MASALAH SEJARAH KONTEMPORER DI INDONESIA: MEMAHAMI BEBERAPA ISU KONTROVERSIAL

Oleh: Andi Suwirta *)

 

SEJARAH kontemporer adalah sejarah mutakhir yang jejak-jejak peristiwanya masih relatif dekat dan dirasakan kehadirannya oleh kita sekarang. Memang masih terdapat silang pendapat tentang kapan suatu peristiwa sejarah itu disebut kontemporer.  Namun menurut batasan yang dibuat oleh Kuntowijoyo, sejarawan dan budayawan terkenal dari UGM Yogyakarta, bahwa untuk kasus Indonesia maka sejarah kontemporer itu biasanya dimulai dari tahun 1945.[1]

Ciri dari suatu genre sejarah kontemporer adalah kompleksitas dari peristiwa dan interpretasinya. Hal itu terjadi bukan saja karena semua dokumen, arsip, dan sumber primer lainnya belum bisa dibuka dan dipelajari oleh umum – dengan demikian belum bisa dilakukan rekonstruksi sejarah secara utuh – tetapi juga karena beberapa tokoh pelaku sejarahnya masih hidup. Hal yang terakhir ini acapkali mengundang perdebatan sejarah yang berkepanjangan sebab ada beberapa memori kolektif atau pribadi – karena pertimbangan politik dan kekuasaan yang bersifat kekinian – sering ditonjolkan untuk hal-hal yang menyenangkan di satu sisi, dan sengaja diheningkan untuk hal-hal yang kurang menyenangkan di sisi lain.[2]

Tulisan ini ingin menyoroti beberapa materi sejarah kontemporer di Indonesia – sebagaimana yang nampak dalam buku-buku teks sejarah di sekolah – dengan beberapa permasalahannya. Saya berusaha untuk mendudukan konteks dari beberapa masalah yang sebenarnya itu sebagai bahan diskusi dengan para guru sejarah di lapangan. Pada bagian akhir akan dikemukakan bagaimana sebaiknya kita mensikapi masalah sejarah kontemporer di Indonesia itu.

 

Masalah Sejarah Kontemporer di Indonesia

Adalah menarik untuk dicermati bahwa masalah perdebatan dalam sejarah kontemporer di Indonesia itu mulai muncul pada masa Orde Baru (1966-1998). Sebagai sebuah regim militer yang terlibat secara intens dalam perjuangan revolusi dan pasca revolusi di Indonesia (sejak tahun 1945), pemerintah Orde Baru merasa berhak untuk mendapatkan “saham revolusi” itu dan ditonjolkan peranannya dalam historiografi Indonesia.[3] Sementara itu aura kekuasaan politik Orde Baru yang mulai bersinar sejak tahun 1966 juga merasa berkepentingan untuk meredupkan cahaya kekuasaan Orde Lama yang baru saja digantikannya. Dalam konteks ini menjadi jelas mengapa pilihan-pilihan materi sejarah kontemporer di Indonesia pada masa Orde Baru itu – sebagaimana nampak dalam buku-buku teks sejarah di sekolah – berkisar pada masalah: Hari Lahir dan Penggali Pancasila; Serangan Umum 1 Maret 1949; Gerakan 30 September 1965; Surat Perintah 11 Maret 1966; Integrasi Timor Timur ke Wilayah Indonesia pada Tahun 1976; dan sebagainya.

Hari Lahir dan Penggali Pancasila.  Materi sejarah di sekolah yang menjadi perdebatan publik yang ramai ini muncul pada tahun 1980-an ketika Nugroho Notosusanto (seorang sejarawan militer yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru) menulis sebuah buku tentang Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara.  Di dalam buku itu dinyatakan bahwa rumusan Pancasila yang otentik dan benar adalah yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan yang disyahkan oleh PPKI, semacam badan legislatif pada masa awal revolusi Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945.  Dinyatakan juga bahwa Ir. Soekarno bukan yang pertama dan satu-satunya tokoh yang merumuskan tentang Pancasila itu.[4]

Sejak awal sudah jelas bahwa buku itu sudah sarat dengan nuansa politik.[5] Dan tujuannya jelas yaitu untuk melakukan usaha de-Soekarnoisasi di satu sisi (tersirat pesan, misalnya, bahwa tidak relevan 1 Juni 1945 diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila dan tidak benar Soekarno sebagai satu-satunya penggali Pancasila), dan ingin memberikan legitimasi yang kukuh kepada penguasa Orde Baru, dalam hal ini Presiden Soeharto di sisi lain (tersirat pesan bahwa yang relevan diperingati adalah 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila dan yang benar adalah Soeharto sebagai pengamal Pancasila yang murni dan konsekuen).

Serangan Umum 1 Maret 1949.  Peristiwa yang dikenal pada zamannya dengan singkatan S.O. (Serangan Oemoem) ini tidak lebih istimewa bila dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa penting lainnya pada masa revolusi Indonesia.  Namun pada masa Orde Baru, peristiwa ini dianggap sangat penting terutama untuk menonjolkan peran Letkol Soeharto yang mengklaim dirinya sebagai pelaku utama dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.[6]

Dari sinilah kontroversi mulai muncul.  Ketika dipersoalkan: siapa sesungguhnya penggagas utama dan, dengan demikian, pelaku penting dalam peristiwa SO itu?  Pihak militer sendiri – sebagaimana dikemukakan oleh T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang pada masa revolusi – berpendapat bahwa Jendral Soedirman, sebagai Panglima Besar TNI, dan Letjen A.H. Nasution, sebagai Kepala MBKD (Markas Besar Komando Jawa), memiliki peranan yang penting dalam peristiwa itu.[7]   Sedangkan dari pihak sipil – dan diakui oleh banyak kalangan – lebih melihat peranan yang dimainkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai penguasa di Yogyakarta pada masa revolusi, lebih penting daripada yang lainnya.[8]   Namun pada tahun 1980-an – dengan demikian setelah hampir 40 tahun peristiwanya berlalu dan Presiden Soeharto sedang berada di puncak kekuasaannya – dikatakan bahwa penggagas utama dan pelaku penting dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu adalah Letkol Soeharto sendiri yang kemudian menjadi Presiden RI.[9]

Gerakan 30 September 1965.  Inilah peristiwa paling kontroversial dalam sejarah kontemporer di Indonesia.  Peristiwa G30S 1965 ini demikian rumit dan kompleks sehingga melahirkan banyak versi, analisa, dan interpretasi yang menarik.[10]   Rumitnya peristiwa G30S 1965 yang mengundang perdebatan dan kontroversi itu terutama yang berkaitan dengan: apa yang terjadi, mengapa, bagaimana, dan siapa sesungguhnya dalang di balik peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia itu.[11]

Pemerintah Orde Baru sendiri merasa berkepentingan dengan peristiwa G30S 1965 dan berusaha memberikan penjelasan sederhana dan tafsir tunggal bahwa peristiwa itu didalangi oleh PKI sehingga menjadi logis juga bila peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Pemberontakan atau Pengkhianatan G30S/PKI 1965”.[12]   Apa yang ingin dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru dalam memaknai peristiwa G30S 1965 itu adalah, sekali lagi, menonjolkan peranan penting yang dimainkan oleh Letjen Soeharto – yang kemudian menjadi Presiden RI – dalam menghancurkan kekuatan PKI di satu sisi, dan menyelamatkan negara RI yang berdasarkan Pancasila melalui usaha-usaha pembangunan nasional di sisi lain.[13]

Surat Perintah 11 Maret 1966.  Dalam banyak hal peristiwa ini juga tidak kalah kontroversialnya bila dibandingkan dengan peristiwa G30S 1965.  Kontroversi itu terletak tidak hanya dalam masalah keberadaan dan otentisitas dokumen Supersemar dan bagaimana proses lahirnya Supersemar – apakah melalui koersi atau persuasi misalnya – tetapi juga menyangkut perbedaan interpretasi dan implementasinya antara yang memberi perintah (Presiden Soekarno) dengan yang menerima perintah (Letjen Soeharto) terutama dalam memaknai kata-kata “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu” itu.

Konteks dikeluarkannya Supersemar itu sendiri, nampaknya, harus dilihat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan Oktober 1965 sampai dengan bulan Maret 1966.  Dalam enam bulan yang penuh dengan gejolak dan huru-hara sosial itu telah terjadi proses pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh PKI terutama di Jawa dan Bali di satu sisi,[14]  dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa di kota-kota besar di Jawa yang mencemooh kredibilitas dan menghujat kewibawaan pemerintah di sisi lain.[15]

Sebagai “bapak bangsa” yang berwibawa dan harus mengayomi anak-anaknya, Presiden Soekarno sangat risau dan prihatin dengan peristiwa gejolak dan huru-hara sosial tersebut.  Karena itu Presiden Soekarno segera memerintahkan kepada Letjen Soeharto (sebagai Pangkostrad dan Menpangad pada waktu itu) agar “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu” dalam konteks memulihkan kestabilan dan kewibawaan pemerintah itu.[16]  Namun Letjen Soeharto, setelah mendapat Supersemar itu, berpandangan dan bertindak lain.  Ia segera membubarkan PKI (kekuatan penting dalam politik NASAKOM-nya Soekarno); menangkapi para menteri (pembantu Presiden dan orang-orang kepercayaan Soekarno); serta merubah secara bertahap orientasi dan haluan politik Soekarno (konfrontasi dengan Malaysia dihentikan dan pembangunan ekonomi dengan bantuan dari negara-negara Barat digalakkan).  Memang dengan Supersemar itu aura kekuasaan politik Soekarno mulai pudar dan tonggak kelahiran Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto mulai ditegakkan.[17]

Integrasi Timor Timur ke Indonesia Tahun 1976.  Peristiwa ini menjadi kontroversi di masyarakat setelah wilayah Timtim lepas dari Indonesia pada tahun 1999.  Masalahnya adalah karena masyarakat merasa tidak mendapatkan informasi yang benar dan proporsional dari pemerintah tentang Timtim.  Selama 20-an tahun pemerintah Orde Baru selalu mengatakan tiga hal penting tentang Timtim.  Pertama, masyarakat Timtim ingin berintegrasi dengan Indonesia.  Kedua, keadaan di Timtim aman dan terkendali.  Dan ketiga, Fretelin di Timtim itu partai kecil, komunis, dan karenanya jahat.

Wacana yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru itu, dalam perkembangan selanjutnya, mulai dikritisi keabsyahannya.  Dari laporan-laporan tidak resmi dan para saksi mata tentang keadaan di Timtim, misalnya, ternyata daerah itu tetap bermasalah, bergejolak, dan terjadi aksi-aksi klandestin yang berkelanjutan.[18]   Sementara itu dari studi-studi yang relatif objektif tentang proses integrasi Timtim ke Indonesia nampak sekali adanya rekayasa dan ketidakwajaran.  Begitulah, misalnya, peristiwa “Deklarasi Balibo” pada tahun 1975 dimana rakyat Timtim menyatakan kemerdekaannya dan ingin berintegrasi dengan Indonesia dipandang oleh banyak orang sebagai “Deklarasi Bali Bo(hong)” karena deklarasi itu nampaknya dirancang dan direkayasa oleh pihak intelejen kita di pulau Bali dan isinya dinilai penuh dengan kebohongan.  Begitu juga dengan aksi-aksi penyusupan para sukarelawan kita untuk membantu partai Apodeti di satu sisi, dan melawan kekuatan Fretelin di sisi lain adalah ternyata bukan “sukarelawan sembarangan” melainkan pasukan elite TNI seperti dari Kopassanda, Kostrad, dan Marinir.[19]  Dalam perkembangan selanjutnya, ketidakmampuan TNI dalam menumpas kekuatan Fretelin di Timtim dan ketidakefektifan aparat pemerintah RI dalam mengambil hati secara bijak rakyat Timtim menunjukkan bahwa masalah Timtim akan menjadi blunder bagi Indonesia.[20]  Dan benar saja, ketika jajak pendapat diadakan di Timtim pada tahun 1999 – karena desakan dari dunia internasional – untuk memilih apakah akan tetap berintegrasi dengan Indonesia atau memilih merdeka, maka sebagian besar rakyat Timtim menghendaki pilihan yang terakhir.

 

Akhirul Kalam

Apa yang telah dijelaskan di atas menyadarkan kita bahwa materi pelajaran sejarah kontemporer di Indonesia – sebagaimana nampak dalam buku-buku teks sejarah di sekolah – banyak mengandung masalah.  Permasalahan itu terletak tidak hanya sejak awal pilihan atas materi-materi sejarah itu penuh dengan nuansa kepentingan politik, tetapi juga acapkali proses eksplanasi sejarahnya terlalu sederhana, monolitik, dan tidak memadai.  Memang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa  sejarah untuk kepentingan pendidikan di sekolah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik pemerintah.[21]

Masalahnya bagi guru-guru sejarah di sekolah adalah bagaimana agar peristiwa-peristiwa sejarah kontemporer di Indonesia – yang dalam banyak hal diwarnai oleh kepentingan politik itu – dapat dipahami, dikaji, dan dijelaskan secara wajar, proporsional, dan akademis namun tetap menarik di mata peserta didik.  Kunci utamanya, saya kira, guru sejarah harus banyak membaca dan memiliki wawasan sejarah yang lebih dari peserta didiknya.  Tanpa usaha itu, guru sejarah akan dicap oleh peserta didiknya sebagai “orang yang ketinggalan zaman”.   Wallahu’alam.

 

*)Drs. Andi Suwirta, M.Hum. adalah Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung.  Lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 9 Oktober 1962. Menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Bandung pada tahun 1989, dan menyelesaikan pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana UI Jakarta pada tahun 1996. Menulis buku Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakjat (Yogyakarta) 1945-47 (Jakarta: Balai Pustaka, 2000); Tasawuf dan Proses Islamisasi di Indonesia (Bandung: Historia Utama Press, 2002); dan Revolusi Indonesia dalam News and Views: Sebuah Antologi Sejarah (Bandung: Penerbit Suci Press, 2003).

[1]Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), hlm.24.

[2]Taufik Abdullah, “Harga Perundingan dalam Kancah Perjuangan: Kenangan dan Refleksi dari Kelampauan” dalam A.B. Lapian dan P.J. Drooglever (Ed.), Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1992), hlm.54-55.

[3]Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Depdikbud-PN Balai Pustaka, 1984, ed.revisi, cet.kelima), dimana peranan dari kelompok militer lebih ditonjolkan.

[4]Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981).

[5]Yayasan Idayu, Sekitar Tanggal dan Penggalinya: Guntingan Pers dan Bibliografi tentang Pancasila (Jakarta: Penerbit Yayasan Idayu, 1981, ed.kedua), hlm.9.

[6]Seskoad, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hlm.194-247.

[7]Lihat T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Pradjurit Selama Perang Kemerdekaan (Djakarta: P.T. Pembangunan, 1960).

[8]P.J. Suwarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintah Yogyakarta, 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm.246-47.

[9]Lihat Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Otobiografi seperti Dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hlm.56-64.

[10]Lihat, misalnya, Andi Suwirta, “Mengkritisi Peristiwa G30S 1965: Dominasi Wacana Sejarah Orde Baru dalam Sorotan” dalam Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.I (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2000), hlm.43-9.

[11]Brian May, The Indonesian Tragedy (London, Singapore: Graham Brash Pte Ltd., 1978).

[12]Lihat, misalnya, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia, Terjemahan (Jakarta: PT Intermasa, 1990, cet.kedua); dan Setneg, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1994).

[13]Soedjono, Monumen Pancasila Cakti (Jakarta: PT. Rosda Jayaputra Jakarta, 1984, cet.kedua), hlm.23-40.

[14]Robert Cribb (Ed.), The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (Clayton, Victoria, Australia: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1990).

[15]Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1993, cet.keenam), hlm.159-209.

[16]John D. Legge, Sukarno: Sebuah Biografi Politik, Terjemahan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1985, cet.kedua), hlm.443-70.

[17]Radik Utoyo Sudirjo, Supersemar: Surat Perintah 11 Maret dalam Tulisan dan Foto-foto (Jakarta: BP. Alda, 1978, cet.ketiga).

[18]Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999, cet.ketiga).

[19]Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Australis: Allen & Unwin Pty Ltd., 1994), hlm.194-229.

[20]Jose Ramos Horta, Funu: Perjuangan Timor Lorosae Belum Selesai, Terjemahan (Tanpa Tempat: Solidamor, 1998).

[21]Lihat Niels Mulder, Individu, Masyarakat, dan Sejarah: Kajian Kritis Buku-buku Pelajaran Sejarah di Indonesia, Terjemahan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *