Ekonomi Dan Pengembangan Wilayah: Latar Belakang Pembangunan Jalan Kereta Api Pada Lajur Banjar-Kalipucang-Parigi (1911-1921)

Oleh: Agus Mulyana

Pembangunan jalan kereta api pada lajur Banjar-Kalipucang-Parigi merupakan bagian dari eksploitasi kolonial ke wilayah Priangan. Dalam pembangunan lajur ini, ada dua pihak yang memiliki kepentingan yaitu pihak swasta dan pemerintah. Kepentingan utama pihak swasta adalah para pengusaha perkebunan yang telah membuka lahan perkebunannya di daerah Priangan selatan. Sedangkan kepentingan pemerintah khususnya Residen Priangan adalah untuk pengembangan wilayah. Wilayah Priangan Timur dan Priangan Tenggara merupakan daerah terisolir tetapi tanahnya sangat subur dan memiliki potensi secara ekonomi.

Makalah ini mencoba membahas bagaimana kepentingan ekonomi dan pengembangan wilayah terlaksana dalam pembangunan jalan kereta api pada lajur Banjar-Kalipucang-Parigi dan bagaimana proses pembangunan lajur tersebut serta hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam pembangunan jalan kereta pada lajur ini.

Usulan pihak Swasta

Sebelum pembangunan lajur Banjar-Kalipucang-Parigi dilaksanakan oleh pemerintah, terdapat beberapa usulan dari pihak swasta untuk membangun lajur kereta api di sekitar daerah tersebut. Usulan yang disampaikan oleh pihak swasta, pada umumnya memiliki tujuan untuk mengembang wilayah selatan Priangan.

Pada tahun 1904 Eekhout mengajukan konsesi kepada pemerintah untuk membangun jalan trem dari Banjar melalui Kalipucang, Parigi menuju ke Pameungpeuk (Garut). Sebelum mengajukan lajur tersebut, Eekhout telah mengajukan beberapa konsesi yang melintasi daerah Priangan Selatan. Pada tanggal 12 April 1892, Eekhout menyampaikan secara pribadi kepada Menteri Koloni untuk membangun lajur kereta api sekunder dari Sukabumi melalui Cimerang menuju teluk Wijnkoop dengan cabang dari Cimerang menuju Purabaya dan Sindangbarang menuju lajur  yang membentang di pantai yang menuju ke arah Cilacap. Permintaan Eekhout tersebut kurang mendapat tanggapan khususnya dari panglima militer Letnan Jenderal T.J.A. van Xijl de Jong. Panglima militer tersebut menolak setiap perbaikan komunikasi antara teluk Wijnkoop dan Sukabumi atau Cibadak. Penolakan ini diperkirakan karena daerah tersebut merupakan lajur militer yang harus dikelola oleh militer bukan oleh swasta. Dewan Hindia pun tidak setuju terhadap usulan Eekhout. Mereka meminta agar usulan Eekhout dilengkapi oleh data tentang ekonomi daerah tersebut secara lengkap. Eekhout kemudian mengajukan kembali usulannya pada tanggal 25 Maret 1893 dengan usulan lajur yang sama. Usulan ini pun ditolak kembali oleh pemerintah berdasarkan surat keputusan pemerintah tanggal 15 April 1893 nomor 15.  Eekhout tidak berhenti mengajukan usulan kepada pemerintah walaupun usulannya ditolak. Pada tanggal 16 Desember 1898 kembali dia mengajukan usulan kepada pemerintah untuk membangun lajur kereta api dari Sagaranten melalui Rambai menuju Sindangbarang. Usulan ini diterima oleh pemerintah berdasarkan surat keputusan pemerintah tanggal 14 April 1899 no. 13. Selain lajur yang ia dapatkan tersebut, Eekhout juga mendapat konsesi dari pemerintah untuk membangun tram uap atau listrik dari Sukabumi ke selatan melalui Leuwiliang menuju Sagaranten berdasarkan surat keputusan pemerintah 15 April 1896 nomor 6. Berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 3 Juli 1900 nomor 19, Eekhout mendapatkan pula konsesi untuk membangun lajur tram yang digerakkan dengan uap atau listrik  dari Sindangbarang menuju Cidaun dan Cikandang menuju Pameungpeuk.[1] Dari seluruh konsesi yang diberikan kepada Eekhout, tidak ada satu pun yang ia bangun, termasuk lajur Banjar melalui Kalipucang dari Parigi ke Pameungpeuk.

H.J. Stroband pada tahun 1898 mengajukan permohonan konsesi membangun tram uap dari Banjar melalui Banjarsari, Kalipucang, Cikembulan, Parigi sampai Cijulang. Dalam waktu yang bersamaan pula, F.J. Nellensteyn pada tanggal 10 Maret 1898 mengajukan konsesi membangun jalan tram dari Pamengpeuk, Rancaherang, Klapagenep, Cijulang, Parigi, Cikembulan, Kalipucang, Padaherang kemudian ke Banjar. Permohonan Storband ditolak berdasarkan surat keputusan pemerintah tanggal 7 Mei nomor 19, sedangkan permohonan Nellensteyn dipertimbangkan. Atas jawaban pemerintah tersebut, Nellensteyn kemudian pada tanggal 30 Juni 1898 mengajukan kembali dan berdasarkan surat keputusan pemereintah tanggal 11 Maret 1899 nomor 41, usulan konsesi Nellensteyn diterima. Nellensteyn ternyata tidak pula membangun, akhirnya pemerintah mencabut ijin konsesi yang telah diberikan kepadanya.[2]

Usulan dari pihak swasta datang kembali pada tahun 1904. Inspektur Perkebunan Lawick van Pabst mengajukan konsesi pembangunan jalan tram yang membentang dari Banjar melalui Kalipucang dan Parigi menuju Pameungpeuk. Dalam usulannya ini Lawick van Pabst membagi dalam tiga bagian yaitu pertama dari Banjar ke Kalipucang kira-kira 43 Km, kedua dari Kalipucang ke Parigi atau Cijulang kira-kira panjangnya 38 Km dan ketiga dari Cijulang ke Pameungpeuk kira-kira panjangnya 99 Km.[3] Daerah-daerah yang dilalui lajur tram tersebut, menurut van Bast masih jarang penduduknya, sementara tanah pertaniannya sangat subur.

Di daerah sebelah barat Cijulang sampai melewati Leuweung-Santiong masih sedikit penduduknya. Begitu pula daerah Banjar-Kalipucang dan Purbapingang-Cijulang, penduduknya sangat sedikit. Akan tetapi kehidupan masyarakat di daerah-daerah tersebut sejahtera. Mereka hidup dari pertanian yang tanahnya kaya dan sangat subur. Kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi dari kesuburan tanahnya. Produktifitas pertanian penduduk daerah-daerah tersebut lebih banyak ditujukan hanya untuk kebutuhan konsumsi sendiri. Mereka mengalami kesulitan untuk menjual hasil-hasil pertaniannya ke luar. Kesulitan tersebut, disebabkan oleh biaya angkutan yang sangat mahal. Bahkan di daerah-daerah tersebut, masih ada padi yang disimpan sampai berusia 6 tahun lebih, ada pula yang sampai 10-12 tahun.[4]

Tanah-tanah yang terdapat di daerah-daerah yang akan dilalui lajur tram menurut usulan van Pabst masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Di lembah Priangan Timur melalui jalan Banjar ke Kalipucang masih terdapat tanah sekitar 22 ribu bahu yang dapat diubah menjadi sawah dan tegalan. Lajur kereta api yang melewati daerah tersebut, akan berpengaruh luas terhadap perkembangan wilayah sampai ke sungai Citandui. Di Kalipucang, daerah pegunungan yang membentang sampai ke laut dan sampai ke Parigi, terdapat 6 ribu bahu yang digarap dan 8 ribu bahu yang masih kosong untuk digarap.[5] Dengan dibangunnya lajur transportasi tram, maka penduduk akan meningkatkan produksi pertanian karena mereka akan menanam tanam-tanaman yang tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari tetapi juga untuk dijual.

Untuk mengembangkan lahan pertanian penduduk pada daerah-daerah yang akan dilalui kereta api, memiliki potensi untuk mengembangkannya. Mereka memiliki jumlah hewan yang cukup banyak bahkan melebihi jumlah penduduknya. Hewan-hewan tersebut, dapat dijadikan alat untuk mengembangkan pertanian. Perkembangan pertanian dapat juga terjadi dari adanya emigrasi penduduk. Sambungan dua lembah oleh lajur kereta api yaitu Priangan Timur dan Tenggara dapat mendorong terjadinya emigrasi.[6]

Usulan dari van Pabst tersebut, kemudian diperkuat oleh Direktur BOW melalui suratnya tanggal 15 September 1906 nomor 14417/SS. Dalam surat tersebut, Direktur BOW menyarankan kepada pemerintah agar pembangunan jalan kereta api Banjar-Parigi-Pameungpeuk diserahkan kepada swasta. Pemerintah akhirnya mengeluarkan surat keputusan (besluit) tanggal 16 November nomor 1 yang berisi memberikan konsesi untuk membangun jalur tram dari Banjar melalui Cijulang (Parigi) menuju Pameungpeuk. Periode pemberian waktu untuk membangun kemudian diperpanjang sampai 16 November 1908 dengan keputusan Direktur BOW  tanggal 4 November 1907 nomor 15043/SS.[7] Akan tetapi, pembangunan lajur tram tersebut tidak dilaksanakan.[8]

Usulan Pembangunan dari Residen Priangan

Pengembangan wilayah Priangan Tenggara dan Priangan Timur melalui pembangunan sarana transportasi kereta api, tidak hanya menjadi kepedulian pihak swasta. Dari kalangan pemerintah pun memiliki kepedulian untuk mengembangkan daerah kekuasaannya. Usulan pembangunan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi datang pula dari pihak pemerintahan setempat.  Residen Priangan mengirimkan surat tertanggal 27 Juli 1908 kepada pemerintah pusat. Surat residen tersebut disertai pula nota dari Asisten Residen Sukapura dan Kontroleur Manonjaya.  Dalam rangka mengembangkan daerah Priangan Timur dan tenggara, mereka mengajukan kepada pemerintah untuk membangun jalan kereta api  Banjar-Parigi.[9]

Usulan dari pihak pemerintahan daerah tersebut didasarkan pada pertimbangan perlunya pengangkutan yang lebih mudah dan murah bagi hasil-hasil pertanian dari lembah Priangan Timur atau Parigi ke pelabuhan Cilacap. Pengangkutan yang sudah biasa dilakukan yaitu dengan menggunakan perahu diangkut dari Kalipucang melalui sungai dengan melewati perairan Sagara Anakan kemudian ke pelabuhan Cilacap. Lajur pengangkutan air ini menghadapi resiko yang cukup besar yaitu sering terjadinya pengendapan lumpur di Sagara Anakan akibat air pasang dari laut yang kemudian. Oleh sebab itu perlu membangun lajur kereta api dari Banjar membentang sampai ke Kalipucang kemudian melalui pulau Nusakambangan ke Cilacap. Dari Kalipucang dan Parigi menuju Cilacap dilakukan dengan cara menggunakan kapal. Pada sisi Kalipucang, Parigi  dan Cilacap dibangun dinas perkapalan oleh pemerintah. Dinas perkapalan ini merupakan bagian dari pelayanan pengangkutan yang menyatu dengan eksploitasi kereta api. Pemerintah memberikan subsidi kepada dinas perkapalan tersebut. [10]

Surat usulan dari Residen Priangan kemudian menjadi bahan pertimbangan oleh Inspektur Kepala Dinas Kereta Api Negara (SS) di Jawa untuk pembangunan pada lajur tersebut agar tidak diserahkan kepada swasta. Berdasarkan surat Residen Priangan, Direktur BOW kemudian mengajukan kepada Gubernur Jenderal untuk menjadi pertimbangan bagi pembangunan jalan kereta api di daerah Priangan Tenggara dan Timur. Pemerintah akhirnya memutuskan membangun lajur kereta api dari Banjar ke Parigi melalui Kalipucang berdasarkan Undang-Undang tanggal 18 Juli 1911 (Staatsblad 1911 N0. 457).[11]

Usulan Lajur Memotong Banjar-Cilacap

Walaupun pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi sudah mendapatkan pengesahan pemerintah melalui Undang-Undang tanggal 18 Juli 1911 (Staatsblad 1911 N0. 457), akan tetapi tidak segera dilaksanakan. Bahkan terjadi penundaan untuk melaksanakan pembangunan. Penundaan tersebut disebabkan adanya kritik dari anggota parlemen terdapat anggota Majelis Rendah Parlemen yaitu Lambert de Ram. Dia mengkritik pembangunan lajur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi terlalu panjang (82.5 km) dan memakan biaya yang sangat mahal.

Untuk menghemat biaya dan memperpendek jarak, Lambert de Ram mengusulkan pembangunan jalan kereta api dari Banjar langsung ke pelabuhan Cilacap melalui daerah Dayeuh Luhur. Pembangunan langsung dari Banjar ke Cilacap lebih pendek jaraknya hanya 40 Km dibandingkan dengan pembangunan Banjar-Kalipucang-Parigi yang berjarak 82,5 Km. Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan Banjar-Kalipucang-Parigi terlalu mahal yaitu f. 4.846.000,00, bila dibandingkan dengan pembangunan jalan tram di daerah-daerah lainnya. Dia membandingkan dengan pembangunan jalan tram di Jawa Timur sepanjang 81,4 Km hanya menghabiskan dana sebesar f. 2.676.240,00, tram lembah Serayu sepanjang 90,6 Km memakan biaya f. 2.906.520,00, tram Semarang-Cirebon sepanjang 323,3 kilometer menghabiskan anggaran f. 29,218 per kilometernya.[12] Dengan perbandingan-perbandingan tersebut, de Ram menilai pembangunan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi terlalu mahal.

Pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi berdasarkan peta yang dibaca oleh de Ram, mengikuti lajur jalan raya yang telah ada. Arah yang demikian itu, menurut de Ram tidak akan menciptakan jalan hubungan baru, hanya memperbaiki sarana yang sudah ada sebelumnya yaitu fungsi jalan raya diambil alih oleh jalan kereta api. Garis jalan raya yang sudah ada membentang pada daerah yang tidak ada penduduknya yaitu daerah rawa Dayeuh Luhur. Apabila jalan kereta api dibangun pada garis bentangan tersebut, maka tidak akan mendapatkan penumpang.[13]

De Ram membandingkan pula jarak pengangkutan air yang sudah ada dengan jarak kereta api yang akan dibangun dari Kalipucang ke Cilacap. Jarak Kalipucang dengan menggunakan angkutan air melalui Sungai Citandui dan bermuara di Sagara Anakan, lebih singkat dibandingkan dengan jarak jalan kereta api yang akan dibangun Kalipucang-Cilacap. Menurut pendapat de Ram, kemungkinan orang akan lebih banyak menggunakan jalan air daripada jalan kereta. Orang menggunakan perahu bisa saja milik sendiri, sehingga ia tidak mengeluarkan ongkos angkutan. Dalam hal ini, de Ram melihat rendahnya harga beras di lembah Parigi yaitu f. 1,- per pikulnya dibandingkan dengan daerah Priangan lainnya seharga f. 2,50,-, bukan disebabkan oleh sulitnya pengangkutan, tetapi disebabkan penggangkutan padi ke tempat penjualan tidak ada ongkos pengangkutan.[14]

Pengembangan lembah Parigi yang merupakan salah satu tujuan pembangunan lajur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi. Tujuan tersebut  menurut de Ram kurang strategis secara ekonomis. Di lembah ini hanya menghasilkan produk-produk pertanian yang secara ekonomi tidak menghasilkan nilai jual yang tinggi. Di lembah Parigi hanya menghasilkan beras, padi, kelapa dan kopra. Pengangkutan barang-barang tersebut berada di bawah tarif yang rendah sehingga apabila nanti lajur kereta api Banjar-Parigi dieksploitasi akan berakibat biaya eksploitasi lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil angkutan.[15] Sehingga yang timbul adalah kerugian.

Tujuan pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi menurut rencana adalah untuk mengembangkan daerah Priangan Tenggara. Menurut de Ram, daerah Priangan Tenggara tidak akan semuanya dapat berkembang, sebab berdasarkan peta rencana pembangunan yang ia baca, lajur kereta api hanya melewati sebagian kecil wilayah Priangan Tenggara, yaitu lembah Pananjung dan lembah dekat Banjar. Bagian utara Banjar merupakan daerah yang subur, akan tetapi jarak daerah tersebut sangat jauh dari tempat dibangunnya kereta api yaitu 15 kilometer.[16] Jarak yang jauh demikian, akan membuat kesulitan pengangkutan hasil-hasil pertanian dari daerah yang subur itu.

Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan lajur kereta api Banjar-Cilacap adalah pembangunan di daerah Dayeuh Luhur. Daerah ini merupakan daerah yang berair berupa rawa-rawa dan apabila musim hujan merupakan sarang nyamuk malaria. Sejak dulu, daerah Dayeuh Luhur sudah dikenal sebagai sarang nyamuk malaria. Pada tahun 1872/1873 daerah Dayeuh Luhur oleh dinas pengairan dan pengukuran akan dibangun jalan militer dari Cilacap menuju Banjar. Pada saat pengukuran banyak korban yang berjatuhan sebagai akibat serangan penyakit malaria. Bahkan seorang insinyur mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri menggunakan tembakan pistol sebagai akibat tidak kuat menahan penyakit malaria yang dideritanya. Bahkan di daerah ini terdapat mitos yang dipercaya oleh masyarakat yaitu apabila ada orang masuk ke daerah tersebut akan ditangkap oleh buaya dan dijadikan budak raja buaya yang berada di Rawa Lakbok. Mitos ini menjadikan daerah tersebut dianggap angker oleh masyarakat.[17]

Ketakutan tentang banyaknya kematian di daerah Dayeuh Luhur ketika pembangunan jalan kereta api, menurut de Ram jangan dijadikan alasan untuk tidak membangun lajur ke arah daerah tersebut. Sebuah proyek besar, menurut de Ram membutuhkan pengorbanan. Pemecahan yang dilakukan untuk menangani daerah Dayeuh Luhur menurut de Ram yaitu dengan cara mengurug tanah rawa-rawa dan meninggikan tanah yang akan digunakan jalan kereta api. Tanah-tanah tersebut diambil dari penggalian daerah sekitar. Hasil galian tanah ini, dapat dijadikan kanal yang berfungsi untuk irigasi di daerah Dayeuh Luhur.

Pembangunan irigasi di daerah Dayeuh Luhur menurut de Ram dilakukan untuk kepentingan pengembangan pertanian di daerah tersebut. Tanah-tanah di daerah tersebut cocok untuk ditanami. Pada saat musim kering, tanah-tanah di daerah Dayeuh Luhur mengering dan merupakan lahan subur untuk pertanian. Dengan adanya lajur kereta api yang melewati daerah Dayeuh Luhur, maka ke depan akan memberikan dampak pada pengembangan daerah tersebut.[18]

Pembangunan kareta api Banjar-Cilacap membutuhkan dana yang lebih kecil dibandingkan dengan lajur Banjar-Parigi. Anggaran yang dibutuhkan bagi lajur Banjar-Cilcap sebesar f. 4,45 ribu perkilometernya. Panjang lajur Banjar-Cilacap maksimal 60 kilometer. Keseluruhan dana yang dibutuhkan bagai pembangunan Banjar-Cilacap sebesar f. 2.700.000,00. Sedangkan untuk pembangunan jalan kereta api Banjar-Parigi membutuhkan keseluruhan anggaran sebesar f. 4.860.000,00 dengan panjang jarak 82,5 kilometer. Dengan demikian, sisa anggaran keseluruhan rencana pembangunan lajur Banjar-Parigi dengan dikurangi keseluruhan anggaran pembangunan Banjar-Cilacap, dapat digunakan untuk mengembangkan daerah Dayeuh Luhur.[19]

Berdasarkan hasil analisisnya, de Ram akhirnya berpendapat bahwa tujuan pembangunan jalan kereta api Banjar-Cilacap bertujuan yaitu pertama mendorong perkembangan ekonomi daerah Priangan tenggara dan sebagian keresidenan Banyumas. Kedua akan membuka peluang untuk menanami suatu daerah luas yang terbengkalai. Ketiga pembukaan daerah Dayeuh Luhur akan membebaskan Cilacap dari wabah penyakit malaria sebab penyakit ini menghambat kemajuan pelabuhan Cilacap. Keempat menekan biaya pembangunan jalan kereta api Banjar-Parigi dan kelebihan dananya dapat digunakan untuk mengembangkan daerah Dayeuh Luhur.[20]

Penolakan Terhadap Usulan Lajur Banjar-Cilacap

Rencana pembangunan kereta api Banjar-Cilacap sebagaimana diusulkan oleh Lambert de Ram ditolak oleh Insinyur Kepala Dinas SS di Jawa. Lambert de Ram menurut Insinyur Kepala Dinas SS di Jawa tidak pernah datang ke Jawa, sehingga de Ram tidak tahu kondisi sesungguhnya di Jawa. Hubungan langsung Banjar-Cilacap sangat sulit untuk dilaksanakan dan kalaupun dibangun membutuhkan biaya yang sangat mahal.[21]

Secara teknis mungkin bisa dilakukan pembangunan jalan kereta api ke daerah Daerah Dayeuh Luhur. Akan tetapi kondisi alam Dayeuh Luhur yang  merupakan daerah yang berawa dan sering menjadi rendaman air ketika musim hujan, akan memakan biaya yang sangat besar yang disebabkan oleh kesulitan keadaan daerah tersebut. Kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam pembangunan yaitu pengeringan air, tidak adanya bahan bangunan, pencarian tenaga kerja dan akan memakan korban yang banyak bagi pekerja yang akan bekerja di daerah tersebut. Daerah Dayeuh Luhur merupakan sarang nyamuk malaria terutama ketika musim hujan. Nyamuk malaria ini akan menjadi wabah penyakit yang mematikan bagi para pekerja.[22]

Lambert de Ram membandingkan jumlah anggaran yang dikeluarkan antara pembangunan Banjar-Kalipucang-Parigi dengan beberapa pembangunan tram di Jawa Timur dan Cirebon. Menurut Insinyur Kepala Dinas SS di Jawa, perbandingan yang dilakukan oleh de Ram tersebut merupakan cara yang salah. Kondisi geografis antara daerah yang dilalui pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi dengan di Jawa Timur dan Cirebon-Semarang jelaslah berbeda. Lajur di Jawa Timur dan Cirebon-Semarang merupakan daerah yang datar. Sedangkan daerah yang dilalui Banjar-Kalipucang-Parigi merupakan daerah yang tidak datar, daerah pegunungan. Pada daerah pegunungan dibutuhkan pembangunan jembatan dan terowongan. Bahkan dalam lajur Banjar-Kalipucang-Parigi terdapat terowongan yang memiliki panjang 1 kilometer. Pada daerah yang cukup sulit,  pembayaran upah tenaga kerja menjadi lebih besar dibandingkan pada daerah yang datar. Upah pekerja yang tinggi dan pembangunan jembatan dan terowongan merupakan faktor yang menyebabkan anggaran pembangunan Banjar-Kalipucang-Parigi menjadi lebih besar dibandingkan dengan pembangunan di Jawa Timur dan Cirebon-Semarang.[23]

Atas dasar penilaian dari Insinyur Kepala Dinas SS di Jawa, maka usulan Lambert de Ram mengenai pembangunan kareta api dari Banjar langsung ke Cilacap tidak dilaksanakan.

Usulan Lajur Kalipucang-Kawunganten

Setelah penolakan usulan pembangunan Banjar-Cilacap, maka pada tahun 1911 pembangunan jalan kereta api jalur Banjar-Kalipucang-Parigi mulai dilaksanakan.  Hampir kurang lebih satu tahun sedang berjalan, pembangunan Banjar-Kalipucang mendadak diberhentikan. Pemberhentian disebabkan oleh adanya usulan untuk membangun lajur dari Kalipucang ke Kawunganten, sebuah daerah menuju arah timur dari Kalipucang. Usulan tersebut disampaikan oleh Inspektur sementara SS Radersma.

Adapun alasan utama pembangunan lajur tersebut yaitu adanya keinginan untuk membangun jarak yang lebih pendek dari Kalipucang ke Cilacap yaitu sekitar 21 km.[24] Selain itu, Radersma melihat adanya perkembangan daerah Priangan Selatan.  Lajur Kalipucang-Kawunganten, akan mengembangkan dua daerah sekaligus, yaitu Priangan Tenggara dan Priangan Selatan. Radersma merasa ragu terhadap kelayakan Banjar-parigi seperti rencana semula.[25] Lajur Kalipucang-Kawunganten dapat memperpendek jarak pengangkutan baik dari Priangan selatan maupun tenggara menuju pelabuhan Cilacap. Pada lajur yang lama (Banjar-Kalipucang-Parigi), untuk menuju pelabuhan Cilacap terlebih dahulu harus menuju Banjar. Jarak ini terlalu jauh dibandingkan dengan lajur yang melalui Kalipucang-Kawunganten.[26]

Atas dasar usulan tersebut, Radersma, van Stipriaan Luiscius dan insinyur kepala van Zuylen, pada tanggal 6 Agustus 1912, mengintruksikan agar memberhentikan pembangunan Banjar-Kalipucang yang sedang berjalan. Radersma, kemudian menginstruksikan untuk melakukan pengukuran dari  Kalipucang ke Kawunganten. Lebar spoor yang digunakan yaitu 0,60 meter, jadi merupakan jalan trem. Trem yang dibuat yaitu dari Banjar – Kalipucang, dan, dari Kalipucang ke Cilacap.[27]

Lajur Banjar-Kalipucang, yang berhenti pembangunannya kemudian dilakukan pengukuraan ulang. Ketika pengukuran dilaksanakan, terjadi kesulitan pada pembangunan lajur Banjar-Kalipucang kalau menggunakan lajur yang lama. Medan pada lajur yang lama ternyata tidak cocok dengan pemasangan rel yang baru (0,60).  Rel yang baru lebih kecil dengan ukuran rel yang sudah direncanakan pada lajur yang lama (Banjar-Kalipucaang-Parigi). Lajur yang lama lebih cocok dengan ukuran rel yang lebih besar atau rel normal yaitu 1,067. Untuk dapat memasang rel yang lebih kecil (0,60), harus membuat lajur tersendiri. Ketidakcocokan pemasangan rel tersebut merupakan satu kesulitan. Penggalian daerah baru demi pemasangan rel yang lebih kecil berarti pengulangan pekerjaan penggalian. Apabila ini dilaksanakan, maka akan memakan biaya yang lebih besar.

Pembangunan kereta api ke arah barat Kawunganten mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut disebabkan daerah yang akan dilewati lajur Kalipucang-Kawunganten terdapat lereng gunung yang ditumbuhi hutan dan merupakan daerah perbukitan. Pada daerah ini terdapat batuan andesit yang keras, yang hanya bisa dibancurkan dengan dinamit. Selain itu, lajur yang dilewati Kalipucang-Kawunganten terdapat daerah yang kurang sehat bagi para pekerja.[28] Daerah yang dilewati terdapat daerah rawa-rawa yang merupakan sarang nyamuk malaria.[29]

Daerah yang sulit ini dalam pembangunan lajur Kalipucang-Kawunganten akan berakibat tingginya biaya pembangunan.  Tingginya pembangunan tersebut disebabkan oleh penggalian tanah yang sulit dan tingginya upah tenaga kerja. Pada daerah yang sulit, tenaga kerja biasanya menuntut upah yang tinggi. Resiko yang paling buruk yaitu para pekerja kabur dari tempat kerja. Mereka kabur disebabkan tidak kuat menghadapi wabah penyakit yang dapat menimbulkan kematian.

Wouters, sebagai kepala proyek pembangunan Kalipucang-Kawunganten, mengusulkan kepada pemerintah untuk membangun lajur Kawunganten-Kalipucang-Parigi. Pada lajur ini digunakan ukuran rel yang normal. Dia mengusulkan pula membangun Kalipucang-Banjar dengan menggunakan ukuran rel yang kecil.[30] Akan tetapi, berdasarkan hasil pengukuran pada lajur yang diusulkan Wouters, ternyata biaya yang dibutuhkan tetap lebih besar dibandingkan dengan pembangunan berdasarkan hasil pengukuran pada lajur yang lama (Banjar-Kalipucang-Parigi).[31]

Kritik Terhadap Usulan Lajur Kalipucang-Kawunganten

Rencana pembangunan jalan kereta api Kalipucang-Kawunganten mendapat kritikan yang cukup keras. Kritik tersebut datang dari Asisten Residen Sukapura dan Insinyur Kepala Proyek Pembukaan lajur di Sumatera selatan.

Asisten Residen Sukapura memberikan kritikan terhadap pembangunan lajur tersebut. Rencana pembangunan Kalipucang-Kawunganten mengakibatkan diberhentikannya pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang. Pemberhentian ini menurut Asisten Residen Sukapura menjadi beban masyarakat setempat. Ketika ada kabar rencana pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang, masyarakat di sekitar pembangunan lajur tersebut banyak melakukan aktivitas. Penduduk banyak menggarap lahan, menanam tembakau, membuka lahan sawah dan lahan perkebunan kelapa. Aktivitas ini dilakukan dengan harapan mendapatkan sarana pengangkutan yang murah dan cepat dengan menggunakan kereta api.  Adanya alat angkutan kereta api diharapkan dapat meningkatkan kehidupan ekonomi penduduk sekitar. Peningkatan aktivitas dilakukan juga oleh para pengusaha perkebunan Eropa. Mereka semakin banyak menanamkan modalnya dengan menambah dan membuka lahan perkebunan.[32]

Penundaan pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang sebagai akibat adanya rencana pembangunan Kalipucang-Kawunganten, menurut Asisten Residen Sukapura, akan menjadi beban baik bagi penduduk maupun para pengusaha perkebunan. Para pengusaha perkebunan akan mengalami kesulitan dalam pengangkutan baik untuk angkutan pencarian tenaga kerja maupun angkutan hasil perkebunannya.[33] Padahal mereka telah memperluas lahan perkebunannya. Sedangkan bagi penduduk aktivitas yang telah ia lakukan menjadi beban, karena hasil pertaniannya sulit dijual.

Pembangunan kereta api Kalipucang-Kawunganten bertujuan untuk mengembangkan daerah Priangan selatan. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan di Priangan selatan dapat diangkut langsung ke pelabuhan Cilacap. Menurut Asisten Residen Sukapura, daerah Priangan selatan belum terlalu berkembang, belum banyak menghasilkan sesuatu yang berarti. Perkembangan daerah Priangan selatan masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkembang. Oleh sebab itu, belum saatnya pada daerah tersebut dibangun lajur kereta api. Sebaliknya, lajur kereta api harus dibangun melewati daerah Priangan tenggara. Daerah ini subur, lahan pertaniannya banyak menghasilkan serta banyak perkebunan-perkebunan. Di samping itu, daerah Priangan tenggara penduduknya relatif padat. Lajur yang semula dibangun yaitu Banjar-Kalipucang, menurut Asisten Residen Sukapura merupakan lajur yang tepat untuk dibangun, karena lajur ini melewati daerah Priangan tenggara.[34]

Daerah yang dilewati lajur Kalipucang-Kawunganten, menurut Asisten Residen Sukapura  merupakan jalur mati. Daerah-daerah yang dilewati merupakan daerah yang tidak potensial secara ekonomi. Lapisan tanahnya buruk, kebanyakan berupa rawa-rawa dan sering terjadi banjir. Sungai-sungai yang berada di daerah tersebut dan mengalir ke arah laut sering mangalami pasang surut. Akibatnya akan mengganggu jalur rel kereta api. Sedangkan di daerah-daerah yang dilewati rencana jalur sebelumnya (Banjar-Kalipucang-Parigi) merupakan daerah potensial secara ekonomi yaitu tersebarnya perkebunan-perkebunan.  Pengangkutan oleh kereta api pada daerah ini akan membawa keuntungan, sedangkan lajur Kalipucang-Kawunganten akan merugi karena tidak banyak barang yang akan diangkut. Pengalaman telah membuktikan seperti lajur  Kawunganten-Meluwung[35] yang telah dibangun sebelumnya, pada awal-awal pembukaan lajur ini mengalami kerugian. Berbeda halnya dengan pembangunan Tasikmalaya-Singaparna. Lajur  ini mengalami keuntungan karena melewati daerah-daerah yang potensial secara ekonomi walaupun jaraknya pendek. Oleh sebab itu, Asisten Residen Sukapura meminta agar menghentikan sambungan rencana pembangunan Kalipucang-Kawunganten dan meneruskan kembali pembangunan lajur Banjar-Kalipucang-Parigi.[36]

Cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pengangkutan pada lajur Banjar-Kalipucang-Parigi menuju ke pelabuhan Cilacap menurut Asisten Residen Sukapura yaitu dengan cara menurunkan tarif. Penurunan tarif ini perlu dilakukan mengingat jarak yang cukup jauh untuk menuju pelabuhan Cilacap dengan menggunakan lajur Banjar-Kalipucang-Parigi.[37]

Kepala Proyek Pembukaan jalur di Sumatera Selatan,  pada mulanya berpikiran ingin membuka lajur Kalipucang-Kawunganten. Pikiran ini timbul ketika, ia ikut terlibat dalam pengukuran Banjar-Parigi pada tahun 1909. Sebagaimana telah dikemukakan, lajur Kalipucang-Kawunganten memiliki jarak yang lebih pendek untuk menuju ke pelabuhan Cilacap daripada harus menuju Banjar terlebih dahulu. Insinyur Kepala Proyek ikut terlibat dalam pengukuran rencana pembangunan Kalipucang-Kawunganten. Pengukuran dilaksanakan dengan naik perahu dari Kalipucang dengan melayari sungai Citandui, melewati Segara Anakan. Dari Segara Anakan mengalir sungai-sungai seperti Kali Putri, Muara Telu, Ciawur dan sungai Cibeureum.

Selama melakukan pengukuran,  Insinyur Kepala Proyek, tidak menemukan dataran tinggi. Dia lebih banyak menemukan daerah yang berupa tanah berawa dan berair, tidak sehat, tanpa penghuni, dan tanpa jalan masuk.  Atas dasar hasil pengukuran tersebut, dia menolak pembangunan kereta api Kalipucang-Kawunganten. Menurut pendapatnya, pembangunan Kalipucang-Kawunganten membutuhkan biaya yang sangat besar karena lahan yang berawa, berair dan tidak sehat sehingga sulit untuk mencari tenaga kerja.[38]

Protes Para Pengusaha Perkebunan Atas Penundaan Pembangunan

Pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi memberikan harapan yang besar bagi para pengusaha perkebunan di daerah yang akan dilewati lajur tersebut. Sebelum jalan kereta api dibangun, para pengusaha perkebunan tersebut mendapat kesulitan dalam hal pengangkutan hasil-hasil perkebunannya dan pencarian tenaga kerja. Jalan kereta api yang akan dibangun tersebut diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh para pengusaha perkebunan.

Salah satu tujuan pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi adalah untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan. Di daerah yang dilalui lajur Banjar-Kalipucang-Parigi,  terdapat perkebunan-perkebunan milik orang-orang Eropa. Perkebunan-perkebunan itu sudah ada sejak tahun 1903, di antaranya yaitu:

  1. Di Batulawang terdapat petak Leuweung Blengbeng seluas 496 bahu, Leuweung Kolot I 529 bahu dan Leuweung Kolot II 501 bahu.
  2. Di Bantardawa terdapat Bantardawa I seluas 346 bahu dan Bantardawa II 536 bahu.
  3. Di Cikaso terdapat Cikaso I seluas 352 bahu dan Cikaso II 541 bahu.
  4. Di Banjarsari terdapat Banjarsari I seluas 492 bahu dan Banjarsari II seluas 541 bahu.[39]

Perkebunan-perkebunan tersebut sebagian besar milik para pemodal dari Inggris. Pembukaan lajur kereta api, akan mempermudah pengangkutan hasil-hasil perkebunan sehingga pengangkutan menjadi lebih murah, dan memudahkan untuk mencari tenaga kerja di perkebunan, karena pada daerah-daerah tersebut sangat sulit mencari tenaga kerja di perkebunan.[40]

Para pengusaha perkebunan sangat mendukung terhadap rencana pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi. Perkebunan Karet Banjarsari terpaksa tidak dapat mendirikan pabrik karet pada daerah yang strategis yaitu di kampung Banjarsari dan dekat rumah Adminstrateur. Tanah di kampung Banjarsari dan rumah Adminstrateur tersebut akan dibangun jalan kereta api. Perkebunan tersebut harus mencari tanah lain untuk mendirikan pabrik karet. Bahkan rumah adminstrateur tersebut harus dipindahkan.[41]

Perkebunan Karet Banjarsari bukan hanya tidak bisa membangun  pabrik pada daerah yang strategis. Sebagian tanah yang dimiliki oleh perkebunan tersebut direlakan untuk dijadikan tempat dibangunnya lajur kereta api. Untuk mengganti lahan yang dipakai jalan kereta api, Perkebunan Karet Banjarsari akhirnya menambah lahan baru seluas 10 bahu. Lahan baru ini akan ditanami tanaman karet yang baru sebagai pengganti tanaman yang telah ditumbangkan demi pembangunan jalan kereta api. Pihak perkebunan bahkan akan menentang apabila pembangunan jalan kereta api tidak jadi.[42] Sikap ini dinyatakan karena betapa pengorbanan telah diberikan demi pembangunan jalan kereta api.

Penundaan pembangunan lajur Banjar-Kalipucang-Parigi ternyata menimbulkan kekecewaan di kalangan penguasaha perkebunan. Dalam pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi terjadi dua kali penundaan. Pertama yaitu ketika adanya usulan pembangunan Banjar-Cilacap dan kedua Kalipucang-Kawunganten. Lamanya penundaan berlangsung hampir empat tahun yaitu sejak dilakukannya pengukuran tahun 1909 dan pembangunan kembali baru dilaksanakan pada tahun 1913. Akibat penundaan tersebut, para pengusaha perkebunan merasa dirugikan. Ketika mendengar akan adanya pembangunan jalan kereta api, banyak para pengusaha perkebunan memperluas areal perkebunannya. Perluasan areal perkebunan tersebut menjadi rugi, ketika pembangunan jalan kereta api ditunda. Dengan adanya penundaan pembangunan maka akan mengalami kesulitan pengangkutan dan pencarian tenaga kerja.[43] Biaya pengangkutan menjadi lebih mahal dan memakan waktu dalam mengangkut kuli dari dan ke Banjar.[44]

Dr. Stoll seorang pengusaha perkebunan Karet Batu Lawang mengajukan protes atas penundaan pembangunan lajur  kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi. Ketika mendengar rencana pembangunan jalan kereta api, dia kemudian memperluas penanaman tanaman-tanaman di tanah perkebunannya. Tanaman kopi dan coklat diperluas 45 dan 50 bahu, sedangkan karet 200 bahu. Akibat penundaan pembangunan jalan kereta api, perkebunannya mengalami kerugian karena hasil-hasil perkebunannya tidak dapat diangkut. Hal lain yang merugikan adalah lajur pembangunan kereta api melewati tanah perkebunannya. Untuk kepentingan pembangunan lajur kereta api, pohon karet yang ada di perkebunan milik Dr. Stoll seluas 6 bahu ditebangi dan pohon-pohon lainnya diberikan tanda dengan cat merah pada saat pengukuran jalan. Akibat penundaan pembangunan jalan kereta api maka perkebunan milik Dr. Stoll mengalami kerugian yaitu  penebangan pohon-pohon karet dan pohon yang telah diberi tanda dibiarkan tidak dipelihara.[45]

Pembangunan Kembali Hingga Penyelesaian

Setelah mendapat kesulitan dalam pengukuran Kalipucang-Kawunganten, F. Van Stipriaan Lucius selaku Inspektur Kepala Dinas Kereta Api di Jawa, kemudian membatalkan rencana pembangunan jalan kereta api Kalipucang-Kawunganten dan melanjutkan kembali lajur Banjar-Kalipucang-Parigi yang telah lama tertunda.

Pemerintah memiliki kepentingan ekonomi dalam pembangunan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi. Pembangunan kereta api pada lajur tersebut bertujuan untuk membuka keterisolasian daerah di Priangan khususnya Priangan tenggara. Daerah yang akan dilewati lajur Banjar-Kalipucang-Parigi memiliki kesuburan tanah dan kekayaan alam yang sangat potensial. Jumlah penduduknya yaitu 38.500 di lembah Priangan Tenggara dan 40.500 di Parigi.[46] Kesuburan tanah di daerah tersebut dapat dilihat dari hasil pertaniannya, misalnya padi. Hasil panen padi perbahu dapat mencapai 50-60 pikul. Padi yang dihasilkan itu dijual dengan harga yang murah yaitu F.1,00 perpikul sedangkan daerah lainnya di  Priangan seharga F.2,50 perpikul. Murahnya harga padi tersebut disebabkan oleh sulitnya sarana lalu lintas untuk pengangkutan.[47]  Bahkan ada padi yang sudah enam tahun disimpan tidak dijual karena mahalnya ongkos transpor. Ada pula yang menyatakan, masyarakat sekitar daerah itu menyimpan padi hingga 10-12 tahun.[48]

Pembangunan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi diharapkan dapat mempermudah pengangkutan hasil-hasil pertanian yang terdapat di Priangan tenggara dan lembah Parigi. Hasil-hasil pertanian tersebut dapat diangkut ke pelabuhan Cilacap. Pada lembah Parigi, hasil-hasil pertanian, dapat diangkut ke Kalipucang kemudian ke Banjar. Dari Banjar kemudian diangkut ke pelabuhan Cilacap.

Lajur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi, tidak hanya akan mengangkut hasil-hasil pertanian. Pengangkutan hasil-hasil perkebunan merupakan salah satu tujuannya. Khususnya di daerah Banjar, sebagaimana telah dibahas banyak tersebar perkebunan-perkebunan milik orang Eropa. Dengan adanya jalan kereta api, pengangkutan hasil-hasil perkebunan ke pelabuhan Cilacap lebih mudah.

Arah pembangunan lajur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi tetap mengikuti lajur semula. Titik awal pembangunan dimulai dari stasiun Banjar yang berada pada lajur Priangan-Cilacap. Pembangunan kembali lajur Banjar-Kalipucang-Parigi dimulai pada bulan Juli 1913. Untuk melakukan pemasangan rel pada lajur yang telah ditetapkan dahulu ternyata mengalami kesulitan. Pengukuran pada lajur tersebut sudah dilaksanakan sejak tahun 1909. Lamanya penundaan pembangunan mengakibatkan sulitnya mengenali kembali tanda-tanda hasil pengukuran. Hal ini disebabkan telah tergenang banjir dan Lumpur dalam waktu yang relatif lama. Akibatnya pembangunan kembali baru bisa dilaksanakan pada bulan November 1913.[49]

Lajur yang dibangun dibagi dalam dua seksi yaitu seksi 1 Banjar-Kalipucang dan seksi 2 Kalipucang-Parigi. Seluruh panjang lajur dari Banjar ke Parigi yaitu 82,5 km. Pembalikan tanah di seksi 1 dimulai pada bulan November 1913. Sedangkan di seksi 2 aktifitas diteruskan dengan pembangunan terowongan besar dan dua terowongan kecil. Ketika terjadi penundaan, seksi 2 tetap berjalan sehingga pembangunan terowongan tersebut melanjutkan pekerjaan yang sudah dilaksanakan.

Arah pembangunan lajur membentang dari Banjar melalui Kalipucang sampai dengan Parigi. Dari Banjar sampai dengan Kalipucang merupakan daerah dataran. Dari Kalipucang untuk menuju ke Parigi merupakan daerah pegunungan. Untuk mencapai Parigi dari Kalipucang terlebih dahulu harus melewati Gunung Kendeng. Gunung ini merupakan salah satu rangkaian dataran tinggi Garut yang menurun terjal ke arah laut. Jarak lajur Banjar-Kalipucang-Parigi sepanjang 82,5 Km.[50]

Jalan yang harus dibangun dari Kalipucang ke Parigi melalui Gunung Kendeng tidak mungkin dibuat dengan cara mengelilingi gunung. Hal ini dikarenakan bukit gunung tersebut sangat tajam menurun ke laut dan tidak membentuk pantai. Alternatif yang harus dilakukan adalah dengan membuat terowongan. Terowongan yang dibuat pada gunung Kendeng ini merupakan terowongan besar dengan panjang sekitar 1 kilometer dan terletak pada ketinggian 58 meter.[51]

Lajur pada seksi 1 lebih dahulu diselesaikan. Prioritas penyelesaian pada seksi 1 dikarenakan daerah yang dilewati pada seksi 1 lebih potensial secara ekonomi dibandingkan dengan daerah yang dilewati pada seksi 2. Pada tanggal 15 Desember 1916 lajur Banjar-Kalipucang telah selesai dan sudah dapat dibuka untuk eksploitasi umum. Pada awal-awal eksploitasi di seksi 1, aktivitas pengangkutan yang dilaksanakan kereta api seharinya ada dua kali. Aktivitas eksploitasi pada seksi 1 ini diharapkan secepatnya sudah bisa mengembalikan sebagian modal yang telah ditanamkan dalam pembangunan.[52]

Setelah menembus gunung Kendeng, maka lajur pembangunan sampai di lembah Parigi. Pembangunan jalan kereta api sampai Parigi dapat diselesaikan pada tahun 1918. Dalam rencana semula, Parigi merupakan titik akhir pembangunan. Pembangunan pada seksi 2 ini dipimpin oleh Insinyur J.K. Lagerwey. Setelah pembangunan sampai di Parigi, ternyata daerah Parigi kurang cocok sebagai ujung pemberhentian. Akhirnya diusulkan kepada pemerintah untuk menambah ujung akhir lajur sejauh 5 kilometer dari Parigi yaitu ke Cijulang. Cijulang dianggap cocok dan strategis sebagai tempat pemberhentian terakhir, karena di tempat ini memiliki lembah yang unik yang dapat meneruskan lajur sampai ke Tasikmalaya atau sepanjang pantai selatan sampai menuju ke Pameungpeuk. Pembangunan dari Parigi ke Cijulang dapat diselesaikan pada tahun 1921 dan dapat dieksploitasi pada tanggal 1 Juni 1921.[53]

Pembangunan lajur kereta api Banjar-Kalupucang-Parigi melewati pegunungan dan ngarai. Pada daerah tersebut, dalam pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi tidak bisa menghindari pembangunan terowongan dan jembatan. Terowongan yang dibangun ada tiga terowongan terdiri dari dari dua terowongan kecil dan satu terowongan besar.

Sebagaimana telah dikemukakan, salah satu terowongan yang panjang yaitu terowongan yang menembus gunung Kendeng. Terowongan ini dibuat karena sulitnya membangun jalan kereta api kalau mengelilingi gunung. Gunung Kendeng ini memiliki bukit yang turun terjal ke laut dan tidak membentuk pantai. Kondisi gunung yang demikian sangat sulit untuk membangun jalan kereta api yang dapat mengelilingi gunung. Pembangunan terowongan merupakan alternatif untuk dapat menembus jalan kereta api dari Kalipucang ke lembah Parigi.

Pembangunan terowongan sudah dimulai pada bulan Februari 1913. Penggalian tanah dilakukan baik pada sisi barat dan sisi timur. Cara kerja pembangunan terowongan tersebut sama seperti pengerjaan terowongan Sasaksaat pada lajur Karawang-Padalarang. Di dalam terowongan ditemukan batuan andesit yang keras. Untuk memecahkan batuan tersebut dilakukan dengan pengeboran menggunakan tangan. Untuk ventilasi dan penerangan di dalam terowongan digunakan lokomobil, penyorot bagi ventilasi dan dynamo untuk penerangan listrik.[54] Terowongan tersebut dapat diselesaikan pada tahun 1916.

Pada lajur pegunungan selain membangun terowongan, terdapat pula ngarai yang harus dihubungkan dengan jembatan. Dalam pembangunan Banjar-Kalipucang-Parigi melewati tiga ngarai besar yang harus dibangun jembatan. Pertama ngarai Cipamotan yang memiliki panjang lajur tengah 310 meter dan kedalaman 38 meter. Kedua, ngarai yang dialiri sungai Cipembokongan. Ngarai ini panjangnya 299 meter, kedalaman 40 meter. Ketiga ngarai di Kabuyutan, memiliki panjang 176 meter dan kedalaman 34 meter.[55]

Pengangkutan bahan-bahan material untuk pembangunan jembatan di tiga ngarai tersebut dilakukan melalui pelabuhan Cilacap. Dari Cilacap dengan menggunakan kapal motor melalui Sagara Anakan, material jembatan diangkut menuju Kalipucang. Berat seluruh kerangka besi jembatan yaitu Cipamotan 689 ton,  Cipembokongan 644 ton, dan jembatan di Kabuyutan 310 ton. Jembatan-jembatan tersebut ditopang oleh pilar batu yang ditembok semen. Fondasi batu dirancang oleh Ir. H.P.E. de Vogel, kepala pembukaan lajur Banjar Parigi.Konstruksi bangunan dirancang di kantor konstruksi SS di Weltevreden. Untuk mengangkut konstruksi bangunan tersebut digunakan lori melalui rel menuju lokasi jembatan. Kegiatan pembangunan jembatan dipimpin oleh Ir. J.H. Janssen kemudian diserahkan kepada G.A. van Straalen.[56]

Pembangunan kembali lajur Banjar-Kalipucang-Parigi mengakibatkan perhitungan kembali anggaran pembangunan. Anggaran baru yang diusulkan yaitu:

  1. Gaji pegawai tetap f.   72.000,00
  2. Gaji bulanan dan harian pegawai sementara f. 238.000,00
  3. Bantuan kesehatan luar biasa f. 91.000,00
  4. Bangunan sementara f. 249.000,00
  5. Peralatan f. 198.000,00
  6. Barang-barang pecah belah f. 718.000,00
  7. Proyek bangunan bawah f. 794.000,00
  8. Proyek bangunan atas f. 259.000,00
  9. Terowongan f. 710.000,00
  10. Papan penyangga f. 112.000,00[57]

Keseluruhan anggaran semula yang diajukan sebelum penundaan sebesar f.4.845.000,00. Akibat penundaan pembangunan, anggaran yang dikeluarkan dalam pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Cilacap mengalami pembengkakan. Pembengkakan anggaran ini disebabkan oleh pertama penghitungan yang semula terlalu rendah dengan tidak melihat kondisi di lapangan. Misalnya dalam anggaran penghitungan pembebasan tanah akan murah dalam kenyataannya mahal, karena banyak ditemukan batuan yang keras yang membutuhkan penggalian yang dalam. Harga bangunan dalam rencana semula dihitung f. 15 per M3. Rendahnya perhitungan ini dikarenakan adanya anggapan bahwa bahan bangunan akan banyak ditemukan pada saat penggalian tanah, seperti pasir dan batuan sungai. Dalam kenyataannya ternyata tidak banyak ditemukan. Pada saat penggalian di daerah pegunungan ditemukan batuan keras atau batu andesit. Jenis batuan ini tidak dapat digunakan untuk bahan bangunan karena tidak tahan panas. Untuk keperluan pasir terpaksa harus memecahkan batu kali dan ditumbuk menjadi pasir.[58]

Penyebab kedua terjadinya pembengkakan anggaran yaitu akibat penundaan itu sendiri. Akibat penundaan ini, daerah yang telah digali telah terendam oleh air dan Lumpur sehingga sulit mengenali tanda-tanda hasil pengukuran. Untuk kembali membangun harus melakukan penggalian kembali. Pekerjaan ini memerlukan pembiayaan kembali. Bahkan banyak para pemborong yang telah siap membangun menjadi rugi karena mereka telah membayarkan uang muka kepada para pekerja sementara pembangunan tidak jadi dilaksanakan. Banyak para pekerja yang pergi dari tempat kerja. Untuk menanggulangi kerugian, para pemborong tersebut akhirnya meminta ganti rugi kepada dinas kereta api pemerintah (SS).[59] Hal ini tentu akan menjadi beban anggaran pembangunan.

Faktor ketiga, yaitu kondisi medan. Medan yang dihadapi pembangunan jalan kereta api Banjar-kalipucang-Parigi, memiliki medan yang berat. Pada daerah pegunungan harus dibangun jembatan dan terowongan. Bangunan-bangunan tersebut membutuhkan dana yang sangat besar. Selain itu, medan yang dilewati terdapat daerah berupa rawa. Pembangunan pada daerah seperti ini sulit untuk mendapatkan sarana angkutan bahan-bahan material dan tenaga kerja. Daerah yang berupa rawa-rawa merupakan sarang nyamuk malaria. Banyak para pekerja yang terkena serangan penyakit tersebut bahkan menimbulkan kematian. Berita penderitaan para pekerja dalam pembangunan merupakan factor yang menyulitkan untuk mendapatkan para pekerja yang baru. Penduduk enggan bekerja pada daerah yang mematikan. Walaupun, ada diantara mereka yang mau bekerja, tetapi mereka menuntut upah yang tinggi.[60] Tingginya upah yang diberikan kepada para pekerja akan menambah anggaran pembangunan.

Keseluruhan anggaran yang dikeluarkan pada akhir pembangunan jalan kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi sampai ke Cijulang menghabiskan biaya f. 9.583.421. Besarnya anggaran yang dikeluarkan ini melebihi anggaran yang semula telah direncanakan yaitu f. 4.846.000,00. Penyebab besarnya pengeluaran anggaran tersebut sebagaimana telah dikemukakan di atas. Jika dibagi dengan panjang seluruh lajur yang dibangun, jumlah anggaran yang dikeluarkan per kilometernya yaitu f. 117.000,00.[61]

Daftar Pustaka

  1. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta :

Agenda nomor 12414/15, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie.

Afschrift De Aanleg Van Een Spoorweg Van Banjar Naar Parigi (dibuat oleh anggota Majelis Rendah Parlemen Lambert de Ram), dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie.

Surat Inspektur Kepala Dinas Kereta Api di Jawa F. Van Stipriaan Luicius tanggal 5 September 1910 Nomor 7124/H ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,

Surat Insinyur Kepala Dinas SS di Java Nomor 12286a/H tanggal 28 Oktober 1912 ditujukan Kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, lampiran dalam, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie

Surat Insinyur Kepala Proyek Pembukaan Jalur di Sumtera Selatan tanggal 21 Juni 1913 ditujukan Kepada Inspektur Kepala Dinas Kereta Api Negara di Jawa, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie

Surat Asisten Residen Sukapura tanggal 3 April 1913 Nomor 2164/40 ditujukan kepada Pimpinan Proyek Pembukaan Rel Banjar-Parigi, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretari.

Surat Insinyur Kepala Proyek Pembukaan Jalur di Sumtera Selatan tanggal 21 Juni 1913 ditujukan Kepada Inspektur Kepala Dinas Kereta Api Negara di Jawa, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie.

Surat dari Perusahaan Karet Batu Lawang tanggal 16 April 1913 No. 2566/40 ditujukan kepada Kepala Proyek Jalur Banjar-Parigi, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie.

Surat Administrateur Perkebunan Karet Bantardawa tanggal 27 April 1913, dalam lampiran Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie.

Surat Adminstrateur Perkebunan Karet Banjarsari Eyken tanggal 1 Mei 1913 ditujukan kepada Asisten Residen Sukapura, lampiran dalam Besluit 15 September 1915 No. 14, Koleksi  Algemeen Secretarie.

Surat Dr. Stoll tanggal 25 April 1913 ditujukan kepada Asisten Residen Sukapura, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie.

Surat Kepala Dinas SS di Jawa tanggal 30 April 1915 Nomor 8608/H ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie.

  1. Koleksi Perpustakaan PT. Kereta Api Indonesia Bandung :

Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij.

Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij.

Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij.

Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925.

Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925.

Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925.

Haarman, J.H.A., “Het Viaduct Over het ravijn Der Tjipamotan In De Lijn In Aanleg Bandjar-Parigi Der Staatsspoor En Tramwegen In Nederlandsch India”, dalam, Mededelingen van Dienst der Staatsspoor en Tramwegen in NI, Tegal : Drukkerij J.de Boer, Nopember 1917.

Verslag der Staatsspoorwegen in Ned. India over Het Jaar 1910, Batavia : Landsdrukkerij, 1911.

Verslag Staatsspoorwegen in Ned. Indie over Het Jaar 1911.

Verslag der Staatsspoorwegen in Ned. Indie over Het Jaar 1913, Batavia : Landsdrukkerij, 1915.

*) Disajikan dalam Seminar Nasional Titik Balik Historiografi Di Indonesia Refleksi Perjalanan Prof. Dr. RZ. Lerissa, 29-30 April 2008, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

[1] Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925, hlm. 141-142.

[2] Ibid, hlm. 142.

[3] Surat Inspektur Kepala Dinas Kereta Api di Jawa F. Van Stipriaan Luicius tanggal 5 September 1910 Nomor 7124/H ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Penulis tidak menemukan sumber alasan mengapa pembangunan jalur tram tersebut tidak jadi dilaksanakan. Kemungkinan pihak yang mendapatkan konsesi untuk pembangunan jalur tram tersebut kekurangan dana untuk pembangunan.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Verslag Staatsspoorwegen in Ned. Indie over Het Jaar 1911.

[12] Afschrift De Aanleg Van Een Spoorweg Van Banjar Naar Parigi (dibuat oleh anggota Majelis Rendah Parlemen Lambert de Ram), dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21] Surat Insinyur Kepala Dinas SS di Java Nomor 12286a/H tanggal 28 Oktober 1912 ditujukan Kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, lampiran dalam, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie, ANRI, Jakarta.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Agenda nomor 12414/15, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[25] Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925, hlm. 154.

[26] Surat Insinyur Kepala Proyek Pembukaan Jalur di Sumtera Selatan tanggal 21 Juni 1913 ditujukan Kepada Inspektur Kepala Dinas Kereta Api Negara di Jawa, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[27] Ibid.

[28] Ibid, hlm. 155.

[29] Surat Asisten Residen Sukapura tanggal 3 April 1913 Nomor 2164/40 ditujukan kepada Pimpinan Proyek Pembukaan Rel Banjar-Parigi, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[30] Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925, hlm. 156

[31] Ibid.

[32] Surat Asisten Residen Sukapura tanggal 3 April 1913 Nomor 2164/40 ditujukan kepada Pimpinan Proyek Pembukaan Rel Banjar-Parigi, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Jalur Kawunganten-Meluwung dibangun merupakan bagian dari pembangunan jalur Priangan-Cilacap.

[36] Ibid.

[37] Ibid.

[38] Surat Insinyur Kepala Proyek Pembukaan Jalur di Sumtera Selatan tanggal 21 Juni 1913 ditujukan Kepada Inspektur Kepala Dinas Kereta Api Negara di Jawa, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[39]Surat dari Perusahaan Karet Batu Lawang tanggal 16 April 1913 No. 2566/40 ditujukan kepada Kepala Proyek Jalur Banjar-Parigi, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[40] Surat Administrateur Perkebunan Karet Bantardawa tanggal 27 April 1913, dalam lampiran Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[41] Surat Adminstrateur Perkebunan Karet Banjarsari Eyken tanggal 1 Mei 1913 ditujukan kepada Asisten Residen Sukapura, lampiran dalam Besluit 15 September 1915 No. 14, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[42] Ibid.

[43] Surat Asisten Residen Sukapura tanggal 3 April 1913 Nomor 2164/40 ditujukan kepada Pimpinan Proyek Pembukaan Rel Banjar-Parigi, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[44] Surat Administrateur Perkebunan Karet Bantardawa tanggal 27 April 1913, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[45] Surat Dr. Stoll tanggal 25 April 1913 ditujukan kepada Asisten Residen Sukapura, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[46] Verslag der Staatsspoorwegen in Ned.Indie over heet Jaar 1910, Batavia : Landsdrukkerij, 1911, hlm. 24.

[47] Ibid. Lihat pula Surat Inspketur Kepala Dinas Kereta Api di Jawa F. Van Stipriaan Luicius tanggal 5 September 1910 Nomor 7124/H ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 14, Koleksi Algemeen Secretarie, ANRI, Jakarta.

[48] Surat Inspektur Kepala Dinas Kereta Api di Jawa F. Van Stipriaan Luicius tanggal 5 September 1910 Nomor 7124/H ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[49]Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925, hlm. 159.

[50] Verslag der Staatsspoorwegen in Ned. India over Het Jaar 1910, Batavia : Landsdrukkerij, 1911., hlm. 22.

[51] Surat Inspektur Kepala Dinas Kereta Api di Jawa F. Van Stipriaan Luicius tanggal 5 September 1910 Nomor 7124/H ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dalamlampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi  Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[52] Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925, hlm.164.

[53] Ibid.

[54] Verslag der Staatsspoorwegen in Ned. Indie over Het Jaar 1913, Batavia : Landsdrukkerij, 1915.

[55] Haarman, J.H.A., “Het Viaduct Over het ravijn Der Tjipamotan In De Lijn In Aanleg Bandjar-Parigi Der Staatsspoor En Tramwegen In Nederlandsch India”, dalam, Mededelingen van Dienst der Staatsspoor en Tramwegen in NI, Tegal : Drukkerij J.de Boer, Nopember 1917, hlm. 4.

[56] Ibid.

[57] Surat Kepala Dinas SS di Jawa tanggal 30 April 1915 Nomor 8608/H ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No. 4, Koleksi Algemeen Secretarie,  Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

[58]Dienst der Staatsspoor en Tramwegen Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe, door S.A. Reitsma,  Weltevreden : Landsdrukkerij, 1925, hlm.159.

[59] Ibid, hlm. 156.

[60] Ibid, hlm.156-157.

[61] Ibid, hlm. 165.

Comments are closed.