Oleh: Dr. Dadang Supardan, M.Pd.
A. Definisi Kreativitas
Konsep kreativitas mempunyai pengertian luas dan beragam (majemuk) serta multidemensional, tergantung bagaimana orang mengamati dan pada dimensi apa ia menyorotinya. Klein (Coleman, l985; 2l5) menyebutnya “Creativity is a broad construct at muthltiple meaning for children, adult, and profesional”. Sedangkan Parnes (l967 ; 6) “Creativity is function of knowledge, imagination, and evaluation” Begitu luasnya cakupan kreativitas Clark (l988 ; 45, 47 ) “creativity showing the integration of the four major areas of human function; thinking – cognitive, feeling – affective, physical/ sensing, and intuitive”. Dengan demikian tidak ada satu definisipun yang dapat dianggap representatif pengertian tersebut. Menurut Amabile (l983 ;3l-32 ) dan Dedi Supriadi (l994; 6) hal ini disebabkan oleh dua alasan. Pertama, kreativitas merupakan konstruk hipotesis yang pada hakekatnya merupakan ranah psikologis yang kompleks, multi dimensional mengandung berbagai tafsiran yang beragam. Kedua, definisi-definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung dasar teori yang menjadi acuan pembuat definisi.
Dalam keragaman definisi tersebut bisa terjadi seseorang menganut definisi secara konsensual maupun konseptual. Secara konsensual berarti menekankan segi produk kreatif itu dinilai dari derajat kreativitas oleh pengamat yang ahli. Hal ini sesuai dengan pendapat Amabile (l983; 3l) mengemukakan bahwa suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang ahli atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu , bahwa itu adalah kreatif. Dengan demikian kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau respons yang dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli.
Berbeda dengan definisi yang bersifat konseptual. Kreativitas dijabarkan dalam kriteria-kriteria tertentu tentang sesuatu produk dinamakan kreatif. Menurut Amabile (l983; 33) sesuatu produk dinilai kreatif apabila; (a) produk tersebut bersifat baru, unik, berguna, benar, atau bernilai jika dilihat dari segi kebutuhan tertentu, (b) lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang belum pernah atau jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Sedangkan menurut Basemer dan Treffingger (l98l; l6l) menyebutnya bahwa produk itu kreatif apabila memiliki tiga kategori; (l) novelty (kebaharuan), (2) resolution (pemecahan) dan (3) elaboration ( kerincian ) serta synthesis (sintesis). Model ini disebut Creative Product Analysis Matrix (CPAM).
Kebaharuan (novelty) diartikan sejauhmana produk itu baru dalam hal; jumlah dan luas proses yang baru, teknik baru, bahan baru, konsep-konsep baru yang terlibat. Termasuk di dalamnya bahwa produk yang dibuat dengan pengalaman /pelatihan yang relatif sama. Juga menimbulkan surprising (kejutan) atau mencengangkan., dan terakhir produk germinal dalam hal dapat menimbulkan gagasan produk orsinal lainnya. Pemecahan (resolution) menyangkut sejauhmana produk itu telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan; (l) valuable, bahwa produk itu harus bermakna, (2) logis, dapat diterima oleh akal sehat dan mengikuti alur berfikir yang dapat dipertanggungjawabkan, (3) berguna, karena dapat diterapkan secara praktis. Elaborasi dan sintesis, dalam dimensi ini merujuk kepada derajat sejauh mana produk itu mampu menggabungkan unsur-unsur baik yang tidak serupa (sama) menjadi sesuatu keseluruhan yang koheren (bertahan secara logis). Untuk mengetahui hal ini terdapat lima kriteria pengujiannya: (l} Organis, produk itu harus mempunyai arti seputar mana produk itu disusun. (2). Elegan, yaitu canggih ataupun mempunyai nilai yang lebih. (3).Kompleks, yaitu berbagai unsur digabung. (4).Dapat dipahami, artinya tampil secara jelas dapat diterima oleh akal sehat. (5). Keterampilan , nampak diperlukannya skill tertentu dalam mengerjakan itu semua.
Berdasarkan penekanannya, definisi-definisi kreativitas menurut Rhodes (l961; 305) yang telah menganalisis lebih dari empat puluh definisi kreativitas dirumuskan dalam Four P’s of Creativity : Person, Process, Press, Product. Kebanyakan definisi kreativitas berfokus pada salah satu dari empat P tersebut atau kombinasinya (Utami Munandar, l995; 36) Creative action is an imposing of ones own whole personality on the environment in a unique and characteristic way” Tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi dalam fokus ini segi “pribadi” atau “person” yang ditekankan dalam definisi tersebut. Begitu juga Guilford (l950) menyebutkan bahwa kriteria kreativitas identitas dengan apa yang disebutnya creative personality yakni those pattern of traits that a characteristics of creative persons. Kepribadian kreatif menurut Guilford mencakup dimensi kognitif (bakat) dan dimensi non kognitif (minat, sikap, dan kualitas tempramental). Menurut tori ini bahwa orang-orang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian yang secara signifikan memang berbeda dengan orang-orang yang kurang kreatif. Dimensi proses tentang kreativitas ini dikemukakan oleh Wallas (l926) dan Torrance (l965). Pendapat Wallas, seperti dikutip oleh Turner (l977:58-59), this account led Wallas to identity four stages in the creative process; preparation, incubation, illumination, and verification”. Sedangkan menurut Torrance (l965: 8) bahwa kreativitas memiliki langkah-langkah metode ilmiah sebagai berikut: “…the process of sensing difficulties, problems, gaps in information, missing elements; making guesses or formulating hypotheses about these deficiencies; testing these guesses and possibly revising and retesting them; and finally in communicating the results”. Definisi kreativitas yang berfokus pada aspek produk kreatif selain Amabile (l983), Besemer dan Treffinger (l98l), juga Haefele (l962) maupun Rogers (l982). Haefele (Utami Munandar, l995; 38) menyatakan kretivitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Definisi Haefele ini menunjukkan bahwa tidak harus/selalu keseluruhan produk kreatif itu “baru”, melainkan bisa juga materi-materinya sudah lama ada sebelumnya, dan produk itu itu harus benar-benar memiliki makna bagi masyarakat. Sedangkan menurut Rogers (l982), mengemukakan bahwa produk kreatif memiliki karakteristik: (l) observabel atau dapat diamati, (2) novelty atau baru, (3) produk itu merupakan hasil kualitas unik individu dalam interaksinya dengan lingkungannya.
Definisi kreativitas yang mengacu kepada aspek “press” atau “dorongan “ ditulis oleh Simpson (l982) yang menyatakan bahwa kreativitas muncul karena dorongan internal; the initiative that one manifest by his power to break away from the usual sequence of thougt. Kreativitas juga muncul oleh adanya dorongan-dorongan eksternal seperti oleh kebudayaan yang kondusif untuk kreatif. Pendapat yang menganut anggapan demikian dikemukakan oleh Silvano Arieti (l976) yang menamakannya sebagai “kebudayaan creativogenic” .Yang dimaksud kebudayaan “creativogenic” adalah suatu kebudayaan yang menunjang , memupuk, dan memungkinkan perkembangan kreativitas, diantaranya: l. Tersedianya sarana-sarana kebudayaan. 2. Keterbukaan terhadap rangsangan kebudayaan, 3. Lebih menekankan pada becoming (menjadi tumbuh ) dari pada being. 4. Memberikan kesempatan bebas terhadap media kebudayaan bagi semua warga tanpa diskriminasi, 5. Tumbuhnya kebebasan atau paling tidak ada diskriminasi ringan setelah pengalaman tekanan dan tindakan yang keras. 6. Adanya rangsangan kebudayaan yang berbeda dan kontras. 7. Toleransi dsn minst terhadap pandangan-pandangan yang berbeda atau divergen. 8. Adanya insentif, penghargaan atau hadiah, 9. Adanya interaksi antara pribadi-pribadi yang berarti.
Dari penjelasan definisi kreativitas yang beragam dan luas itu dapat penulis simpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, ataupun kombinasi-kombinasi baru baik berupa gagasan maupun tindakan nyata yang relatif berbeda, mencerminkan flesibelitas, kelancaran, orsinalitas serta kemampuan untuk mengelaborasikan (memperkaya, mengembangkan, dan merinci) suatu gagasan. Disertai oleh afeksi yang menunjang seperti; rasa ingin tahu, berani mengambil resiko, tertantang oleh kemajemukan, dan imajinatif. Oleh karena itu produknyapun dapat digolongkan bersifat; baru (novelty), pemecahan (resolution, seperti valuable, logis, surprising, serta elaborasi dan sintesis (seperti; elegan, kompleks, dan organis), terutama dalam pembelajaran sejarah baik yang mencakup persiapan, pengembangan, dan evaluasi pembelajaran. Sehingga jika penulis gambarkan secara sederhana pengertian kreativitas dapat penulis deskripsikan sebagai berikut:
B. Hakekat dan Makna Kreativitas.
Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa kreativitas itu mempunyai makna yang amat penting dalam kehidupan manusia. Menurut penulis paling tidak terdapat dua makna secara makro pentingnya pengembangan kreativitas dalam hidup manusia. Pertama, makna yang bersifat manifestasi nilai-nilai etik pertumbuhan diri individu yang berasal dari pengetahuan dan pandangan mengenai hakekat hidup manusia, kedua, adalah makna yang dapat digolongkan dalam teknis sosial sebagai kekuatan sumber daya insani yang handal dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Makna yang bersifat manifestasi nilai-nilai etik pertumbuhan diri indivudu tentang pengetahuan pandangan hakekat hidup dijelaskan oleh Norton (Max Ruindungan, 1996:26-27) yang disebutnya sebagai daimons, yaitu kekuatan dari dalam diri yang menjadi keharusan hidup sekaligus memberi arahan untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan). Berdasarkan teori kebutuhan pokok hidup manusia (Maslow, 1968) bahwa kreativitas merupakan suatu kebutuhan tingkat tinggi, merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya sebagai aktualisasi diri. Orang yang sehat mental, bebas dari hambatan-hambatan, dapat mewujudkan diri sepenuhnya. Hal ini berarti ia berhasil mengembangkan bakat dan kemampuannya yang dapat memperkaya, motivasi, dan menikmati makna hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Fromm (l975: 34) yang menyatakan betapa pentingnya norma kebajikan, yaitu keunggulan dari hakekat manusia. Kebajikan itu sendiri merupakan aktivitas pemanfaatan keunggulan dan kapasitas yang ada mencapai kebahagiaan.
From the nature of man, Aristotele deduces the norm “virtue” ( exellence) is “activity”, by which he means exercise of the functions and capacities peculiar to man. Happiness, which is man’s aim, is the result of “activity” and “use” ; it is not quiescent possesion.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kebajikan itu pada hakekatnya merupakan upaya manifestasi diri manusia, dalam berbagai pengembangan potensi diri agar menjadi lebih manusiawi, serta mencapai fitrahnya sebagai ciptaan-Nya. Disamping itu juga bersibuk diri secara kreatif bukan sekedar memiliki manfaat akan produk-produknya, tetapi juga memberi kepuasan kepada individu itu sendiri yang tak terhingga (Biondi, l972 ; l5).
Sedangkan makna sosial yang terkandung dalam pengembangan kreativitas adalah melalui pengembangan kreativitaslah yang memungkinkan manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Sejarah menunjukkan dalam era pembangunan sekarang ini tak dapat dipungkiri bahawa kesejahteraan dan kejayaan masyarakat maupun negara kita bergantung pada sumbangan-sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi baru masyarakatnya. Kesadaran inilah yang telah mendorong setiap bangsa dan negara untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya yang bersamaan penguatan identitas kebudayaan/kepribadian bangsa. Untuk itu perlu ditumbuh-kembangkan daalam masyarakat kita tentang nilai-nilai dan sikap mental bangsa yang mengacu kepada transformasi budaya industrial-global. Seperti penghargaan akan waktu, orientasi prestasi, profesionalisme, serta kinerja yang aktif – kreatif lainnya. Sebab yang dikatakan kepribadian nasinal itu menurut Soedjatmoko (l976 ; l0 ) :
“…tak lain merupakan endapan refleksi diri terus menerus, sikap mawas diri, usaha merenungkan tentang hakiki dirinya sebagai bangsa., sebagai suatu keaktifan yang tidak ada hentinya. Maka tidak tepatlah kalau kita bicara mengenai kepribadian nasional seolah-olah kepribadian itu merupakan sesuatu benda yang mempunyai bentuk, struktur dan sifat-sifat yang pasti dan tidak berubah. Bahwa kepribadian nasional itu merupakan suatu realitas yang mengungkapkan diri hanya didalam relasi. Ia mempunyai “relatinal objectivity”, yang hanya mengungkapkan diri dalam interaksi sesuatu bangsa dengan realitas sosial , dan dengan pilihan-pilihan serta keputusankeputusan yang harus diambilnya. Oleh karena itu kepribadian nasional itu tidak pernah selesai perwujudannyaq dan tidak bakal final serta tetap bentuknya. Dia senantiasa berubah, atau lebih tepat konfigurasi daripada unsur-unsurnya senantiasa berubah, menurut keperluan vital bangsa itu”
Selain itu juga kebiasaan berfikir kreatif yang menekankan kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai sekarang ini menurut Guilford masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal. Realitas pembelajaran di sekolah-sekolah lebih menekankan kepada berpikir “konvergen”, menekankan pada satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan. Proses pemikiran “divergen”, pemikiran tinggi termasuk berfikir kreatif lainnya jarang dilatih. Hal ini tidak hanya terjadi di Idoneia, tetapi juga di negara-negara lain,m sebagaimana dinyatakan Guilford ( Utami Munandar, l995: l2) dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden American Psychological Association, bahwa:
Keluhan yang paling banyak saya dengar mengenai lulusan perguruan tinggi kita ialah bahwa mereka cukup mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan dengan menguasai teknik-teknik yang diajarkan, namun mereka tidak berdaya jika dituntut memecahkan masalah yang memerlukan cara-cara baru.
Menanggapi keluhan di atas memang sangat beralasan bahwa kreativitas peserta didik termasuk di Indonesia umumnya tidak banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan formal baik di linkungan Dikdasmen maupun Dikti, padahal peranan kreativitas itu sendiri sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Gallagher (1980: 9-13) bahwa secara singkat terdapat empat hal pentingnya pengembangan kreativitas bagi peserta didik.
- Creative learning is importan because it help student’s be more effective when we aren’t around.
- Creative learning is important because it creates possibilities for solving future problem that we can’t even anticipate.
- Creative learning is importan because it may lead to powerful consequences in our lives.
- Creative learning can produce great statisfaction and joy”.
Tentu saja pendapat serupa juga banyak dikemukakan oleh para ahli kreativitas lainnya seperti Rogers (1959) maupun Maslow (1968). Bahkan lebih unik lagi komentar pentingnya kreativitas dikemukakan oleh seorang sejarawan Inggris, Arnold Toynbee (1968: 1) yang menyatakan “To give a fair chance to potential creativity is matter of life and death for any society. This is all important, because the outstanding creative ability of a fairly small percentage of the population is mankind’s ultimate capital asset”.
- Karakteristik Kepribadian Kreatif
Kepribadian kreatif (creative personality) baik menurut Guilford (1950: 444) maupun Amabile (1983: 74-75) pada hakekatnya merupakan “those pattern of traits that are characteristics of creative person”. Menurut Guilford kepribadian kreatif tersebut meliputi karakteristik dimensi kognitif (bakat) dan dimensi non-kognitif (minat, sikap, dan kualitas tempramental). Dimensi kognitif mencakup kelancaran (fluency), fleksibelitas (flexibility), orsinalitas (orginality) ,dan elaborasi (elaboration).
Pertama, mengenai kelancaran (fluency) menurut Guilford (Torrance 1965:298-301) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ideational fluency dan associational fluency. Ideational fluency menurutnya:
… involves the production of many ideas where free expression is encouraged and where quality is not evaluated. We are able to assess this ability by asking individuals or group to produce as many ideas as possible for the improvement of product or new uses of it.
Dengan demikian ideational fluency itu mencakup kemampuan mewujudkan berbagai gagasan secara bebas, baik secara individu atau kelompok. Aktivitas yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan yang menghasilkan berbagai gagasan yang mencoba mengatasi segal hambatan dan kritik. Kegiatan tersebut mendorong timbulnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang menyimpang, liar dan berani, dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat mendorong lahirnya gagasan yang baik dan kreatif. Sedangkan associational fluency, menurut Guilford (Torrance, 1965: 301)
…involves the production of words or ideas form a restricted area of meaning. A simple test item would require a subject to sugest several words as synonyms for a specific word, such as “intelligent”. Responses might include smart, bright, sharp, and keen.
Dengan demikian yang termasuk associational fluency tersebut memiliki cakupan berbagai kemampuan yng luas seperti; (1) menemukenali kata-kata/gagasan yang berhubungan, (2) menemukenali kata-kata/gagasan yang mirip artinya, (3) menemukenali gagasan / kata-kata yang berlawanan, (4) memperpanjang arti kata-kata, (5) menyeleksi beberapa definisi yang tepat, (6) menemukenali gagasan/kata-kata yang tidak relevan, (7) memilih gagasan/kata-kata yang tepat artinya.
Kedua, adalah flexibility, menurut Guilford (Torrance, 1965: 302) juga dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: spontaneous flexibility dan adaptive flexibility. Spontaneous flexibility pada hakekatnya;
… is used in the production of diversity of ideas in a relatively unrestricted situation. This kind of thinking enables a person to keep out of ruts by jumping ready from one train of thought to another in thinking of new uses for some device or product.
Dalam hal ini pola berfikir yang menghasilkan gagasan-gagasan yang beraneka ragam, tidak kaku, tidak dibatasi oleh situasi tertentu. Dalam hal ini pola berfikir di luar kebiasaan seperti; adanya loncatan-loncatan, ataupun rangkaian berfikir tertentu untuk menghasilkan menemukan produk baru banyak dilakukan. Sedangkan adaptive flexibility menurut Guilford (Torrance, 1965: 303) pada hakekatnya “…requires that the conventional problem solving methods which have become unworkable be abandoned in favor of orginal solutions”. Dengan demikian pemikiran problem solving yang konvensional itu ditinggalkan, dan beralih ke pemikiran-pemikiran problem solving yang menggunakan solusi orsinal.
Ketiga, adalah orginality, menurut Guilford (Torrance, 1965: 303), “… involves the production of clever or uncommon responses to specifics situations”. Selanjutnya Guilford mencontohkan menyuruh anak untuk menuliskan “waktu adalah untuk tidur”. Sepintas mungkin kalimat itu janggal, tetapi bagi anak kreatif tulisan itu bisa digunakan untuk sebuah judul cerita taupun karikatur tentang seorang pemalas. Bahkan dalam bentuk lainnya Guilford (Torrance, 1965: 305) mengajukan beberapa contoh pengembangan dimensi orsinalitas,
… through humor is to give student assigments requiring them to tell and write humorous stories, including, jokes, anecdotes, amusing accounts of their own experiences, and imaginary stories. The can be asked to think up funny ending or titles for stories they read.
Ternyata humor tidak saja dapat digunakan untuk pengembangan berfikir yang menekankan orsinalitas tapi juga humor sangat relevan untuk pengembangan “berfikir sensitif”.
Keempat adalah elaborasi (elaboration), menurut Guilford (Torrance,1965: 310) “requires the specification of detail that contribute to the development of a general idea”. Dengan demikian yang dimaksud dengan elaborasi tersebut merupakan suatu rincian ataupun uraian secara spesifik dalam suatu sub-skema yang lebih kecil tetapi dapat dipahami. Selain itu juga termasuk keampuan mengembangkan, menambah, dan memperkaya suatu gagasan.
Selain faktor-faktor intelektual, menurut Guilford (Amabile, 1983: 19) faktor pola khas dari sifat-sifat (traits) kepribadian juga turut menentukan kreativitas seseorang;
In its narrow sense, creativity refers to the abilities that are most characteristic of people… In other words, the psychologist’s problem is that of creative personality…. I have often defined an individual’s personality as his unique pattern of traits. A traits is any relatively enduring way in which person differ from one another. The psychologist is particularly interested in those traits that are manifested in performance; in other words, in behavior traits. Behavior traits come under the broad categories of aptitudes, interest, attitudes, and tempramental qualities… Creative personality is then a matter of those patterns of traits that are characteristic of creative persons.
Penjelasan di atas dapat dipahami karena sifat-sifat orang pada hakekatnya adalah melekat, suatu kecenderungan yang relatif menetap pada diri seseorang yang dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Sifat-sifat perilaku individu itu terdiri atas beberapa kategori, seperti; bakat, minat, sikap dan tempramen. Aspek bakat mengacu kepada kemampuan bawaan sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud (Utami Munandar, 1985: 17). Minat biasanya diartikan sebagai suatu set motivasi yang memolakan, menuntun perhatian seseorang menyukai objek tertentu. Sedangkan tempramen menggambarkan disposisi reaktif atau kecenderungan-kecenderungan emosional seseorang (Chaplin, 1999: 503).
Adapun yang merupakan sifat-sifat bukan bakat (non-aptitude) menurut Guilford (1959: 170-177) mencakup; (1) percaya diri, (2) menguasai masalah, (3) memiliki minat yang luas dan apresiasi kepada kegiatan kreatif, (4) toleran kepada kedwiartian (ambiguitas), (5) berani mengambil resiko, (6) senang bertualang dan mencari hal-hal baru, (7) menyenangi pemikiran yang beragam dan tidak lazim.
Kajian serupa dilakukan oleh Williams (1980) yang merumuskan kreativitas sebagai kemapuan untuk memecahkan masalah-masalah yang melibatkan ciri-ciri kognitif: (1) kelancaran, (2) kelenturan, (3) keaslian, (4) kerincian pemikiran dan gagasan. Didampingi oleh ciri-ciri afektif sebagai berikut: (1) rasa ingin tahu, (2) keberanian mengambil rIsiko, (3) tertantang oleh kemajemukan, (4) imajinatif.
Sedangkan berdasarkan survei kepustakaan, Dedi Supriadi (1994: 56-57) mengidentifikasi 24 ciri kepribadian kreatif, meliputi ; (1) terbuka terhadap pengalaman baru, (2) fleksibel dalam berfikir dan merespons, (3) bebas dalam menyatakan pendapat dan perasaan (4) menghargai fantasi, (5) tertarik kepada kegiatan-kegiatan kreatif, (6) mempunyai pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, (7) mempunyai rasa ingin tahu yang besar, (8) toleran terhadap perbedaan pendapat dan situasi yang tidak pasti, (9) berani mengambil resiko yang diperhitungkan, (10) percaya diri dan mandiri, (11) memiliki tanggung jawab dan komitmen terhadap tugas, (12) tekun dan tidak mudah bosan, (13) tidak kehabisan akal dalam memecahkan masalah, (14) kaya akan inisiatif, (15) peka terhadap situasi lingkungan, (160 lebih berorientasi ke masa kini dan masa depan dari pada masa lalu, (17) memiliki citra diri dan stabilitas emosional yang baik, (18) tertarik kepada hal-hal yang abstrak, kompleks, holistik dan mengandung teka-teki, (19) memiliki gagasan yang orsinal, (20) mempunyai minat yang luas, (21) menggunakan waktu luang untuk kegiatan yang bermanfaat dan konstruktif bagi pengembangan diri, (22) kritis terhadap pendapat orang lain, (23) senang mengajukan pertanyaan yang baik, (24) memiliki kesadaran etik-moral dan estetik yang tinggi.
Studi lain yang dilakukan oleh Utami Munandar (1995:69) bahwa ciri-ciri pribadi kreatif diantaranya; (1) imaginatif, (2) mempunyai prakarsa, (3) memiliki minat yang luas, (4) mandiri dalam berfikir, (5) melit, (6) senang berpetualang, (7) penuh energi, (8) percaya diri, (9) bersedia mengambil resiko, (10) berani dalam pendirian dan keyakinan.
Dari penelaahan hasil-hasil penelitian tentang kepribadian kreatif di atas, perumusan kreativitas dalam penelitian ini lebih difokuskan kepada kemampuan berfikir (kognitif) kreatif seperti Guilford (1959:170-177) kemukakan dengan ciri-ciri kelancaran, kelenturan, keaslian (termasuk suka humor), dan kerincian pemikiran atau gagasan yang terintegrasi dengan kemampuan ciri-ciri sikap (afektif) kreatif sebagaimana diajukan oleh Dedi Supriadi (1994:56-57), yaitu mempunyai rasa ingin tahu yang besar, menghargai fantasi, mempunyai pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh orang lain, percaya diri dan mandiri, memiliki tanggung jawab dan komitmen terhadap tugas, tekun dan tidak mudah bosan, tidak mudah kehabisan akal dalam memecahkan masalah, kaya akan inisiatif, memiliki citra diri dan stabilitas emosional yang baik, tertarik kepada hal-hal yang abstrak, kompleks, holistik, dan mengandung teka-teki, serta memiliki kesadaran etik-moral dan estetik yang tinggi.
- Teori- Teori Kreativitas yang Menjadi Acuan dalam Penelitian Ini
Terdapat beberapa kelompok teori yang menjelasklan tentang kreativitas dapat didekati menurut pengelompokannya. Paling sedikit lima model teori yang digunakan untuk menelaah kreativitas, walaupun kebanyakan diantaranya lebih bersifat tumpang tindih. Untuk lebih jelasnya kita ikuti beberapa pengelompokan teori kreativitas yang sering dijadikan acuan penelitian kreativitas.
Gowan (1972) mengklasifikasikan teori kreativitas menjadi lima klasifikasi yang diasumsikan pada kontinum dari rasional ke irasional, di antaranya: (1) kreativitas sebagai kognitif, rasional, dan semantik, (2) kreativitas sebagai sifat-sifat kepribadian dan aspek keluarga serta lingkungannya, (3) kreativitas sebagai kesehatan mental yang tinggi, (4) kreativitas sebagai “psikologi-Freudian”, (5) kreativitas sebagai eksistensial, psychedelic dan fenomena paranormal.
Menurut Turner (1977: 62-70) teori kreativitas dapat dibedakan menjadi lima pendekatan. Pertama, pendekatan psikoanalitik, kedua; pendekatan asosiasionis, ketiga; pendekatan psikometrik, keempat pendekatan kognitif, dan kelima; pendekatan holistik. Sedangkan menurut Busse dan Mansfied (1980: 91-101) teori kreativitas dapat dibedakan menjadi tujuh kategori, yaitu: (1) kategori psikoanalitik, (2) kategori gestal, (3) kategori asosiasi, (4) kategori perseptual, (5) kategori humanistik, (6) kategori perkembangan kognitif, (7) kategori teori komposit (campuran).
Dalam pembahasan teori-teori kreativitas tersebut, beberapa teori yang relatif sama tidak akan penulis uraikan. Oleh karena itu pembahasan lebih difokuskan pada teori-teori yang memiliki karakteristik berbeda dengan teori lainnya.
Teori kreativitas sebagai perkembangan kognitif. Teori ini didasarkan atas pandangan-pandangan bahwa kreativitas adalah suatu proses yang sekaligus sebagai hasil belajar individu berinteraksi dengan lingkungannnya (Coleman, 1985:215, Turner, 1977: 69-70). Adapun tokoh-tokoh yang tergolong dalam teori ini adalah Guilford, Edward de Bono, Parnes, Osborn, Biondi. Pembahasan kteori kreativitas sebagai fungsi perkembangan kognitif ini dibagi dalam tiga sub-varian; (1) kreativitas sebagai adaptasi manusia dengan lingkungannya, (2) kreativitas sebagai fungsi integratif, (3) kreativitas sebagai fungsi pengalaman perseptual yang bersifat holistik.
Kreativitas sebagai adaptasi manusia dengan lingkungannya, dalam berinteraksi manusia tidak lepas dengan teori perkembangan kognitif yang dikembangkan Piaget (1977: 3) bahwa kreativitas adalah fungsi asimilasi dan akomodasi secara komplementer dalam rangka pembentukan pengetahuan sebagai skemata tindakan untuk mencapai ekuilibrium. Sebab secara fundamental perkembangan kognitif menurut Piaget dipengaruhi oleh tiga proses dasar dalam belajar, yaitu; asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Secara singkat “asimilasi” adalah pemaduan data baru dengan struktur kognitif yang ada, “akomodasi” adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan “ekuilibrasi” ialah pengaturan diri yang berkesinambungan yang memungkinkan individu tumbuh dan berubah menjaga keseimbangan (Bell Gedler, 1991: 315).
Kreativitas sebagai fungsi integratif: Pandangan ini didasarkan atas anggapan bahwa kreativitas merupakan hasil perpaduan perkembangan kognitif dan perkembangan diri. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa teori ini merupakan gabungan dari teori perkembangan kognitif Piaget dan teori afektif Erikson. Teori perkembangan kognitif Piaget, membaginya dalam empat tahapan perkembangan, yaitu tahap sensori motor, praoperasional, operasi konkrit, dan operasi formal (Bell Gredler, 1991: 322). Tahapan-tahapan itu mempunyai kesetaraan posisi dengan tahap-tahap afektif dari Erikson, yaitu; tahap kepercayaan melawan ketidak percayaan, mandiri melawan rasa malu dan ragu-ragu, inisiatif melawan rasa bersalah rajin melawan rendah diri, identitas melawan kekaburan peran. Dari tahapan perkembangan tersebut Gowan 919740 menambahkan tiga tahap dari empat tahap Piaget, yaitu: tahap kreativitas, psikedelia, dan iluminasi. Ketiga tahapan itu mempunyai kesetaraan dengan tahapan-tahaapan afektif dari Erikson, yaitu keakraban, generativitas, dan integritas diri.
Khususnya pada tahap identitas yaitu pada usia sekitar 13 – 18 tahun (masa operasi formal dalam perkembangan intelektualnya) Gowan menyebutnya sebagai tahap Golden Age. Hal ini disebabkan oleh proses kreatif anak mendapatkan dukungan darimperkembangan kemampuan intelektual, yaitu berfikir formal, konseptual, analitis, kritis, dan evaluatif.
Kreativitas sebagai Fungsi pengalaman perseptual yang bersifat holistik: Pada hakekatnya teori ini mengacu kepada teori psikologi Gestalt (Koffka, Kohler, dan Wertheim) yang mengaitkan konsep kreativitas dengan pemahaman (insight). Kreativitas ditanggapi sebagai fungsi gestalt dalam memberi makna kepada bagian-bagiannya.Oleh karena itu menurut Schatctel (1973) bahwa kreativitas adalah metamorfosa dari pengalaman-pengalaman perseptual dan konseptual yang perkembangannya melalui tahap-tahap autosentrisitas. Karena itu pengalaman kreatif dimulai ketika indera seseorang mulai mengamati, meraba, mencium, serta menghayati objek secara total. Lebih jauh Schactel (1973:302) menyatakan bahwa keterbukaan persepsi terhadap objek merupakan syarat mutlak bagi kreativitas, dan menyatakan”… without openess toward the world, the experience will not enlarge, deepen, and make more a live the person”s relation to the world, that is, will not be creative”.
Teori psikoanalitik; pada umumnya teori ini berdasarkan suatu pandangan bahwa kreativitas sebagai hasil mengatasi suatu masalah, yang biasanya mulai dari masa kanak-kanak. Seseorang dipandang kreatif karena mempunyai pengalaman traumatis dengan memungkinkan gagasan-gagasan yang disadari dan yang tidak disadari bercampur menjadi pemecahan inovatif sebagai respon menyikapi tantangan tersebut. Dalam hal ini tindakan kreatif sebagai manifestasi transformasi dari keadaan psikis yang tidak sehat menjadi sehat (Coleman,1985:215, Utami Munandar, 1995: 61). Mekanisme “pertahanan” yang merupakan upaya sadar dalam menghindari kesadaran mengenai ide-ide yang tidak menyenangkan atau tidak dapat diterima dengan menghabiskan energi psikis, biasanya merintangi produktivitas kreatif.
Apabila kekuatan-kekuatan konfliktual itu tidak disublimasikan atau diproyeksikan melalui kemampuan untuk “regress in the service of ego” yang mampu memanggil bahan-bahan dari alam pikiran tidak sadar ke dunia realitas melalui peran ego, maka individu akan mengalami tekanan yang membahayakan kesehatan mentalnya. Adapun tokoh-tokoh yang tergolong kelompok teori ini seperti; Sigmund Freud, Ernst Kris, dan Carl Jung (Turner, 1977: 62-63, Kathena, 1992 : 79).
Teori humanistik: Teori ini melihatnya kreativitas sebagai hasil dari kesehatan psikologis yang tinggi. Kreativitas dapat berkembang selama hidup, tidak terbatas pada lima tahun pertama saja, mengingat kreativitas sebagai fungsi aktualisasi diri (Kathena, 1992: 79, Utami Munandar, 1995: 62 , Coleman, 1985: 215). Kreativitas tidak sekedar prestasi, tetapi lebih mengacu kepada mutu watak pribadi, seperti kebebasan, keterbukaan, keberanian, spontanitas, keaslian, yang peengungkapannya menunjukkan berfungsinya pribadi secara penuh (full fuctioning person). Rogers menekankan bahwa sumber kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme (Utami Munandar, 1995: 32). Tokoh-tokoh pendukung teori ini seperti; Abraham Maslow, Carl Rogers.
Kreativitas sebagai sifat pribadi dan lingkungan yang mempengaruhi: Teori ini berdasarkan pada perpaduan teori psikologis dengan sosiologis, yang oleh Amabile (1983) disebut pendekatan sosial-psikologis, dan oleh Stein (1963) juga disebut transaksional. Asumsi yang mendasari teori ialah bahwa kreativitas individu merupakan hasil proses interaksi sosial, di mana individu dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya.
Dedi Supriadi (1994: 21) menjelaskan bahwa dalam perspektif psikologis lebih melihat kreativitas dari segi kekuatan-kekuatan pada diri seseorang sebagai penentu kreativitsnya, seperti; inteligensi, bakat, minat, dan disposisi kepribadian lainnya. Asumsi yang mendasari pendekatan ini ialah manusia merupakan organisme alloplastik yang mampu mengubah lingkungannya. Dengan kekuatannya tersebut manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan mewujudkan potensi-potensinya, termasuk potensi kreatif. Sedangkan dalam perspektif sosiologis, studi kreativitas lebih melihat betapa dominannya faktor-faktor lingkungan sosial-budaya dalam perkembangan kreativitas. Dalam pendekatan ini menekankan pada hal-hal silmutanitas penemuan-penemuan besar, sistem nilai budaya yang kondusif, semangat zaman (zeitgeist), dan konfigurasi perkembangan kebudayaan serta peradaban. Asumsi yang mendasari pendekatan ini bahwa kreativitas merupakan fungsi dari faktor-faktor penunjang maupun penghambat kreativitas.
Kreativitas sebagai Fungsi Kemampuan Berfikir Kreatif dan Asosiatif: Teori ini dipelopori oleh Guilford (1956) yang mempelajari psikometris mengenai kreativitas berdasarkan teori “Structure of Intelect” (SOI) manusia. Dalam teorinya Guilford menggambarkan SOI dalam bentuk kubus tiga dimensi yang terdiri dari dimensi; operasi (dengan unsur-unsur kognisi, memori, berfikir konvergen, berfikir divergen, dan evaluasi), dimensi produk, (terdiri dari unit, kelas, relasi, sistem transformasi, dan implikasi), dimensi konten terdiri dari figural, semantik, simbolik, dan perilaku ( Gallagher, 1984: 272).
Yang menarik dari teori ini; pertama, bahwa berfikir divergen sering disebut berfikir kreatif. Berfikir divergen adalah berfikir memberikan macm-macam kemungkinan jawaban berdasarkan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian, yang meliputi; fluency, flexibility, orginality, dan elaboration. Kedua, bahwa kreativitas sebagai fungsi “asosiatif”. Menurut Turner (1977: 64) yang dimaksud kreativitas sebagai fungsi asosiatif adalah kemampuan menghubung-hubungkan berbagai objek, pengalamann, informasi, benda, dan pengetahuan dengan kondisi baru dari sesuatu yang sebelumnya sudah ada. Dalam teori ini bahwa befikir kreatif itu pada hakekatnya merupakan proses pembentukan unsusr-unsur asosiatif, yang gagasan-gagasan satu sama lainnya mulanya berjauhan ataupun “mutual remote ideas”, kemudian digabung ke dalam suatu bentuk kombinasi baru yang lebih bermakna. Teori ini dikembangkan oleh Mednick (1962), dalam penjelasannya ia menyatakan bahwa untuk mencapai pemecahan secara kreatif tersebut, harus didukung oleh tiga syarat.
Pertama, kesanggupan untuk menemukan (serendripity), yaitu kesanggupan untuk menemukan hubungan dengan sifat-sifat kepribadian kreatif sepert; motivasi, kemauan, kapasitas mental, kesediaan kuat untuk menemukan sesuatu yang baru. Kedua, adalah kemiripan (similarity) yaitu adanya kemampuan untuk menemukan pola-pola yang mirip untuk dijadikan sesuatu yang dapat dianalogikan. Ketiga, adalah perantara (mediation), yaitu perlu adanya unsur-unsur umum, pengalaman maupun pengetahuan yang dapat menunjang. Dengan demikian perlu adanya media untuk mencapai asosiasi kreatif tersebut.
Dari uraian beberapa teori kreativitas tersebut jika dikaitkan dengan penelitian ini akan lebih condong mengikuti alaur teori kognitif yang didukung oleh teori sosial-psikologis. Secara singkat yang mendasari pemilihan kedua teori tersebut: Pertama, bahwa kreativitas guru sejarah dalam proses pembelajarannya tidak lepas dari suatu proses yang sekaligus sebagai hasil belajar individu terhadap lingkungannya, baik sebagai pengembangan kognitif, asosiatif, yang trintegrasi dalam usaha adaptasinya. Kedua, bahwa dalam kreativitas pembelajaran, faktor-faktor psikologis (seperti bakat / prestasi akademik, motivasi) ikut memberikan kontribusi kreativitas guru sejarah disamping faktor-faktor sosial (seperti pendidikan dan pengalaman bekerja). Keduanya berinteraksi dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Namun demikian tidak berarti teori-teori lain tidak diikutinya, karena batas-batas teori kreativitas diatas satu sama lainnya bersifat “permeable” dan kadang-kadang tumpang-tindih.
E. Hubungan Kreativitas dengan Kebudayaan dalam Sejarah
Banyak ahli menyebutkan bahwa kreativitas pada hakekatnya merupakan suatu
produk dari suatu proses “interaksional – sosial – psikologis “ (Amabile: l983 Stein : l967, Campbell; l986 , Olson: l989 ). Hal ini dapat dipahami karena kreativitas jika dikaji lebih jauh kausalitasnya juga merupakan hasil proses interaksi antara faktor-faktor internal yang bersifat psikologis dengan faktor-faktor eksternal yang bersifat sosio kultural.
Dua faktor ini saling komplementer dalam proses kreativitas. Artinya kreativitas berkembang berkat serangkaian proses interaksi sosial; yakni antara individu dengan potensi kreatifnya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkunganb sosiokulturanya dimana ia hidup. Sebaliknya individu dan masyarakat tidak pernah berada dalam kondisi yang vakum dari perubahan sebagai proses dari suatu kreativitasnya. Karena itu kreativitas merupakan fenomena individual dan fenomena kolektif sosio-kultural , dalam arti kreativitas disamping merupakan proses psikologis sekaligus merupakan proses kultural (kebudayaan).
Dalam kaitannya kreativitas merupakan proses psikologis – sosiobudaya tersebut kita dapat mengikuti pendapat para ahli psikologi maupun antropologi budaya. Kedua-duanya menunjukkan bukti –bukti yang kuat keterkaitan dan saling melengkapi teori-teori kreativitas. Dari sisi kalangan ahli psikologi, berdasarkan hasil penelitian di tujuh negara (Amerika Serikat, Australia, Samoa, Jerman Barat, India, Yunani, Filipina ), Torrence (l973) menemukan bukti bahwa faktor sosial- budaya secara signifikan mempengaruhi arah perkembangan kreativitas, tingkat berfungsinya kreativitas, dan jenis fungsi kreativitas yang memperoleh pemupukan. Dalam budya tertentu perkembangan kreativitas bersifat kontinu, sedangkan pada lingkungan yang penuh tekanan terjadi proses diskuntinuitas. Kontinuitas kreativitas hanya terjadi dalam lingkungan budaya yang terus memberikan kebebasan dan rangsangan untuk mengeksploitasikannya disertai dengan kebebasan dan keamanan secara psikologis. Simonton (l978) yang memusatkan perhatiannya pada kondisi kebudayaan penunjang atau penghambat munculnya tokoh-tokoh unggul kreatif seperti Shakespeare, Michelangelo, Beethoiven, Aristotreles, dan sebagainya. Simonton membuat perbedaan kritis antara dua tahap dalam kehidupan “pencipta” yaitu: (l) Kejadian sosiokultural yang dapat mempengaruhi terhadap masa produktivitas “pencipta” (misalnya keadaan perang dan dampaknya terhadap karya seseorang pada titik karir tertentu), (2). Kejadian sosio-kultural yang berpengaruh terhadap masa perkembangan “pencipta”. Tahap kedua inilah yang lebih penting terhadap timbulnya keunggulan. Berdasarkan hasil penelitian Simonton masa perkembangan anak dan remaja sampai kedewasaan cenderung lebih nyata dipengaruhi oleh kejadian-kejadian eksternal daripada masa-masa produktivitas khusus yang kebal terhadap kejadian eksternal, kecuali sakit fisik dan perang. Ia menemukan tujuh peubah (variabel) yang mempengaruhi perkembangan kreatif seseorang, yakni; (a) pendidikan formal, (b)kesediaan model peran, (c) zeitgeist ( semangat jaman), (d). frgmentasi politik, (e). peperangan, (g).gangguan sipil, (g) ketidak stabilan politi. Sedangkan menurut Arieti (l976 : 3l2 – 325) timbulnya keunggulan oleh orang orang-orang yang unggul seperti seniman dan ilmuwan yang kreatif dapat berkembang dengan pesat karena d idukung oleh “kebudayaan Creativogenic”. Yaitu kebudayaan yang menunjang, memupuk dan memungkinkan perkembangan kreativitas. Menurut Ariti terdapat sembilan faktor sosio-kultural yang creativogenic; l. Tersedianya sarana-sarana kebudayaan. 2. Keterbukaan terhadap rangsangan kebudayaan, 3. Penekanan pada “becoming “(menjadi tumbuh) tidak hanya pada “being”. 4. Memberikan kesempatan bebas terhadap media kebudayaan bagi semua warga, tanpa diskriminasi. 5. Tumbuhnya kebebasan atau paling tidak hanya diskriminasi ringan setelah pengalaman dan tindakan yang keras. 6. Keterbukaan terhadap rangsangan-rangsangan budaya yang berbeda, bahkan merupakan kontras. 7. Toleransi dan minat terhadap pandangan yang divergen. 8. Interaksi antara pribadi-pribadi yang berarti, 9. Adanya insentif, penghargaan atau hadiah. Jika dibandingkan pendaapat Simonton dengan Arieti tersebut dapat dijelaskan demikian: Kesimpulan Simonton tentang pentingnya kondisi sosio-kultural terhadap perkembangan kreativitas pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh perkembangan kreativitas yang menekankan aspek formal dalam pendidikan, dan kurang menekankan kebutuhan akan tokoh unggul yang dapat menjadi model peran. Sedangkan Arieti dalam memberikan komentarnya hubungan genius (kreativitas tinggi) dengan kebudayaan : menunjukkan di satu sisi bberpandangan bahwa genius dibentuk juga oleh kebudayaan; ia melihatnya pribadi yang sangat kreatif bukan sekedar kepribadian yang hanya ukuran dari ungkapan dan manifestasi kebudayaan maupun sebagai representasi yang mengekspresikan budayanya. Sedangkan di pihak lain ia berpendapat bahwa kebudayaan itu sendiri “dibentuk “ atau “dicipta” oleh genius. Baik Simonton maupun Arieti keduanya mengakui bahwa genius mempunyai potensi untuk menjadi unggul dan pemupukannya melalui kreativitas. Demikian pandangan-pandangan ahli psikologi tentang pentingnya dan kaitan antara kreativitas dengan kebudayaan yang begitu melekat (inherent) tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Untuk memahami lebih lanjut bagaimana tanggapan dari para ahli sosio-kultural terhadap konsep kreativitas, kita ikuti pendapat-pendapat para ahli ilmu antropologi dan ilmu sosial lainnya. Upaya besar pertama kali untuk mengkaji kreativitas dalam perspektif perkembangan kebudayaan dilakukan oleh seorang antropolog Kroeber tahun l9l4 yang ditulis dalam bukunya Culture of Grow (Dedi Supriadi, l994 :65 ). Dalam penelitiannya itu Kroeber mencoba melacak faktor-faktor yang berkaitan dengan pengelompokan orang–orang genius pada periode waktu dan tempat tertentu dalam sejarah khususnya sejarah Barat berdasarkan konfigurasi waktu, ruang, dan derajat prestasi suatu peradaban. Kesimpulan yang dia tarik dalam penelitian tersebut bahwa munculnya para jenius dalam sejarah merupakan refleksi dari pola perkembangan nilai-nilai budaya yang sangat kondusif. Studi Kroeber tersebut dikaji kembali oleh Gray (l966) yang menekankan peran dominan kebudayaan dalam kreativitas. Kajian Gray difokuskan terhadap kebudayaan Yunani-Romawi (Graeco-Roman) hingga menjelang meletusnya Perang Dunia II. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan kreativitas para tokoh kreatif faktor-faktor ekonmi, sosial, politik. Jika tiga faktor tersebut mencapai kejayaan yang bersamaan waktunya, maka terjadilah mayor peak atau puncak keemasan, seperti pada zaman Yunani-Romawi (Renaissance). Sebaliknya jika dari tiga faktor tersebut mengalami kemandegan satu atau dua diantaranya maka akan terjadi minor peak. Upaya serupa juga dilakukan oleh Narol (Dedi Supriadi, l994 : 66). Bedanya dengan Gray, Narol tidak hanya meneliti kebudayaan Barat, tetapiu juga kebudayaan Timur seperti di India, Cina, dan Timur Tengah. Mereka mengungkapkan bahwa ada periode-periode tertentu dalam suatu lingkup berbeda mencapai puncak-puncak keemasan kreativitasnya yang diindikasikan dengan munculnya pemikir-pemikir dan seniman –seniman termasyur seperti Lao-tse, Kung-Fu-tse (Confucius), Meng- tse (Mencius), Rabindranath Tagore, Mahatma Gandhi, J.H.Nehru, Ibnu Qaldun, Al Khawarizmi, Al -Idrisi, Al-Ghazali, dan sebagainya. Hal yang istimewa dalam kajian tersebut bahwa kejayaan dan kemandegan kreativitas pada setiap lingkup kebudayaan dan peradaban tidaklah sama, sehingga momentum kreativitas secara keseluruhan dapat dipertahankan , dikembangkan dan diwariskan secara estafet.
Demikian hubungan kreativitas dengan kebudayaan yang begitu erat dan komplementer, dimana kreativitas merupakan fenomena sosial budaya yang yang sekaligus juga merupakan fenomena psikologis. Di satu sisi kreativitas merupakan produk-produk prestasi individu yang kreatif, dan disisi lain penilaian kreativitas suatu masyarakat tertentu juga tidak dapat diukur dan disejajarkan dengan masyarakat yang lebih maju, sehingga kreativitas suatu masyarakat tertentu juga tetap mempunyai makna yang sangat berarti dalam hidup dan kehidupannya.
Tidak berlebihan jika Arasteh & Arasteh (l976: 84) menjelaskan hubungan kreativitas dengan kebudayaan itu diungkapkan dalam kalimat:“Culture is nothing more than accumulative creative product perpetuaded in certain forms, man cannot grow without representatives. Than the interrelatednessof culture, man, and creativity gives meaning to life”
Namun perlu juga diketahui bahwa daalam biografi tokoh-tokoh kreatif tidaklah sempurna. Sebagai manusia biasa tidaklah selalu memiliki sejarah yang cemerlang ataupun sukses dan serba “sempurna”. Banyak diantara di antara mereka memiliki kekurangan yang tidak sedikit, seperti; kesulitan mengeja, berbicara, lamban menangkap informasi, tuli-bisu, over-aktivitas ataupun gangguan emosi lainnya. Akan tetapi rintangan-rintangan itu tidak membuat mereka berputus asa. Yeats dan Shaw yang gagu; Einstein, Pae dan Rontgen yang pernah dipaksa keluar dari sekolah; Franklin, Picasso dan Adler yang tidak pintar dalam matematika; Thomas Alva Edison yang menduduki peringkat terbawah dalam kelasnya; Vincent van Gogh; Edgar Allan Poe, Beethoven dan Mozart, adalah orang-orang neurosis. Rintangan-rintangan fisik dan emosi tidak juga merupakan suatu alasan untuk mengentikan cita-cita kreatifnya. Louis Pasteur telah membuat banyak penemuan besar setelah ia mendapat serangan otak yang merusaknya separoh otaknya (Olson, l989 : 48 – 49).
F. Visi Kreatif dalamTransformasi Budaya dan Pendidikan
Menurut Bell (1973) masyarakat pasca-industri diramalkan sebagai suatu tipe masyarakat yang lebih menekankan pada produksi jasa, bukannya barang-barang. Sementara masyarakat industri memberi jasa-jasa dalam bidang seperti transportasi, pelayanan, telekomunikasi, dan industri,maka pada masyaraakat pasca industri, menekankan jasa yang meliputi; kesehatan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, terutama di Amerika serikat dan negara maju lainnya.
Munculnya suatu masyaraakat pasca- industri, akan mencakup terjadinya suatu transformasi besar daalam masyaraakat dunia umunya. Jika suatu masyaraakat industri didasarkan pada harta benda salah satu indikatornya, maka pengetahuan teoritis akan terjadi suatu teori nilai kerja sampai kepada suatu teori nilai pengetahuan. Perubahan dalam dasar kehidupan sosial ini juga ditandai oleh adanya suatu perubahan dalam struktur kelas. Kelas sosial baru yang dominan bukan lagi suatu kelas borjuis pemilik harta benda, tetapi suatu “intelegensia sosial”; suatu kelas maupun individu yang mendominasi bentuk-bentuk pengetahuan teoritis seperti para guru, dokter, pengacara, ilmuwan, insinyur , dan profesi keilmuan lainnya
Penadapat Bell (1987; 3-9) lainnya yang menarik beliau mengatakan bahwa dunia memperlihatkan dua kecenderungan yang berlawanan..Kecenderungan pertama dalam dalam kehidupan ekonomi kelihatan adanya kecenderungan globalisasi. Kecenderungan kedua dalam kehidupan politik yang terlihat ialah kecenderungan “fragmentasi”. Dikatakannya lebih lanjut bahwa konsep nation state rupanya tidak memadai lagi untuk mengadapi persoalan –persoalan masakini dan masa depan. Konsep nation state terasa menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil suatu bangsa dan terlalu kecil untuk menyelesaikan masaalah-masalah besar. Artinya bahwa masalah-masalah kecil harus kita selesaikan secara sub national (lokal), sedangkan masalah-masalah besar kita selesaikan secara supra nasional (regional dan global). Hal ini berarti masyarakat kita dan generasi muda khususnya harus terlatih untuk bergerak secara dinamis anatara empat konteks dalam menghadapi masalah-masalah bangsa, yakni: lokal, nasional, regional, dan global. Pemahaman Ini menuntut adanya pandangan baru, sikap baru, dan mentalitas baru. Sebab dalam konteks regional dan global menurut Mochtar Buchori (l995 : l9) bangsa Indonesia masih menjadi penonton bahkan sering tidak memahami apa yang sedang kita tonton.
Ervin Laslo, seorang profesor filsafat di State University of New York, penasihat Direktur Jenderal UNESCO dan Presiden Klub Budapest serta Sekretaris Jenderal European Culture Impact Research Consortium (EUROCIRCON), menyatakan;
… kedatangan era post-modern yang begitu cepat menyebabkan kita tidak sempat melakukan tinjauan dan praktek mendalam. Dalam banyak hal generasi kita akan berusaha menangani masalah yang timbul di abad ke-2l, tetapi masih dengan cara berfikir dan bertindak abad ke-20. Kondisi ini bisa diibaratkan sebagai hidup di tengah masyarakat industri dengan cara berfikir dari abad pertengahan. Bertindak berdasarkan cara berfikir yang telah tertinggal sangatlah tidak efektif, di tengah struktur sosial dan teknologi yang rapuh, bahkan bisa menjadi berbahaya… Mengembangkan cara berpikir baru menuntut segudang kreativitas. Hidup dalam milenium ketiga tidak hanya sekedar memerlukan perbaikan dalam segi rasionalitas, melainkan perlu dikembangkan suatu pemikiran baru seiring pendekatan baru dalam merasakan dan memandang diri sendiri dan makhluk lain, akan dunia sekitar kita. Kita akan memerlukan nilai-nilai etika serta cara hidup dan bertingkah laku baru,… masyarakat dan alampun berevolusi, berubah dan mengalami transformasi (1999: 137).
Adanya transformasi budaya tersebut menuntut dua aktivitas sekali gus; pertama, pandangan retrospektif (pandangan ke masa lalu) dan kedua ,pandangan prospektif {pandangan ke masa depan} yang melakukan gagasan-gagasaan antisipatoris sifatnya. Carl Rogers, dalam bukunya yang berjudul Toward a Theory of Creativity { Vernon; l973: l7) menyatakan bahwa adaptasi kreatif yang sejati tampaknya hanya menggambarkan kemungkinan cara yang dapat digunakan manusia untuk mengikuti segala perubahan yang berlangsung cepat di dunia ini. Alvin Toffler (l970:28-29) mengamati bahwa perubahan tidak hanya penting bagi kehidupan, tetapi perubahan itu sendiri adalah kehidupan. Sebab dalam kehidupan kita selalu ada perubahan yang sifatnya kodrati. Perubahan-perubahan itu bisa sifatnya evolusi (perubahan secara lamban), revolusi ( perubahan secara cepat dan besar-besaran ) , semuanya itu menunjukkan bahwa dalam hidup dan kehidupan kita ini tridaklah mungkin bisa “menolak’ perubahan. Karena itu tidaklah berlebihan jika Cartwright (l999: 4 ) menyatakan bahwa “culture is the vehicle for human evolution”.
Dalam kerangka kebudayaan sebagai wahana evolusi kehidupan manusia itulah kita dituntut menyikapi perubahan-perubahan itu secara bijak, retrospektif dan antisipatif. Karena hanya dengan informasi yang diolah secra baik dan benar akan menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan hanya pengetahuan yang diolah dengan baik akan menghasilkan kearifan atau kebijakan (wisdom). Tanpa kepandaian mengolah segenap informasi yang ada akan tetap menggunduk menjadi hutan informasi yang tak ada artinya ( Mochtar Buchori , l996; 2). Itulah peran dan fungsinya pendidikan yang diharapkan dalam mengantisipasi kehidupan mendatang , seperti yang yang dijelaskan oleh Kennedy ( l995: 506) yang menyatakan:
…kekuatan untuk perubahan yang dihadapi dunia mungkin berjangkauan begitu jauh , kompleks, dan interaktif, sehinggabmenghendaki tidak lain dari pendidikan kembali umat manusia. Ini bukan kesimpulan baru. Pemikir sosial dari Toynbee hingga Wells secara berulang-ulang telah memperdebatkan bahwa masyarakat global sedang berpacu antara pendidikan dan bencana, dan taruhan lebih tinggi di akhir abad, benar-benar karena tekanan pendidikan, kerusakan lingkungan hidup dan kemampuan umat manusia untuk menimbulkan kerusakan massal, semua itu jauh lebih besar. Karena itu peningkatan peran pendidikan mengandung banyak arti, baik filosofis maupun praktis. Pendidikan dalam pengertian luas berarti lebih banyak memperbaharui tenaga kerja secara teknis, atau munculnya kelas profesional, bahkan dorongan untuk budaya manufakturing di sekolah-sekolah dan universitas untuk mempertahankan basis yang produktif.
Dalam kaitannya dengan transformasi pendidikan di Indonesia, pada hakekatnya perubahan-perubahan pendidikan yang terjadi adalah mengusahakan agar tercapainya pendidikan yang bermutu (quality education) serta pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh bangsa Indonesia, seperti yang telah dirumuskan dalam Tap. MPR RI No.IV (l999: 82-83).
Menyimak tujuan pendidikan tersebut jelas bagi kita, harus segera mengadakan perbaikan-perbaikan dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu dan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pendidik kita harus memikirkan cara-cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kemampuan mendidiknya. Sehingga setiap kali kita berdiri di depan kelas ia tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik., merangsang pertumbuhan kesadaran nilai-nilai pada diri siswa. Idealnya ialah bahwa setiap guru dari waktu kewaktu mampu mengajar dan mendidik secara “inspirerend“, mampu mengilhami para siswa untuk menginginkan hal yang besar dalam dirinya. Hal inilah yang dinamakan pembinaan konatif dan volitif yang seharusnya merupakan kelanjutan dari pembinaan kognitif dan afektif. Kemampuan ini hanya akan tercaapai aapabila guru mempunyai waktu dan peluang untuk “merenung” (Mochtar Buchori,.1996 :25 ).
Transformasi pendidikan, yang pada hakekatnya diliputi oleh berbagai perubahan-perubahan yang menyangkut aspek metodologis (mikro) maupun yang menyangkut sistem (makro), tidak akan mampu memberikan landasan kepada siswa untuk mengembangkan berbagai kemampuan menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks terhadap bangsa ini yang demikian mendesak, terutama yang menyangkut disintegrasi bangsa. Hampir dapat dipastikan bahwa tiap hari para pemuda, mahasiswa, masyarakat selalu hadir terlibat dalam aksi gerakan euforia demokrasi maupun tindakan –tindakan destruktif lainnya. Demonstrasi, pengerahan masa, maupun tawuran demikian longgar dan marak mereka lakukan. Bahkan menurut Mochtar Buchori lebih jauh menyatakan bahwa sekolah-pun tidak akan mampu membedakan “kedaran historis” kepada generasi muda kita. Menurutnya anak-.anak kita tidak mempunyai bayangan mengenai akar-akar sejarah ( historical roots ) dari berbagai persoalan yang kita hadapi sekarang ini. Mereka tanpa memiliki kesadaran sejarah, dan tanpa kesadaran mengenai problematik nasional dan global masa mendatang. Jika kondisi ini tidak segera diubah haluan, kita tidak akan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya. Mungkin kita akan terombang ambing oleh kecenderungan –kecenderungan , fenomena-fenomena yang muncul akibat pengaruh kekuatan-kekuatan global yang serba cepat berubah-ubah ( Mochtar Buchori, l996 : 23-24). Terhadap kecenderungan-kecenderungan masa depan yang berubah-ubah tersebut, yang perlu kita sadari ialah bahwa setiap kecenderungan menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian di bidang pendidikan. Kalau tuntutan-tuntutan itu tidak kita indahkan, maka pendidikan akan ditinggalkan oleh masa depan, dan akan terperangkap oleh masa kini, yang segera akan menjadi masa “kemarin” atatu” masa lampau “ (Mochtar Buchori, l996 : 26 ).
Sejalan dengan pentingnya sikap kritis dan antisipatif menghadapi kecenderungan-kecenderungan perubahan dalam kehidupan yang relatif cepat berubah, perlu dikembangkan pandangan-pandangan filsafat sejarah yang dapat menimbulkan kreativitas guru dalam proses pembelajaran sejarah. Mengingat tidak semua jenis filsafat sejarah yang menyangkut kausalitas dapat menunjang tumbuhnya kreativitas. Sebagai contoh, menurut Carr (l985 : l02) teori “Cleopatra Nose” yang diperkenalkan oleh Bury dengan mengandalkan teori “kebetulan” (accident change) sebagai “tabrakan” (collision), lebih merupakan sebagai intelectuallaziness (kemalasan intelektual) ataupun low intelectual vitality (vitalitas intelektual yang rendah ). Dalam kausalitas peristiwa yang terjadi dikategorikan sebagai peristiwa yang kebetulan belaka, bukan dicari apa penyebab yang dapat diajukan sebagai alasan yang meyakinkan karena dianggap mempunyai relevansi dan signifikansi.
Pandangan serupa juga terjadi dengan pandangan-pandangan seperti; determinism in history yang dipelopori oleh Hegel dan Karl Marx yang menempatkan hanya faktor-faktor tertentu (seperti ekonomi, kelas proletar dan borjuis} yang dapat menjadi faktor prima causa ataupun mono-kausal yang menjadi penyebab dan penggerak peristiwa sejarah. Dengan demikian teori determinisme sejarah ini sangat mengabaikan mulktikausal dan kemauan bebas (free will) manusia. Tidak heran jika teori tersebut banyak ditentang oleh tokoh-tokoh sejarawan lainnya seperti Karl Poper yang menulius buku Poverty of Historicisme (l96l), The Open Society and Its Enemies (l966), The Logic of Scientifical Inevitability tahun l954 (Helius Sjamsuddin , l996 : 243).
Berbeda dengan teori –teori seperti; Covering Law Model yang dikenal dengan nama Propper-Hempel Theory, ataupun Teori Metafora-Analogi Fisher. Dalam teori Covering Law Model yang dikembangkan oleh William Dray, dikenal pula sebagai duktif model atau Propper-Hempel-Theory, beranggapan bahwa setiap penjelasan sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum (general law) atau hipotesis universal (Gardiner, l959:345). Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, ilmu sejarahpun harus bertujuan membuat hubungan kausatif (causative connections) dengan kata lain penjelasan itu diperoleh melalui cara-cara mendeduksikannya dari yang umum ke yang khusus. Oleh karena itu teori memerlukan kreativitas tinggi untuk menentukan baik premis mayor, premis minor maupun konklusinya.
Lain halnya dengan teori Hermeneutika yang termasuk dalam kubu historikalis yang bertolak dari tradisi-tradisi relativisme humaniora, dengan tokoh-tokohnya seperti; Dilthey, Croce, dan Collingwood. Mereka umumnya berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya lebih sesuai dengan bentuk kajian ideografik atau kekhususan partikularistik daripada bersifat nomotetik atau keumuman / generalistik (Lloydd, l988: 6l-63). Teori inilah yang meyuburkan interpretasi dalam sejarah. Sejarawan menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau menempatkan dirinya dalam diri pelaku sejarah (empati), mencoba memahami dan menjelaskan bagaimana pelaku sejarah berpikir, merasakan, dan berbuat.
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa betapa pentingya kita menyadari peranan visi kreatif dalam transformasi sosio-budaya, agar dalam menyiapkan diri menghadapi perubahan-perubahan tersebut dilakukan penuh kesadaran, kreatif dan antisipatip. Oleh karena itu juga tidak salah jika Myers (1989: 40) menyatakan “it will be better to have been raughly right than precisely wrong”.
- Visi Kreatif dalam Wawasan dan Pembelajaran Sejarah
Adalah Aristoteles seorang filsuf Yunani kuno yang pertama kali mengkritik “kekakuan-kekakuan” dalam eksplanasi sejarah, yang dianggapnya terlalu partikularistik dan menyebabkan wacana (discourse) intelektual menjadi kering dan terbatas. Sikap skeptis yang demikian nampak dari ucapannya yang menyatakan betapa tak berartinya “sejarah” yang bersifat menjelajahi problema yang universal dan abadi partikular, khusus dan khas, jika dibanding dengan puisi yang ( Fenley, l990 ; l9 ). Tentu saja yang dimaksud dengan puisi tersebut adalah epik atau kisah kepahlawaanan. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Toltoy penulis novel sejarah “Perang dan Damai” yang merupakan satu karya terbesar pada masanya. Sejarah, kata Tolstoy “tak ubahnya dengan gunjingan para istri tua, dan tak lebih dari kumpulan cerita dan tetek bengek yang tak berguna “(Taufik Abdullah, l996 : l). Dalam penjelasan selanjutnya Taufik Abdullah menyebutnya bahwa Tolstoy menginginkan eksplorasi sejarah itu hendaknya benar-benar reflektif, tentang pergumulan manusia dengan nasibnya. Ia mengharapkan sejarah itu merupakan wacana masa lampau yang bersifat universal dan filosofis, bukan hanya menyibukan diri dengan hal-hal partikular, unik, tetapi tak berkata apa-apa selain sekedar ‘pelipur lara’ dan ‘perintang-rintang hari menjelang petang’ (Taufik Abdullah, l996: l). Tolstoy menganggapnya penulisan sejarah telah gagal memberikan bimbingan untuk memahami kehidupan dan dinamika kemanusiaan.
Terhadap dua pendapat kritikus penulisan dan eksplanasi sejarah tersebut, penulis tidak sepenuhnya menyetuji kritikan tersebut. Karena “novel” atau “epik” bukan rekontruksi sejarah yang diperoleh melalui metode-metode sejarah ilmiah, mengingat tidak didukung oleh sumber-sumber dan fakta-fakta akurat, dan menimbulkan rekonstruksi masa lalu bisa terjadi sangat bertentangan dengan yang sesungguhnya. Selain itu juga sejarawan bukan sekedar “perantara” yang pasif dalam menentukan kejujuran dan kebenarannya. Untuk mencapai kaidah keilmuan, sejarah harus mampu menunjukkan aspek-aspek epistemologi , ontologi, dan aksiologi-nya walaupun memiliki perbedaan karakteristik dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Perkembangan dan kecenderungan baru sebagai dinamika sejarah yang kaya interpretasi dan refleksi kehidupan manusia yang dinamis tanpa mengubah esensi substansi sejarah dengan memperkaya accessories dengan segala variasi kemasannya, hal itu sebenarnya tidaklah menjadi masalah Uraaian impresionistik tersebut pada hakekatnya hanyalah ingin menyampaikan dua hal:
Pertama, penegetahuan dan kesadaran bahwa kelanjutan atau tumbuhnya suatu tatanan sosial yang diinginkan sesungguhnya memerlukan pengalaman bathin yang jauh melampaui pengenalan hidup keseharian, adalah bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan suatu peradaban. Sesuatu yang lain yang melampaui keseharian ini sangat diperlukan. Bukan saja untuk mengatasi masalah hari kini, tetapi juga untuk menjelajahi hari depan yang tak berpeta itu., Kedua ,kearifan yang melampaui keseharian ini bisa didapatkan dari berbagai corak wacana. Jika tidak dalam merekam pengalaman lama, mungkin bisa juga dengan membuat pengandaaian yang imaginatif dari pemahaman tentang kenyataan struktural dan kultural, dan kalaupun ini juga belum memadai siapa dengan pencarian terhadap makna yang tersembunyi dari pengalaman yang empirik itu (Taufik Abdullah, l996 :4).
Dengan menyimak penjelasan di atas, bahwa kesadaran tentang lukisan masa lalu bukanlah merupakan wacana (discourse) intelektual yang bebas, tetapi dalam keterbatasan faktual yang partikular itu juga dapat mengembangkan kebebasan apresiasi dan kreativitas sejarah yang kritis, replektif, dan inspiratif. Dengan demikian pelajaran sejarahpun mestinya tidak “rigid” faktual ataupun partikularistik yang “kering”, terjerumus pada ejekan Tolstoy ataupun pandangan rendah Aristoteles. Karena sejarah sebagai seni (art) yang memberi kenikmatan intelektual. Seni sebagai mode of discource terpantul daalam sistematika penyajian estetis dan kreatif. Sejalan dengan itu dalam dalam pembelajaran sejarah lebih lanjut Taufik Abdullah menyarankan; Pertama, sejarah sebagai bahan pelajaran tidak dibiarkan tergelincir pada kesenderungan antikuariat kisah masa lampau dipelajari hanya sekedar “penglipur lara” atau bahan hafalan yang menjemukan. Kedua, pelajaran sejarah hendaknya menjauhkan diri dari keterangan sejarah (historical explanation) yang ‘ideologis’ tanpa pertanggungjawaban yang rasional. Sebaliknya yang ingin diusahakan dalam pengajaran sejarah tersebut menjadikan pengajaran sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang selalu relevant dengan perkembangan zaman apapun. Sejarah diajarkan dalam landasan pada ideologi bangsa yang dihayati benar, yang mempunyai kepercayaan terhadap hari depan bangsa, harapan the ideology of hope, bukan the ideology fear. Begitu juga jika diingat pendapat Soedjatmoko (l976:l5) yang menyatakan bahwa pengajaran sejarah hendaknya dilakukan sebagai avontuur bersama antara pengajar (guru) dengan peserta didik (siwa) yang mencerminkan suatu aktivitas eksplorasi intelektuan yang kreatif.
Usaha-usaha untuk menempatkan sejarah sebagai sumber inspirasi, adalah hal yang dibenarkan dan sah adanya, baik secara akademis maupun etis. Tetapi perlu dipahami jika seseorang guru maupun sejarawan akan bergerak di bidang ini fokus kajiannya, mau tak mau ia akan tertegun oleh cengeraman presentisme yang sangat menggoda. Memang kecenderungan presentisme bisa terjadi di mana-mana, dan kecenderungan “teleologis” bisa mewarnai usaha rekonstruksi sejarah. Suatu hal yang perlu diingat bahwa presentisme bisa terjadi karena kegelisahan struktural dan kultural hari kini, tetapi juga kegelisahan dari hari depan yang sifatnya normatif. Sejarah dipahami dan dinilai berdasarkan cita-cita yang dipupuk. Penilaian moral sekarangpun dipakai sebagai ukuran menilai masa lalu. Sejarah yang normatif demikian oleh Butterfield disebutnya sebagai “Whig interpretation history” (Taufik Abdullah, l996: 7).
Pada zaman pergerakan nasional peraanan whig interpretation history tersebut demikian besar pengaruhnya dalam proses kebangkitan dan pergerakan bangsa. Karena sejarah bukan saja menjadi pembenaran dari pengingkaran terhadap kekuasaan kolonial yang menindas itu, tetapi juga sejarah sebagai sumber inspirasi dalam pemberi “motivasi,” memupuk semangat kesadaran komunitas baru – apa yang disebutnya sebagai “bangsa”. Hal ini bukan terjadi pada sejarah lahirnya nasionalisme Indonesia saja, tetapi berlaku juga pada lahirnya pergerakan dan nasionalisme bangsa Asia-Afrika maupun di belahan dunia lainnya.
Dalam pandangan ini sejarah adalah sutu romantika kehidupan yang tak henti-hentinya memberikan inspirasi dan memberikan kepuasan kultural. Sejarah merupakan “ladang” inspirasi dan interpretasi bagi generasi berikutnya untuk dapat dijadikan “pemberi” pendapat-pendapat alternatif, rasionalisasi ataupun justifikasi dari keharusan hari kini.
Di Indonesia pendekatan sejarah whig interpretation ini di Indonesia banyak dilakukan oleh Moh Yamin dan Bung Karno. Bung Karno yang tampil di pengadilan kolonial Belanda dalam pidatonya “Indonesia Menggugat” dengan “ “Trilogi Sejarah,” masa lalu gemilang, masa kini gelap (penjajahan), dan masa datang penuh harapan (Bung Karno : l93l). Hanya saja sejarawan dan guru sejarah tidak boleh larut dalam whig interpretation history ataupun membebaskan dirinya dari masalah-masalah teoritis dan lebih cenderung teleologis. Sebab hal ini bisa menimbulkan sejarah sebagai sumber inspirasi kehilangan wibawa sebagai wacana intelektual, mengingat gaya gaya sejarah yang demikian kurang kritis akan sumber-sumber sejarah. Begitu juga dalam pembelajaran sejarah, guru tidaklah terbebas dari isi sumber-sumber dan fakta sejarah. Bagaimanapun seharusnya kebenaran faktual tetap lebih ditentukan oleh kejujuran sejarawan, dan kebenaran faktual mengisyaratkan kebenaran teoritis (Cassirer, l970 : l92)
Sebaliknya guru sejarah juga tidak boleh bersifat terlalu menjejalkan informasi antiquariat dengan nilai-nilai yang sudah ”lapuk” yang memicu keringnya pemahaman siswa dalam kesadaran sejarah kekinian. Kita perlu bercermin dari hasil penelitian Sheldon F.Shaffer (utuk disertasi doktornya) di Kecamatan Turen Kab. Malang tahun l977-l978 bahwa kenyataan nilai-nilai budaya yang disampaikan lewat pendidikan, bukan nilai-nilai budaya yang diperlukan oleh anak didik kita kelak, dimana ia akan dewasa. Melainkan nilai-nilai konvensional yang sekarang berlaku yang didalami dan dipraktekan oleh orang tua dan guru di sekolah. Kesimpulan penelitian Sheldon Shaffer menyebutkan bahwa kegiatan pendidikan dasar disana tidak memberikan pengetahuan nilai, sikap yang diperlukan anak itu kelak untuk hidup daalam abad XXI. Bukan rahasia lagi bahwa bahwa guru selaku pendidik ternyata dikategorikan dalam kelompok konservatif.
Dengan kata lain sejarah sebaiknya tidak sekedar sebagai alat pendidikan, tetapi juga sebagai wacana intelektual tentang masa lampau. Jika sejarah hanya dijadikan sebagaai alat pendidikan semata-mata kita bisa tergelincir dalam hegemoni kekuasaan sebagai implikasi penekanan “sejarah ideologi” yang lebih menitik beratkan pada pencarian arti subjektif peristiwa sejarah (Taufik Abdullah dan Abduracman Surjomihardjo, l985 : 27-28 ). Deskripsi sejarah yang demikian dapat diambil contoh penulisan dan pengajaran sejarah pada jaman Orde Baru dan Orde Lama
Sejarah sebaiknya juga diperlakukan sebagai wacana intelektual tentang masa lampau. Dalam kajian ini sejarah ditempatkan dan harus dilihat tak lain dari hasil rekonstruksi keilmuan yang tak lepas dari kritik eksternal dan internal yang begitu kritis. Disinilah sejarah sebagai ilmu atau akademik memberi penafsiran yang lebih holistik dengan tradisi-tradisi akdemik yang inherent dan lebih objektif. Menurut Taufik Abdullah (l996 :9 ) langkah inilah yang mestinya ditempuh oleh para guru sejarah terlebih dahulu untuk dipahami betul sepenuhnya sebelum menentukan pesan apa yang dititipkan dan strategi pembelajaran macam apa yang digunakan.
Apapun jenis (genre) penyajian sejarah, sebenarnya harus tetap berdasarkan sifatnya yang “selektif” untuk mencapai tingkat significance dan relevance-nya suatu peristiwa yang diajarkan Lomas (Seixas, l994; 281-282) menyatakan: ““One cannot escape from the ide of significance in history. History to be meaningful, depends on selection and this, in turn, depends on establishing criteria of significance to select the more relevant and to dismiss the less relevant”.
Dengan demikian konsep significance dan relevance suatu peristiwa sejarah dapat berfungsi sebagai patokan penentu yang sekaligus bersifat kognitif dan normatif dalam memuaskan topik yang disajikan. Memang sulit untuk menentukan manayang signifikan dan relevan serta mana pula yang tidak signifikan dan relevant. Akan tetapi jika saja kita sebelumny dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman aktualitas yang mengitari diri kita itu diketahui sebelumnya, paling tidak kesulitan kesulitan ini akan tereduksi. Sebagai historiografi microhistory Martha Ballard yang mengisahkan seorang “dukun bayi” atau “bidan” di Ulrich (kawasan Amerika Utara) merupakan kisah yang menarik dan heroik sebagai kajian topik kajian sejarah lokal yang begitu hidup berakar pada masyarakat setempat (Seixas, l994 : 283 – 284). Mungkin bagi anak didik kita juga bisa dianalogikan dengan kajian-kajian sejarah lokal ataupun sosial pemuka-pemuka pelaut, petani, pendiri kota (desa), buruh pabrik, dan sebagainya.
Dengan demikian pembelajaran sejarah pada tahap pertama tersebut diajarkan sebagai sarana untuk memupuk kesadaran akan lingkungan sosial budaya. Melalui pembelajaran sejarah disalurkan pengetahuan dan kesadaran anak didik sebagai bagian komunitas sosial di sekitarnya. Dengan kata lain pada tahap awal ini sejarah yang rasional dikemas dengan suasana epik ataupun cerita kepahlawanan disekitarnya dan bertalian erat dengan kehidupan anak didiknya. Bukan dijejali dengan suatu informasi yang antiquart-sekedar baarang antik yang waalaupun bagus dan mahal tetapi teras asing dan aneh bagi peserta didiknya. Ataupun bukan dengan khotbah-khotbah yang memakai ilustrasi-ilustrasi yang jauh dan muluk-muluk tidak mereka pahami. Jadi pada tahap awal ini jika disimpulkan sebagai tahap rasa keakraban atau sense of intimacy dengan lingkungannya.
Pada tahap kedua, baru disini lebih ditekankan pada sense of history atau rasa hayat sejarah. Pada thap ini diajarkan tentang pergumulan, perjuangan dalam proses historis yang sekaligus juga diperkenalkan dimensi waktu dalam dinamika kehidupan sense of actuality dalam komunitas yang lebih luas. Taufik Abdullah (l996 : ll) menyarankan agar guru-guru sejarah dalam meningkatkan kreativitas pembangunannya lebih banyak menyoroti sejarah sosial dari pada sejarah politik. Sebab dengan cara demikian kreativitas lokal akan menjawab dalam mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkannya. Oleh karena itu tinjauan sejarah pada tahap ini menurut Tafik Abdullah mendekatkan diri pada analisis antropologis disamping ekonomi dengan mengungkapkan jaringan sosio-kulturalnya.
Tahap ketiga ialah sejarah sebagai kegitan akademis yang memberi kemungkinan untuk memahami secara rasional pola dan corak dinamika perubahan zaman. Tentu saja dalam sejarah yang bersifat akademispun terdapat sejarah yang bernuansa memiliki tanggung jawab moralistik keharusan hidup bermasyaraakat. Juga terdapat kajian reflektif untuk masa lalu, kini dan mendatang. Dan, yang terakhir adalah sejarah sebagai sumber inspirasi dan interpretasi, sebagai alat dan penolong terjadinya “dialog kreatif” dengan masa lalunya yang sekaligus sebagai alat untuk memahami dunia “intelligently” (Taufik Abdullah , l996 “ ll).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amabile, TM. (1983), The Social Psychologi of Creativity, New York, Springer Verlag.
Ankersmit, F.R. (1987), Refleksi Tentang Sejarah Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah, Alih bahasa Dick Hartoko, Jakarta, PT. Gramedia.
Arasteh, A.R. & Arasteh, J.D. (1976), Creativity HUman Development, New York, John wiley & Sons.
Arieti S. (1976), Creativity: The Magic Synthesis, New York Basic Books.
Barker Luna (1970), Streaming in the Primary School: Research Report, London: National Foundation for Educational Research 92-92 (275).
Barzum,J (1974) Clio and The Doctors, Chicago.
Besemer S.P. & Treffinger, D.J. (1981) Analisys of Creative Product review and Synthesis Journal of Creative Behaviour, 15 (158-178).
Busse, T.V. dan R.S. Mansfield (1980) Theories of creative process, Journal of Creative Behavior, Vol.14. No.2. pp.91-103.
Capra, Fritjof (2000) Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Penerjemah: M.Thoyibi, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya.
Clark B (1988), Growing Up Gifted , Merrill, Ohio, Publishing Company.
Dedi Supriadi (1994), Kreativitas Kebudayaan dan Perkembangan Iptek, Bandung, Alfabeta.
Felman, R.S.(l992), Elements of Psychology, Mc Graw-Hill.Inc
Froman, E. (1959), The Creative Attitude: In H.H. Anderson (Ed) Creativity and its Cultivation, New York: Harper & Row.
Getzel J.W. andJackson, P.W. (1962), Creativity and Intelegence, New York (72-75, 77,78,90).
Goodlad, J.I.(l994), Educational Renewal: Better Schools, San Fransisco, Jowey-Bass.
Gordon, G (1972), The Identication and Use of Creativiting Abilities in Scientific Organization, In C. Taylor (ed) Climate for Creativity, New York: Pergamon Press (93-94).
Gordon, W.J.J. (1961), Synectics, New york: Harper and Row. (11.101)
Gowan ,J.C.(1972) The development of the creative individual, San Diego: Robert R Knaap.,
Guilford J.P. (1956), The Structure of Intelect, Psychological Bulletin, 53, 267-293.
Guilford J.P. (1959), Three Faces of Intelect, American Psychological Bulletin 14, 469-479.
Haddon F.A. and Lytton, H. (1968), Teaching Approach and the Development of Divergent Thinking Abilition in Primary Schools, British Journal of Educational Psychology 39, 188-190 (92).
Hargreaves, A (1994), Changing Teachers, Changing Times: Teachers Work and Culture in The Postmodern Age, New York, Teachers College Press.
Hudson, L. (1966), Contray Imagination, London Methen, (78,91).
in Children”s Historical Reconstruction ” In American Education Research Journal l992,Vol.29 No.4 pp 837-859
Mc Elvain, J.L. Fretwell, L.N. and Lewis, R.B. (1963), Relationships Between Creativity and Teacher Variability,”Psichological Report 13, 186 (hal. 90).
Mc Intyre, D. Morrison, A and Sutherland, J. (1966), Social and Educational Variables Relating to Teacher’s Assessments of Primary School Pupils, British Journal of Educational Psychology 36, 772-279 (90-177).
Mead M. (1962), WhereEducatiuon Fits In Think 21 (89-90).
Moh. Shochib (1998), Pola Asuh Orang Tua: Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, Jakarta, PT. Rineka.
Montagu, Ashley (1974) The Natural Superiority of Women, London, Routledge & Kegan Paul.
Myers, Norman, (1989) “Environment and Security” dalam Foreign Policy, pp. 33-50.
Osborn, A. (1963), Applied Imagination, New York, Scribners.
Parner S.J. and Brunelle E.A. (1967), The Literature of Creativity (Part 1) Journal of Creative Behaviour I: 52-109 (91).
Parners, S (1975), Asia: Insight in to Creative Behavior, Buffalo, N.Y.: Creative Education Foundation.
Parnes, S.J. (1967), Creative Behaviour Guide Book, New York, Scrbners Sons.
Piers, E.V. (1976), Creativity Dalam Adam (Ed) Understanding Adulesence Current Development In Adolesence Psychology, Boston, Allin and Bacon.
Renzulli, J. (1979), What Makes Giftedness?, Los Angeles: The National/State Leaderships Training Institute on The Gifted and The Talented.
Rich, Andrienne,(1977) Of Women Born, New York: Bantam
Saparinah Sadli dan Soemarti Patmonodewo, (1995) Identitas Gender dan Peranan Gender, dalam T.O. Ihromi Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Shallcross D.J. (1985), Teaching Creative Behavior, Buffalo, N.Y. Bearly Limited.
Sisk, D (1987), Creative Teaching of The Gifted, New York Mc Graw Hill.
Soedjatmoko,(1995),Sejarawan Indonesia dan Zamannya, dalam Historiografi Indonesia:Sebuah Pengantar, Jakarta, PT.Gramedia.
Soedjatmoko,l985), Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang Agama, Kebudayaan, Sosial dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3ES.
Soedjatmoko (l976), Kesadaran Sejarah dan Pembangunan, dalam Prisma N0.7. Tahun V, Jakarta, LP3ES, hal. 9-l6.
Stein, MI (1967), Creativity and Culture dalam R.L. Mooney & T.A. Razik Explorations in Creativity, New York , Harper: 109-119.
Taufik Abdullah dan Abdurachman Surjomihardjo, (1985), Arah Gejala dan Perspektif Studi Sejarah Indonesia dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia.
Torrance, E.P. (1962 b), Developing Creative Thinking Through School Experience, In S.J. Parnes and H.F. Harding (eds) A Source Book for Creative Thinking, New York Charles Scribner’s Sons (67,91,99).
Torrance, E.P. (1962a), Guiding Creative Talent, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall (67,90,100).
Torrance, E.P. (1965), Rewarding Creative Behaviour, Englewood, Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall (67-68,91-92,100).
Toynbee, Arnold, (1968) “Is Amarica Neglecting Her Creative Talents ?” dalam Creativity Across Education, ed. C. Taylor, Ogden, Utah:University of Utah Press.
Treffinger, D. (1986) Thinking Skills and Problem Solving, New York; Centerfor Creative Learning.
Treffinger, D. (1986), Research on Creativity, Gifted Child Quarlerly, 30, 15-19.
Treffinger, D.J. (1980), Encouraging Creative Learning for The Gifted and The Talented, Ventura, Calif: Vontura County Super Intendent of School Office.
Turner, J (1977), Psychology For The Classroom, Methuen & Co. Ltd.
Utami Munandar (1985) Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Penuntun Bagi Guru dan Orang Tua, Jakarta,PT. Gramedia.
Utami Munandar (1995), Mengembangkan Kreativitas Anak Berbakat, jakarta, Depdikbud.
Van Sledright & Brophy (l992) ” Storytelling Imagination , and Faciful Elaboration
Walker,W.J. (1967) Creativity and High School Climate (Abstract and Summary) In J.C. Gowan, G.D. Demos and E.P. Torrance: Creativity: Its Educational Implication, New york, John Wiley (91).
William F (1979), Model for Encouraging Creativity in The Classroom In J. Gowan J. Khatena, & E.P. Torrance (Eds) Educating the Ablest, A Book of Readings, Itasca, Il: F E Peacock Publishers.
William, F. (Ed) (1968), The Creativity at Home and in School, St. Paul M.N.: Mac Lester Creativity Project.
Yamamoto K (1963), Relationship between Creative Thinking Abilities of Teachers and Achievement and Adjusment of Pupils, Journal of Experimental education, 32:2-25.
Yusmar Yusuf (1991), Psikologi Antar Budaya, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.