Etos Kerja, Perubahan Sosial Dan Masyarakat Madani Indonesia

Oleh: Dr. Encep Supriatna, M.Pd.

Abstrak.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong perubahan sosial begitu cepat dalam berbagai aspek kehidupan termasuk di dalamnya aspek religi.  Perubahan sosial berasal dari adanya perubahan pada nilan dan norma yang dianuk oleh manusia yang sumber utamanya adalah transcendental dari Yang Maha Kuasa. Kegersangan jiwa dan kehampaan nilai spiritualiatas menyebabkan banyak orang yang hijrah dari nilai material duniawi pada nilai spiritual yang ukhrawi. Hal ini terjadi di dunia Barat maupun Timur. Di Barat ditandai dengan munculnya sekte-sekte aliran keagamaan. Di Timur muncul ritual keagamaan  yang berdimensi ukhrawi melalui ajaran Tasawuf yang ritualnya melalui berbagai macam Tarekat. Tulisan ini disajikan untuk memotret kehidupan manusia pada abad modern yang sudah mengalami titik jenuh, kalau menggunakan  bahasa Capra dengan adanya Titik Balik Peradaban umat manusia. Agama sebagai keyakinan yang hidup dan inheren dan dijalankan ada diri manusia menjadi jembatan terakhir yang dapat membahagiakan dan menyelamatkan umat manusia.

Pendahuluan

Indonesia adalah negeri yang sedang mengalami perubahan sosial yang amat cepat, bahkan dengan laju perkembangan yang lebih cepat daripada negara-negara tetangganyya sebelum terjadi krisis moneter tahun 1998, lebih  dari itu perubahan social di Indonesia dapat dipandang sebagai tidak lain dari kelanjutan perubahan yang sedang melanda dunia, akibat globalisasi (Habibie : 1995). Perubahan ini akan berlangsung terus, bahkan dengan laju yang mungkin semakin cepat dan ukuran atau skala yang semakin besar.

Setiap perubahan sosial dengan laju  dan skala yang besar tentu akan mengakibatkan krisis yang besar pula. Krisis itu antara lain bersumber dari goyahnya system nilai yang selama ini diterima dan dihayati sebagai  dengan sendirinya abash dan tidak perlu dipersoalkan lagi (misalnya nilai-nilai agraris yang paguyuban). Kegoyahan itu terjadi karena system nilai itu dirasakan tidak lagi relevan atau responsif terhadap keadaan yang telah berubah (misalnya, terhadap pola hubungan sosial masyarakat industri yang sudah menjadi patembeyan, dengan cirri-ciri hubungan zaklijk atau bussines like).

Di negara-negara Barat krisis-krisis itu mendorong terjadinya arus pencarian makna hidup yang lebih spiritualistik, sehingga tumbuh bermacam-macam “aliran kepercayaan”, sebagian dari hal itu ialah apa yang disebut “Go East” mencari pola-pola penghayatan spiritual yang Indik. Karena watak Islam yang berbeda dengan agama-agama di sana, maka diharapkan bahwa gelombang “Go East” itu tidak akan terjadi di Indonesia. Namun tidak berarti bahwa  keperluan semakin banyak orang muslim ke arah penghayatan keagamaan yang lebih esoteric itu tidak ada. Ini dibuktikan dengan semakin banyak orang muslim yang berpaling kepada ajaran-ajaran tasawwuf. Karena itu ajaran-ajaran yang bersifat esoteric ini sekarang diberi porsi perhatian yang lebih besar, sehingga dapat diharapkan akan menjadi faktor pengimbang bagi pola kehidupan masyarakat industri modern yang serba materialistik.

Pengaruh Industri terhadap Kehidupan Beragama

Datangnya industri kemudian membawa serta terbentuknya kelas menengah dalam bidang social, yang  melihat seseorang tidak berdasarkan agamanya tetapi sebagai seorang yang mempunyai tujuan dan hak serta kewajiban sebagai seorang subjek dari masyarakat. Akibat lain dari industrialisasi adalah perubahan  yang dibawa dan bahkan dipaksakannya terhadap konsep  tentang manusia dan konsep tentang alam. Pengaruh industri kepada pengertian tentang manusia, ialah bahwa seseorang adalah pembawa dan pemikul beban-beban kebutuhannya sendiri. Pada dasarnya manusia adalah produsen dan konsumen. Alam kemudian dipandang sebagai sumber yang harus dikerjakan dan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan hal itu dimungkinkan melalui kerja dan pembagian kerja. Sementara itu teknik yang terus saja berkembang semakin memberi keyakinan kepada manusia bahwa alam ini bukanlah diatur dalam suatu tertib alam yang abadi tetapi bahwa dia bias diubah dan dipergunakan sesuai dengan keperluan. Rasionalisasi dan teknik  lambat laun meninggalkan daya pesona alam dan tata tertibnya yang semula, serta diiringi pula oleh sekularisasi. Datangnya industri kemudian menimbulkan juga kota-kota yang menjadi pusat-pusat perkembangan industri. Dengan munculnya kota-kota industri, muncul pula bentuk-bentuk kehidupan baru, yang harus direorganisir supaya sesuai dengan tujuan dan kepentingan industri. Kehidupan bersama yang tadinya tumbuh  dengan spontan di desa-desa dalam gemeinschaft yang kini harus diatur lagi dalam organisasi-organisasi yang terencana, rasional, dan ekonomis. Lahirlah kemudian berbagai Gesselschaft yang rapi dan teratur dalam organisasi dan struktur baru yang lebih efektif dan sekaligus juga lebih sepi, karena di dalamnya manusia mendapatkan dirinya lebih banyak sebagai alat produksi.

Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami masa transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Sehubungan dengan masuknya teknologi industri ke dalam masyarakat agraris juga berarti masuknya budaya industri ke dalam masyarakat agraris. Ciri-ciri budaya industri diantaranya adalah : lebih mengutamakan hidup kebendaan, berpikir dan bersikap rasional dan cenderung pragmatis, individualistis, bahkan egois,  dan bergesernya norma-norma luhur dari agama dan budaya (Wilson, 1988:186). Ciri-ciri ini menunjukkan bahwa dampak berkembangnya masyarakat agraris ke masyarakat industri salah satunya akan menimbulkan terjadinya perubahan nilai-nilai agama.

Pengertian agama menurut Moenawar Cholil (1970:19), dalam bukunya yang berjudul “Definisi dan Sendi Agama” berpendapat bahwa perkataan agama terdiri dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua  kata “A” yang artinya tidak dan “Gama” yang artinya kocar-kacir, kacau, atau berantakan. Artinya  sama dengan perkataan Grik, Chaos. Jadi  arti agama itu tidak kacau, tidak kocar-kacir atau tidak berantakan, lebih jelasnya arti agama itu ialah teratur, beres dengan tepat dapat dikatakan suatu “peraturan”. Selanjutnya Zainal Arifin Abas (1982:124), mencurahkan buah pemikirannya tentang religion dan agama dalam bukunya “Perkembangan Pikiran Terhadap Agama” sebagai berikut : Perkataan agama dalam bahasa latin yaitu “religion: dalam bahasa Arab sekarang biasa disebut “Din” atau lebih seumpurna disebut “Ad-Dien”.

Memperhatikan pendapat di atas, di dalamnya terdapat tiga istilah, yaitu : Agama, Religi, dan Ad-Dien. Menurut Endang Saifudin (1982:124), dalam arti teknis dan terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai arti yangsama, walaupun masing-masing mempunyai etimologis dan sejarahnya sendiri. Oleh karena itu sekalipun yang berbeda hanya latar belakangnya tetapi perbedaan ini akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda dari masing-masing peristilahan itu.

Kembali ke masalah dampak perindustrian terhadap nilai-nilai keagamaan, pembangunan di bidang isndustri seringkali membawa akibat terjadinya perubahan interpretasi nilai-nilai kehidupan umat beragama di daerah kawasan industri.  Hal ini terlihat dengan adanya pranata-pranata sekuler yang ada dalam budaya industri. Orientasi kehidupan masyarakat industri yang cenderung bersifat materialistik, dalam arti pemberian tekanan pada aspek-aspek material sehingga menimbulkan tendensi pendekatan sekuleristik dalam kehidupan, nampaknya menjadi tantangan tersendiri bagi umat beragama. Namun demikian tantangan ini sebenarnya merupakan gejala objektif dari kebutuhan hidup manusia, karena manusia adalah makhluk berbudaya. Dengan demikian kiranya memang tidak dapat dihindari bahwa pembangunan di bidang industri sedikit banyak akan menimbulkan terjadinya pergeseran-pergeseran atau perubahan interpretasi nilai-nilai keagamaan di kawasan industri, baik nilai-nilai dengan kehidupan masyarakat, kehidupan keluarga maupun kehidupan individu.

Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa pengaruh agama selalu memasuki semua segi kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian pengaruh ini bersifat timbal balik. Artinya, pranata-pranata yang ada dalam masyarakat pun akan mempengaruhi nilai-nilai keyakinan agama. Dengan demikian, apabila suatu masyarakat berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, maka nilai-nilai agama dalam masyarakat agraris cenderung mengalami perubahan interperatsi sesuai dengan pranata-paranata dalam kehidupan masyarakat industri. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu cirri pola perilaku masyarakat industri yang cukup menonjol adalah sifat individualisits dari para anggota masyarakat. Dengan kata lain setiap anggota masyarakat industri lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan orang lain dan jarang melakukan hubungan social antara sesama anggota masyarakat. Hal ini berarti terjadinya perubahan nilai-nilai kebersamaan yang terkandung dalam doktrin agama terutama agama Islam.

Perubahan interpretasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan keluarga, salah satunya mengenai kesucian dalam perkawinan dan pembinaan keluarga. Kedua nilai diatas dianggap penting sebab terbentuknya keluarga karena terjadinya suatu perkawinan. Dari perkawinan lahirlah suatu kesatuan social terkecil yang disebut keluarga inti (nuclear family). Keluarga sebagai kesatuan social dalam masyarakat merupakan suatu wadah yang penting untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan beragama. Hal ini terjadi karena dalam lingkungan keluargalah hubungan emosional dapat terjalin dengan akrab dan intensif, sehingga memungkinkan berlangsungnya sosialisasi nilai-nilai agama secara persuasive.

Menurut Kencana dan Sri (1997:74-75) terdapat beberapa hikmah dalam perkawinan. Islam tidak memandang perkawinan hanya untuk mencari kesenangan pribadi, melainkan juga untuk beribadah kepada Allah dan Rasulnya. Oleh karena itu, setiap pasangan suami-istri yang beragama Islam senantiasa harus tunduk pada hokum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an  dan Hadist untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari guna membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Mengingat perkawinan dalam ajaran Islam bertujuan untuk beribadah, maka Islam menghendaki perkawinan antara sepasang pria dan wanita belum ternoda kehormatannya. Dengan kata lain, nilai kesucian perkawinan hendaknya masih tetap terpelihara dengan baik. Penegaruh masuknya teknologi industri terhadap kehidupan beragama yang paling menonjol dalam masyarakat Islam adalah pergeseran kepercayaan/iman dan pola-pola perilaku dari suasana keagamaan ke suasana sekuler (Jalaludin, 1991:177). Pola perilaku ini tentunya juga termasuk nilai-nilai dalam perkawinan, khususnya nilai-nilai yang berkaitan dengan kesucian dalam perkawinan. Nilai-nilai keagamaan yang erat kaitannya dengan keluarga adalah nilai pembinaan dalam keluarga. Menurut ajaran Islam, keluarga muslim adalah keluarga yang terikat dengan norma-norma Islam dan berusaha menjalankan fungsi keluarga sesuai dengan norma tersebut. Islam meletakkan fungsi agama sebagai fungsi utama dalam pembinaan keluarga. Berfungsi dari nilai keagamaan inilah keluarga memiliki fungsi mendidik, melindungi, dan kasih saying sebagai gungsi utama dalam keluarga. Selian itu keluarga juga mempunyai fungsi ekonomis, social dan rekreatif. Keluarga akan kokoh apabila sluruh fungsi itu berjalan sebagaimana mestinya. Jika pelaksanaan seluruh fungsi itu dihilangkan atau dikurangi, maka akan terjadi krisis keluarga.

Etos Kerja Dalam Islam

Masalah etos kerja memang cukup rumit, nampaknya tidak ada teori tunggal yang dapat menerangkan segala segi gejalanya, juga bagaimana menumbuhkan dari yang lemah kearah yang kuat atau lebih baik, kadang-kadang  nampak bahan etos kerja dipengaruhi oleh system kepercayaan, seperti agama,  kadang-kadang nampak seperti tidak lebih dari hasil tingkat perkembangan ekonomi tertentu masyarakat saja. Kesan  bahwa etos kerja terkait dengan system kepercayaan diperoleh karena pengamatan bahwa masyarakat tertentu dengan system kepercayaan tertentu memiliki etos kerja lebih baik (atau lebih buruk) dari pada masyarakat yang lain, dengan system dasar apa yang terkenal dengan “Etika Prostestan”, persis peneliti yang lain juga melihat gejala yang sama pada masyarakat dengan system kepercayaan yang berbeda seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert N. Bellah) di Jawa (oleh Geertz) dan Hindu Barhmana di Bali (Geertz) atau Ismaili di Afrika Timur.

Kesan bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkembangan ekonomi tertentu juga merupakan hasil pengamatan terjadap masyarakat tertentu yang etos kerjanya menjadi baik setelah mencapai kemajuan ekonomi pada tarap tertentu. Seperti umumnya negara-negara industri baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura, kenyataan bahwa masyarakat Singapura misalnya menunjukkan etos kerja  negaranya setelah mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang cukup tinggi. Peningkatan etos kerja di sana kemudian mendorong laju perkembangan yang lebih cepat lagi, sehingga kota itu menjadi seperti sekarang. Membicarakan etos kerja dalam Islam berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, suatu system keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Relevansi pembicaraan ini kepada masalah Nasional ialah kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam, jadi suatu pendekatan dari sudut keislaman dapat diharapkan dapat mempunyai dampak yang berlangsung pada masalah etos kerja itu, jika memang pada masalah etos kerja ini ada masalah, karena agama bertitik tolak dari keimanan, maka setiap percobaan suatu masalah dari sudut pandangan keagamaan juga bertitik tolak dari keimanan, maka etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang muslim, bahwa kerja  mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah SWT, berkaitan dengan ini kita dapat menegaskan kembali Islam agama amal atau kerja (praktis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal sholeh dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.

Tetapi berlawanan dengan itu semua, secara empirik sering dikemukakan penilaian negatif bahwa umat Islam menderita penyakit fatalisme atau paham nasib, yang kemudian membuat mereka pesimistis dan “nrimo ing pandum”, jelas sekali bahwa membuat generalisasi itu keliru. Hanya saja dalam rangka polemik klasik atau paham “Jabbariyah”, (predetermenisme) dan “Qadariyyah” (kebebasan manusia) yang banyak di kalangan Islam masih berlangsung sekarang. Sikap-sikap yang mengarah pada paham jabbariyah memang sring ditemukan, dengan kata lain di masyarakat kita mempunyai potensi fatalisme. Sebagaimana telah disinggung semula berkenaan dengan masalah kontroversi “takdir”, dan “ihktiar”, dalam hal ini penting  sekali kita tela’ah bahwa sesungguhnya firman Allah yang dijadikan acuan  atau paham takdir atau ketentuan nasib (predeterminisme) adalah berbicara pada hal yang telah terjadi (last) pada seorang manusia baik, atau buruk dan diharapkan dapat menerimanya dengan ikhlas terhadap apa yang telah terjadi tanpa ada rasa penyesalan. Sedangkan untuk hal yang belum terjadi, maka sikap yang dianjurkan bukanlah kefasipan dari segala kemungkinan yang terjadi. Demi mencapai  tujuan yang baik, pribadi yang beriman dan bertaqwa harus menyiapkan diri untuk hari esok yang lebih lebih baik.

Masyarakat Madani Indonesia

Setiap peradaban, filsafat dan agama pasti mempunyai cirri khas tersendiri. Semakin kuat cirri khas suatu peradaban, semakin besar pula pengaruhnya terhadap kehidupan individual dalam lingkungannya. Sebagian ideologi memiliki kesamaan, dan hanya berbeda dalam hal-hal tertentu, seperti dalam filsafat-filsafat materilaistik yang sekarang sangat dominan di dunia kontemporer. Untuk mengubah dari satu ideologi ke ideologi yang lain tidak dibutuhkan trasformasi besar-besaran  dan radikal dalam hidup seseorang. Jika kegagumannya terhadap suatu kaidah berubah, dan keyakinannya terhadap yang lain bertmabah, itu sudah cukup untuk menciptakan suatu peralihan dari suatu ideology ke ideology yang lain. Perubahan seperti ini sama sekali tidak membutuhkan kerja besar karena memang tidak berpengaruh terjadap perilaku keseharian atau kebiasaan-kebiasaan yang berakar dalam. Apalagi hal itu tidak akan terefleksi dalam kehidupan nyata seorang individu.

Fenomena ini berlaku terhadap Islam. Sejak kehadirannya, agama ini telah membawa trasformasi radikal dalam kehidupan individual dan social. Ia telah merombah secara total perilaku keseharian dan kebiasaan-kebiasaan yang berakar dalam, sebagaimana juga standar-standar, penilaian dan cara pandang seseorang terhadap alam, hidup, dan manusia itu sendiri. Demikian pula struktur masyarakat juga tidak luput dari perombakan ini : sebagian hilang dan yang baru muncul. Perubahan-perubahan yang dibawa Islam sangat mendasar dan komprehensif. Dari sudut pandang keimanan dan akidah, ia merepresentasikan suatu lompatan dari pengahmbaan sesuatu yang nyata (tangible things), seperti patung-patung dan bianatang-binatang yang dapat dilihat, diraba, menuju pengahmbaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang  tidak digambarkan atau dipadankan dengan sesuatu apa pun di dunai ini, inilah lompatan besar yang dilakukan Nabi Muhammad di Mekkah dan Madinah, membawa umat manusia dari “akal primitif” yang hanya bias bersentuhan dengan materi-materi nyata menuju “akal berperadaban” yang mampu menyerap konsep kebenaran akan keesaan Tuhan (Tauhid). (Akram Dhyiaudin Umari : 1991 : 68-69).

Masyarakat madani merujuk pada kehidupan masyarakat yang dibangun pada masa Rasul di Madinah, Madani dari kata : Madinah yang artinya kota, atau  metropolis yaitu suatu kota yang penuh dengan hingar-bingar kehidupan tetapi masyarakatnya hidup rukun ,tertib, teratur, aman  dan tentu saja sejahtera. Berbagai macam ras, etnis, suku bangsa bahkan agama hidup dalam naungan daulah Islamiyah yang dipimpin oleh Rasulullah. Rasul memulai itu dengan mewujudkan solidaritas antar kaum muhajirin dan anshar sebagai golongan yang didatangi. Selanjutnya Rasul membantuk tatanan masyarakat  yang maju dan modern dengan undang-undang syariat Islam yang dipatuhi oleh seluruh umat manusia yang  hidup dan bernaung dalam negara Islam.

Dalam pembangunan masyarakat madani kita lihat ada dua komponen yang berperan yaitu individu sebagai pelaku di dalam masyarakatnya, dan kedua, pranata-pranata sosial yang menampung nilai-nilai budaya yang akan mengatur tercapainya tujuan bersama. Apabila kita berkata-kata mengenai individu maka kita berbicara mengenai hak-hak dan kewajiban individu. Selanjutnya apabila kita berbicara mengenai pranata-pranata sosial maka kita memasuki bidang yang berkenaan dengan kerjasama antar individu di dalam pranata-pranata sosial seperti negara, pemerintahan, dan lembaga-lembaga sosial (social institution) lainnya.

BIBLIOGHRAFI

Akra Dhiyauddin Umari.(1999). Masyarakat Madani : Tinjauan Holistik Kehidupan Nabi. Jakarta : Gema Insani Press.

Didin Saripudin. (2005). Mobilitas & Perubahan Sosial. Bandung : Masagi Foundation.

Eef Saefullah Fatah. (2000). Provokasi Awal Abad : Membangun Panca Daya Merebut Kembali Kemnusiaan. Bandung : Penerbit Rosda Karya.

Habiebie. (1992). Memahami Al-Qur’an dan Mengimplementasikannya. Jakarta : Penerbit Bangkit.

H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan, Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung. PT. Remaja Rosda karya.

Kuntowijoyo. (1985). Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Sholahuddin Press.

Rusli Karim (1997). HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Penerbit Mizan.

Nurcholis Madjid. (1995). Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta : Penerbit yayasan Wakaf Paramadina.

1 Tulisan ini merupakan makalah yang disajikan pada Pelatihan Guru PAI se-Provinsi Banten, di Wisma PKPRI Kabupaten Pandeglang Oktober tahun 2004.

2  Encep Supriatna, M.Pd. adalah Asisten Ahli  pada Jurusan Pendidikan Sejarah UPI, di Bandung.

Comments are closed.