus korupsi yang
ada dengan jumlah uang yang dikorupsi lebih besar dari APBN negara ini.
Pertanyaannya “bagaimana suatu negara akan maju apabila dana yang
dikorupnyas lebih besar daripada anggaran yang ada ?”.Sulit untuk mengubah
mentalitas seperti itu dalam waktu sekejap dengan hanya membenahi institusi
hukumnya saja. Kekecewaan tidak hanya akan dialami oleh para pejabat baru
yang memiliki integritas dan motivasi yang baik untuk melakukan perubahan,
tetapi juga rakyat karena harapan datangnya perubahan hanya impian belaka.
Friedman memberikan ilustrasi tentang banyaknya kendala yang dihadapi
pengusaha Indonesia yang sebetulnya sudah mampu berkiprah di dunia datar,
tetapi banyak kendala yang menghadangnya. Si pengusaha yang bermukim di
Jakarta bernama Tengku kehilangan banyak pelanggannya karena “carut
marut”-nya sistem birokraksi di Indonesia .46 Lebih lanjut Friedman melihat
Indonesia baru sebatas mampu menghasilkan bahan mentah yang kalau
ekspansinya sebatas perluasan lahan niscaya akan merusak natural habitats.
Secara implisit, Friedman mendorong agar negara-negara seperti Indonesia
memperbaiki diri agar bisa memperoleh manfaat jauh lebih banyak dengan
membenahi sistem pemerintahan seperti para petinggi negara, birokrat dan
politisi.47
46 Thomas L. Friedman. The World Is Flat, A Brief History of the Twenty-first
Century. (New York: Farrar, Strauss and Giroux, 2005), hlm. 503-507
47 Ibid.

menyongsong abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan kepada jumlah pengangguran dan masyarakat
miskin yang semakin meningkat, karena krisis ekonomi yang tidak dapat diatasi
dengan baik oleh pemerintah. Seperti yang diungkapkan oleh Wardah Hafidz
bahwa kemiskinan adalah akibat adanya anggapan resmi dari pemerintah yang
hanya melihat kemiskinan sebagai problem tidak terpenuhinya kebutuhan
ekonomi masyarakat bawah. Anggapan pemerintah ini menyebabkan langkahlangkah
yang dilakukan untuk meminimalkan kemiskinan ini kurang tepat
karena pemerintah lebih menggunakan pendekatan ekonomis. Keadaan ini
menyebabkan segala upaya yang dilakukan dalam rangka menanggulangi
kemiskinan dilihat sebagai proyek yang menempatkan masyarakat miskin
sebagai objek dari proyek itu.48 Akibatnya upaya yang dilakukan pemerintah
hanya mampu menjawab permasalahan kemiskinan dalam jangka pendek.
Sementara permasalahan kemiskinan yang sebenarnya tidak mampu dibenahi
oleh pemerintah kita. Hal ini bukan saja pemecahan masalah dari aspek
ekonomi saja, tetapi aspek sosial, budaya, dan politik-pun pemerintah kita
belum mampu memecahkan permasalahan dari akarnya, hanya mampu
memecahkan masalah dari permukaannya saja.
48 Kompas, 17 Oktober 2004

Menurut Afan Gaffar untuk mengatasi carut marutnya sistem
pemerintahan di Indonesia adalah diadakan proses demokratisasi sistem politik.
Hal ini dapat ditempuh melalui mekanisme check and balances, ini dilakukan
untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang ataupun oleh
sebuah institusi atau juga untuk menghindari terpusatnya kekuasaan pada
seseorang ataupun instansi tertentu. Dengan cara ini antar institusi dapat saling
mengontrol atau mengawasi bahkan saling mengisi.49 Lebih lanjut Afan
mengemukakan bahwa mekanisme ini dapat diwujudkan dalam berbagai
permasalahan seperti : (1) rekruitmen politik (jabatan-jabatan politik) yang
asalnya merupakan dominasi lembaga kepresidenan. Untuk menciptakan
keseimbangan, DPR perlu dilibatkan. Dewan tersebut akan membantu presiden
dalam memberikan penilaian terhadap seseorang yang mengisi suatu jabatan
dengan kriteria: “prestasi, dedikasi dan tanpa cela” ; (2) meningkatkan peranan
Mahkamah Agung menjalankan fungsi judicial review, yang akan mampu
mengoreksi atau memperbaiki produk-produk hukum, baik yang dibuat oleh
lembaga legislatif seperti UU maupun yang dibuat oleh pemerintah seperti PP,
terutama peraturan yang akan membebani masyarakat. Dan MA juga
memainkan peranan untuk menyelesaikan konflik; (3) penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja negara (budgetary process). Hal ini ditujukan untuk
menghindari pengalokasian anggaran yang tidak seimbang/tidak proporsional
antara sektor ekonomi dengan sektor lain, atau satu wilayah dengan wilayah
yang lain, sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia, antara
kota dan desa dapat dikurangi.50
Paparan di atas merupakan salah satu cara untuk memperbaiki
“krisis” kualitas kepemimpinan bangsa ini. Kita mungkin dapat belajar cara
mengelola negara dari negara-negara yang mampu merespon tantangan
globalisasi dengan baik seperti: Jepang, Cina, Korsel dan India.51 Melalui
kepemimpinan yang mampu mengkombinasikan potensi nasional dengan
potensi wilayah kita dapat menghadapi berbagai tantangan masa depan yang
semakin sukar. Pembukaan UUD 1945 semakin meyakinkan kita bahwa kita
49 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi . (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 87-91
50 Ibid
51 Kepemimpinan yang “futuristik” di dalam era globalisasi dapat kita lihat juga di
kota Dalian. Kemajuan Dalian sebagai pusat perkembangan Cina modern dipelopori oleh
walikotanya yang bernama Bo Xilai sejak tahun 1992. Walikota yang progresif ini telah
menjadikan Dalian sebagai pusat pengembangan industri modern dan penanaman modal asing
di Cina. Kepeloporan Bo Xilai sebagai Walikota Dalian kemudian diteruskan oleh Walikota yang
baru Xia Deren. Kini Dalian dapat disejajarkan dengan provinsi Bangalore di India sebagai pusat
IT bukan saja di India tetapi juga di dunia pada saat ini yang menjadi pesaing utama dari
Lembah Silikon di California.

mampu dan percaya diri terlibat dalam pergaulan antar bangsa asal kita dapat
membenahi seluruh aspek kehidupan, karena persaingan masa depan telah
berubah bentuknya dari persaingan antar perusahaan menjadi persaingan antar
negara. Untuk itu negara akan lebih banyak berperan dalam penyediaan segala
sesuatu yang menentukan kehidupan rakyatnya, terutama potensi-potensi lokal
yang bisa dikembangkan bahkan ke tingkat yang bertaraf internasional seperti
yang telah dicontohkan oleh wilayah Dalian (Cina) dan Bangalore (India). Oleh
karena itu kita jangan sekali-kali melupakan untuk selalu memupuk potensi lokal
bangsa yang kaya ini.

KESIMPULAN
Dunia dewasa ini mengalami perubahan yang besar. Pengaruh
revolusi teknologi sangat dirasakan di dalam mengubah cara hidup, penyerapan
dan pengembangan ilmu pengetahuan, hubungan antar manusia yang serba
cepat sehingga batasan negara, wilayah atau masyarakat menjadi kabur. Hal ini
disebabkan kita sedang menuju kepada apa yang disebut Kenichi Ohmae
sebagai kemajuan berdasarkan platform global. Banyak unsur tradisional
kehilangan artinya karena dibongkar dan diserap oleh kebudayaan maya yang
cepat berubah. Melalui bukunya ini, Kennedy mencoba untuk mengajak
masyarakat dunia untuk sigap dan tanggap dalam menyongsong dunia yang
serba cepat ini dengan menggunakan “resep” yang dipakai kelompok winner
dalam merespon tantangan yang dihadapi dan “belajar” dari kelompok losers
sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama.
Terdapat hal-hal yang menarik dari buku ini, yakni pandangan
Kennedy tentang nation-state dan power of technology. Melalui hipotesishipotesis
yang berskala besar, Kennedy mencoba memberikan kerangka analisis
dari sudut pandang sejarah terutama mengambil pelajaran dari peristiwaperistiwa
masa lampau untuk menghadapi perubahan global yang akan terjadi
dengan menunjukkan jalan keluar melalui respons atau prakarsa yang
berlandaskan konsep sejarah. Demikian pun dengan pandangannya tentang
konsep “negara bangsa” yang tetap dipandang sebagai suatu identitas bangsa
baik secara hukum internasional, diplomasi maupun militer. Hal ini disebabkan
secara naluriah masyarakat bangsa tetap saja bergantung kepada negara dan
pemerintah untuk mencari “jalan keluar” apabila muncul suatu krisis baik yang
bersumber dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat. Menurut
Kennedy, krisis ini dikhawatirkan berlangsung di banyak tempat sekaligus
karena situasi global dewasa ini tidak menentu dan penuh ketidakpastian,

sedangkan penggantinya yang memiliki kemampuan setara dengan lembaga
negara bangsa belum juga muncul. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
peranan multikulturalisme di dalam nation-state memang merupakan suatu
proses yang masih terus berjalan. Apakah nantinya nation state di dalam
bentuknya yang baru akan lahir, sejarah manusia akan membuktikannya di
kemudian hari.
Hal yang menarik lainnya adalah peranan power of technology dalam
menghadapi masalah penyusutan sumber alam dan kerusakan lingkungan. Hal
ini berdasarkan pandangannya tentang bagaimana manajemen teknologi
memberikan jawaban yang “akurat” terhadap tantangan ledakan penduduk di
masa lalu. Lebih lanjut Kennedy mengungkapkan bahwa power of technology
berperan besar dalam membangkitkan keunggulan kompetitif dari suatu negara
bangsa. Untuk itu, diperlukan peningkatan power of technology bukan saja
terletak pada kemampuan suatu negara bangsa membangun pendidikan dan
menghargai kedudukan wanita di dalam masyarakat tetapi juga menegakkan
kepemimpinan politik (political leadership) yang mampu menyongsong
perubahan di masa depan. Seperti yang diungkapkan Micklethwait dan
Wooldridge serta John Naisbitt bahwa globalisasi menjanjikan dunia yang lebih
baik bagi sebagian besar umat manusia, tetapi janji itu tidak akan terjadi
dengan sendirinya berkat teknologi modern melainkan bergantung pada kualitas
kepemimpinan politiknya.
Dalam era globalisasi ini, bangsa Indonesia perlu mempersiapkan
warganegaranya untuk dapat menempatkan diri dalam pergaulan bangsabangsa.
Di dalam kondisi kehidupan yang persaingan antar bangsa, manusia
Indonesia perlu dipersiapkan sebagai anggota masyarakat yang cerdas, yakni
suatu masyarakat yang dapat menggunakan akal budinya (multipleintellegence)
di dalam menghadapi kehidupannya berdasarkan pertimbanganpertimbangan
moral. Dengan perkataan lain diperlukan “kecerdasan” untuk
menata kehidupan plural (bhineka) agar supaya sebagai komunitas manusia
dalam negara bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Di
dalam kaitan ini konsep negara bangsa Indonesia perlu didefinisikan kembali
agar supaya sesuai dengan perubahan-perubahan global dewasa ini. Untuk itu
diperlukan suatu konsep politik masa depan Indonesia dengan memupuk rasa
nation-state yang kuat dan menumbuhkan nilai-nilai lokal. Hal ini dapat tercapai
apabila kita membenahi sistem pendidikan, kedudukan wanita dan memiliki
kepemimpinan politik yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA
Afan Gaffar. (2005). Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Benny Susetyo. (2005). Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta: PT LKIS
Pelangi Aksara
Boediono. (1997). Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi. Yogyakarta:
Aditya Media
Friedman, Thomas L. (2005). The World Is Flat, A Brief History of the Twentyfirst
Century. New York: Farrar, Strauss and Giroux
Iva Sasmita. (2005). Pendidikan Alternatif Perempuan: Perlawanan Terhadap
Mainstream Pendidikan. Jakarta: Yayasan Jurnal Pendidikan
Kennedy, Paul. (1995). Menyiapkan Diri Menghadapi Abad Ke-21. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Luthans.Organizational Behavior (7th ed). (1995). New York: McGraw-Hill
Micklethwait, John and Adrian Wooldridge. (Terj). (2007). Masa Depan
Sempurna: Tantangan dan Janji Globalisasi .Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Naisbitt, John. (Terj). (1994). Global Paradoks: Semakin Besar Ekonomi Dunia,
Semakin Kuat Perusahaan Kecil. Jakarta: Binarupa Aksara
Ohmae, Kenichi. (Terj). (2007). The Next Global Stage: Tantangan dan Peluang
Di Dunia Yang Tidak Megenal Batas Kewilayahan .Jakarta: Indeks
Steger, Manfred B. (2002). Globalism, The New Market Ideology. USA: Rowman
& Littlefield Publishers, Inc.
Suyanto, Ph.D. (2006). Dinamika Pendidikan Nasional . Jakarta: PSAP
Muhammadiyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *