Pendidikan Bertaraf Internasional

Oleh: Dadang Supardan

ABSTRAK

Tulisan ini bertolak dari suatu alasan pemerintah berkeinginan menyelenggarakan  rintisan penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dilatarbelakangi oleh alasan-alasan berikut:  Pertama, era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang unggul dalam IPTEK dan sumber daya manusia. Kedua, rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 (UUSPN 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.” Pasal 50 Ayat (7) UUSPN 20/2003 menyatakan bahwa ketentuan tentang SBI diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Ketiga, penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan (kreatif, inovatif, dan eksperimentatif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.

Lulusan SBI diharapkan, selain menguasai SNP Indonesia, juga menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju.

  1. Globalisasi Menuntut Kemampuan Daya Saing Manusia Unggul

Banyak tulisan tetang globalisasi yang merupakan intensifikasi hubungan sosial kesejagatan (Giddens, 1990: 64), maupun secara politis batas-batas antar negara semakin sirna (Ohmae, 1993: 1983; 2002: 171). Pada ummnya penyajiannya memberikan suatu analisis pesimis dalam ekses proses perubahan yang fundamental tersebut. Alasannya sederhana saja, kepesimisan tersebut didasarkan atas kesiapan yang dangkal dari masing-masing negara-bangsa untuk  berpacu mengarungi proses perubahan itu. Di antara penulis yang lebih ekstrim lagi adalah Paul Kennedy dalam karyanya berjudul Preparing for the Twenty-First Century. Deskripsinya itu telah mengingatkan kita yang cukup mencemaskan, bahwa akan ada sekelompok negara-negara yang muncul sebagai pemenang (winner) dan sekelompok lain tertinggal sebagai yang kalah (loser), ketika proses perubahan yang fundamental dan revolusioner itu terjadi (Kennedy, 1995 290-292).

Adanya pengelompokan winners dan losers tersebut disebabkan oleh ketidaksamaan persepsi dan respons tiap negara dan bangsa terhadap perubahan (globalisasi) yang revolusiener tersebut. Terdapat beberapa negara yang mampu dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan  (fast adjusters) yang sekaligus mengadakan reformasi yang berani. Sedangkan yang lain muncul sebagai slow adjusters karena ketidaksiapannya itu dalam menghadapi perubahan tersebut. Di dunia ini tidak adak satu bangsapun yang ingin menjadi kelompok negara dan bangsa sebagai the loser. Akan tetapi yang menjadi pokok persoalan bukan soal ingin dan tidaknya, melainkan soal siap dan tidaknya. Pertimbangan inilah yang menuntut perlu pendidikan yang bertaraf internasional dalam kaitan dengan makin terasanya derap arus globalisasi.

Jika kita telaah dari esensi substansi proses globalisasi, ternyata menekankan kepada dua hal. Pertama, adanya upaya yang makin kuat mendorong globalisasi untuk mempercepat prosesnya yang sedang terjadi. Kedua, adanya kenyataan peningkatan kesadaran kolektif mengenai kehidupan masyarakat global yang meliputi segenap bangsa dan seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Pengertian pertama mengacu kepada adanya fenomena percepatan globalisasi dewasa ini, sedangkan dalam pengertian kedua mengacu kepada tuntutan pengembangan perspektif global melalui pendidikan yang bertaraf intersional itu, agar siswa memiliki pengetahuan, sikap, serta keterampilan kesiapan dalam partisipasinya di berbagai bidang kehidupan. Mereka diharapkan dapat menempatkan diri dan memaknainya dalam berkontribusi terhadap masa kini dan mendatang (Diaz, 1999: 37-38). Penyikapan untuk globalisasi tersebut, suatu hal yang mustahil dan hanya akan menimbulkan masalah baru jika kita dalam menyikapinya melalui cara-cara yang konfrontatif apalagi tanpa disertai persiapan-persiapan nyata melalui peningkatan sumber daya manusianya.

Pemahaman secara seksama jika kita cermati dalam perkembangan sejarah, maka nampak jelas bahwa proses globalisasi berhubungan dengan makin menguatnya kembali faham/ideologi liberalisme. Fakih (2001: 218-219) menyebutnya faham ini sebagai neoliberalisme. Faham inilah yang disosialisaikan secara intensif oleh negara-negara industri maju-liberal, diterapkan melalui penekanan kebijakan pasar bebas, investasi modal asing, privatisasi, dan semangat ‘laissez faire laissez passer’. Wallerstein (1996: 539-540), seorang Sosiolog dan Direktur Fernand Braudel Pusat Studi Ekonomi dan Sistem-sistem Sejarah State Universitu of New York di Binghamton terkemuka, menyatakan bahwa  dalam ekonomi dunia  kapitalis membentuk “satu sistem sejarah seperti itu. Wallerstein (1996: 540), selanjutnya menyatakan:

Ekonomi dunia kapitalis membentuk satu sitem sejarah seperti itu. Menurut saya ekonomi dunia kapitalis mulanya ada di Eropa pada abad ke 16. Ia adalah sebuah sistem yang didasarkan pada keinginan untuk mengumpulkan modal, persyaratan politis mengenai tingkat harga, (modal, komoditi dan tenaga), dan polarisasi  yang terus menerus mengenai kelas dan daerah (pusat/pinggir) sepanjang waktu. Sistem ini telah berkembang dan meluas ke seluruh bumi ini pada abad selanjutnya. Dewasa ini telah mencapai suatu titik, di mana sebagai akibat dari perkembangannya yang komprehensif itu, ia mengalami krisis terus menerus.

Mickletwait dan Wooldridge (2000: 29), dalam Future Perpect: The Challenge and Hidden Promise of Globalization, melihat globalisasi dari sisi yang berbeda. Mereka berpendapat sebagai motor yang menggerakan globalisasi sehingga proses globalisasi itu sendiri begitu cepat menembus batas antar bangsa/negara, terdapat three engines globalization yang menggerakkan globalisasi, yaitu:

… technology, the capital market, and management… Each of these forces is powerful enough in its own right, but what has given them their apparent invincibility in recent years is the fact that they all fit together so neatly. Free-flowing capital makes it easier for companies in even the most out-of-the-way places to buy new technology. New technology makes it easier to move capital to similar obscure places. And management ¾ by which we mean the spread of common management methods, the growth of the management industry of consultants and business schools, and the development of new cadre of professional multinational managers ¾ alerts companies to the clever ways in which they can use capital and technology.

Ritzer dan Goodman (2004: 588) dalam karyanya yang berjudul Modern Sociology Theory, globalisasi yang begitu luas cakupannya, menurutnya dapat dianalisis secara kultural, ekonomi, politik ataupun institusional. Masing-masing bidang kajian, kunci perbedaannya adalah; apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas? Pada titik ekstrim, globalisasi secara kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transisional dari praktik bersama (homogenitas), ataupun  sebagai proses di mana  banyak input kultural lokal dengan global berinteraksi mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas), maupun kearah imperialisme kultural (Ritzer dan Goodman, 2004: 588).

Ritzer dan Goodman (2004: 589), maupun Stiglitz (2002: 34) berpendapat bahwa kajian yang menekankan faktor ekonomi, cenderung menekankan arti penting ekonomi dan efeknya yang bersifat homogenizing ke arah ekonomi pasar ke seluruh dunia, tanpa melihat perbedaan nasional dengan pendekatan “one-size-fits-all” yang menyisakan sejumlah keresahan dan kesenjangan. Di sisi lain Hardt dan Negeri (2000: 133) dalam karyanya Empire menyampaikan pandangan yang berbeda karena menekankan pada aspek politik/institusional, bahwa terdapat penyebaran model nation-state di seluruh dunia yang lebih serupa. Kajian budaya, ekonomi, maupun politik, baik secara populer dan akademik, masalah globalisasi menjadi semakin manarik untuk dikaji. Keaneka-ragaman pemahaman globalisasi ini mendorong berkembang berbagai teori globalisasi yang muncul sebagai akibat dai serangkaian perkembangan  internal teori sosial, seperti halnya terhadap modernisasi.

Berbagai teori globalisasi yang berkembang hingga kini satu di antaranya adalah teori Techno-Capitalism dari Kellner (2002: 287) dalam karya terakhirnya Theorizing Globalization yang menekankan hubungan dialektis antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis atau tekno-kapitalisme. Kemudian teori globalisasi Runaway World dari Giddens (2000: 23) dalam bukunya Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives yang pembahasannya memfokuskan pada kaitan erat globalisasi dan risiko, khususnya dengan munculnya manufactured risk. Giddens (2000: 37) selanjutnya menyatakan bahwa “Kita tak akan pernah mampu menjadi penguasa sejarah kita sendiri, tetapi kita dapat dan harus mencari cara untuk membuat dunia yang tak terkendali ini menjadi terkendali”.

Teori Perang-Ruang dari Bauman (1998: 9) dalam bukunya Globalization: The Human Consequences, melihat bahwa globalisasi diwarnai oleh faktor kemampuan “mobilitas” yang menjadi faktor terbentuknya stratifikasi  yang paling dominan. Ia beranggapan, hanya mereka yang “mobile” yang mampu menguasai dunia dalam proses memaknai dirinya sendiri. Sebaliknya kaum ‘pecundang’ tidak hanya berada dalam kekurangmampuan mobilitas, tetapi terkurung dan tidak mampu memberi makna kehidupannya sendiri. Bauman (1998: 97) berasumsi  bahwa pemenang adalah  “hidup dalam waktu” karena baginya ruang bukan masalah. Tidak berarti semua orang mampu untuk mobile, bahkan sebagian besar orang hidup di antara dua titik ekstrim, mereka merasa tidak pasti, sebagian mereka tidak bisa melihat cahaya esok hari.

Selanjutnya sedikit akan berbeda dengan Teori Globalization of Nothing dari Ritzer (2004) yang disajikan dalam buku Globalization of Nothing: Why So Many Make So Much Out of So Little. Suatu metateori yang menganalogikan “nothing” sebagai bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral yang sebagian “kosong” dari isi yang distingtif dan mengglobal. Terdapat empat subtipe nothing; (1) non-places, seperi pusat perbelanjaan mall, (2) non-things seperti kartu kredit, (3) non-people, seperti karyawan yang diasosiasikan telemarker, (4) non-servis seperti ATM.

Begitu juga dari Teori Lanscape Appadurai, yang menurut Ritzer dan Goodman (2004: 597) merupakan teori globalisasi paling populer dan banyak dikutip oleh banyak para ahli. Teori ini dimuat dalam buku Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Appadurai mengemukakan bahwa terdapat arus global dan keterputusan di antara arus-arus tersebut yang mencakup; pertama, ethnoscapes (kelompok turis dan pekerja tamu), kedua technoscapes (teknologi tinggi mekanistik dan informasional yang menggelobal), ketiga financescapes (pasar bursa saham dan pasar modal), keempat mediascapes (koran, majalah, televisi, internet), dan kelima ideoscapes atau serangkaian imaji yang bersifat politis pro dan kontra (Appadurai, 1996: 33-36).

Lalu bagaimana dampak arus globalisasi ini dalam bidang pendidikan? Wawasan yang bagaimana yang diperlukan yang diperlukan dalam era globalisasi itu? Mungkinkah kita dapat mengajarkan dengan mempergunakan kurikulum, guru, dosen, fasilitas serta sistem pembelajaran yang selama ini telah kita parktikkan? Untuk menjawab ini ada baiknya kita ikuti pendapat sosiolog ternama Daniel Bell, walaupun tulisannya sudah seperempat abad lebih namun masih relevan. Karyanya yang berjudul The Coming Post-Industrial Society (1973), ia meramalkan munculnya di masa mendatang suatu masyarakat pasca-industri, suatu tipe masyarakat yang telah maju di mana ciri yang paling fundamental kemunculan masyarakat ini adalah penekanannya pada produksi jasa, bukannya barang-barang, dan khususnya jenis-jenis jasa tertentu. Sementara dalam masyarakat industri menekankan jasa-jasa dalam bidang seperti transportasi, pelayanan, dan telekomunikasi, maka dalam masyarakat pasca-industri menekankan jasa-jasa yang meliputi kesehatan, ilmu pengetahuan, dan pendidikan.

Dengan munculnya masyarakat  pasca-industri, akan terjadi suatu transformasi besar dalam masyarakat. Jika pada masyarakat industri lebih banyak didasarkan pada harta benda; sedangkan dalam suatu masyarakat pasca-industri akan ditandai terjadinya transisi dari suatu teori nilai kerja sampai kepada suatu “teori nilai pengetahuan”. Perubahan dalam dasar kehidupan sosial ini juga ditandai oleh adanya suatu perubahan dalam struktur kelas. Hal ini dapat dipahami karena kelas sosial baru yang dominan bukan lagi sutu borjuis pemilik harta-benda, akan tetapi suatu kelas “inteligensia sosial”; yakni suatu kelas individu-individu yang berpendidikan tinggi yang dominasi sosialnya bertumpu pada pemilikan bentuk-bentuk pengetahuan teoretis dan praktis yang maju. Karena itu anggota-anggota kelas ini  yang paling penting adalah para dokter, insinyur, guru, dosen, ilmuwan, yaitu orang-orang yang bekerja atas dasar “kompetisi antar orang” dan bukannya suatu kompetisi “antar orang dan barang”.

Dengan demikian bagi Bell, masyarakat pasca-industri adalah masyarakat yang jauh berbeda dari masyarakat industri atau “kapitalis”, dan mereka tidak semata-mata memperoleh laba yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan ekonomi dan sosial, melainkan kehidupan menjadi terorientasi sekitar akumulasi pengetahuan dan penggunaannya untuk kebaikan manusia. Dalam hal ini perusahaan-perusahaan akan tersubordinasi di bawah apa yang dinamakan Bell adalah sociologizing mode. Hal ini berarti bahwa penekanan mereka bergeser dari pemberian keuntungan yang ekstensif kepada karyawannya ke arah “tanggungjawab sosial” mereka. Selain itu masyarakat memperoleh bentuk-bentuk pendidikan yang maju bukan saja untuk kegunaan sosial yang diperlukan mendesak, tetapi untuk peningkatan kesenangan dan intelektual. Dengan demikian pada umumnya suatu masyarakat pasca-industri jauh lebih baik pendidikannya daripada suatu masyarakat industri.

Walaupun pemikiran Bell secara luas dapat diterima dikalangan sosiolog dan pedagog kontemporer, namun masih tersisa untuk bersikap skeptis terhadap ide-ide tersebut. Hal ini seperti yang dituliskan Stephen D. Berger dalam karyanya  Review of Daniel Bell, The Coming of Post-Industrial Society Contemporary Sociology (1974). Berger mengemukakan bahwa banyak perkembangan yang dibahas Bell tidak mencerminkan dan mewakili kemunculan suatu tipe masyarakat baru yang dikemukakannya. Sebagai contoh ekspansi pelayanan pemerintah misalnya, dapat dipahami sebagai suatu langkah yang harus dilakukan dalam manajemen politik suatu masyarakat kapitalis maju. Bahkan Berger lebih jauh mengatakan bahwa motivasi sejati dibalik ramalan teknologi adalah adalah bersifat militer, dan kebanyakan daripadanya ekspansi pengetahuan akhir-akhir ini adalah ditimbulkan oleh keterlibatan pemerintah dalam pertahanan maupun penjelajahan ruang angkasa. Selain itu muncul pula beberapa keraguan, mungkinkah pengertian Bell bahwa suatu inteligensia tanpa harta milik akan muncul sebagai kelas yang dominan? Sebab, bagaimanapun kenyataannya sebagai guru, ilmuwan, dokter, dosen, maupun insinyur dipekerjakan dalam birokrasi pemerintah yang besar.

Mungkin benar apa yang telah dikatakan oleh Randal Collins dalam tulisannya berjudul “Some comparative principles of education” dari tiga tipe dasar  pendidikan (pendidikan dalam keterampilan praktis, pendidikan untuk keanggotaan kelompok status, dan pendidikan birokratis), nampaknya sekarang ini untuk tipe kedua dan ketiga tersebut masih juga mewarnainya baik dari sisi tujuan simbolisasi, memperkuat prestise, hak-hak istimewa (privilege) kelompok elit maupun untuk merekrut orang-orang pada posisi-posisi masyarakat yang memiliki stratifikasi sosial dan tersentralisasi. Dalam pada itu John Meyer, David Tyak, Joane Nagel, dan Audri Gordon dalam tulisannya “Public education as nationbuilding in America: enrollments and bureaucratization in the American states” mengemukakan bahwa pendidikan massal yang terjadi di Amerika bukanlah semata-mata gejala perkotaan dan industrialisasi seperti dikatakan dalam teori Samuel Bowles dan Herbert Gintis yang tertuang pada buku Schooling in Capitalist America. Meyer dan kawan-kawan beranggapan bahwa pendidikan itu sekurang-kurangnya adalah karakteristik pedesaan dan juga perkotaan yang cenderung lebih penting di daerah pedesaan. Karena itu pendidikan dimotivasi oleh keinginan segmen masyarakat, yang penting untuk mensosialisasikan anak-anak mereka ke dalam kebudayaan nasional baru yang sedang muncul. Kebudayaan itu bersifat kapitalistik, rasionalistik, dan sangat individualistik (Meyer dkk, 1979: 601). Kemudian Meyer dan kawan-kawannya mengembangkan suatu model alternatif tentang ekspansi pendidikan.

Model ini memandang bahwa ekspansi yang seluas dunia ini dalam dekade-dekade terakhir telah terjadi terutama sebagai akibat dari aspek-aspek demografi dan organisasi pendidikan  tertentu yang kemudia dikenal teorinya tersebut bahwa model itu sesungguhnya berakar dalam model pendidikan yang lebih umum sebagai pembangunan bangsa. Intinya sebagaimana juga dikatakan Fiala dan Lanford dalam  Comparative Education Review (1987: 315) bahwa kebudayaan tingkat dunia dan petunjuk-petunjuk organisasi untuk pembangunan ekonomi, kewarganegaraan, dan “kemajuan” melalui transformasi individu-individu telah mendorong semua negara ke arah perluasan sistem-sistem pendidikan yang “berjalan dengan dengan sendirinya” (self-generating). Apakah mereka sengaja atau tidak, bahwa kesimpulan-kesimpulan mereka sejalan betul dengan pendapat Collins tentang ekspansi pendidikan di mana disebutkannya hal ini sebagai fenomena  inflasi surata kepercayaan. Lebih provokatif lagi oleh Ronald Dore bahwa proses tersebut sebagai proses kualifikasionisme, di mana  dikemukakan bahwa proses ini merupakan gejala yang signifikan di semua Negara atau sebagian besar masyarakat industri. Lagi pula, bangsa-bangsa yang sedang berkembang ternyata meniru pola-pola pendidikan negara-negara industri, sehingga membentuk suatu elemen kualifikasionisme yang kuat ke dalam sistem pendidikan mereka sendiri.  Semua (atau sekurang-kurangnya kebanyakan) bangsa masa kini telah terjangkit apa yang disebut oleh Ronald Dore dalam bukunya The Diploma Disease: Education, Qualification, and Development itu sebagai “penyakit diploma”.

Lebih jauh lagi Dore mencemaskan banyak negara berkembang dalam dekade-dekade terakhir agaknya sedang mengalami suatu bentuk kualifikasionisme yang sangat akut. Mereka itu merupakan korban dari apa yang disebut Dore selanjutnya sebagai “dampak pembangunan yang terlambat” (late-development effect): Semakin terlambat pembangunan dimulai, semakin lebih cepat meningkat pendidikan sekolah. Di Negara-negara demikian, sertifikat pendidikan telah menjadi persyaratan keharusan bagi individu-individu untuk memperoleh jalan masuk ke dalam pekerjaan-pekerjaan sektor modern (misalnya, instansi-instansi pegawai negeri, pekerjaan-pekerjaan kantoran, dsb). Pekerjaan-pekerjaan itu sangat menarik karena menjanjikan suatu tingkat imbalan ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan orang kebanyakan. Oleh karena itu permintan akan mereka adalah sangat tinggi yang menghasilkan inflasi kualifikasi yang substansial.

Ada dua konsekuensi serius dari pertumbuhan kualifikasionisme itu. Yang pertama, adalah masalah “kelebihan-pendidikan” (overeducation). Jika terjadi peningkatan dalam jumlah orang yang memegang sertifikat pendidikan pada suatu tingkat tertentu, dan bila jumlah pekerjaan yang memerlukan tingkat pendidikan itu tidak meningkat, maka banyak pemegang sertifikat tidak akan mampu memperoleh pekerjaan untuk mana mereka telah mempunyai pendidikan yang lebih tinggi daripada yang diperlukan. Atau mereka melanjutkan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, dengan harapan bahwa jumlah pendidikan ekstra ini akan menjamin mereka dengan jenis pekerjaan yang mereka inginkan. Jadi masalah kelebihan pendidikan adalah akibat dari kualifikasionisme dan juga penyebab kualifikasionisme yang dipercepat.

Konsekuensi kedua, adalah dari pertumbuhan kualifikasionisme mencakup kualitas pendidikan itu sendiri. Sebagaimana diingatkan oleh Dore bahwa pendidikan  menjadi terorientasikan pada usaha kelulusan ujian dan menerima sehelai surat sertifikat, bukannya sekitar ekspansi berpikir dan merangsang untuk memenuhi kreativitas serta keingintahuan intelektual. Ruang-ruang kelas menjadi tempat-tempat steril yang dicirikan oleh semacam kebosanan yang diritualkan. Jika para siswa mulai menyadari akan sifat dan fungsi sesungguhnya dari sistem pendidikan, dan bila inflasi surat kepercayaan mencapai tingkat yang sangat tinggi, maka terjadilah “krisis surat kepercayaan”. Dampak negatif yang paling dirasakan  yang lebih berbahaya lagi, khususnya bagi negara-negara berkembang (Sanderson, 1995: 507).

Pentingnya penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional dalam kaitannya dengan era globalisasi, sebagaimana dijelaskan oleh Michael W. Apple maupun Henry Giroux bahwa pengetahuan (knowledge) adalah suatu kapital (Apple, 1996: 99). Sebagaimana banyak orang berjuang untuk mengumpulkan kapital, maka demikian pula orang berjuang untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan sebagai kapital. Terutama pendidikan radikal-kritis seperti yang digagas oleh Henry Giroux, seorang pemikir pendidikan yang dipengaruhi Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas yang memerlukan visi, yakni visi yang menunjukkan apa yang dapat dilakukan, melampaui kekinian dan menjangkau masa depan, mempertautkan perjuangan dengan kemungkinan-kemungkinan baru (Giroux, 1983: 242). Ia mengkritik dominasi nalar instrumental yang mengontrol dan mengakibatkan dehumanisasi sehingga melestarikan ketimpangan dalam masyarakat. Ia berpendapat bahwa pendidikan lebih dari sekedar reproduksi kebudayaan (1981; 11) untuk memperkuat mereka yang sudah kuat dalam masyarakat dan mempertahankan marginalisasi terhadap yang lemah. Di sinilah sekolah harus menjadi medan untuk melakukan perjuangan pergulatan kultural dan penentangan terhadap hegemoni budaya yang telah melahirkan stigmatisasi, marginalisasi, penindasan, dan pengabaian sebagian besar manusia. Dengan demikian sekolah harus menjadi medan produksi dan transformasi kebudayaan, bukan reproduksi kebudayaan. Sekolah juga harus menjadi ajang pemberdayaan dan pembebasan individu serta kelompok dalam sebuah masyarakat yang adil, dengan mendorong otonomi individual dan kolektif dalam sistem demokrasi partisipatoris yang menghargai keragaman serta kemajemukan kelompok sosial dan budaya. Karena itu pendidikan kritis bukan sekedar persoalan metodologi pengajaran di kelas, tetapi malampaui sekolah dan menjadi bagian dari pembebasan masyarakat untuk menggantikan ketimpangan sistematik dengan komunitas dan anak didik yang lebih berdaya (Giroux, 1989). Tugas tersebut berarti membuat pedagogis lebih bersifat politis dan membuat politik lebih bersifat pedagogis. Dalam pendidikan global yang radikal ini memang diperlukan bukan hanya menjalankan seperangkat teknik, melainkan mempertanyakan asumsi-asumsi yang diterima tentang hakikat, isi, dan tujuan persekolahan.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang secara eksponensial akan mengubah dengan sangat cepat dan gaya hidup manusia bukan tidak mungkin menuntut loncatan-loncatan dalam pola dan gaya kehidupan ke bentuk pasca-industri yang progresif. Dengan kata lain transformasi sosial dewasa ini telah menghadapi suatu fase yang sangat menentukan karena berakselerasi dengan sangat cepat dan di dalam keadaan demikian bukan tidak mungkin “manusia yang tidak siap” akan terlempar dari proses perubahan global tersebut. Oleh karena itu khidupan di era globalisasi ini memerlukan manusia-manusia yang unggul dan karya-karya yang unggul. Sebab hanya manusia manusia yang unggul yang dapat survive di dalam kehidupan yang penuh kompetitif dan menuntut kualitas kehidupan yang lebih tinggi.

Tilaar (1998: 56) menyebutkannya keunggulan yang dimaksud adalah keunggulan partisipatoris, artinya manusia unggul adalah manusia yang ikut serta secara aktif di dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan parsipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi individual yang akan digunakan di dalam kehidupan yang penuh persaingan yang semakin lama semakin tajam.

Kiat-kiat pengembangan “manusia unggul partisipatoris” tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sedikitnya sebagai berikut:

  1. Dedikasi dan disiplin; seseorang harus memiliki rasa pengabdian terhadap tugas dan pekerjaannya. Ia harus terfokus kepada tujuan apa yang akan dicapainya.
  2. Jujur; bukan hanya kepada orang lain tetapi juga terhadap diri sendiri. Konsep jujur ini penting terutama untuk memperoleh trust, seperti yang dikatakan Fukuyama dalam Human Capital.
  3. Inovatif; selalu berusaha mencari sesuatu yang benar-benar baru maupun fungsi baru dan kreatif;
  4. Tekun; yang dapat memfokuskan perhatian pada tugas dan pekerjaan sebelum membuahkan sesuatu.
  5. Ulet; merupakan manusia yang tidak mudah putus asa, ia akan terus mencari dan berusaha yang tiada henti tanpa jalan pintas (Tilaar, 57-59).

Perlu juga disadari seperti yang dikatakan Naisbit (1994: 2) bahwa dalam globalisasi tersebut “terdapat trend-trend dunia secara luar biasa menuju ke arah kebebasan politik dan pemerintahan sendiri-sendiri pada satu pihak, dan pembentukan aliansi pada pihak lain”. Oleh karena itu terjadi paradoks global, seperti; ”semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat para pemain terkecilnya”. Artinya dalam ekonomi global yang tersentralisasi yang tejadi semakin besar peranan kebutuhan desentralisasi maupun pengikut perorangan dalam suatu tim. Hal ini ditegaskan pula oleh Abdullah (1999: 19) juga mengemukakan pendapat serupa. Ia menyebutnya bahwa dalam masyarakat global yang hiruk-pikuk juga bisa menciptakan “orang-orang yang kesepian” yang semakin memerlukan ikatan komunitas lama yang akrab, baik melalui “etnis”, “dialek”, “budaya lokal”, maupun “nasion”. Sebab salah satu kekuatan etnis, budaya lokal maupun kebudayaan nasional ialah landasan sejarah yang telah lama dimilikinya. Jadi masyarakat sudah merasa sebagai satu kesatuan dalam hidup dan kebudayaannya. Inilah yang merupakan kelemahan dan kekeringan utama dari “kebudayaan global” ¾ essentialy memoryless yang tidak melibatkan kebudayaan nasional dan nasionalisme (Smith, 1992: 119). Oleh karena itu sebagai implikasi dalam dunia yang paradoks tersebut Naisbit mengemukakan, di samping betapa pentingnya nilai-nilai universal seperti yang telah dikemukakan di atas, juga tidak kalah pentingnya nilai-nilai unik yang disebut nilai-nilai “indigenous”.

Salah satu paradoks yang muncul ialah budaya lokal versus budaya global. Dengan munculnya budaya global berarti merupakan tantangan terhadap budaya lokal-tradisional (indigenous). Tantangan tersebut memberikan suatu implikasi yang cukup serius oleh sebab masyarakat kita berada di dalam suatu masa transformasi sosial dan struktural. Apabila nilai-nilai tersebut berubah secara cepat maka bukan hal mustahil akan terjadi suatu goncangan budaya (cultural shock) seperti yang dituliskan Alvin Toffler dalam tulisannya yang berjudul Future Schock (1981). Bahkan jauh sebelumnya William Ogburn seorang sosiolog Amerika Serikat ternama dalam karyanya Social Change with Respect to Culture and Original Nature (1964), dengan teori cultural lag gemilangnya mengenai keterbelakangan kebudayaan menunjukkan bahwa akan timbul ketegangan sosial dari ketidaksamaan tingkat kecepatan perubahan dalam berbagai sektor masyarakat. Konsep “kejutan masa depan” (future shock) Toffler—dan teori penyesuaian diri yang bersumber padanya—sangat kuat membuktikan bahwa perlu ada keseimbangan, tidak saja antara tingkat kecepatan perubahan dalam sektor yang berbeda, tetapi juga antara kecepatan perubahan lingkungan dengan kecepatan tanggapan manusia yang terbatas. Dan, “kejutan masa depan” timbul dari jarak yang semakin besar antara kedua hal tersebut.

Masalahnya sekarang ialah bagaimana memodifikasi nilai-nilai tradisional atau nilai-nilai indigenous tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan global sehingga ketercerabutan dari akar-akar budaya tersebut dapat dihindarkan serta berdayaguna. Mempertahankan nilai-nilai indigenous yang mempunyai nilai-nilai positif akan sangat membantu dalam memperkuat identitas suatu masayarakat-bangsa. Dengan meminjam istilah Quaritch-Wales (1948) yang kemudian diluruskan oleh FDK Bosch (1952) istilah indigenous tersebut diidentikan dengan local genius  atau “kepribadian budaya bangsa” maupun “cerlang budaya”, apa-pun namanya yang jelas merupakan nilai-nilai yang komprehensif karena di dalamnya akan terkandung nilai-nilai kepercayaan, teknologi, bahasa, kesenian, dan unsur lainnya (Soejono, 1985: xiv).

Pernyataan di atas juga membuktikan relevannya pendapat Erich Fromm, seorang ahli psikoanalis asal Frankfurt yang sering dijuluki seorang humanis eksistensialis,  tentang pentingnya “rasa memiliki. Fromm (1955: 25) dengan karya besarnya The sane  society, menjelaskan bahwa pemahaman tentang “psike” manusia  harus berdasarkan  analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensinya. Salah satu kebutuhan manusia yang mendasar adalah  kebutuhan akan keberakaran, Kebutuhan ini dapat dinyatakan dalam dua konsep kemanusiaan yang fundamental yakni  konsep “memiliki (to have) dan “ada” (to be). Sebagai manusia ia berada, ia hidup serta berkembang menjadi pribadi karena ia “memiliki” sesuatu.  Dengan demikian “memiliki” merupakan  bagian keberadaan manusia, yang kemudian oleh Fromm disebutnya sebagai existential having.

Fromm (1955: 362) lebih jauh mengemukakan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat di mana manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta. Ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan “menciptakan”  bukan dengan kekerasan apalagi saling membinasakan. Masyarakat yang seperti ini akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia sepenuhnya. Anggota masyarakat demikian tidak akan banyak rasa kecewa, sakit hati, frustrasi, dan kebencian, melainkan lebih tanggungjawab dan partisipatif. Jika cita-cita ideal Fromm ini dikaitkan dengan pentingnya rasa memiliki sebagai bagian rasa solidaritas bangsa, maka tidak mustahil Indonesia akan memperoleh integrasi bangsa yang lebih tangguh dibandingkan dengan integrasi bangsa sekarang ini.

Era global yang diwarnai oleh perkembangan high tech tersebut juga perlu diimbangi oleh high touch. High Tech Approach dalam versi online, yang memperluas tentang konsep kekuatan teknologi menggambarkan betapa teknologi diperlukan dalam kehidupan kita. Hal ini untuk membangun atau mengembangkan kemampuan teknis tinggi yang berorientasikan high tech (Gaffar, 1996: 13). Kita tidak mungkin dan tidak bisa menolak teknologi tinggi. Teknologi kini merasuki simpul-simpul kehidupan kita. Lebih kecil, lebih hemat, lebih murah, lebih cepat, adalah manfaat-manfaat yang dirasakan oleh kehadiran teknologi. Real time, Quick time, maya, simulasi , cyber, interaktif, digital, jejaring, peranti keras, piranti lunak, pixel, voice recognition, space tourism, dan lain-lain, adalah produk-produk teknologi (Naisbit, 2001: 47). Sebaliknya, bagi kaum teknofobia hal ini akan menimbulkan ketertinggalannya semakin jauh. Jika kita tidak aktif memasuki era global yang sarat teknologi, maka akan menjadi bangsa penonton pasif dan sebagai tidak mustahil sebagai bangsa the loser, akibat slow adjuster dalam merespons yang didasarkan kepada cara pandang yang pesimis, bahkan bersifat apocalyptic atau alarmistis (Kennedy, 1993: 193 dan 345). Namun, tidak berarti kita kita harus membabi-buta dan mabuk teknologi, sebab teknologi juga berperan ganda.

Di satu pihak, pendekatan teknologi tinggi (high tech approach) mutlak diperlukan karena mendukung dan memperbaiki kehidupan manusia. Akan tetapi dampaknya juga di pihak lain, teknologi bisa mengucilkan memencilan, mengaburkan, dan menghancurkan kehidupan manusia. (Naisbit, 2001: 22-48; Gaffar, 1996: 14). Kita memang harus mencintai kemajuan, merasa gembira menjadi bagian dari kemajuan itu, dan tidak takut menghadapinya. Karena mencintai kemajuan itulah akan muncul berbagai keterampilan yang diperlukan. Untuk itu kita perlu merangkul teknologi tetapi yang memelihara kita, dan menolak teknologi yang merusak kemanusiaan kita. Itulah sebabnya di samping High Tech juga  diperlukan High Touch yang menuntut kita mengakui bahwa agama, alam, seni, permainan, cerita, waktu, adalah kebutuhan kita yang memberi makna hidup kita (Naisbit, 2001: 48). Dengan kata lain High Touch Approach adalah proses pengembangan SDM yang menitik beratkan pada penegembangan potensi-potensi kemanusiaan yang paling mendasar yang diperlukan oleh manusia untuk menjaga dan mepertahankan harkat dan martabat kemanusiaanya. Sebab dalam arus globalisasi dan information technology, berbagai pengaruh dari luar menerpa nilai-nilai dasar, adat istiadat, dan budaya masyarakat tanpa mengenal kompromi, sehingga kerap kali mengalami benturan dan konflik nilai (Gaffar, 1966: 14).

Dalam persaingan tersebut bukan berarti mematikan sesama manusia, tetapi keunggulan yang dimiliki dan dikembangkan dalam masyarakat senantiasa harus dipelihara dan ditingkatkan. Dengan demikian kehidupan manusia dalam era globalisasi ini diarahkan kepada masyarakat madani (civil society) yaitu suatu masyarakat yang mengenal akan hak dan kewajiban masing-masing anggota dan secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap umat manusia. Seluruh umat manusia membangun suatu masyarakat madani di mana perdamaian dan keadilan menjadi nilai-nilai tertinggi. Tantangan-tantangan ini terkait dengan isu-isu perdamaian, hak-hak asasi manusia, demokrasi, serta pembangunan berkelanjutan (UNESCO-APNIEVE, 2000: 21).

Untuk tujuan ini pendidikan global di samping mengejar kemampuan-kemampuan individual juga harus menanamkan kesadaran kolektif untuk  mempersiapkan setiap orang dengan keterampilan-keterampilan yang memampukan yang bersifat hakiki untuk pengolahan kehidupan di dalam dunia yang berubah cepat. Taat asas atau konsisten dengan ini, maka tujuan-tujuan pendidikan untuk perdamaian, hak asasi manusia, demokrasi, dan pembangunan berkelanjutan adalah untuk:

  • mengembangkan cinta untuk kemanusiaan dan lingkungan;
  • menciptakan kesadaran tentang pentingnya hidup dalam harmoni seorang dengan yang lain dan dengan lingkungan;
  • mengembangkan dalam diri orang-seorang keterampilan-keterampilan komunikasi antar pribadi dalam rangka promosi pengertian, kesadaran menerima dan toleransi;
  • memampukan orang-seorang untuk memberi dan menerima;
  • menciptakan kesadaran akan solidaritas kemanusiaan tanpa memandang ras, agama, kepercayaan, dan kebudayaan;
  • menciptakan kesadaran tentang keunikan orang-seorang dalam konteks sosio-budaya mereka;
  • mengembangkan kualitas hubungan-hubungan manusia melalui kesadaran atas martabat dan persamaan, saling mempercayai, dan penghargaan atas keyakinan dan kebudayaan orang-orang lain;
  • promosi peranserta aktif dalam semua aspek kehidupan sosial, dan untuk menjamin kebebasan ekspresi, keyakinan, dan beribadat;
  • mengembangkan pembuatan keputusan demokratis yang mangkus yang akan mengarah pada keadilan dan perdamaian;
  • menciptakan kesadaran tentang kebutuhan akan kebebasan dan otonomi orang-seorang dengan tanggung jawab;
  • mengembangkan keterampilan-keterampilan penalaran, memampukan warga belajar untuk membuat keputusan-keputusan berdasarkan pengetahuan dan informasi;
  • menciptakan kesadaran akan lingkungan yang akan mengembangkan pembangunan berkelanjutan dan kontinuitas ras manusia.

Jacques Delors yang mengetuai Komisi Internasional tentang Pendidikan untuk Abad XXI yang diterbitkan oleh UNESCO dalam bukunya “Learning: the Treasure Within” atau Belajar: Harta Karun di Dalamnya (1996) menekankan pentingnya pendidikan internasional dengan memperkokoh:

  • learning to know (belajar mengetahui, yakni memperoleh instrumen-instrumen pengertian);
  • learning to do (belajar berbuat, sehingga seseorang mampu bertindak secara kreatif di lingkungannya);
  • learning to be (belajar menjadi seseorang, sehingga mampu mengembangkan kepribadiannya lebih baik dan bertindak dengan otonomi, keputusan dan tanggung jawab pribadi yang lebih besar);
  • learning to live together (belajar hidup bersama, sehingga dapat berperanserta dalam dan bekerjasama dengan orang lain dalam semua kegiatan manusia).
  1. Dasar Hukum Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional

Sebagai dasar hukum penyelenggaraan SBI adalah Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 (UUSPN 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.” Pasal 50 Ayat (7) UUSPN 20/2003 menyatakan bahwa ketentuan tentang SBI diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Dengan demikian

  1. Filosofi Eksistensialisme dan Esensialisme (Fungsionalisme)

Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pada umumnya kata “eksistensi” berarti “keberadaan”, akan tetapi dalam filsafat eksistensialisme ungkapan “eksistensi” mempunyai arti khusus. “Eksistensi” adalah cara manusia berada dalam dunia, yang berbeda dengan makhluk dan benda-benda lainnya. Makhluk dan benda-benda lain tidak sadar akan keberadaannya. Tidak demikian dengan cara manusia berada, ia berada bersama-sama benda-benda itu dan nmanusia menyadarinya. Benda-benda lain menjadi berarti karena manusia. Di samping itu manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda “berada” seedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi manusialah yang bereksistensi (Hadiwijono, 1980: 148).

Manusia itu menyadari bahwa dirinya itu ada. Sesuatu yang ditelaahnya bisa diragukan oleh dirinya, namun yang pasti dirinya itu disebut “aku”. Segala sesuatu disekitarnya dihubungkan dengan dirinya (pandanganku, pacarku, mejaku, dsb). Dalam hidupnya manusia menentukan keadaan dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia berusaha menemukan pribadinya yang seolah-olah keluar dari dirinya serta menyibukan dirinya. Dengan kesibukannya itulah ia benar-benar menemukan dirinya sendiri, dan itulah cara manusia bereksistensi. Dengan demikian dalam pandangan eksistesialisme kebenaran-kebenaran subjektif jauh lebih penting daripada kebenaran objektif. Hal ini terjadi karena kebenaran haruslah senantiasa bersifat personal dan tidak semata-mata proporsional (Rapar, 1996: 117).

Dalam kaitannya dengan pentingnya pandangan filsafat eksistensialis dengan SBI, adalah bahwa seorang yang memiliki wawasan luas dari SBI diharapkan melalui metode eksistensialis ia tidak terikat dengan metode ilmiah tradisional, bahkan kebalikannya. Mereka yang menggunakan metode ilmiah tradisional mengkonsentrasikan pandangan pada apa yang sedang berada di dalam suatu tabung percobaan. Sedangkan bagi pemikir eksistensialis─ dengan metode eksistensial mereka ─ mengkonsentrasikan pandangan mereka pada aktivitas manusia yang berada di luar tabung percobaan, yaitu yang sedang melakukan percobaan itu. Dengan demikian, kebenaran subjektivitas dalam pandangan ini lebih berguna daripada objektivitas, begitu juga nilai lebih perlu daripada yang faktual. Memang harus diakui bahwa justru itulah yang terlupakan serta diperlukan dalam era globalisasi itu diperlukan suatu perubahan paradigma berpikir yang lebih komprehensif dan tidak memutlakkan objektivitas.

Dalam pandangan eksistensialisme religius yang dipelopori Soren Kierkegarrd, manusia adalah mahluk Tuhan yang teristimewa. Ia tidak hanya memiliki masa lampau tetapi senantiasa memberi gambaran tentang hari kelampauannya itu. Ia juga tidak hanya memiliki masa depan, akan tetapi senantiasa memberi konsepsi tentang masa depannya itu. Tidak seorangpun makhluk manusia itu yang mampu menerima dengan bebas masa lampaunya ataupun “menciptakan” masa depannya yang baru. Sehingga di antara segala yang bereksistensi ini hanya manusia yang merupakan makhluk historis, sebab dia-lah satu-satunya yang makhluk yang menjadi pokok penulisan sejarah, sebab dia-lah satu-satunya yang membuat sejarah (Leahy, 2001: 225).

Kesejarahan atau historisitas manusia, yakni kekhasan yang menjadikan manusia pembuat dan pelaku sejarah, bukanlah merupakan sebuah fakta yang kebetulan melainkan sesuatu yang hakiki. Dalam pandangan historisitas itu menegaskan cara berada dan bereksistensi manusia. Sebagai missal, bagi bangsa Yunani kuno rasa kesejarahan dikalahkan oleh “nasib” (fatum) yang memahami perjalanan sejarah sebagai sesuatu yang terjadi menurut keniscayaan yang tak terhindarkan. Kemudian fatum tersebut oleh Bergson disebutnya sebagai suatu gagasan yang semu yang dinamakan “ilusi restrospektif” yang menempatkan sesuatu telah terjadi pada masa lampau, dengan tidak menerangkan jalannya sejarah yang sedang berlangsung. Memang ada pribahasa yang berbunyi “quod factum est, infactum fieri nequit”, yang artinya “bila suatu peristiwa telah terjadi, tidak ada sesuatu-pun yang dapat mengubahnya”. Dari pandangan tersebut, tinggal satu langkah lagi orang berpandangan bahwa segala sesuatu terjadi secara tak terhindarkan. Padahal jika kita betul-betul berupaya keras memperbaiki diri, tidak mustahil kegagalan itu dapat diminimalisir. Dengan demikian bahwa gagasan “nasib” di atas bukan saja tidak konsisten tetapi juga berbahaya mengingat merupakan cara yang mudah untuk mengingkari tanggung jawab pribadi dalam hidup ini (Leahy, 2001: 227).

Pandangan ini akan berbeda dengan arti dan prinsip dalam historisitas modern yang menempatkan sebuah kesadaran yang menempatkan tanggung jawab masa depan, suatu konsep masa lampau yang terintegrasikan. Masa lampau itu lebih dipahami sebagai sesuatu yang “pernah hadir” daripada sebagai sesuatu “yang tiada lagi”. Edmund Husserl menyebutnya  sebagai proses  “penyimpanan” maupun “pengaktifan kembali”  yang dinamakan “struktur kesadaran” atau “intensionalitas” (Delfgauw, 1987 :106). Penting bagi kita terhadap ungkapan; bukan Plato sudah tiada, melainkan bahwa pemikirannya masih tetap hadir menyinari kita berkat karya-karyanya.

Sedangkan Merleu-Ponty (2001: 229) seorang filosof eksistensialis Prancis, profesor filsafat Kanada yang mengajar di Montreal University dan Quebec University dalam Phenomenology of Perception, mengartikan historisitas yang modern itu sangat erat kaitannya dengan makna “kerja”. Manusia secara hakiki adalah “pekerja dan pembangun” maka ia-pun seorang makhluk historis. Dalam ungkapannya yang sangat tepat: “Manusia adalah makhluk pekerja, dan kerja yang merupakan tumpuan sejarah, bukanlah semata-mata pengadaan harga, melainkan secara umum merupakan kegiatan manusia dalam karyanya yang memancarkan suatu lingkungan manusiawi dalam mengatasi fakta alami kehidupan. Pernyataan di atas sama dengan mengatakan bahwa dalam historisitas itu meresapi suasana eksistensial manusia modern ataupun humanisme masa kini. Humanisme semacam ini oleh Leahy disebutnya sebagai  histories-humanism (Leahy, 2001: 229-30). Humanisme-historis ini berbeda dengan humanisme Renaissance yang mengutamakan akal dipandang sebagai kemampuan manusia untuk menghampiri kebenaran-kebenaran  abadi dan transhistoris.

Lebih jauh beberapa filosof dalam banyak hal sering mendefinisikan manusia sebagai; homo volens (makhluk berkeinginan), homo sapiens (makhluk yang berpikiran cerdas), homo memechanicus (makhluk mekanik/mesin), homo ludens (makhluk yang suka bermain) dari Johan Huizinga sejarawan Kebudayaan Belanda; homo homini lupus (Manusia adalah Srigala bagi sesamanya) dari Thomas Hobbes seorang filosof Inggris ternama; homo esperans dan homo negans dari Erik Fromm seorang psikoanalis humanis Jerman; homo significans (makhluk pemberi makna) dari Victor Frankl dalam Man’s Search for Meaning (1959). Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa sesungguhnya diri manusia itu bukanlah parsial seperti itu. Diri manusia adalah “semuanya” mencakup semua pengertian itu. Sebab manusia adalah makhluk yang terlalu kompleks untuk dapat dipatok dalam satu definisi saja. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar yang berproses untuk menjadi semuanya itu, human being yang being human. Singkatnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpotensi untuk pertama-tama belajar tentang dirinya, kemudian berusaha belajar menjadi dirinya itu, dengan cara belajar mengekspresikan potensinya ke dunia luar atau insede out (Harefa, 2000:  29).

Sedangkan untuk kaitan antara filsafat esensialisme dengan tujuan pemerintah meneyelenggarakan SBI tersebut adalah; seperti yang dikemukakan  Brameld (1950: 74):

Essentialism is the philosophy of education that holds that the schools must be grounded, first of all, upon the essentials, that is, upon the tried and tested heritage of skills, facts, and laws of knowledge that have come down to us through modern civilization. The essentialist is, therefore, one who builds education largely upon the foundations of what we call the traditional curriculum. The mind of the student is conceived as a set of faculties, which the school provides with as much of the organized content of history and the objective world as it is able to contain.

Dengan demikian dalam pandangan Brameld tersebut jelas dalam esensialisme berpegang pada pernyataan utama bahwa “alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukumyang mencakup semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya. Oleh karena itu tugas utama manusia adalah untuk memahami hokum  dan tatanan ini hingga ia bisa menghargai dan menyesuiakan diri dengannya. Bagi seorang esensialis, sasaran utama sekolah adalah untuk mengenakan siswa kepada karakter dasar alam semesta yang tertata itu, dengan cara mengenalkan mereka pada warisan budaya. Secara filosofis, esensialisme dilandasi oleh prinsip-prinsip klasik dari realisme dan idealisme modern. Ontologinya bisa berwujud “realisme objektif yang berpendapat bahwa kenyataan adalah sebuah pokok (substansi) materi; atau idealisme objektif yang berpandangan bahwa kenyataan  pada pokoknya rohaniah (O’neil, 2001: 22)..

Epistemologinya dalam tingkat tertinggi merupakan “teori korespondensi / persesuaian pengetahuan”, yang meyakini bahwa kebenaran tampil mewakili atau sesuai dengan fakta-fakta objektif. Sebagai sebuah filosofi social yang menyeluruh, esensialisme menampilkan sebuah kebijakan kontemporer serta pelestarian budaya yang memantulkan humanisme klasik yang berkembang semasa zaman Pencerahan dan Renaissance dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad kesembilan belas.

Kemudian Taner dan Taner (1980) ahli kurikulum menjabarkannya dalam filsafat esensialisme ini berpendapat bahwa sekolah harus mengajarkan disiplin ilmu kepada siswa, karena pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Untuk mencapai tujuan itu maka disiplin ilmu yang ada diajarkan secara terpisah menurut ciri khas keilmuannya. Dalam pandangan ini pendekatan gabungan atau terpadu adalah sesuatu yang dihindarkan. Dengan penguasaan disiplin keilmuan yang tinggi seseorang akan menjadi anggota masyarakat yang aktif dan mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan masyarakat. Kecerdasan dan kemampuan penalarannya akan menjadi dasar bagi pandangan, sikap, dan perilaku, rasa estetika, tanggungjawab, atau apresiasi terhadap suatu pekerjaan. Dalam pandangan esensialisme, intelektualisme merupakan kemampuan seseorang memecahkan berbagai persoalan yang ada secara keilmuan.

Fenomena-fenomena alamiah, sosial-budaya, adalah bahan kajian keilmuan untuk menemukan hukum-hukum keteraturan sehingga dari keteraturan itu dapat dikembangkan teori atau hukum tertentu. Namun semuanya itu harus ingat bahwa ilmu pengetahuan-pun harus dimulai dari mitos-mitos (Gregory, 2002: 9). Sebagai contoh kita mengetahui dari sejarah bahwa prestasi-prestasi matematika sebelum bangsa Yunani, bangsa Babilon pernah memiliki sistem angka yang canggih dan perangkat untuk menyelesaikan persamaan matematis. Sejumlah besar lembaran-lembaran dari tanah liat telah ditemukan di Mesopotamia (antara S. Eufrat dan S.Tigris). Dari sana kita mendapatkan wawasan yang sangat dalam tentang prestasi-prestasi bangsa Babilon. Mereka telah mampu menyusun sebuah kalender, ini bukan prestasi yang remeh ketika memulai dengan goresan-goresan yang terpahat pada tanah liat. Relasi antara hari, bulan-bulan qomariyah (lunar months) dan tahun matahari (solar years) merupakan salah satu hal yang kompleks.

Tidak ada jumlah hari yang penuh dalam satu bulan qomariyah atau satu tahun matahari, dan tidak pula terdapat jumlah bulan qomariyah yang penuh dalam satu tagun matahari. Bangsa Babilon juga merupakan pengamat langit yang baik. Sebagian dari lempengan-lempengan tanah liat ini memberikan hasil-hasil pengamatan yang rinci dan akurat mengenai gerakan-gerakan yang ada di langit, dengan prediksi astronomi yang dibuat secara matematis…Sekalipun bangsa Babilon sangat ahli dalam pengamatan dan prediksi, namun mereka tidak pernah lepas dari penggambaran tentang langit dalam bentuk mitos-mitos dan syair-syair. Mereka tidak memiliki teori untuk menjelaskan sifat langit, dan mereka tidak mampu menghasilkan penjelasan … tenteng fenomena itu. Prediksi-prediksi mereka disusun atas dasar akstrapolasi (ramalan/perhitungan) dari data-data yang terkumpul (Gregory, 2002: 10).

Namun demikian  tidak berarti mitos sama dengan teori, sebab terdapat perbedaan mendasar. Mitos mengajak kita mempercayai sejumlah besar hal, sementara teori tidak demikian. Ada prinsip penting yang diterapkan dalam teori yang berlaku sebagai berikut: “Kita tidak menyatakan bahwa terdapat lebih banyak hal dalam teori kita selain keterangan minimum yang diperlukan untuk memberikan jawaban atas suatu fenomena. Hal ini dikenal sebagai prinsip penghematan atau principle of parsimony” (Gregory, 2002: 20). Mitos tidak bisa jadi lebih dekat pada kebenaran, sedangkan teori lebih menuntut kebenaran. Selain itu mitos memiliki kelemahan yakni kurang menghasilkan atau mendorong kemajuan seperti halnya teori.

Implikasi aliran esensialisme ini bahwa sekolah harus menjadi pusat keunggulan (center for excellence). Sekolah yang yang tidak mampu menjadi pusat keunggulan bukanlah suatu lembaga pendidikan yang dapat diandalkan, dalam arti sekolah yang demikian hanya akan menjadi beban masyarakat dan tidak memberikan kontribusi yang seharusnya kepada masyarakat. Dengan demikian pendidikan haruslah disajikan dalam bentuk untuh pendidikan keilmuan, yang berarti pula bahwa kurikulum yang berlaku di sekolah harus kurikulum disiplin ilmu (Hasan, 1996: 57).

DAFTAR PUSTAKA

Appadurai, A. (1996) Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization, Minneapolis: University of Minnesota Press.

Apple, Michael.W., (1996) Cultural Politics and Education, New York: Teacher College Press.

Bagus, Lorens (2000) Kamus Filsafat, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Banks, James (1977) Teaching Strategies for The Social Studies: Inquiry, Valuing, and Decision–Making, Philippines: Addison-Wesley.

Banks, James (1984) Teaching Strategies for Ethnic Studies, Newton: Allyn and Bacon.

Bell, Daniel (1973) The Coming of Post-Industria Society, New York: Basic Books.

Berger, Stephen, D. (1974) Review of Daniel Bell, The Coming of Post-Industrial Society, Contemporary Sociology 4: 101-105.

Brameld, Theodore (1955) Philosophies of Education in Cultural Perspective, New York: Holt, Rinehart and Winstone, Inc.

Brameld, Theodore, (1965) Education as Power, New York Holt, Rinehart.

Cabral, Amilcar, (1979) Unity and Struggle: Speeches and Writing, terjemahan bahasa Inggeris oleh Miichael Wolters, New York : Monththly Review Press.

Collins, Randall (1977) “Some comparative principles of educational stratification”.  Harvard Education Review, 47: 1-27.

Delors, J.(1995) Learning: The Treasure Within, UNESCO, Paris: Education Sector Unit For Education for the Twenty-first Century.

Dhakidae, Daniel, (2002) Indonesia dalam Krisis 1997-2002,  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Diaz, C.E. Massialas, B.G. & Xanthopoulos, J.A.(1999) Global Perspective for Educator, Boston, London: Alyn & Bacon.

Dore, Ronald (1976) The Diploma Disease: Education, Qualification, and Development, Berkeley: University of California Press.

Fakih, Mansour (2001) Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta; Insist Press.

Fanon, Frantz, (2000) Bumi Berantakan: Buku Pegangan Untuk Revolusi Kulit Hitam yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ahmad Asnawi, Jakarta:  C.V. Adipura.

Featherstone, Mike (2001) Posmodernisme dan Budaya Konsumen, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fiala, Robert dan Lanford, Audri G (1987) ”Educational ideology and the world educational revolution, 1950-1970” Comparative Education Review, 31: 315-332.

Fromm, Erik (1955) The sane  society, New York: Harper & Row.

From, Erik (1959) “The Creative Attitude: dalam  H.H. Anderson (Ed) Creativity and its Cultivation, New York: Harper & Row.

Gaffar, H.M. F. (1996) “High Tech dan High Touch” dalam Pengembangan SDM untuk Tahun 2020 dalam  Mimbar Pendidikan, Jurnal No.4 Tahun XV, University Press IKIP Bandung, halm.10-14.

Giddens, A. (1986) Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber, Penerjemah: Soeheba Kramadibrata, Jakarta: Universita Indonesia Press.

Giddens, A. (1990) The Consequences Modernity, Stanford, Calif.: Stanford  University Presss

Giddens, A. (2000) Runway World: How Globalization Is Reshaping Our Live, New York, Routledge.

Giroux, Henry (1983) Theory and Resistance in Education, London: Heineman.

Gregory, Andrew (2002) Eureka! Lahirnya Ilmu Pengetahuan, Alih Bahasa: Syafruddin Hasani, Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Hadiwijono, Harun (1980) Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius.

Harefa, Andrias, (2000) Menjadi Manusia Pembelajar (On Becoming A Learner), Jakarta: Penerbit Harian Kompas.

Hidayah, Zulyani (2001) Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Hirschman, Albert, O. (1970) Exit, Voice, and Loyalty, Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Hofstede, Geertz (1980) Culture’s Consequences International Differences in Work-related Values, Baverly Hills: Sage Publication.

Howard, Rhoda E. (2000) HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,  Penerjemah: Nugraha Kartjasungkana, Yogyakarta: Grafiti

Kartodirdjo, Sartono (1992) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono (1999) “Ideologi Bangsa dan Pendidikan Sejarah”,  dalam Sejarah, 8 , Jakarta: MSI dan Arsip Nasional RI.

Kellner, Douglass (2002) “Theorizing Globalization” dalam Sociology Theory 20: hlm. 285-305.

Kennedy, P. (1995) Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke 21, Diterjemahkan Oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Knapp, Mark, L. (1978) Social Intercource: From Greeting to Goodbye, Boston: Allyn and Bacon.

Knapp, M.L. (1985) “Tahap-Tahap Interaksi” dalam Pengantar Sosiologi, Sebuah Bunga Rampai, Penerjemah Kamanto Sunarto, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, (1970) Manusia dan Kebudayaannya di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Koentjaraningrat, (1986) Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed. , Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.

Koentjaraningrat, (1987) Sejarah Teori Antropologi, Jilid I dan II, Jakarta, Universitas Indonesia Press.

Koentjaraningrat, (1995) “Penggunaan Metode-metode Antropologi dalam Historigrafi Indonesia” dalam Soedjatmoko et al Historiografi Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Leahy, Louis (2001) Siapakah manusia? Sintesis Filosofis tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius.

Meyer, John W., Francisco O.Ramirez, Richard Rubinson, dan John Boli-Bennet, (1977) ”The world educational revolution, 1950-1970”, Sociology of Education 50:242-258.

Meyer, John., David Tyack, Joane Nagel, dan Audri Gordon, (1979) ”Public Education as Nation Building in  America: enrollments and bureaucratization in the American States, 1870-1930”, American Journal of Sociology 85: 591-613.

Naisbitt, John (1994) Global Paradox, Alih Bahasa : Budijanto, Jakarta: Binarupa Aksara.

Naisbit, John, Naisbit, Nana dan Philips, Douglas (1999) High Tech High Touch: Pencarian makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Penerjemah Dian R. Basuki, Bandung: Mizan.

Ohmae, Kenichi (1993) Dunia Tanpa Batas, Alih Bahasa Budiyanto, Jakarta: Binarupa Aksara.

Ohmae, K. (2002) Hancurnya Negara-Bangsa : Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia tak Berbatas, Penerjemah Ruslani,  Yogyakarta: Qalam.

O’neil, Wiliam F. (2001) Idelogi-ideologi Pendidikan, Alih Bahasa: Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Power, Edward J. (1982) Philosophy of Education: Studies in Philosohies, Schooling, and Educational Policies, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Rapar, Jan Hendrik, (1996) Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Ritzer, George (1995) Expressing America; A Critique of the Global Credit Card Society, Thousand Oaks, Calif; Pine Forge Press.

Ritzer, George (2000) The McDonaldization of Society: New Century Ediotion, Thousand Oaks, California: Pine Forge Press.

Ritzer, George (2004) The Globalization of Nothing: Why So Many Make So Much Out of So Little, Thousand Oaks, Calif.,: Pne Forge Press.

Ritzer, dan Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Terjemahan  Alimandan, Jakarta: Prenada Media.

Rohaedi, Ayat, Ed. (1985) Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.

Simbolon, Parakitri. T (2000) “Indonesia Memasuki Milenium Ketiga”, dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sjamsuddin, Helius (1999) “Sejarah dan Pendidikan Sejarah” dalam Jurnal Mimbar Pendidikan No.2 Tahun, XVIII, Bandung: IKIP Bandung, hlm.12- 17.

Smith, Anthony, D. (1992) “Toward a Global Culture” dalam Featherstone (ed) Global Culture, 18.1.

Smith, M.G. (1965) The Plural Society in the British West Indies, Berkeley: University of California Press.

Sobol, T. (1990) “Understanding Diversity” dalam Education Leadership, 48 (3), hlm.27-30.

Soedjatmoko (1976) “Kesadaran Sejarah dan Pembangunan” dalam Prisma, 7, Jakarta: LP3ES.

Soedjatmoko (1984) “Antara Filsafat dan Kesadaran Sejarah”, dalam William Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Stiglitz, G. (2002) Globalization and Its Discontents, New York: W.W. Norton.

Strinati, Dominic (2003) Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Penerjemah Abdul Mukhid, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Sujatmiko, Iwan, G. (1999) “Integrasi dan Disintegrasi Nasional” dalam Harian Umum Kompas, 20 Desember 1999.

Sunal, S.C. dan Haas, E.M.(1993) Social Studies, and The Elementary/Midle School Student, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Supardan, Dadang (2000) Kreativitas Guru Sejarah dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Deskriptif-Analitis terhadap Guru dan Implikasinya untuk Program Pengembangan Kreativitas Guru Sejarah SMU di Kota Bandung), Tesis Untuk Memperoleh  Gelar Magister Pendidikan, Pascasarjana UPI Bandung.

Supardan, Dadang (2002) “Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya: Studi Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Global”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Bandung: FPIPS UPI.

Supardan, Dadang (2003) “Turbulensi dan Bahaya Kekerasan dalam Pendidikan”, Dalam Helius Sjamsuddin & Andi Suwirta, Historia Magistra Vitae: Menyambut 70 Tahun Prof.Dr.Hj. Rochiati Wriaatmadja, M.A, Bandung: Historia Utama Press.

Suparlan, Parsudi, (2002) “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”, Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi, (2003a)  Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.71, Jakarta: Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi (2003b) “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72, Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indonesia.

Supriadi, Dedi, dan Mulyana, Rochmat, Compiled (1996) Multicultural Education: What Do the Theory and  Research Say ?, Bandung: Institut of Teaching and Educational Science (IKIP).

Supriadi, Dedi, (2001) Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Bimbingan dan Konseling UPI,  Bandung,

Suryadinata, Leo, (2003)  Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor.

Taner, D. dan Taner, L.N. (1980) Curriculum Development: Theory into Practice, New York: Macmillan Publishing, Co, Inc.

Thohari, Harijanto Y. (2000) “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tilaar, H.A.R. (1998) Beberapa Agenda Reformasi Pendidiakn Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Penerbit Tera Indonesia.

Tilaar, H.A.R. (2003) Kekuasaan & Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: Penerbit Tera Indonesia.

Toffler, Alvin (1981) Future Shock, London: Hazell Watson & Viney, Ltd.

Toffler, Alvin (1992)  Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan Di Penghujung Abad ke 21 (Bagian Kedua),  Alih Bahasa: Hermawan Sulistyo dkk. Jakarta: PT Pantja Simapti.

UNESCO-APNIEVE (2000) Belajar Untuk Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni: Pendidikan Nilai untuk Perdamaian, Hak-hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan Berkelanjutan untuk Kawasan Asia-Pasifik, Kantor Prinsipal UNESCO untuk Kawasan Asia-Pasifik, Bangkok & Universitas Pendidikan Indonesia.

Comments are closed.