Feminisme Multikultural: Refleksi Gerakan Perempuan Dunia Ketiga

Oleh : Yeni Kurniawati Sumantri

Pendahuluan :

Membicarakan tentang perempuan selalu menjadi tema yang menarik. Hal ini tidak dilihat dari sisi bahwa perempuan adalah makhluk yang diberikan anugerah keindahan secara fisik, melainkan pada sebuah pemikiran tentang perjuangan perempuan dalam menghadapi relasi kuasa “dominasi laki – laki” yang telah berlangsung sekian lamanya.

Uniknya, perempuan sejak masa awal berkembangnya manusia (zaman paleolithik) bahkan sampai sekarang dijadikan sebagai sosok “ pemujaan “ dalam bentuk “goddess worship”, dewi kesuburan, ibu pertiwi, dan sebagainya. Akan tetapi dalam kehidupan yang nyata, perempuan selalu ditempatkan di belakang laki – laki. Mereka tidak diberi akses yang luas dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Dunia perempuan adalah dunia yang terkungkung oleh dinding – dinding rumah yang menjadi milik ayah atau suami mereka. Untuk itulah kaum perempuan bergerak memperjuangkan eksistensi dan jati dirinya dalam mendobrak dominasi kekuasaan laki – laki.

Terdapat beberapa istilah yang merepresentasikan pergerakan perjuangan kaum perempuan. Diantaranya adalah kesetaraan gender, feminisme, woman liberation, woman’s movement, dan sebagainya. Dalam hal ini, istilah yang sering digunakan dan banyak dikenal adalah tentang gender dan feminisme.

Dalam woman`s studies encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki – laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa gender pada hakekatnya adalah sebuah tema yang digunakan untuk membedakan antara laki – laki dan perempuan sebagai hasil rekayasa manusia. Pengertian gender mengarah pada bentuk dari konstruksi  masyarakat yang tidak bermakna kodrati melainkan pada aspek yang ditimbulkan oleh pengaruh – pengaruh sosial budaya.

Feminisme adalah tema yang secara umum mengarah pada sejumlah ideologi dan teori yang memberikan perhatian khusus pada hak – hak dan posisi perempuan di dalam kebudayaan dan masyarakat (Microsoft Encarta encyclopedia, 2006). Dengan demikian terma feminisme lebih mengarah pada gerakan kaum perempuan. Kaum feminis yang dipersatukan oleh sebuah ide bahwa posisi wanita di dalam masyarakat tidak sejajar dengan laki-laki. Masyarakat distruktur untuk memberikan jalan yang menguntungkan bagi laki-laki baik secara politik, sosial dan ekonomi dibandingkan dengan kaum perempuan.

Mempermasalahkan Tentang Tema :

Mengapa feminisme digandengkan dengan multikultural? Untuk penjelasan ini saya ingin mengutip tulisan Manneke Budiman (2005:75) yang menyebutkan bahwa :

Bukan hal yang mudah untuk membayangkan suatu titik temu antara gerakan feminis dan gerakan multikultural. Kendati telah banyak diperlihatkan dalam berbagai bentuk dan forum bahwa keduanya bukan hanya selaras tapi juga tidak berbeda satu dengan yang lain. Misalnya karena feminisme secara konsisten senantiasa memperjuangkan kesetaraan gender, yakni posisi dan peran yang setara antara laki – laki dan perempuan yang tidak dipengaruhi oleh bias gender. Sesungguhnya feminisme sedang mencoba membawa perubahan pada kultur patriarki yang monolitik dan, dengan demikian secara tidak langsung merupakan komponen dari agenda – agenda multikulutral

Multikulturalisme berakar pada konsep budaya yang memiliki pengertian yang sangat luas. Kajian dari pendidikan multikultural tidak hanya terbatas pada golongan etnik saja melainkan berbagai kelompok dalam masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda. Pendidikan multikultural mengkaji tentang berbagai kelompok budaya seperti gender, status sosial-ekonomi, pemuda, golongan lanjut usia, penyandang cacat dan sebagainya.

Gerakan-gerakan multikulturalisme searah dengan gerakan pembebasan hak-hak perempuan terutama pada pergerakan feminisme gelombang kedua. Paul Gorski (1999) dalam situs yang berjudul “A Brief History of Multicultural Education” menyebutkan bahwa kurun waktu tahun 1960 dan 1970 merupakan permulaan dibangunnya konseptualisasi tentang pendidikan multikultural di Amerika Serikat. Pada periode ini timbul berbagai pergerakan yang menuntut diberlakukannya reformasi dalam bidang pendidikan. Akhir tahun 1960 dan permulaan tahun 1970 timbul gerakan yang dilakukan kaum perempuan yang menuntut persamaan kesempatan dalam pendidikan. Selain itu mereka juga menuntut dimasukkannya sejarah dan pengalaman kaum perempuan di dalam kurikulum serta penambahan persentase guru perempuan. Pada sekitar tahun 1970-an, gerakan ini semakin kompleks dan bertambah warna dengan munculnya gerakan-gerakan dari kaum gay dan lesbian, lanjut usia, organisasi penyandang cacat dan kelompok lainnya yang menuntut persamaan di dalam sosiopolitik, hak asasi manusia serta dalam lapangan pendidikan.

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang “Mengapa perempuan dunia ketiga sebagai lokus kajian ?” Hal ini didasarkan pada sebuah pemikiran yang melihat banyak kasus yang menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women“. Dengan suatu anggapan bahwa semua perempuan adalah sama. Gerakan feminisme memang untuk pertama kalinya lahir di daerah Eropa. Dengan demikian gerakan ini muncul diusung oleh para perempuan kulit putih yang kemudian berhasil membawa kaum perempuan keluar dari kungkungan ruang privat dan memasuki arena politik, sosial dan ekonomi yang sebelumnya menjadi milik dan dominasi kaum laki-laki. Keberhasilan gerakan feminisme ini kemudian memunculkan semangat para feminis Barat untuk menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.

Penggunaan kerangka pemikiran para feminis Barat yang melihat perempuan dunia ketiga secara universal nampaknya kurang tepat. Pemahaman tentang perempuan di dunia ketiga tidak secara seutuhnya dapat dipahami melalui kacamata pemikiran para feminis Barat. Bagaimana pun setiap masyarakat memiliki corak kebudayaan, nilai dan norma serta pengalaman yang berbeda-beda. Kaum perempuan dunia ketiga tidak hanya dihadapkan pada perlawanan menghadapi relasi kuasa dominasi kaum laki-laki melainkan mereka juga dihadapkan pada pengalaman menghadapi kolonialisme bangsa Barat. Sesuatu hal yang tidak dialami oleh kaum perempuan Barat. Dengan demikian perempuan dunia ketiga selain harus menghadapi dominasi kekuasaan laki-laki dalam konteks kehidupan di dalam masyarakat dan budayanya, mereka juga harus dihadapkan pada kekuasaan kolonialisme bangsa lain. Tentang hal ini mari kita perhatikan pendapat Mohanty (2005;63-64) berikut ini : ”….. maka kategori ’perempuan Dunia Ketiga yang ditindas’ memiliki atribut tambahan – ’perbedaan Dunia Ketiga’ mencakup sikap paternalistik terhadap perempuan di Dunia Ketiga”.

Perkembangan Sejarah Gerakan Feminisme

Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Meskipun kata feminisme mulai banyak digunakan pada akhir abad ke-19, akan tetapi sejarah lahirnya gerakan feminisme dapat ditelusuri sejak abad ke-18. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak sejarahnya bersamaan dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa. Gerakan perjuangan perempuan pada masa ini dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Didirikan untuk pertama kalinya perkumpulan masyarakat ilmiah khusus untuk perempuan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.

Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di  dalam rumah.

Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 18301840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua yang kemudian ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Puncak dari gerakan feminisme gelombang kedua ini adalah dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen (suffrage). Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous dan Julia Kristeva. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.

Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan.

Feminisme gelombang ketiga mulai muncul pada sekitar tahun 1990-an. Gelombang feminisme ini muncul sebagai pengaruh feminisme gelombang kedua. Pada gelombang ketiga ini muncul penentangan atau penolakan terhadap definisi feminisme yang dikembangkan oleh kaun feminis kulit putih. Para pejuang feminis pada gelombang ketiga ini memandang perlunya negosiasi terhadap pemikiran tentang feminisme yang perlu mempertimbangkan subjektivitas hubungan secara ras. Tokoh-tokoh feminisme gelombang ketiga ini diantaranya adalah Gloria Anzaldua, Bell Hooks, Chela Sandoval , Cherrie Moraga, Audre Lorde, Maxine Hong Kingston, dan kaum feminis kulit hitam lainnya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.

Feminisme Mulikultural : Gerakan Perempuan Negara Dunia Ketiga

Perempuan dalam kerangka fikir Barat dimaknai sebagai objektifikasi budaya patriarki, laki-laki dan kapitalisme. Feminisme barat lahir sebagai gerakan dan sikap perlawanan terhadap dominasi dan kungkungan kekuasaan laki-laki. Untuk mengidentifikasi pola gerakan feminisme yang diilhami oleh paham liberalisme dalam gejala masyarakat pasca industri di barat, adalah dengan melihat basis analisisnya yang selalu memposisikan patriarki (laki-laki) sebagai subjek oposan perempuan. Akhirnya feminisme muncul sebagai diskursus dengan gagasan objektifikasi perempuan (subaltern), untuk berupaya keluar dari orbit relasi seks/gender. Ketika feminisme hanya memposisikan laki-laki sebagai musuh abadi, maka berkah yang dituai hanyalah proses segregasi seks/gender. Pemisahan peran laki-laki dan peran perempuan di ruang publik.

Kerangka oposisi antara perempuan dengan patriarki melekat pada pemikiran feminisme Barat. Hal tersebut menempatkan perempuan sepenuhnya sebagai objek, dan laki-laki sebagai subjeknya. Gagasan perempuan multikultural lebih pada upaya menjadi diskursus yang mampu mengemansipasi perempuan, bahwa perempuan dalam orbit relasi seks/gender bukan semata-mata menjadi subordinat laki-laki dan patriarki. Dalam hal ini penting diketahui bahwa budaya patriarki bukan satu-satunya variabel yang menjadi penindas perempuan. Menurut Melani Budianta (2005) selain budaya patriarki, negara, kekuatan kapitalisme dan agama menjadi faktor penentu lainnya yang mempengaruhi peran perempuan.

Selanjutnya menurut Melani bahwa konsep perempuan multikultural melihat banyak faktor yang melatarbelakangi ketertindasan perempuan. Budaya patriarki, dalam sudut pandang multikulturalisme, menjadi satu situs penting untuk memahami pola diskursif yang diciptakan oleh kapitalisme. Selain itu, negara dengan fungsi regulasinya dilihat sebagai aktor kekuasaan yang mengambil peran penting dalam mengobjektifikasi perempuan. Negara memiliki kekuasaan dan berwenang dalam mengorganisasi kepentingan masyarakat. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat terdapat nilai-nilai yang menjadi sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, konsep perempuan multikultural mendapati agama sebagai variabel (aktor kuasa) yang menciptakan gagasan baik dan buruk tentang perempuan.

Kapitalisme/pasar menggunakan budaya patriarki sebagai unit produksi massa dan menciptakan komodifikasi perempuan di ruang publik. Di sisi lain, negara dan agama mengatur tatanan norma dengan membuat aturan, regulasi dan politik atas tubuh perempuan. Relasi antara negara, agama dan pasar dalam sudut pandang multikulturalisme, telah memungkinkan perempuan untuk melakukan siasat, perlawanan dan negosiasi sebagai bentuk resistensi (siasat kultural) terhadap kelompok dominan.

Dengan demikian konsep perempuan sebagai ‘murni’ subaltern, nampaknya masih perlu mendapatkan perhatian atas dinamisasinya di ruang kultural.   Dalam hal ini perempuan subaltern adalah mereka yang berada pada posisi non-dominan dan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok-kelompok mainstream yang memiliki kekuasaan. Pada perempuan subaltern menjadi penting bukan hanya karena kelompok ini hampir tidak pernah merasakan akses publik sebagaimana kelompok dominan tetapi juga harapan akan pentingnya menempatkan problem perempuan sebagai sesuatu yang muncul dan terjadi secara spesifik dan tidak universal. Sehingga kemungkinan melakukan “pemberdayaan” terhadap perempuan bisa dilakukan dengan hati-hati menurut kebutuhan dan konteksnya masing-masing. Muncul beberapa pertanyaan tentang, ”apakah pemberdayaan perempuan serta penunjukan peran dan eksistensi perempuan harus melulu pada ruang publik ?” Bagaimana dengan posisi kaum perempuan yang kemudian lebih memilih untuk menunjukan eksistensinya dalam lapangan kehidupan privat dengan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya? Apakah sesuatu yang  bersifat tradisional, privat dan domestik (seperti dikenal dalam sebutan kasur, dapur, sumur) dianggap sebagai arena pengekangan dan pembelengguan terhadap kebebasan perempuan ?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, Saya ingin mengutip tulisan Ahmad Baso (2005.22) berikut ini sebagai bahan perenungan :

…. ada beberapa kasus yang menunjukan bahwa justru dari lingkungan apa yang disebut tradisional, kampungan, harem, privat dan domestik, berlangsung proses dialog, negosiasi dan bahkan resistensi dari pihak kaum perempuan itu sendiri. Mernissi pernah mengkritik pandangan monolitik tentang harem yang menganggap perempuan tertindas. Sebaliknya, ia melihatnya justru dimungkinkan terjadinya arena kontestasi dengan kekuatan patriarki. Dalam kasus banjir awal Februari tahun lalu di Jakarta, ada satu peristiwa yang tidak pernah terbayangkan masuk dalam lokus gerakan aktifis perempuan. Yakni dapur umum yang digelar ibu-ibu rumah tangga sebagai respon atas kegagalan negara melayani kepentingan publik. Tidak pernah terbayangkan bahwa ruang privat, yakni kegiatan masak memasak, menjadi arena kontestasi dimana kalangan perempuan melayangkan gugatannya terhadap negara

Berbagai dilema publik tentang makna keadilan dalam diskursus gender harus lebih dulu dikaji sehingga tidak menemukan makna yang kontradiktif. Keadilan yang diusung feminis Barat, tidak akan menemukan kata final. Baik secara nature maupun nurture pria dan wanita tidak bisa sama, sifat bergantung dan saling mengisi akan selalu hadir. Sebuah ”penampakan” yang nyata bahwa independensi dari keberadaan mereka adalah suatu cita-cita utopis.

Sejatinya, hakekat wanita sangat berbeda dengan pria dari segi nature-nya (alami). Sedangkan perbedaan nuture adalah hasil konstruksi masyarakat yang bermula dari adat dan budaya. Pernyataan yang sering dilontarkan kaum feminis adalah bahwa diskriminasi pada wanita karena adanya faktor budaya, di mana budaya patriarki selalu menempatkan wanita pada posisi yang lebih rendah dari pria. Dan kendala besar yang diakui feminis untuk dapat berkiprah setara dengan pria adalah karena hanya wanita saja yang bisa hamil. Pengakuan ini dapat berarti keragaman biologis memang selalu ada dalam kenyataan, maka kesetaraan gender yang selalu dipropagandakan secara fifty-fifty adalah suatu hal yang utopis. Perbedaan fisiologis yang alami itu pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada. Perkembangan wanita dari berbagai segi disesuaikan dengan bakat-bakat kewanitaan. Sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat tradisional, norma-norma agama, dan kriteria-kriteria feminis tertentu. Perbedaan eksistensi antara keduanya akan tetap ada meskipun struktur-struktur sosial yang ada dan norma-norma tradisionalnya telah berubah.

Kesetaraan dalam hal ini tidak berarti kesamaan (sameness) yang hanya menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil, yang sesuai dengan konteks masing-masing individu.  Kesimpulan yang diambil memang harus disesuaikan dengan fenomena saat ini. Karena ada dari beberapa wanita yang merasa ‘diperlakukan secara adil’ ketika dia disibukkan dengan urusan rumah tangga, suami, dan anak-anaknya. Propaganda yang digembor-gemborkan feminis sesungguhnya telah menjajah wanita yang lain, karena dituntut untuk go public,  padahal sebagian yang lain sudah merasa nyaman ketika berada di rumah. Fenomena semacam inilah yang disebut oleh Ratna Megawangi sebagai “Contradictio Interminis“. Sebuah konsep yang menginginkan kebebasan individu (liberty), yang justru dalam prakteknya dapat membuat individu menjadi tidak bebas atau tertindas. Liberty menurut John Stuart Mill, adalah kondisi di mana setiap individu (pria dan wanita) dapat berfungsi secara bebas, dapat mengembangkan kediriannya secara komplet, serta dapat meningkatkan kepandaiannya sesuai dengan kapasitas dan karakternya masing-masing.

Kesimpulan

Allah SWT menciptakan makhluk di dunia ini secara berpasang-pasangan. Demikian juga manusia diciptakan dalam dua jenis yaitu perempuan dan laki-laki. Diantara keduanya tidaklah diberikan tingkatan derajat yang berbeda dimana laki-laki lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan. Masyarakat manusia-lah melalui struktur budaya dan kekuasaan yang kemudian sebuah distinction antara laki-laki dengan perempuan. Melalui sistem patriarkhi, laki-laki diberikan kekuasaan yang lebih atas perempuan. Mereka bisa bergerak bebas dalam berbagai sektor kehidupan sementara perempuan hanya bisa berkutat di lapangan privat dan bahkan adakalanya hanya menjadi property dari kaum laki-laki.

Seiring dengan perkembangan dan perubahan jaman kemudian muncul gerakan-gerakan perempuan yang kemudian dikenal dengan gerakan feminisme. Arus pertama gerakan ini berawal di daerah Eropa yang kemudian menyebar ke berbagai negara kulit putih lainnya terutama Amerika Serikat. Maka dengan demikian kelompok perempuan yang pertama kali menyuarakan kebebasan adalah perempuan kulit putih yang pada masa itu hidup dalam ”kebebasan”, tidak berada di bawah penguasaan dominasi negara lain. Mereka lebih banyak menyuarakan tentang pembebasan perempuan dalam lapangan publik, dapat disejajarkan dengan laki-laki untuk dapat bergerak dalam lapangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Bagaimana dengan perempuan dunia ketiga ? Konteks kultural dan kesejarahan yang dialami oleh perempuan dunia ketiga sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh para feminis kulit putih. Dengan demikian dalam mengkaji gerakan feminis perempuan dunia ketiga tidak bisa dengan kacamata pandangan para feminis Barat. Perempuan dunia ketiga tidak hanya dihadapkan pada dominasi kuasa laki-laki secara kultural dalam masyarakatnya melainkan mereka juga harus dihadapkan pada dominasi kekuasaan kolonial.

Pembebasan perempuan dunia ketiga tidak harus dimaknai dengan membawa mereka dari ruang privat menuju ruang publik. Sesuatu hal yang selama ini diperjuangkan oleh para feminis Barat. Kehidupan tradisional, kultural dan privat pada perempuan dunia ketiga tidak dapat selalu dipandang sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan manusia. Dalam beberapa sisi bahkan ruang-ruang tersebut memberikan suatu kenyamanan dan bahkan menjadi tempat bagi kaum perempuan untuk dapat menunjukkan peranan dan eksisitensinya. Pergerakan perempuan tidak harus melulu dipandang hanya dari ruang publik saja, akan tetapi harus juga dipandang dari ruang privat yang selama ini menjadi bagian utama dalam kehidupan perempuan. Permasalahannya tinggal terletak pada kondisi di mana setiap individu dapat berfungsi secara bebas, dapat mengembangkan kediriannya secara komplet, serta dapat meningkatkan kepandaiannya sesuai dengan kapasitas dan karakternya masing-masing.

Daftar Literature

Anderson, Joel . Apakah Persamaan Mencabik-cabik Keutuhan Keluarga? dalam May, Larry, et al (ed) . (2001) . Etika Terapan II : Sebuah Pendekatan Multikultural . Yogyarakarta : Tiara Wacana.

Baso. Ahmad . Ke Arah Feminisme Postradisional dalam Hayat, Edi dan Surur, Miftahus (ed) . (2005). Perempuan Multikultural : Negosiasi dan Representasi . Jakarta : Desantara.

Budiman, Manneke . Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi dalam Hayat, Edi dan Surur, Miftahus (ed) . (2005). Perempuan Multikultural : Negosiasi dan Representasi . Jakarta : Desantara.

Freidman, Marilyn . Ibu dan Keluarga, Laki-Laki dan Seks dalam May, Larry, et al (ed) . (2001) . Etika Terapan II : Sebuah Pendekatan Multikultural . Yogyarakarta : Tiara Wacana.

Budianta , Melani. (2007). Menyoal Perempuan Multikultural. Artikel dalam perempuan multikultural. org

Maria el-fauzi . (2007) . Paradigma Feminis Kontemporer. Artikel dalam NU Mesir. Org

Modernitas dan resistensi Perempuan Lokal. Artikel dalam perempuan multikultural. org

Cultural Feminism . Artikel dalam Wikipedia. Org

Gender Studies . Artikel dalam Wikipedia.org

History of Feminism . Artikel dalam Wikipedia.org

History of Selected Feminist Issues. Artikel dalam Wikipedia. Org

Feminism. Artikel dalam Microsoft Encarta Ensiclopedia, 2006.

Feminisme. Artikel dalam Wikipedia. Org

Feminist Theory . Artikel dalam Wikipedia. Org

Postcolonial Feminism . Artikel dalam Wikipedia.org

Women’s Movement . Artikel dalam Microsoft Encarta Ensiclopedia, 2006

Comments are closed.