KERJA WAJIB DAN FEODALISME ; Akar-Akar Sejarah Korupsi di Indonesia (bagian 1)

 

Oleh :

Agus Mulyana

 

Banyak orang yang beranggapan saat ini bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Jika itu merupakan suatu budaya, maka korupsi merupakan suatu prilaku yang sudah begitu mendarah daging dalam diri individu. Suatu prilaku yang menjadi darah daging berarti suatu perilaku yang sudah lama menempel dalam diri individu. Perilaku yang demikian biasanya terbentuk dalam suatu jangka waktu yang lama. Pembentukan perilaku yang demikian biasanya ada faktor sistem tatanan kehidupan yang mendukung ke arah yang demikian. Tatanan kehidupan yang dimaksud merupakan suatu budaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Proses pembentukan perilaku tersebut dapat dilihat dari perspektif sejarah, karena sejarah berbicara mengenai proses waktu dalam jangka waktu yang cukup panjang. Makalah ini akan mencoba menyoroti akar sejarah korupsi dari persepktif budaya yang muncul dalam sejarah Indonesia yaitu kerja wajib dan feodalisme. Kedua istilah tersebut, ada dan melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masa lalu.

 

Kekuasaan Simbolik

Untuk memhami bagaimana asal munculnya kerja wajib dan sistem feodalisme, dapat dilacak terlebih dahulu dalam sistem pemerintahan yang tradisional. Terdapat beberapa hal yang dapat dilihat dalam sistem pemerintahan yang tradisional yaitu sumber kekuasaan, kedudukan raja dan hubungan antara raja dengan rakyatnya.

Sistem pemerintahan tradisional dapat dilihat dalam kehidupan kerajaan-kerajaan tradsional yang pernah ada di nusantara baik pada masa Hindu Budha maupun pada masa Islam. Dalam sistem pemerintahan yang tradsional, kekuasaan penuh dengan unsur-unsur yang sangat simbolik. Raja sebagai penguasa pemerintahan memiliki kedudukan yang sangat sentral dan menentukan terhadap kehidupan kerajaan dan masyarakatnya.

Kedudukan raja yang sangat sentral lahir disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap raja tersebut. Raja memiliki sumber kekuasaan yang diannggap sakral oleh masyarakatnya. Sumber kekuasaan raja selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan yang bersifat adikodrati. Kekuasaan yang bersifat adikodrati, biasanya dimanifestasikan mahluk gaib yang memiliki kekuasaan sakral. Misalnya pada raja-raja Mataram, ada kepercayaan bahwa raja-raja Mataram memiliki kedekatan dengan Nyi Lara Kidul seorang Dewi yang menguasai pantai selatan.[1] Dalam tradisi masyarakat di sekitar pantai selatan, Nyi Loro Kidul dipercaya sebagai penguasa laut selatan yang dapat memberikan jaminan keselamatan ketika para nelayan melaut, menangkap ikan. Masyarakat di sekitar pantai tersebut secara rutin melakukan upacara ritual persembahan bagi Nyi Lara Kidul.

Kekuasaan Adikodrati pada raja-raja di masa lalu bukan hanya pada kekuatan mahluk gaib saja tetapi juga pada tokoh-tokoh atau figur yang memiliki kekuatan sakral. Pada masyarakat Jawa di masa lalu, diantara figur yang memiliki kekuatan sakral adalah tokoh wali songo, kelompok para ulama yang menjadi penyebar agama Islam yang berjumlah 9 orang. Para wali tersebut dipercaya oleh masyarakat sebagai orang-orang yang sakral dan memiliki kekuatan gaib yang berbeda dari lazimnya manusia biasa. Kedekatan raja atau restu raja dalam kekuasaannya memiliki dasar kekuatan legalitas bagi eksistensi kekuasaan raja. Misalnya, Senapati raja Mataram ketika membangun kekuasaannya mendapat restu dari Sunan Kalijaga.[2]

Pada masyarakat tradisional di masa lalu, sumber kekuasaan yang diperoleh individu diperoleh melalui melalui sumber-sumber spritual dan dilakukan melalui upacara ritual. [3]  Cara yang dilakukan yaitu melalui bertapa. Bertapa biasanya dilakukan pada tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan magis. Dalam praktek bertapa, biasanya individu mengosongkan raganya dari kekuatan materi dan berkonsentrasi mencari kekuatan yang supranatural. Kekuatan yang bersifat natural tersebut akan jatuh pada diri individu dalam bentuk wangsit atau pulung. Pulung akan jatuh biasanya melalui mimpi. Misalnya diceritakan, Senapati raja Mataram setelah melakukan Semadi dan tapabrata, jatuh mendapatkan pulung ke atas kepalanya ketika tidur di atas batu keramat Sela Gading dan meramalkan kejayaan Mataram dan keruntuhannya nanti di bawah pemerintahan cicitnya (Amangkurat I).[4]

Tenaga yang dimiliki oleh individu hasil bertapa merupakan bentuk dari integrasi manusia dengan kekuatan kosmos. Manusia telah menyatu dengan kekuatan alam. Kekuatan tenaga fisik yang dimiliki oleh petapa memiliki kekuatan yang luar biasa dibandingkan dengan manusia umumnya. Masyarakat di masa lalu misalnya, memiliki kepercayaan bahwa para mpu pembuat keris dapat menempa besi dalam membuat keris dengan menggunakan tenaga yang ada pada jarinya. Jari para mpu pembuat keris tersebut mampu mengaluarkan tenaga panas yang sangat luar biasa.[5]

Eksistensi kekuasaan raja yang penuh simbol dilakukan melalui berbagai bentuk upacara. Raja pada masa lalu, untuk memperlihatkan bagaimana kebesaran kekuasaan yang dimilikinya, tercermin dari berbagai bentuk upacara kerajaan yang dilakukan. Raja sebagai sentral dari kekuasaan negara, akan menciptakan simbol kekuasaan kepada rakyatnya melalui berbagai pesta yang dilaksanakan oleh kerajaan.Pesta-pesta tersebut misalnya penobatan raja, perkawinan, penguburan, ritus memasuki usia dewasa, dan upacara besar keagamaan tahunan yang dilaksanakan oleh kerajaan. Fenomena kehidupan yang demikian oleh Geertzt disebut dengan negara panggung (Theatre State).[6]

Kekuasaan raja yang penuh dengan unsur simbolik dan sangat spritual di mata rakyat telah menempatkan kedudukan raja sebagai kekuatan yang sangat sentral. Rakyat merupakan bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh raja secara mutlak. Kehidupan rakyat sangat sepenuhnya ditentukan oleh raja. Rakyat memiliki kewajiban ketundukan terhadap perintah raja. Dalam sistem kekuasaan yang demikian tidak ada kontrak sosial hubungan antara raja rakyat.[7]

 

Hubungan Patrimonial

Hubungan antara penguasa dengan rakyat dalam pandangan masyarakat Jawa di masa lalu adalah hubungan gustikawula. Raja adalah gusti dan rakyat adalah kawula. Tatanan yang harus dibangun dalam hubungan gusti-kawula adalah adanya harmonisasi, keselarasan dan keseimbangan. Harmonisasi dibangun dengan cara raja melaksanakan kewajibannya untuk melindungi rakyat, karena rakyat adalah miliki raja. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki kewajiban untuk taat dan patuh kepada pertintah raja. Apabila ada gejolak yang terjadi dalam tatanan hubungan ini adalah suatu pertanda bahwa kekuasaan seorang raja akan berakhir. Secara simbolis wangsit sebagai sumber kekuasaan raja akan dipindahkan kepada yang lain. Rakyat akan patuh kepada gusti-nya yang baru, yaitu raja yang telah menggantikan raja sebelumnya.

Kekuasaan raja terlembagakan dalam bentuk negara. Negara menurut masyarakat Jawa, setidak-tidaknya bagi golongan yang memerintah adalah suatu lembaga yang mengatur seluruh masyarakat untuk kepentingan mereka. Ketaatan dan ketundukan rakyat kepada negara merupakan bentuk dari penghormatan kepada kesaktian raja.[8] Dengan demikian eksistensi negara merupakan simbolisasi kekuasaan raja.

Hubungan gusti-kawula tidak hanya sebatas pada hubungan antara raja dengan rakyat. Akan tetapi hubungan ini terbangun pula pada hubungan rakyat dengan penguasa lainnya, khususnya para penguasa yang merupakan bagian dari struktur kerajaan. Di daerah-daerah biasanya terdapat penguasa lokal atau penguasa daerah yang biasanya dijabat oleh seorang bupati. Bupati biasanya dipegang oleh keluarga kerajaan. Dalam struktur kekuasaan kerajaan tradisional, biasanya para pejabat kerajaan tersebut biasanya merupakan keluarga raja. Keluarga raja sering disebut dengan priyayi.

Pada zaman Mataram, priyayi merupakan suatu golongan masyarakat yang terdiri dari pejabat-pejabat kerajaan yang menempati kedudukan antara raja dan putra-putra mahkota dan seluruh masyarakat lainnya.[9] Dalam struktur masyarakat, priyayi merupakan kelas tinggi yang dibedakan dari masyarakat pada umumnya atau wong cilik. Pada umumnya seseorang menjadi priyayi berdasarkan pada keturunan, walaupun dalam perkembangan berikut, status priyai disandang oleh seseorang disebabkan oleh prestasi yang ia capai misalnya melalui pendidikan. Priyayi semacam ini muncul terutama pada awal abad ke-20, yaitu mereka yang lahir dari dampak pendidikan yang dilakukan oleh kolonial.

Jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan dipegang oleh para priyayi. Dalam strata sosial interen kerajaan, priyayi ada yang termasuk pada golongan tinggi dan golongan rendah. Priyayi tinggi terutama mereka yang menjabat pemerintahan pada struktur jabatan tinggi misalnya Bupati, sedangkan priyayi rendah adalah mereka yang menduduki jabatan pemerintahan pada strata yang rendah misalnya wedana. Akan tetapi di mata masyarakat, baik priyayi tinggi maupun priyayi rendah memiliki status terhormat dan mereka sangat ditaati oleh rakyat.

Seperti halnya raja, priyayi pun mencoba menjaga status dan kehormatannya melalui berbagai perilaku yang dibedakan dari rakyat biasa. Ideologi priyayi adalah mistisme politik dan hedonisme. Mistisme politik ditunjukkan oleh simbolisme literer dan seremonial.[10] Seorang priyayi haruslah mencerminkan perilaku yang halus, cinta pada sastra, kebudayaan, keseniaan dan ilmu pengetahuan. Dia harus mengikuti berbagai upacara yang di kerajaan, baik yang memiliki ritual politik maupun keagamaan. Upacara-upacara keraton, seperti upacara perayaan penobatan, hari lahir raja, dan grebeg mulud adalah ritual politik yang partisipasi di dalamnya memiliki arti lebih dalam dari sekedar perayaan. Semua itu adalah ritual politik dengan tekanan yang lebih transedental.[11]

Seorang priyayi akan selalu menjaga status kepriyayiannya. Cara yang ia lakukan adalah dengan melaksanakan segala kewajibannya khususnya yang berkaitan dengan perintah raja. Ketaatan seorang priyayi kepada raja diumpamakan sebagai ”sarah munggeng jaladri, darma lumaku sapakon”, artinya sebagai sampah di laut wajib berjalan menurut perintah. Dia harus mantep dan madhep, artinya mantap dan tidak gentar menghadapi kesukaran, seorang abdi dalem juga dituntut berbuat gemi, nastiti, ngati-ati. Terhadap milik raja ia harus gemi, tidak boros, terhadap perintah raja ia harus nastiti, maksudnya memperhatikan dengan cermat; ngat-ati yang berarti hati-hati dalam menjaga tuannya siang malam.[12]

Hubungan gusti-kawula telah membangun hubungan yang patrimonial antara rakyat dengan penguasa. Dalam hubungan seperti ini, rakyat memiliki sikap ketundukan yang mutlak terhadap apa yang diperintahkan oleh penguasa. Sebaliknya penguasa memiliki kewajiban untuk melindungi rakyat. Walaupun dalam prakteknya, rakyat lebih banyak harus melakukan kewajibannya kepada penguasa. Karena dalam dalam konteks hubungan patrimonial rakyat bagaikan kekayaan yang dimiliki oleh raja khususnya kebutuhan terhadap tenaga kerja. Fungsi rakyat dalam konteks ini kalau kita gunakan analisis secara marxis bahwa rakyat merupakan kekayaan modal yang dimiliki oleh rakyat. Hubungan antara penguasa dan rakyat tidak terbangun melalui mekanisme kontrak sosial sebagaimana dalam teori politik moderen.

 

 

[1] M.C. Rickelfs, (1991), Sejarah Indonesia Moderen, Jogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm.62.

[2] Ibid, hlm. 63.

[3] Anthony Reid, (1992), Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1 Tanah di Bawah Angin, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, hlm. 143.

[4] Ibid.

[5] Bennedict R.O’G. Anderson,”gagasan Tentang Kekuasaan Dalam Kebudayaan Jawa”, dalam Miriam Budiardjo, (1991), Ane Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta : Sinar Harapan, hlm. 52-54.

[6] Clifford Geertz (2000),  Negara Teater Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas, Terjemahan, Yogyakarta : Bentang Budaya.

[7] Ben Anderson, Op. Cit.

[8] Savitri Prastiti Scherer, (1985), Keselarasan dan Kejanggalan Pemikuran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX,  Jakarta : Sinar Harapan, hlm. 17.

[9] Soemarsaid Moertono, (1968), State and Statecraft in Old java : A Study of the later Mataram Period, 16th to 19th Century, Ithaca,Cornel Univ., >SEAP., Modern Indonesia Project, Interim Report Series, Sebagaimana dikutip oleh Savitri, ibid, hlm. 35.

[10] Kuntowijoyo, (2006), Raja Priyayi dan Kawula, Yogyakarta : Ombak, 58.

[11] Ibid, hlm.59.

[12] Darsiti Soeratman, (1989), Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta : Tamansiswa, hlm. 73.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *