Efektivitas Pembelajaran Sejarah Bermuatan Sejarah Lokal Dengan Memanfaatkan Media Teknologi Informasi

 Oleh: Anwar Hafid

Pendahuluan

Para ahli kurikulum mengajukan kritik terhadap pembelajaran sejarah yang didominasi  bahan hafalan, lebih menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan intelektual yang lebih tinggi, serta tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik (Partington, 1980). Meskipun kritik tersebut bertolak dari kenyataan yang ada di Inggris, tetapi kelihatannya juga berlaku di Indonesia. Guru sejarah kurang mementingkan penerapan kemahiran berfikir kreatif dan kritis  dalam pembelajarannya (Govinthasamy, 2002).

Di negeri ini, ilmu sejarah telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam kurikulum, sejak sekolah dasar, namun pembelajaran sejarah di banyak sekolah tidak lebih dari transfer ilmu guru ke siswa di dalam kelas melalui komunikasi satu arah. Siswa hanya menjadi objek pasif yang mempunyai kewajiban menghafal catatan yang didiktekan guru supaya bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan.

Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah membosankan, karena tidak memberikan sentuhan emosional, siswa merasa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang kaku berakibat buruk untuk jangka waktu panjang dan berpotensi memunculkan generasi yang mengalami “amnesia sejarah” yaitu melupakan sejarah bangsa sendiri.

Pembelajaran sejaran di sekolah hanya sebagai rangkaian fakta-fakta yang berupa urutan tahun, tokoh dan peristiwa belaka yang jauh dari lingkungan sosial peserta didik, terutama di luar Jawa, karena selama ini materi kurikulum didominasi peristiwa sejarah di Pulau Jawa, sementara peristiwa dan peran tokoh di daerah lain yang tidak sedikit dan tidak kalah pentingnya termasuk di Sulawesi Tenggara tidak pernah diajarkan. Materi pembelajaran sejarah yang diberikan kepada peserta didik SD hingga SLTA tidak berbeda. “Proklamasi kemerdekaan RI dan Perang Diponegoro, misalnya, dipelajari dari SD hingga SLTA, sehingga membosankan.

Pembelajaran sejarah perlu diberikan dengan lebih hidup kepada peserta didik. Mereka tidak cukup dijejali kesibukan kognitif, menghafal pengetahuan lewat fakta-fakta yang sudah mati pada masa lalu, yang dilanjutkan dengan pertanyaan siapa, dimana, dan kapan sebagaimana banyak terjadi selama ini. Model pembelajaran sejarah perlu diarahkan untuk memahami fenomena masa lalu dalam berbagai aspeknya agar dapat menjelaskan persoalan pada masa kini. Pembelajaran sejarah perlu mengaitkan antara peristiwa sejarah yang satu dengan peristiwa lainnya, karena tidak ada peristiwa sejarah yang berdiri sendiri, sehinga peserta didik akan lebih arif dan bijaksana dalam bertindak. Dengan demikian, pembelajaran sejarah menjadi lebih hidup dan guru sejarah tidak hanya memberikan pengetahuan fakta, melainkan mengajak siswa melihat dalam konteks zaman lalu dikaitkan dengan masa kini dan masa yang akan datang. Pelajaran dari peristiwa masa lalu yang sudah menjadi anasir-anasir sejarah dapat digunakan dalam memaknai hidup yang tengah berjalan demi kemajuan pada masa depan.

Salah satu usaha pengembangan pembelajaran sejarah adalah dikembangkannya suplemen kurikulum muatan lokal atau Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Inti muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah, serta wajib dipelajari oleh siswa di daerah itu.

Hasil Penelitian Sayono (2001) menunjukkan perlunya penyempurnaan kurikulum pembelajaran sejarah dengan menempatkan sejarah lokal sebagai bahan ajar. Hal ini untuk menghindarkan siswa tercabut dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah yang paling dekat dengan kondisi psikologis siswa adalah sejarah lokal. Kedudukan sejarah lokal sangat urgen dalam pembelajaran sejarah, dan diharapkan ada kesinambungan dalam pemikiran siswa agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya merupakan bagian dari kehidupan yang lebih luas yakni negara kesatuan Republik Indonesia

Tujuan penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah adalah (1) bahan  belajar akan lebih mudah diserap siswa, (2) sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, (3) siswa lebih mengenal kondisi lingkungan, (4) siswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (5) siswa dapat menolong diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, (6) siswa dapat menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan  yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, dan (7) siswa menjadi akrab dengan lingkungannya (Widja, 1989).

Mencermati perkembangan masyarakat yang  begitu kompleks, maka perlu kurikulum berwawasan lokal berstandar Internasional, karena perkembangan kurikulum sejarah tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Kurikulum nasional yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dalam bentuk Standar Internasional, akan memberikan peluang luas kepada daerah untuk mengembangkan muatan lokal dalam pembelajaran sejarah, sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Dalam mengembangkan kurikulum bermuatan sejarah lokal dapat dikemas dengan cara menjabarkan dan menambah bahan kajian dari KTSP mata pelajaran sejarah.

Pengembangan pembelajaran sejarah bermuatan lokal perlu pula mencermati arah materi sejarah yang bersifat Indonesia sentris, arah gerak sejarah Bangsa Indonesia yang semula ditentukan oleh kaum elit/penguasa, Menuju ke gerak sejarah yang tidak hanya ditentukan oleh kaum penguasa, tetapi oleh rakyat Indonesia. Dalam menghadapi tantangan pembelajaran sejarah yang demikian itu, peran guru sejarah benar-benar menentukan selain sebagai pelaksana kurikulum dan pengembang kurikulum sejarah, juga harus mampu melakukan pengkajian sejarah lokal di sekitar tempat tugasnya. Akhirnya, pembelajaran sejarah benar-benar bisa memberikan kearifan hidup bagi peserta didik.

Pengkajian Sejarah Lokal dalam Rangka Pembelajaran Sejarah

Istilah pengkajian sejarah lokal adalah penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas meliputi suatu lokasi tertentu. Selain istilah ”sejarah lokal” juga sering digunakan istilah “sejarah daerah”, namun sejarah daerah kurang tepat digunakan karena istilah “daerah” bisa berkonotasi politik, terutama dalam imbangan antara “daerah” dengan “pusat”, penggunaan istilah itu, juga bisa mengabaikan konsep etniskultural sesungguhnya dan lebih mencerminkan unit lokasi suatu perkembangan sejarah (Abdullah, 1985). Mungkin istilah neighborhood yang diartikan Jordan (1968) sebagai rangkaian peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar dapat diterima dalam rangka pengkajian sejarah lokal untuk kepentingan pembelajaran sejarah.

Perlunya kajian sejarah lokal karena untuk mengetahui kesatuan yang lebih besar, bagian yang lebih kecil pun harus dimengerti dengan baik. Seringkali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan baik, apabila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal. Pengembangan penulisan yang bersifat nasional selama ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang terkait dengan sejarah wilayahnya sendiri (Lapian, 1980). Banyak bagian sejarah bangsa Indonesia, bukan saja tidak pernah dihayati, tetapi juga tidak pernah dibayangkan karena kurangnya informasi tentang peristiwa itu, sehingga ada begian-bagian sejarah daerah kita sendiri yang luput dari masyarakat pembaca sejarah. Sebagai contoh keterbatasan pengetahuan orang-orang (bahkan yang berasal dari daerah itu sendiri) tentang peranan penting serta perkembangan detail dari kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Wolio, Wuna, Konawe, Mekongga, dan Laiwoi. Ataupun arti penting serta detail dari bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah berkembang di Indonesia seperti yang terdapat di Pulai Kei (Lurlim dan Ursiw), di Minangkabau dengan Kota Piliang, Barata di Wuna dan Buton, serta Pitu Dula Batu di Kerajaan Konawe, perlawanan rakyat Kolaka dan Kendari melawan Sekutu dan Belanda yang mencapai puncaknya pada saat peristiwa 19 November 1945. Rangkaian peristiwa tersebut belum banyak ditulis sehingga tidak dipahami masyarakat di Sulawesi Tenggara. Masih banyak lagi bisa dipakai contoh tentang kasus-kasus objek studi sejarah lokal yang tidak begitu dikenal di lingkungan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, kepentingan mempelajari sejarah lokal, pertama-tama adalah untuk mengenal berbagai peristiwa sejarah di wilayah terdekat dengan lebih baik dan lebih bermakna.

Sejalan dengan itu, Lapian (1980) menunjukkan kepentingan lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut periodisasi sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu, Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga tampak bahwa pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan masalahnya untuk seluruh Indonesia.

Ada beberapa aspek positif dalam pembelajaran sejarah lokal, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan menghayati lingkungan masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya (Douch, 1967; Mahoney, 1981).

Kedua, pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa siswa pada usaha untuk mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa kini, bahkan dapat memproyeksikan  peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa kini. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.

Kalau dihubungkan dengan teori J. Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep-konsep pendekatan proses, maka pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir semua prinsip dalam rangka pembelajaran siswa aktif  sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan, begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara, mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery inquiry.

Jika dihubungkan dengan pendekatan kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu kelompok, dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka melalui pembelajaran bermuatan sejarah lokal nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan. Secara bersama-sama mata pelajaran ekonomi, geografi, sejarah dan sosial budaya dalam sutu lokasi tertentu sulit dipisahkan dengan tegas. Semua unsur kelompok mata pelajaran ini saling terkait dan menjelma dalam wujud kehidupan nyata dari masyarakat secara keseluruhan (Berry dan Schug, 1984).

Pembelajaran bermuatan sejarah lokal mengharapkan peserta didik maupun guru harus berhubungan dengan sumber-sumber sejarah, baik yang tertulis maupun informasi lisan, baik berupa dokumen maupun benda-benda seperti: bangunan, alat-alat, peta dan sebagainya yang mula-mula harus dikumpulkan, kemudian dikritik serta diinterpretasikan sebelum bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah lokal. Untuk itu, guru sejarah perlu suatu persiapan khusus sebelum pembelajaran bermuatan sejarah lokal bisa dilaksanakan secara efektif.

Kesulitan lain adalah memadukan tuntutan pembelajaran sejarah lokal dengan tuntutan penyelesaian target materi yang telah tertulis dalam kurikulum. Pada umumnya dalam kurikulum sudah ditentukan sejumlah materi dan pokok-pokok bahasan yang harus diselesaikan sesuai dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan dengan ketat. Dengan demikian guru akan mengalami dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum dengan usaha pengembangan pembelajaran bermuatan sejarah lokal yang memerlukan waktu yang relatif banyak, baik untuk persiapan maupun untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilakukan di luar kelas.

Terkait dengan permasalahan tersebut, Douch (1967) mengemukakan tiga model pembelajaran sejarah lokal. Pertama, guru sejarah hanya mengambil contoh-contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang lebih hidup dari uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang diajarkan. Di sini jelas tidak akan ada masalah bagi usaha yang mengaitkan sejarah lokal dengan kurikulum pembelajaran sejarah yang berlaku, karena tidak ada pengambilan alokasi waktu yang sudah disediakan dan tidak ada kegiatan khusus di luar kelas yang harus dilakukan guru dan peserta didik.

Kedua, dilakukan dalam bentuk kegiatan penjelajahan lingkungan. Dalam bentuk ini peserta didik selain belajar sejarah di kelas, juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk mengamati langsung sumber-sumber sejarah dan mengumpulkan data sejarah. Aspek-aspek yang diamati tidak semata-mata berupa sejarah dalam urutan-urutan peristiwa, tetapi juga berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti geografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya.

Ketiga, studi khusus tentang berbagai aspek kesejarahan di lingkungan peserta didik. Peserta didik diorganisir untuk mengikuti prosedur seperti yang dilakukan peneliti profesional, mulai dari pemilihan topik, membuat perencanaan, cara membuat analisis data sampai penyusunan laporan hasil studi.

Diantara tiga pilihan tersebut, akan lebih bijak jika dipilih model kedua, karena selain tidak mengganggu materi yang telah ada dalam kurikulum, juga dapat meningkatkan partisipasi siswa dan mendorong siswa untuk lebih kreatif dan inovatif, serta bangga terhadap lingkungan sosialnya. Persoalannya sekarang, sejauh mana guru sejarah mampu merancang kegiatan pembelajaran yang dapat mengaitkan dengan peristiwa sejarah lokal. Selama ini sumber-sumber sejarah lokal masih terbatas yang diungkap secara tertulis, jika ada itu umumnya ditulis oleh sejarwan amatir, sementara sejarawan profesional hanya senang berdebat persoalan metodologi yang juga sudah ketinggalan zaman, sehingga cuplikan-cuplikan sejarah yang sempat ditulis juga tidak dapat memuaskan banyak pihak. Di sisi lain, jika kajian sejarah lokal dapat dilakukan secara profesional dengan mengadaptasi metodologi penelitian sosial modern dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Seperti, hasil kajin Sejarah Kota Kendari yang dilakukan Tim dari FKIP Unhalu berhasil mengungkap hari lahir Kota Kendari 9 Mei 1832, demikian pula penelitian Sejarah Kolaka yang dilakukan oleh Tim yang sama berhasil mengungkap beberapa fakta baru diantaranya rangkaian peristiwa 19 November 1945 yang merupakan puncak perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam mempertahankan kemerdekaan melawan sekutu dan Belanda sekaligus dapat memperkaya muatan sejarah nasional Indonesia. Dua kajian terakhir telah menjadi acuan bagi pemerintah dan masyarakat, utamanya guru sejarah dalam pembelajaran di sekolah mulai SD sampai dengan SMA.

Pengembangan Strategi Pembelajaran Sejarah

Agar pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang digunakan harus bisa mengkonstruk “ingatan historis” yang disertai dengan “ingatan emosional”. Metode pembelajaran satu arah yang ada selama ini hanya akan mengkonstruk “ingatan historis”. Siswa menjadikan sejarah hanya sebagai fakta-fakta kering yang bersifat hafalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk memaknainya, apalagi menggali lebih jauh. Supaya ingatan “historis” bisa bertahan lama, maka perlu disertai “ingatan emosional”, yaitu ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian tidak hanya berhenti pada penghafalan saja, tetapi siswa bisa aktif dalam komuniasi dua arah dengan guru untuk menyampaikan pendapatnya mengenai objek sejarah yang tengah dipelajari karena sejak awal ia telah merasa menjadi bagian dari proses pembelajaran. Di sinilah urgensinya kajian sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah.

Penggunaan model pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh guru dalam memberdayakan siswa secara aktif dalam menggali muatan sejarah lokal ke dalam pembelajaran sejarah. Model cooperative learning ini mampu menempatkan siswa sebagai subjek dalam mengungkap episode-episode sejarah lokal. Karena pada dasarnya cooperative learning adalah menggali potensi yang sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing siswa. Untuk mendukung kondisi tersebut, guru memegang peranan penting dalam menciptakan suasana kelas yang `dapat memberikan keleluasaan dalam belajar dan mendorong siswa mengembangan potensi berpikirnya. Penggunaan model cooperative learning ini menempatkan guru sebagai fasilitator, motivator, mediator dan evaluator dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis, agar ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu untuk berinteraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Pembelajaran sejarah lokal dapat divariasikan dengan media komputer/internet dan modul yang secara empiris  menunjukkan produktivitas hasil belajar sejarah yang tinggi dan dapat mengaplikasikan pelbagai teori dan strategi pembelajaran terutama pembelajaran kooperatif (Mohamad, 2002: 21; Alias, 2008: 135).

Kunjungan ke situs sejarah (metode karyawisata) bisa dikatakan sebagai salah satu metode yang dapat menimbulkan “ingatan emosional”. Setelah siswa diberikan fakta-fakta sejarah untuk mengkonstruk “ingatan historis” dalam kelas, ingatan emosionalnya dapat tergali berkat kunjungan ke situs-situs sejarah. Selain metode karyawisata, beberapa metode alternatif dalam kaitannya dengan modifikasi pembelajaran sejarah perlu dikembangkan. Salah satu metode yang bisa diterapkan adalah pemanfaatan media audiovisual. Pemutaran film dokumenter, semidokumenter, dan film layar lebar yang berlatar sejarah. Setelah menonton film, siswa akan termotivasi menggali lebih jauh lagi “sejarah” yang terdokumentasikan atau yang dibuat versi layar lebar. Seorang siswa yang usai menonton film “Peran Tokoh Haluoleo”, atau “Peristiwa 19 November 1945 di Kolaka” misalnya, maka ia akan termotivasi untuk mengetahui lebih lanjut peran tokoh dan makna historis yang dapat dikembangkan di era sekarang  dan masa yang akan datang.

Pengembangan dan Pemanfaatan Media Teknologi Informasi dalam Pembelajaran Sejarah

Berkaitan model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan media berbasis teknologi informasi untuk merangsang siswa. Seharusnya guru tidak terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan media yang mengintegrasikan sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah KTSP berupa keragaman. “Tidak mungkin menggunakan satu buku/media untuk seluruh sekolah di Indonesia. Guru harus mampu mengembangkan materi dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik. Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas siswa merupakan upaya inovatif pembelajaran sejarah.

Pengadaan media TIK untuk kegiatan pembelajaran bisa saja berasal dari sekolah itu sendiri atau dari pihak lain. Pada dasarnya tidak menjadi masalah dari manapun asalnya media TIK yang sampai di sekolah. Yang justru lebih penting lagi adalah bagaimana menyiasati agar media TIK yang telah tersedia di sekolah dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi kepentingan pembelajaran peserta didik. Beberapa contoh media TIK yang mulai banyak tersedia di pasaran adalah CD/kaset audio, VCD, dan internet. Timbul pertanyaan, mengapa menggunakan media teknologi infroamsi. Jawabnya:  Menghemat waktu proses pembelajaran, melatih pembelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan (http://www.docstoc.com/docs/ 20430018/).

Sehubungan dengan semakin maraknya ketersediaan media TIK untuk kegiatan pembelajaran, baik di pasaran, yang diadakan sekolah sendiri maupun yang diterima sekolah dari berbagai pihak, maka sebelum memanfaatkannya di dalam kelas, beberapa tips berikut ini perlu kiranya mendapatkan perhatian:

Mempelajari materi pelajaran yang dikemas di dalam media TIK

Akibat kemajuan TIK dewasa ini, para guru dapat mencatat daftar websites yang memang memuat materi pelajaran yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan dibahas di dalam kelas. Tidak hanya mencatat website-nya tetapi juga materi pelajaran yang dikandung di dalamnya. Penugasan peserta didik mengakses websites tertentu hendaknya dilakukan guru secara terencana. Demikian juga dengan alokasi waktu bagi peserta didik untuk mengerjakan tugas yang diberikan.

Manakala di sekolah telah tersedia perangkat komputer dan akses ke internet, maka guru dapat menugaskan para peserta didiknya untuk mengunjungi websites yang dimaksudkan. Tidak hanya sekedar mengunjungi websites tertentu saja, tetapi para peserta didik juga ditugaskan untuk mendiskusikan materi pelajaran yang dikemas di dalamnya.

Mengakses websites tertentu yang ditugaskan guru dapat saja dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah atau selama peserta didik masih berada di sekolah. Apabila selama berada di lingkungan sekolah, peserta didik dapat saja mengakses websites yang ditugaskan guru di lab komputer. Peserta didik akan merasa lebih leluasa melaksanakan tugas yang diberikan guru apabila ada jam pelajaran kosong. Atau, setidak-tidaknya ada satu jam pelajaran yang diperuntukkan guru kepada peserta didik untuk mengakses websites dan mendiskusikan materinya. Tentunya akan lebih baik lagi apabila peserta didik melaksanakan tugas di luar jam pelajaran sekolah.

Merencanakan waktu pemanfaatan media TIK

Ada sebagian guru yang membawa media TIK atau media pembelajaran ke dalam kelas dan kemudian memanfaatkannya ketika dirinya merasa memerlukannya. Artinya, pemanfaatan media pembelajaran dilakukan sesuai dengan keinginannya. Bahkan, lebih ekstrim lagi, ada guru yang menugaskan para peserta didiknya untuk memanfaatkan media pembelajaran karena dirinya berhalangan hadir mengajar di kelas. Media pembelajaran mana yang akan dimanfaatkan peserta didik sewaktu guru berhalangan mengajar tidak ditentukan alias diserahkan sepenuhnya kepada peserta didik. Demikian juga dengan petunjuk atau pedoman yang perlu diperhatikan atau dilaksanakan oleh peserta didik selama memanfaatkan media pembelajaran.

Berdasarkan keadaan tersebut di atas, dapatlah dikatakan secara singkat bahwa pada dasarnya guru tidak melakukan perencanaan tentang pemanfaatan media yang tersedia di sekolahnya. Padahal pemanfaatan media pembelajaran yang tersedia di sekolah tentunya merupakan sesuatu yang seyogianya dilakukan guru. Masih relatif akan lebih terarah apabila media pembelajaran yang akan dimanfaatkan peserta didik itu telah disiapkan dan kemudian dititipkan kepada guru piket atau Kepala Sekolah. Pendampingan peserta didik dalam pemanfaatan media di sini tentu saja dapat dilakukan oleh guru piket, tenaga Tata Usaha atau Kepala Sekolah.

Pemanfaatan media dalam kegiatan pembelajaran dilakukan secara terencana dan terintegrasi dalam jadwal pelajaran sekolah. Sebagai contoh guru yang akan memanfaatkan media CD atau VCD dalam kegiatan pembelajaran. Setelah mempelajari materi yang dikandung di dalam CD/VCD, maka guru tahu persis kapan materi tersebut akan dibahas bersama peserta didiknya. Dalam kaitan ini, guru tentunya dituntut untuk membuat perencanaan pemanfaatannya. Berbagai topik program media yang terdapat di dalam media CD/VCD telah terlebih dahulu dipelajari guru sehingga dapat diintegrasikan dengan jadwal pelajaran sekolah, baik mengenai harinya maupun waktunya. Dengan adanya perencanaan ini, maka peserta didik dapat dikondisikan agar peserta didik mempersiapkan dirinya dan fasilitas yang mereka perlukan sebelum kegiatan pemanfaatan media dilakukan. Demikian juga halnya dengan kesiapan guru itu sendiri, baik dalam mempelajari materi pelajaran yang dikemas di dalam media CD atau VCD maupun dalam mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan guru.

Mengkomunikasikan rencana pemanfaatan media TIK kepada peserta didik

Ada 2 alasan mengapa dinilai penting mengkomunikasikan rencana pemanfaatan media TIK kepada peserta didik adalah agar peserta didik dapat mempersiapkan (a) dirinya untuk mempelajari materi pelajaran yang akan disajikan melalui media TIK dan (b) fasilitas yang diperlukan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran melalui media TIK. Dari sisi guru sendiri, ada tuntutan agar guru lebih (a) mempersiapkan dirinya mengenai materi pelajaran yang akan dibahas, (b) mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan (dalam kondisi baik) agar tidak menjadi hambatan sewaktu pemanfaatan media TIK dilaksanakan, dan (c) mempersiapkan ruangan yang akan menjadi tempat pemanfaatan media TIK (Siahaan, 2011).

Menurut Wahap (2000)  yang mampu melakukan itu semua adalah guru yang mempunyai latar pendidikan sejarah dan memiliki pengalaman pelatihan dalam aspek media, metode dan materi pembelajaran sejarah. Akhirnya, guru sejarah harus memiliki latar belakang pendidikan sejarah dan perlu diberi pelatihan tentang media dan metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya efektif dan efisien.

Penutup

Berbagai kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran sejarah selama ini, salah satu penyebabnya karena materi yang diajarkan tidak ada kaitannya dengan lingkungan sosial siswa. Materi pembelajaran terkesan cerita tentang tokoh, peristiwa, dan tahun yang jauh dari lingkungan siswa. Untuk itu, integrasi sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah merupakan suatu keharusan untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga dapat memberi makna dan kesadaran kepada peserta didik. Demikian pula penggunaan pendekatan, metode, dan media pembelajaran yang bervariasi sangat diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal. Guru sejarah selain harus mampu membuat perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, juga dituntut kemampuan untuk melakukan pengkajian sejarah lokal di sekitar peserta dididknya yang dapat dijadikan bahan belajar di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. dkk. 1999. Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium ke-3. Yogyakarta: Aditya Media.

Alias, R. 2008. “Penghasilan Bahan Pengajaran dan Pembelajaran Berbantukan Komputer Bertajuk Sejarah dan Kita, Petempatan Awal di Negara Kita, Parameswara dan Pengasasan Melaka”. http://akademik.ukm.my/eda/ projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.

Anglin, G.J. 1995. Instructional Technology, past, presnt, and future. Englewood, Colorado: Libraries Unlimited, Inc.

Berry, R and Schug, M.C. 1984.  “Young People and Community”. Dalam Commonity Study: Aplications and Opportunities. Washington: National Council for the Social Studies.

Douch, R.1967. Local History an the Teacher. London: Rout-ledge & Kegan Paul.

Govinthasamy, B.A. 2002. “Penilaian  Perlaksanaan Kemahiran Berfikir Cecara Kreatif dan Kritis (KBKK) dalam Mata Pelajaran Sejarah KBSM Tingkatan 4. Satu Kajian di Daerah Tampin dan Rembau Negeri Sembilan”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID= c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.

Heinich, R. Et all. 1990. Instructional and the New Technologies of Instruction. New York: Macmillan Publishing Company.

http://www.docstoc.com/docs/20430018/PEMBELAJARAN-BERAZAS-MEDIA-TEKNOLOGI-INFORMASI. akses, 2 Maret 2011

Ismain, K. 2001. “Penggunaan Peta Sejarah untuk Meningkatkan Motivasi Siswa dalam Pembelajaran Sejarah”.  dalam Jurnal Sejarah Kajian dan Pengajarannya. Tahun 6, Nomor 2, September 2001.

Johnson, E.B. 2006. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Media Utama.

Jordan, P.D.1968. The Nature and Practice of State and Local History. Washington: Amaerican Historical Association.

Lapian, A.B. 1980. “Memperluas Cakrawala melalui Sejarah Lokal” dalam Majalah Prisma. No. 8 Tahun IX. Jakarta: LP3ES.

Lie, Anita. 2002. Cooperatif Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Mahmud, J. 2008. “Kajian Perbandingan tentang Keberkesanan Kaedah Inkuiri dengan Kaedah Tradisional dalam Pengajaran dan Pembelajaran Sejarah Tingkatan Empat”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.

Mahoney, J. 1981. Local History: A Guide for Research and Writing. Washington DC: National Education Association.

Mohamad, M. 2002. “Pembinaan dan  Perlaksanaan Modul Pembelajaran Mengenai Web yang Disepadukan dengan Subjek Sejarah Dunia Tajuk Tamadun Awal Manusia”.  http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.

Mursidin, T. 2005. “Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Konsep Diri terhadap Hasil Belajar Sejarah”. Disertasi: Jakarta: Program Pascasarjana UNJ. Tidak diterbitkan.

Partington, G. 1980. The Idea of an Historical Education. Avon: NFER Publishing Company.

Sayono, J. 2001. “Sejarah Lokal Kontemporer: Urgensinya Sebagai Muatan Lokal di Sekolah-Sekolah Lanjutan” dalam Jurnal Sejarah Kajian dan Pengajarannya. Tahun 6, Nomor 2, September 2001.

Shounara, Arlyda. 2003. Pelaksanaan Cooperative Learning untuk Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran Sejarah. Tesis,. UPI Bandung.

Siahaan, Sudirman. 2011. Tips bagi Guru dalam Memanfaatkan Media Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Pembelajaran. http://cobaberbagi.wordpress.com /2010/01/25/. Akses, 2 Maret 2011

Suraji, S. 2003. “Keberkesanan Pemikiran Sebab-Musabab dalam Pengajaran dan Pembelajaran Mata Pelajarana Sejarah Tingkatan 4”. http://akademik.ukm.my/eda/ projekge6553/ sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.

Wahap, W. 2008. “Penggunaan Penyoalan Lisan di Kalangan Guru Sejarah di Sekitar Bandar Sibu, Sarawak”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.

Widja, I.G. 1999. Sejarah Lokal suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

[1] Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Sejarah pada Program Studi Pendidikan Sejarah  FKIP Universitas Haluoleo, Kendari

Comments are closed.