PERS DAN KRITIK SOSIAL PADA MASA ORDE BARU

DRS. SUWIRTA, M.HUM

Artikel tahun 2002

 

ABSTRAK:

Penelitian ini berkenaan dengan sejarah pers, khususnya surat kabar, pada masa Orde Baru. Sebagai rejim yang kuat dan didominasi oleh militer, pemerintah Orde Baru sangat berkuasa untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan pers. Demikian perkasanya pemerintah Orde Baru sehingga pers tidak mampu secara maksimal memberikan kritik-kritik soal sebagai fungsi utama yang harus diemban pers. Bagi pers yang berani mengkritik pemerintah, resiko pemberedelan dan peringatan menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Dalam kondisi yang demikian pers pada masa Orde Baru benar-benar “tiarap” dan mencari modus operandi baru tentang cara menyampaikan kritik sosial yang luwes namun kena sasaran. Penelitian ini berhasil merekam kritik-kritik sosial yang dilakukan pers pada masa Orde Baru dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah: masa konsolidasi Orde Baru (1966-1974); pemilihan umum (PEMILU) tahun 1971; malapetaka 15 Januari (MALARI) tahun 1974; kasus Tanjung Priok tahun 1984; Petisi 50 tahun 1980-an; dan kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di tubuh BAPINDO (Bank Pembangunan Indonesia) pada tahun 1990-an. Dengan melakukan analisis isi terhadap beberapa surat kabar, di antaranya adalah Mahasiswa Indonesia dan Pikiran Rakyat di Bandung, serta Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, Pelita, dan Republika di Jakarta, penelitian ini menunjukkan bahwa kritik-kritik sosial yang dilakukan pers pada masa Orde Baru itu tetap ada betapapun dengan menggunakan bahasa yang samar-samar dan kritik itu disampaikan dengan cara berputar-putar, tidak langsung ke sasaran. Ada juga kritik yang keras, seperti yang disampaikan oleh mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung dan harian Indonesia Raya di Jakarta, namun nasib pers dengan kritik yang seperti itu justru tragis karena tidak diberi hak hidup oleh pemerintah Orde Baru.

 

Latar Belakang Masalah

Pemerintah Orde Baru lahir dalam suasana krisis ekonomi, kekalutan politik dan huru-hara sosial yang hebat pada pertengahan tahun 1960-an. Dalam kegalauan ekonomi, politik, dan sosial yang luar biasa itu (Brian May, 1978), pemerintah Orde Baru berhasil melakukan konsolidasi kekuasaannya yang ditopang oleh tiga pilar utama: militer, teknokrat, dan birokrat. Jika yang pertama berfungsi menjaga dan mengamankan jalannya pemerintahan; dan yang kedua mengagas dan merancang program-program pembangunan; maka yang terakhir berperan menjalankan dan melaksanakan program-program pembangunan Orde Baru itu dari pusat hingga daerah yang paling bawah (Mochtar Mas’oed, 1989).

Pada masa-masa awal konsolidasi kekuasaannya, pemerintah Orde Baru memanfaatkan pers atau media massa. Pers yang hidup sejak masa Orde Lama dan kurang jelas orientasinya terhadap pemerintah Orde Baru, untuk sementara waktu, dilarang terbit (Edward C. Smith, 1983). Sementara pers yang jelas-jelas mendukung pemerintah Orde Baru – dan kehidupannya jelas-jelas dibidani dan dilindungi oleh militer sebagai kekuatan utama pemerintah Orde Baru seperti harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha – dibiarkan berkembang. Namun dalam rangka untuk menunjukkan citranya sebagai pemerintahan yang demokratis, pemerintahan Orde Baru mengijinkan kembali pers terbit dengan pengawasan yang ketat. Dengan perkataan lain, pemerintah Orde Baru membiarkan pers tumbuh dan berkembang sepanjang kritik-kritik sosial yang disampaikannya tidak terlalu tajam dan mengganggu stabilitas nasional. Konsep “stabilitas nasional” sendiri, dalam banyak hal dan sebagaimana akan ditunjukkan nanti, lebih banyak menurut versi pemerintah dari pada menurut persepsi dan visi kalangan pers.

Dalam perjalanan sejarahnya, pemerintah Orde Baru melalui peristiwa-peristiwa yang penuh dengan gejolak, dinamika, ketegangan dan konflik sosial. Peristiwa-peristiwa itu, karena menyangkut dan berimbas pada kepentingan publik, tentu saja menjadi sorotan pers. Dengan gaya dan caranya masing-masing, pers memberitakan (news) dan menanggapi (views) peristiwa-peristiwa itu sesuai dengan kepentingan dan jati diri pers yang bersangkutan. Terutama Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi, yang dianggap sebagai “nahkoda dalam sebuah kapal besar” yang namanya pers, penting dilihat visi pribadi dan kepentingan-kepentingan sosialnya untuk bisa memahami pandangan pers yang dikelolanya dalam menanggapi suatu persoalan dan kejadian pada zamannya (M. Gani, 1978).

Masa konsolidasi Orde Baru (1966-1974) yang ditandai dengan pencarian legitimasi dan restrukturisasi di segala bidang, merupakan periode yang penuh gejojak dan dinamika. Masalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) seperti nampak dengan mencuatnya kasus SPRI (Staf Pribadi) Presiden, kasus BULOG (Badan Urusan Logistik), dan kasus pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) disorot oleh media massa, terutama mingguan yang paling vokal dari Bandung – dan berusia singkat – Mahasiswa Indonesia. Begitu juga dengan Peristiwa PEMILU (Pemilihan Umum) tahun 1971, disorot oleh media massa terutama yang berkenaan dengan proses perencanaan, pelaksanaan, dan hasil-hasilnya yang dinilai oleh sebagian kalangan pers tidak fair. Dalam hal ini menarik untuk dikaji bagaimana pers di Daerah (Pikiran Rakyat di Bandung) dan pers di Pusat (Kompas di Jakarta) memberitakan dan menanggapi peristiwa PEMILU 1971 itu. Dan last but not list, peristiwa MALARI (Malapetaka 15 Januari) tahun 1974 yang ditandai oleh pertarungan antar elite penguasa dan huru-hara sosial – terutama penjarahan dan pengrusakkan produk-produk Jepang dan kekayaan milik WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan Cina – tidak luput dari pemberitaan dan pandangan media massa. Dalam hal ini menarik untuk mengkaji news and views yang diberikan oleh harian Indonesia Raya dan Merdeka, dua surat kabar dari Jakarta.

Peristiwa lain yang menjadi sorotan pers – dan sumber kritik sosial – adalah peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dan peristiwa lain yang menyertainya, seperti munculnya kelompok oposisi Petisi 50 tahun 1980-an. Peristiwa ini, sangat boleh jadi, dipicu oleh pemaksaan kehendak pemerintah Orde Baru untuk menyeragamkan idologi-politik Pancasila kepada masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia (Abdul Syukur, 2002),  dan klaim pemerintah sebagai pihak yang paling benar dalam memahami dan mengaktualisasikan Pancasila itu (David Jenkins, 1987). Dalam hal ini menarik untuk melihat pandangan dua surat kabar yang berbeda orientasinya terhadap peristiwa-peristiwa itu, yaitu harian Pelita di Jakarta yang kental warna ke-Islam-annya di satu sisi, dan harian Kompas di Jakarta yang dikenal oleh umum sebagai korannya orang-orang Katholik.

Fenomena tahun 1990-an ditandai oleh usaha saling mendekati (raprocement) antara pemerintah Orde Baru yang pada tahun 1970/1980-an memusuhi Islam di satu sisi, dengan umat Islam yang bagaimanapun merupakan mayoritas bagi penduduk Indonesia di sisi lain (Abdul Munir Mulkhan, 1997). Usaha saling mendekati ini ditandai oleh akrabnya penguasa Orde Baru dengan simbol-simbol ke-Islam-an. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini seperti: ucapan assalaamu’alaikum pada saat para penguasa Orde Baru memulai pidato mereka, Presiden Soeharto dan keluarganya menjalankan ibadah haji ke Mekkah, dukungan pemerintah Orde Baru atas didirikannya BMI (Bank Muamalat Indonesia) dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), serta – ini yang juga penting – di tengah-tengah kerasnya pesaingan bisnis dan ketatnya perizinan bagi pers, pemerintah Orde Baru mendorong lahirnya surat kabar baru yang diprakarsai oleh ICMI yaitu Republika di Jakarta. Lahirnya Republika ini menandai babak baru bagi sejarah pers Indonesia, khususnya sejarah pers Islam di Indonesia, setelah “kemarau yang panjang” bagi umat Islam untuk bisa memadukan secara dinamis antara ke-Islam-an, ke-Indonesia-an, dan ke-modern-an (Nurcholish Madjid, 2000).

Republika adalah surat kabar yang betapapun didukung oleh pemerintah Orde Baru tetapi tetap memiliki kritik-kritik sosial yang tajam, terutama dalam kolom catatan pojoknya yang terkenal, “Rehat”. Karena itu ketika kasus-kasus KKN pada tahun 1990-an muncul ke permukaan seperti: kasus KKN di BAPINDO (Bank Pembangunan Indonesia), kasus KKN Keluarga Cendana di MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), dan kasus-kasus KKN lainnya, menjadi menarik untuk mengkaji dan menganalisis kolom catatan pojok Republika, “Rehat” yang kritik-kritik sosialnya dikenal cerdas, menggelitik, dan segar itu.

Atas dasar pokok-pokok pikiran di atas dipandang perlu untuk meneliti dan mengkaji tentang pers dan kritik sosial pada masa Orde Baru. Dengan perkataan lain, mengingat studi tentang kritik-kritik sosial yang dilakukan oleh pers terhadap pemerintah Orde Baru itu dipandang masih kurang, maka penelitian merupakan upaya untuk mengisi kekurangan-kekurangan itu.

Masalah yang Diteliti

Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada pers, khususnya surat kabar, dan kritik-kritik sosialnya dalam menanggapi berbagai persoalan dan kejadian yang dinilai penting pada masa Orde Baru. Kritik-kritik sosial pers itu biasanya nampak tidak hanya dari pilihan berita-berita utama yang diturunkan dan penyajian terhadap isi berita utamanya itu, tetapi juga nampak dari sajian Tajuk Rencana, Catatan Pojok, Karikatur, dan sebagainya. Semua komponen yang disajikan itu merupakan gayawacana (mode of discourse) pers sebagai ciri khasnya dalam memberikan news and views kepada publik.

Tidak semua pers yang hidup pada masa Orde Baru, atau yang sudah tidak hidup lagi, dijadikan fokus kajian dalam penelitian ini. Hal itu disebabkan karena keterbatasan-keterbatasan penelitian juga karena hanya pers yang relevan dengan konteks aneka kejadian atau peristiwa pada masa Orde Baru yang akan dikaji dalam penelitian ini. Beberapa surat kabar, baik harian maupun mingguan, yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Mahasiswa Indonesia dan Pikiran Rakyat di Bandung, serta Indonesia Raya, Merdeka, Pelita, Kompas, dan Republika di Jakarta. Penelitian terhadap beberapa surat kabar ini dilakukan dengan cara mengkaji gayawacana kritik-kritik sosial pers sebagaimana nampak dalam berita utama, analisis berita, tajuk rencana, catatan pojok, dan karikatur yang disajikan dalam menanggapi kejadian dan persoalan pada zamannya. Adapun beberapa peristiwa dan persoalan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: masalah KKN pada masa konsolidasi awal Orde Baru, masalah PEMILU 1971, masalah MALARI 1974, masalah Tanjung Priok 1984, masalah Petisi 50, dan masalah KKN Orde Baru pada tahun 1990-an.

Secara lebih jelasnya, permasalahan yang akan diteliti itu dapat dikemukakan sebagai berikut:

  • Bagaimana surat kabar mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung memberikan kritik-kritik sosialnya dalam menyoroti masalah KKN pada masa konsolidasi awal Orde Baru – seperti masalah SPRI, BULOG, dan TMII.
  • Bagaimana surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung dan Kompas di Jakarta memberikan kritik-kritik sosial mereka dalam menyoroti masalah PEMILU 1971.
  • Bagaimana surat kabar Indonesia Raya dan Merdeka di Jakarta memberikan kritik-kritik sosial mereka dalam menyoroti masalah di sekitar Peristiwa MALARI 1974.
  • Bagaimana surat kabar Pelita dan Kompas di Jakarta memberikan kritik-kritik sosial mereka dalam menyoroti masalah di sekitar Peristiwa Tanjung Priok 1984 dan Petisi 50 tahun 1980-an.
  • Bagaimana surat kabar Republika di Jakarta memberikan kritik-kritik sosialnya, terutama melalui kolom catatan pojok “Rehat”, dalam menyoroti masalah KKN Orde Baru pada tahun 1990-an – seperti masalah BAPINDO dan KKN Keluarga Cendana di MPR.

 

Dari permasalahan-permasalahan yang dikaji tersebut di harapkan penelitian ini dapat memetakan kehidupan pers pada masa Orde Baru di satu sisi, dan di sisi lain dapat menemukan ciri khas pers Orde Baru dalam menjalankan kritik-kritik sosialnya yang khas sesuai dengan jiwa zamannya.

LANDASAN TEORITIK

Untuk memperjelas uraian dan analisa jawaban terhadap permasalahan penelitian, diperlukan sebuah pendekatan dan kerangka teroritis yang tepat.  Pendekatan dan konseptualisasi, terutama dengan meminjam dari Ilmu-ilmu Sosial, dalam penelitian yang bersifat historis itu penting untuk mendapatkan keajegan, kejelasan, dan generalisasi dari struktur kejadian sejarah agar tidak terjebak dalam pertikularisme, eksklusifisme, dan keterbatasan-keterbatasan oleh dimensi ruang dan waktu (Sartono Kartodirdjo, 1992:2-3). Dengan perkataan lain, studi yang bersifat historis itu perlu dibantu oleh berbagai pendekatan dan konsep dari Ilmu-ilmu Sosial agar diperolah pola-pola, kecenderungan-kecenderungan, dan arah gejala perkembangan yang bisa digeneralisasikan sehingga lebih relevan dan kontekstual dengan masalah-masalah sosial kekinian.  Fungsi sosial dan pencerahan pemikiran dari sebuah studi sejarah, dengan demikian, menjadi kenyataan (Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo eds, 1985:ix-xxiv). Sedangkan kerangka teoritis juga penting, di antaranya adalah untuk dapat memetakan persoalan, memberi arah, dan rambu-rambu jawaban yang dideskripsikan dan dieksplanasikan dalam penelitian ini.  Dengan perkataan lain, kerangka teoritis itu diperlukan sebagai alat analisis tentang faktor-faktor kausal, kondisional, prosesual, dan struktural dari fenomena sosio-historis yang sedang dikaji (Sartono Kartodirdjo, 1992:2).

Mengingat penelitian ini memfokuskan kajiannya pada kehidupan dan pandangan pers Indonesia pada masa Orde Baru, maka beberapa istilah dan konsep yang relevan dengan persoalan pers perlu dijelaskan terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan “pers” dalam penelitian ini adalah persuratkabaran sebagai terjemahan sempit dari kata “journalism” (Siegfried Mandel ed, 1962:105). Dengan demikian istilah pers dalam penelitian ini merujuk pada surat kabar harian atau mingguan, dan bukan pada majalah, tabloid atau media elektronika lainnya. Dalam uraian selanjutnya, penting dikemukakan bagimana secara teoritis “hubungan antara pers dan pemerintah di Indonesia” di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana pula secara teoritis “pers dan kritik sosial” itu.

 

Hubungan Pers dan Pemerintah: Kasus Indonesia

Dalam mengamati perkembangan pers, khususnya surat kabar, pada masa Orde Baru – terutama pada masa-masa awal – Taufik Abdullah (1998:vi), sejarawan terkenal dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta, mengemukakan tentang “bulan madu yang singkat” antara pemerintah di satu pihak dengan pers di pihak lain. Pemerintah Orde Baru, yang berhasil menggulingkan pemerintah Orde Lama, membutuhkan dukungan pers dalam proses pencarian format kekuasaan dan legitimasi politiknya. Pemerintah memberikan keleluasaan kepada pers – khususnya pers yang orientasi, visi, dan misinya sejalan dengan ideologi-politik Orde Baru – untuk tumbuh dan berkembang sejalan dengan cita-cita dan kebutuhan zaman.

Apa yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah itu dibuktikan oleh studinya Akhmad Zaini Abar tentang Kisah Pers Indonesia, 1966-1974. Menurutnya, kisah tentang kebebasan pers untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan kritik-kritik sosialnya hanya tumbuh dan berkembang dengan subur pada periode 1966-1974 itu (Akhmad Zaini Abar, 1995:15). Setelah itu, terutama ketika pemerintah Orde Baru berhasil mengatasai masalah MALARI 1974, maka pers Indonesia dalam pengawasan, pengendalian, dan kontrol yang ketat dari pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa akibat dari peristiwa MALARI 1974 itu belasan surat kabar terkena bredel oleh pemerintah. Dan akibat tindakan bredel itu ada beberapa surat kabar dapat hidup dan terbit kembali setelah sanggup memenuhi kemauan dan kepentingan politik penguasa Orde Baru. Sementara surat kabar yang lain ada yang memilih dan membiarkan pers Indonesia “mati semati-matinya” (Mochtar Lubis, 1990:234).

Secara teoritik, ada hubungan yang signifikan antara lemah dan kuatnya kekuasaan dengan besar dan kecilnya kebebasan pers. Dengan perkataan lain, tatkala pemerintah masih lemah dan masih mengkonsolidasikan kekuasaanya, maka kecenderungan pers yang bebas untuk melakukan kritik-kritik dan kontrol sosialnya semakin besar. Demikian pula sebaliknya. Don McQuil (1990:29-30), seorang pakar komunikasi dari Amerika Serikat, menyebutnya dengan “media serba aneka” untuk fenomena yang pertama, dan “media serba tunggal” untuk menunjukkan tiadanya kebebasan pers karena terkooptasi oleh kekuasaan.

Untuk kasus Indonesia, pers yang relatif bebas untuk melakukan kritik-kritik dan kontrol sosialnya itu nampak dari keberadaan dan peranan mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung. Sebagaimana ditunjukkan oleh studinya Francois Lialion (1987) bahwa Mahasiswa Indonesia adalah pers yang berjasa besar dalam mengantarkan pemerintah Orde Baru tanpa ragu-ragu untuk maju menuju ke pusat kekuasaannya di satu sisi, dan di sisi lain berjuang secara keras untuk mengikis sisa-sisa warisan pemerintah Orde Lama di semua lini. Tetapi adalah sebuah ironi, ketika Mahasiswa Indonesia melihat gejala-gejala yang tidak sehat dari regim yang baru didukungnya itu – dengan membentuk SPRI dengan kekuasaan yang luas tanpa dasar akuntabilitas, membiarkan korupsi di tubuh BULOG, memfasilitasi dan melindungi pengusaha Cina dari pada pengusaha pribumi sendiri, serta pembangunan proyek TMII yang dinilai mercusuar – pers ini termasuk yang terkena “kartu kuning” oleh pemerintah Orde Baru. Sebagaimana ditunjukkan oleh gambar karikaturnya yang cerdas, menggelitik, dan segar, Mahasiswa Indonesia digambarkan sebagai sosok seorang mahasiswa yang tengah mewacanakan “demokrasi” di hadapan seorang tentara, namun betapa kagetnya mahasiswa ketika tentara itu mempermainkan gunting untuk memotong lidah mahasiswa yang terlalu banyak mewacanakan “demokrasi”. Mungkin bagi pemerintah Orde Baru – sebagaimana direpresentasikan oleh tentara dalam karikatur itu – “demokrasi” ala Mahasiswa Indonesia dipandangnya sebagai “democrazy”.

Kemauan keras pemerintah Orde Baru dalam melakukan konsolidasi kekuasaannya nampak dalam kasus PEMILU 1971. Dengan mengabaikan suara-suara pers yang kritis, pemerintah Orde Baru merasa berkepentingan dengan kemenangan Sekber Golkar sebagai kendaraan politiknya dalam melanggengkan kekuasaan. Sebagaimana ditunjukkan oleh studinya Ken Ward (1974) tentang PEMILU 1971 – betapapun dari perspektif daerah di Jawa Timur – bahwa pemerintah Orde Baru melakukan taktik politik “buldozer” untuk menggilas siapa saja, termasuk pers, yang menghalang-halangi kemenangan Sekber Golkar dalam PEMILU 1971 itu. Dengan begini sudah bisa diduga bahwa PEMILU-PEMILU selanjutnya pada masa Orde Baru – sebagaimana ditunjukkan oleh studinya William Liddle (1994), seorang ahli ilmu politik dan Indonesianist dari Amerika Serikat – lebih merupakan ritual politik lima tahunan yang bersifat rutin dengan kemenangan yang sudah dapat diduga oleh semua orang: GOLKAR sebagai kekuatan politik yang didukung pemerintah. Mungkin menarik melihat peristiwa PEMILU 1971 ini dengan perspektif lain, yaitu bagaimana pers lokal (seperti harian Pikiran Rakyat di Bandung) dan pers nasional (seperti harian Kompas di Jakarta) memberikan news and views mereka terhadap PEMILU pertama dalam pemerintahan Orde Baru tersebut.

Studi tentang MALARI 1974 sebenarnya sudah banyak dilakukan. Heru Cahyono (1998), misalnya, melihat peristiwa itu sebagai pertarungan segi tiga (triangle struggle) antara kubu Soemitro, Pangkopkamtib; dengan kubu Ali Murtopo, SPRI Politik Presiden; dengan Presiden Soeharto sebagai kekuatan penyeimbang. Pola pergumulan politik semacam ini persis seperti Peristiwa G-30-S 1965, sebagaimana digambarkan oleh banyak pengamat (Ulf Sundaushen, 1987; dan Harold Crouch, 1984). Namun pola yang persis barangkali sebagaimana ditunjukkan oleh Ben Anderson (1980), ketika Indonesianist terkenal dari Amerika Serikat itu menganalis Peristiwa 3 Juli 1946 di mana terjadi pertarungan segi tiga antara kubu PM Sutan Sjahrir dengan kubu opisisi Tan Malaka yang didukung tentara, dengan Presiden Soekarno berada pada posisi di tengah. Akibat dari peristiwa ini, kata Ben Anderson (1980:309), “aura kekuasaan Soekarno semakin bersinar”. Analogi yang sama dapat dikenakan pada peristiwa MALARI 1974 di mana kekuasaan Presiden Soeharto semakin kuat dan mantap.

Namun bagaimana pers menanggapi peristiwa MALARI 1974, nampaknya belum banyak dilakukan. Pers yang merupakan saksi pada zamannya dalam banyak hal juga turut melibatkan diri dalam setiap pergumulan politik. Secara teoritis, pers yang mendukung kubu politik tertentu dan keluar sebagai pemenang dalam pergumulan politik itu, maka ia termasuk pers yang diuntungkan oleh tuntutan zaman. Demikian juga berlaku yang sebaliknya. Dalam konteks ini menarik untuk melihat pers yang kritis dan vokal pada pemerintah Orde Baru, seperti harian Indonesia Raya, dan pers yang akomodatif pada pemerintah – sebagaimana ditunjukkan oleh harian Merdeka – mengalami nasib perjalanan hidupnya yang berlainan. Harian pertama tewas karena dibredel pemerintah dan sebagaimana dikemukakan oleh Pemimpin Redaksinya, Mochtar Lubis (1990:283) dalam salah satu tulisannya, “Menangislah Pers Indonesia”. Sementara pers yang terakhir, Merdeka, tetap eksis betatapun dalam perkembangan kehidupan selanjutnya lebih bersifat “kembang-kempis”.

Dalam studinya tentang “politik militer di Indonesia” baik Ulf Sundaushen (1987) maupun Harold Crouch (1984) menyatakan bahwa profil para perwira militer pada pasca Peristiwa G-30-S 1965 adalah bersifat Jawa, Abangan, dan anti Komunis. Peristiwa-peristiwa yang dihadapi militer Indonesia seperti: pemberontakan PKI di Madiun 1948 dan G-30-S 1965; pemberontakan DI/TII 1949-1962, serta pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958, telah menjadikan korp perwira militer, khususnya TNI Angkatan Darat, sangat kental dengan nilai-nilai ke-Jawa-an, anti Islam, dan anti Komunis. Hal ini berimplikasi pada sikap-sikap politik pemerintah Orde Baru – sebagai pemerintahan yang didominasi oleh militer – pada tahun 1970/1980-an terhadap umat Islam Indonesia. Kasus Tanjung Priok, di mana terjadi konflik yang keras antara umat Islam pada level grass root dengan aparat militer sebagai representasi negara/pemerintah pada tahun 1984, merupakan bukti dari sikap saling mencurigai antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dalam tataran ideologis-politis, sebagaimana ditunjukkan oleh studinya Abdul Syukur (2002), peristiwa itu merupakan akibat dari tidak harmonisnya hubungan pemerintah Orde Baru dengan umat Islam Indonesia mengingat pihak pertama ingin memaksakan kehendak untuk menyeragamkan Pancasila sebagai kerangka normatif yang monolitik.

Bagaimana pers pada tahun 1980-an yang berada dalam pengawasan dan kontrol yang ketat dari pemerintah meliput peristiwa Tanjung Priok tersebut, nampaknya menarik untuk dikaji. Harian Pelita, bagaimanapun, adalah pers dengan komitmen ke-Islam-an yang relatif tinggi – di samping pers Islam yang lain seperti: majalah Panji Masyarakat, Risalah Islam, Al-Muslimin, dan sebagainya. Dan harian Kompas, sebagaimana ditunjukkan oleh tulisan Asvi Warman Adam (2002), adalah “korannya orang-orang non-Islam” – di samping harian Sinar Harapan, majalah Basis, dan sebagainya. Jika dua media massa dengan orientasi yang berbeda meliput sebuah peristiwa yang sama – demikian Astrid Susanto (1990), seorang pakar komunikasi Indonesia menyatakan – maka news and views-nya juga akan berbeda. Hal senada juga berlaku bagi kasus media massa manakala menanggapi peristiwa munculnya kelompok opoisisi Petisi 50 – yang dalam banyak hal juga dipicu oleh peristiwa Tanjung Priok yang berdarah itu – terhadap pemerintah Orde Baru pada tahun 1980-an.

Adalah suatu kenyataan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi masalah patologi sosial yang kronis (Adam Schwarz, 1994:135). Demikian kuatnya gejala korupsi di negeri ini sehingga badan riset atau survey yang bersifat internasional pun sering menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi paling tinggi di dunia. Dan diyakini oleh para pengamat sosial bahwa masalah korupsi di Indonesia ternyata memiliki latar belakang historis yang panjang (Seyyed Hoesein Alatas, 1987; James Scott dan Mochtar Lubis, 1985). Sudah sejak zaman kerajaan-kerajaan tradisional, zaman kolonial Belanda, dan bahkan zaman negara-kebangsaan (nation-state) di Indonesia sampai sekarang, masalah korupsi seakan menjadi “binatang” yang susah dikendalikan. Bahkan pada tahun 1990-an muncul terminologi baru yang setali tiga uang dengan fenomena sosial itu, yaitu KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Rezim Orde Baru (1966-1998) yang semula diharapkan dapat mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa, dalam perkembangan selanjutnya, ternyata menjadi lahan yang subur bagi praktek-praktek KKN yang pada gilirannya merontokkan rezim itu dari tampuk kekuasaannya.

Sementara itu harian Republika di Jakarta merupakan pers yang semula diprakarsai oleh ICMI dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1990-an. Secara teoritis, pers yang didukung oleh penguasa di manapun dan kapanpun biasanya akan bersikap akomodatif dan “membeo” saja apa yang dimaui oleh penguasa itu. Oey Hong Lee (1970) dalam studinya tentang pers pada zaman Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno telah berhasil menunjukkan kebenaran teori tersebut. Namun untuk kasus harian Republika pada masa Orde Baru berkuasa nampaknya agak lain. Harian ini tetap memiliki kritik-kritik sosial yang tajam terhadap pemerintah, sebagaimana ditunjukkan oleh catatan pojoknya, “Rehat”, yang terkenal cerdas, menggelitik, dan nakal (Dadang S. Anshori, 2002). Kasus-kasus KKN pemerintah Orde Baru pada tahun 1990-an – seperti kasus KKN di BAPINDO dan kasus KKN di MPR – dijadikan bulan-bulanan oleh “Rehat” dalam melakukan kritik-kritik sosialnya yang tajam dan menggelikan itu.

Kembali kepada pernyataan Taufik Abdullah, sebagaimana ditunjukkan di muka, tentang hubungan “bulan madu yang singkat” antara pers dan pemerintah pada masa Orde Baru. Pers, bagaimanapun, sering mengklaim dirinya sebagai pembawa suara dan aspirasi masyarakat (society); dan pemerintah acapkali mengklaim sebagai representasi dari negara (state) yang absyah. Para ahli dan praktisi komunikasi massa menyatakan bahwa hubungan dalam posisi yang sejajar (equal) dan bersifat komplementer antara society dan state ini akan menyuburkan suasana dan kehidupan demokratis (Alwi Dahlan, 1987; Andi Muis, 1998; Suwardi, 1990; Jakob Oetama, 1987; dan Parni Hadi, 1993). Sebaliknya, jika hanya salah satu kutub saja yang kuat – dan kutub lainnya berada dalam keadaan lemah – maka yang terjadi adalah suasana kehidupan yang anarki atau otoriter. Pers pada masa Orde Baru memang berada dalam kontrol dan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Namun demikian, dengan sisa-sisa kekuatan dan kreativitas insan pers yang masih ada, kritik-kritik sosial yang disampaikan pers kepada pemerintah tetap berjalan sesuai dengan kebutuhan dan ukuran zamannya.

Pers dan Kritik Sosial

Pers adalah institusi sosial yang memproduksi dan mendistribusikan berita kepada publik. Fungsi utama pers adalah: mengabarkan (informatif), meyakinkan (persuasif), menilai (evaluatif), dan mempengaruhi (provokatif) masyarakat dan pemerintah tentang suatu berita yang dinilai penting pada zamannya (Jalaluddin Rakhmat, 1990:97). Karena fungsinya yang demikian, pers sering disebut sebagai pilar kekuatan demokrasi ke empat, setelah institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Don McQuail, 1990). Tumbuh suburnya pers dalam sebuah negara – dan juga periode pemerintahan tertentu – menandakan citra demokratis atau tidaknya negara dan/atau pemerintah yang bersangkutan.

Sementara itu menurut Sartono Kartodirdjo (1982:115-16), sejarawan terkenal dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sesungguhnya fungsi-fungsi sosial pers harus dimaknai dalam kerangka menti-fact. Dengan perkataan lain, pandangan pers yang bersifat opini dalam menanggapi suatu kejadian atau persoalan penting, misalnya, adalah merupakan konstruksi mental, ide, dan gagasan yang aktual pada zamannya. Ment-ifact ini perlu dibedakan dengan fakta-fakta lain seperti arti-fact (fakta kebendaan) dan socio-fact (fakta sosial), karena yang disebut pertama itu merupakan gambaran, pandangan, dan penilaian individu atau kelompok terhadap realitas sosial.

Realitas sosial sebagai kenyataan objektif itu ditanggapi oleh pers secara subjektif sebagaimana tercermin dalam kolom tajuk rencana, catatan pojok, karikatur, berita utama, dan analisis berita yang disajikannya. Sekaitan dengan itu perlu dijelaskan konsep-konsep tentang apa itu “tajuk rencana”, “catatan pojok”, dan “karikatur” dalam sebuah lembaga pers.

Mengenai “tajuk rencana” dalam sebuah surat kabar, Gay Talese mengartikannya sebagai: “… soul of newspaper, a reflection of its inner character and philosophy” atau jiwa sebuah surat kabar yang mencerminkan karakteristik intern dan falsafahnya (Sabam Siagian, 1986:29). Jiwa, karakter, dan falsafah surat kabar itu sesungguhnya merupakan refleksi kolektif dari cita-cita, pandangan, pendirian para redaktrur pers, dalam hal ini Pemimpin Umum dan atau Pemimpin Redaksinya. Dalam mengartikulasikan dan mengekspresikan visi sebuah pers, tajuk rencana itu dapat bersifat “favourable”, “unfavourable”, dan “neutral”. Tajuk rencana bersifat “favourable” apabila isinya mendukung dan menyetujui suatu masalah atau kejadian penting. Sedangkan tajuk rencana yang “unfavourable” biasanya menentang, mengkritik, atau tidak menyetujui suatu masalah atau kejadian. Sementara itu tajuk rencana yang “neutral” hanya memberikan informasi dan penjelasan tentang sesuatu hal tanpa memberikan penilaian, sikap, dan pandangan terhadap masalah atau kejadian yang sedang dibicarakannya itu (Akhmadsyah Naina, 1989:128). Tajuk rencana biasanya dibuat oleh tim redaktur pers — apakah itu Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, atau Redaktur Pelaksana — dengan menggunakan kalimat berbentuk esai, berisi analisa yang tajam dan mendalam tentang suatu persoalan atau kejadian yang dinilai penting dan aktual pada zamannya, serta mencerminkan visi dan jati diri pers yang bersangkutan.  Betapapun dalam kenyatannya kolom tajuk rencana itu kurang mendapat perhatian dari para pembaca awam, namun para elite politik yang ingin mengetahui aspirasi yang sedang berkembang di masyarakat menyadari betul akan kehadirannya (Rizal Mallarangeng, 1992:6-9).

Berbeda dengan kolom “tajuk rencana” yang analisanya serius dan tajam, maka “catatan pojok” dalam sebuah pers biasanya memuat tulisan yang ringan, kocak, dan mengandung kritikan yang bersifat cerdas  dan jenaka. Catatan pojok juga merupaan visi dan jati diri sebuah surat kabar. Hanya saja struktur wacana yang dibangunnya bersifat khas, yaitu bagaimana membuat para pembaca tertawa atau mentertawakan dirinya sendiri ketika membaca catatan pojok itu karena sependapat dengan pandangan pihak redaksi. Dan mereka yang menjadi sasaran kritik pun masih bisa tersenyum tanpa harus merasa tersinggung atau direndahkan harga dirinya (Masmimar Makah, 1977:3). Nama-nama penjaga catatan pojok dalam sebuah per di Indonesia juga khas dan biasanya menggunakan nama atau sebuatan yang lucu dan populer pada zamannya. Karena itu tidaklah berlebihan kalau kemudian Rosihan Anwar (1983:200), tokoh pers terkenal Indonesia, menyatakan bahwa catatan pojok itu merupakan salah satu ciri khas dari pers Indonesia yang tidak terdapat dalam pers negara lain di dunia. Kata “pojok” sendiri, selain menunjukkan di mana catatan itu ditempatkan, yaitu di sudut atau pojok dalam halaman surat kabar, juga memiliki konotasi sebuah kritikan, sindiran, dan kupasan terhadap suatu persoalan, kejadian, pribadi seseorang, atau sebuah lembaga tertentu supaya diketahui umum. Sehingga acapkali mereka yang terkena sasaran kritikan dan menjadi bulan-bulanan sindiran dan ejekan yang dilakukan pers itu, merasa dirinya ter-”pojok” atau sedang di-”pojok”-kan (Omi Intan Naomi, 1996:287; dan FX Koersworo et.al., 1994:110).

Jadi apa yang disajikan pers dalam kolom tajuk rencana dan catatan pojok itu, bagaimanapun, merupakan visi, misi, dan jati diri pers itu sendiri dalam mensikapi realitas dan problematika sosial pada zamannya. Visi pers terhadap realitas dan problematika sosial itu terbentuk melalui proses persepsi. Secara umum, konsep “persepsi” itu sesungguhnya dapat diartikan sebagai tanggapan atas sesuatu (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 1994:1048). Dan secara teoritis tanggapan atas sesuatu itu, dalam konteks para pengelola media massa, dipengaruhi pula oleh banyak faktor seperti: struktur pengetahuan, pengalaman, kepentingan sosial, dan tempat (ruang) dimana individu atau kelompok itu berada (Safrin, 1993:36). Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi persepsi itu maka tidaklah mengherankan kalau kemudian terjadi keragaman persepsi, aspirasi, dan bahkan kepentingan politik. Namun dalam konteks sosio-historis, keanekaragaman dan perbedaan pandangan dan kepentingan politik itu pada gilirannya bersifat fungsional. Artinya, dari perbedaan dan bahkan pertentangan itu melahirkan dua dampak sekaligus, yaitu: pertama, mendorong terjadinya perubahan sosial; dan kedua, memberikan kontribusi terhadap integrasi sistem sosial (Ralf Dahrendorf, 1986:256; dan Maurice Duverger, 1989:275).

Pandangan pers terhadap realitas dan problematika sosial pada zamannya menunjukkan bahwa institusi sosial itu merupakan sumber kekuatan pembetuk opini publik yang besar pengarunya dalam masyarakat. Sehubungan dengan kehidupan dan peranan pers itu maka sesungguhnya, untuk dapat menganalisanya, perlu dikaji tentang hubungan timbal balik antara pers, negara, dan masyarakat. Fungsi pencerahan sosial yang diemban oleh pers merupakan bagian inheren dari hak anggota masyarakat untuk mendapatkan informasi dalam proses pencerdasan dan penyadaran diri sehingga kondisi kehidupannya lebih maju dan beradab. Sedangkan fungsi kontrol sosial yang dimiliki pers juga merupakan bagian tak terpisahkan untuk mengawasi, mengingatkan, dan memperbaiki fungsi dan peran negara agar tetap berada dalam keadaan yang sehat dan baik. Dengan demikian maka corak hubungan antara pers, masyarakat, dan negara itu lebih bersifat fungsional. Hanya saja corak dan bentuk hubungan segi tiga antara pers, masyarakat, dan negara itu untuk setiap kurun zaman dan tempat adalah berbeda-beda. Dalam hal ini menjadi penting untuk melihat keberadaan dan peranan pers di satu sisi, dengan  dinamika kehidupan politik suatu negara di sisi lain.

Dalam konteks hubungan antara pers, masyarakat, dan negara itu maka kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Don McQuail (1990:57-60), seorang ahli komunikasi dari Amerika Serikat, menjadi relevan untuk dikemukakan, terutama dalam mengkaji tentang kehidupan dan pandangan pers pada masa Orde Baru di Indonesia. Kerangka teoritits yang dikemukakan itu menarik karena menekankan pada dua hal. Pertama, pendekatan yang berpusat pada media (medium centerd) dan memiliki kecenderungan yang berifat sentrifugal atau memecah. Dalam kondisi seperti ini pers biasanya memiliki kemajemukan, kebebasan, dan fragmentasi yang besar dalam menjalankan fungsi kontrol sosial, terutama dalam mengekspresikan dan mengartikulasikan berbagai kritik, pandangan, dan kepentingan politik para redakturnya. Dan bila dikaitkan dengan posisi negara, maka corak hubungan itu menempatkan pers dalam keadaan yang kuat sedangkan kekuasaan yang dimiliki negara masih dalam formasi mencair dan terpencar-pencar. Dengan perkataan lain, inilah yang disebut “zaman peralihan” dimana pers memiliki kebebasan yang besar mengingat negara masih dalam usaha mengkonsolidasikan diri untuk memperkuat kekuasaannya (Kuntowijoyo, 1995). Kedua, pendekatan yang berpusat pada negara (state centered) dan memiliki kecenderungan yang bersifat sentripetal atau bersatu. Dalam kondisi seperti ini pers biasanya memiliki visi dan artikulasi politik yang relatif seragam dengan fungsi kontrol sosial — berupa kritik, pandangan, dan kepentingan politik redaktur persnya — relatif lemah. Hal itu disebabkan, di antaranya, mengingat posisi kekuasaan negara yang begitu dominan dan pengaruhnya mampu merambah ke bidang-bidang kehidupan yang lain, termasuk dominasi kekuasaan negara terhadap pers di dalamnya.

Atas dasar kerangka teoritis yang dikemukakan di atas menjadi jelas bagaimana hubungan antara pers di satu sisi dengan pemerintah di sisi lain, yang berimplikasi pada gayawacana dan corak kritik-kritik sosial yang disampaikan pers baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah.

 

DESAIN DAN METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan tema besar atau payung penelitian berjudul “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru”. Sebagai rejim yang lama berkuasa (dari 1966 sampai dengan 1998) dan memiliki kontrol yang keras terhadap media massa, bagaimana dinamika kehidupan dan pandangan pers dalam merespons kejadian dan persoalan yang dinilai penting dan aktual pada zamannya. Dengan tema semacam itu, penelitian di-desain dengan mengelaborasi sub tema seperti: (1) “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Kasus Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung, 1966-1974”; (2) “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: PEMILU 1971 dalam Pandangan Pikiran Rakyat (Bandung) dan Kompas (Jakarta)”; (3) “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Peristiwa MALARI 1974 dalam Pandangan Indonesia Raya dan Merdeka di Jakarta”; (4) “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Peristiwa Tanjung Priok 1984 dan Gerakan Oposisi Petisi 50 dalam Pandangan Pelita dan Kompas di Jakarta”; dan (5) “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Kasus Catatan Pojok Republika di Jakarta, “Rehat”, dalam Menyoroti Masalah KKN di Indonesia”.

Dengan di-desain seperti ini penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman yang integral tentang kehidupan pers, khususnya surat kabar, pada masa Orde Baru. Memang tidak semua surat kabar dan tidak semua peristiwa pada masa Orde Baru (1966-1998) di-cover dalam penelitian ini. Namun dengan meneliti dan mengkaji kasus-kasus dalam peristiwa tertentu – dan surat kabar turut melibatkan diri di dalamnya dengan memberikan news and views-nya – dapatlah kiranya digambarkan pola, kecenderungan, dan struktur yang relatif ajeg dari sebuah proses sejarah – dalam hal ini sejarah pers pada masa Orde Baru – yang telah berlangsung. Sebuah rekonstruksi untuk memetakan kehidupan pers pada masa Orde Baru – dan pandangan-pandangannya dalam merespons aneka kajadian yang dinilai penting pada zamannya – dengan demikian, sudah dapat dilakukan.

 

Implementasi Penelitian 

Desain penelitian dengan payung penelitian bertemakan “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru” itu dilaksanakan dengan meneliti dan mengkaji pers dengan peristiwa dan persoalan yang terkait pada masa Orde Baru. Proses penelitiannya sendiri – dalam artian untuk kepentingan deskripsi dan analisanya nanti – tetap berada dalam konteks disiplin Ilmu Sejarah, di mana antara kekhasan dan keumuman dijalin secara seimbang. Sehubungan dengan itu maka metode yang akan digunakan setidaknya ada empat langkah, dengan dimodifikasi berdasarkan pendekatan penelitian dalam Ilmu Komunikasi, sebagai berikut:

Pertama, melakukan kegiatan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber.  Dalam hal ini tidak semua surat kabar pada masa Orde Baru dikumpulkan, dikaji, dan diteliti. Hanya beberapa surat kabar yang relevan dengan konteks peristiwa dan persoalan yang terkait dengan pertanyaan penelitian saja yang akan dikumpulkan. Beberapa surat kabar itu adalah: Mahasiswa Indonesia dan Pikiran Rakyat di Bandung, serta Indonesia Raya, Merdeka, Pelita, Kompas, dan Republika di Jakarta. Tidak semua isi dalam beberapa surat kabar yang diteliti itu juga dikumpulkan. Hanya berita-berita, tajuk rencana, dan catatan pojok yang relevan dengan beberapa peristiwa penting saja pada masa Orde Baru yang akan dikumpulkan. Dalam hal ini peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah: kasus KKN pada masa awal Orde Baru, peristiwa PEMILU 1971, peristiwa MALARI 1974, peristiwa Tanung Priok dan gerakan oposisi Petisi 50 tahun 1980-an, serta kasus KKN Orde Baru pada tahun 1990-an.

Kegiatan heuristik terhadap beberapa surat kabar itu dilakukan di dua tempat: Bandung dan Jakarta. Selain mengunjungi kantor redaksi surat kabar yang bersangkutan, baik di Bandung maupun di Jakarta, kegiatan heuristik terutama dilakukan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, di mana semua jenis surat kabar se Indonesia diarsipkan secara baik serta buku-buku referensi dan artikel-artikel dalam jurnal yang relevan dengan penelitian akan mudah didapatkan. Untuk melengkapi dan mengkonfirmasi data dalam proses heuristik ini juga dilakukan serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh pers (khususnya Pemimpin Redaksi surat kabar yang bersangkutan dan masih hidup) seperti: Atang Ruswita (Bandung), Rachman Tolleng (Jakarta), Jakob Oetama (Jakarta), Mochtar Lubis (Jakarta), dan Parni Hadi (Jakarta).

Kedua, kegiatan kritik sumber dengan melakukan langkah kategorisasi dengan cara mengklasifikasi, mengelompokkan, dan memilah-milah sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan itu agar tetap relevan dengan masalah penelitian. Dengan langkah ini maka sumber tentang berita dan peristiwa yang disorot pers, corak kritik-kritik sosial yang disampaikannya, serta reaksi dan solusi yang ditawarkan baik oleh pihak pers maupun pemerintah mungkin akan kelihatan. Kategorisasi ini juga mengharuskan pengecekan yang teliti kepada setiap wacana kritik sosial yang dibangun oleh pers sebagaimana ditunjukkan dalam berita-berita yang diturunkan, kolom tajuk rencana, dan kolom catatan pojok yang disajikan, mulai dari tahun 1960-an sampai dengan tahun 1990-an. Begitu juga terhadap sumber-sumber yang lain seperti: buku-buku, artikel, makalah, dan transkrip wawancara akan dilakukan kategorisasi dan seleksi agar relevan dengan kebutuhan penelitian.

Ketiga, melakukan langkah analisa isi (content analysis) yaitu mengkaji dan menginterpretasi wacana kritik sosial yang disajikan oleh pers pada masa Orde Baru. Analisa isi juga tetap dalam kerangka studi sejarah dimana segi-segi deskripsi, eksplanasi, dan eksposisi yang bersifat kualitatif tetap diutamakan daripada analisa-analisa yang bersifat kuantitatif. Dan untuk kepentingan analisa isi ini maka sebagai penunjang akan dilihat juga sajian berita utama, analisa berita, tajuk rencana, dan catatan pojok yang disajikan oleh pers pada masa Orde Baru. Hal ini penting agar “teks” yang dibangun dan ditampilkan oleh pers itu tidak kehilangan “konteks”-nya dalam dinamika sejarah Orde Baru.

Keempat, melakukan kegiatan penulisan itu sendiri dengan cara merekonstruksi semua fakta yang telah ditemukan itu dalam bentuk deskripsi, analisa, dan interpretasi yang logis sesuai dengan kaidah-kaidah dalam proses penulisan yang ilmiah. Dengan kata lain, langkah ini sesungguhnya merupakan laporan pertanggungjawaban secara ilmiah. Penulisan akan menggunakan sistem Harvard, sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung. Proses penulisan juga dikonsultasikan untuk mendapatkan masukan, arahan, dan perbaikan dari dua orang Guru Besar Pendidikan Sejarah FPIPS UPI yang bertindak sebagai konsultan dalam penelitian ini.

 

Subjek Penelitian

Penelitian ini, sebagaimana telah dikemukakan di muka, berkenaan dengan “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru”. “Pers” yang dimaksud dalam penelitian ini adalah surat kabar – baik mingguan maupun harian – yang terkait dan relevan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa Orde Baru. TIDAK semua pers dan tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru dijadikan kajian penelitian. Tabel berikut ini dapat memetakan kajian penelitian yang dilakukan:

No. Masalah yang Diteliti Tempat Penelitian Peneliti Keter.
1. “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru”. Bandung dan Jakarta. Suwirta, Drs.,M.Hum. Tema Utama
2. “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Kasus Mahasiswa Indonesia dalam Menyoroti Masalah KKN pada Masa Awal Orde Baru, 1966-1974”. Bandung dan Jakarta. Ina Karlina Sub Tema
3. “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: PEMILU 1971 dalam Pandangan Pikiran Rakyat (Bandung) dan Kompas (Jakarta). Bandung dan Jakarta. Meti Ernawati Sub Tema
4. “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Peristiwa MALARI 1974 dalam Sorotan Merdeka dan Indonesia Raya di Jakarta”. Bandung dan Jakarta. Eva Marviana Sub Tema
5. “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Peristiwa Tanjung Priok dan Kelompok Petisi 50 Tahun 1980-an dalam Pandangan Pelita dan Kompas di Jakarta”. Bandung dan Jakarta. Eryka Shofia Sub Tema
6. “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Kasus KKN Orde Baru Tahun 1990-an dalam Sorotan ‘Rehat’, Catatan Pojok Republika di Jakarta”. Bandung dan Jakarta. Mumu Kulsum Sub Tema

 

Proses penelitian, kajian, dan hasil penulisan dalam penelitian ini kemudian dikonsultasikan dengan dua orang Guru Besar di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI yang kompeten di bidangnya masing-masing, yaitu: (1) Prof.Dr.H. Ismaun, M.Pd.; dan (2) Prof.Dr. Helius Sjamsuddin, M.A..

Jadwal Kegiatan Penelitian

Penelitian ini, sejak pengajuan proposal hingga proses pelaporan, memerlukan waktu sekitar 10 (sepuluh) bulan. Dalam kurun waktu yang sudah dan tengah berjalan ini banyak kemajuan dan hasil yang dicapai, namun ada juga beberapa kendala dan masalah yang dihadapi. Tabel berikut ini dapat menunjukkan kegiatan-kegiatan yang telah, sedang, dan akan dilakukan dalam penelitian.

No. Kegiatan Waktu Pelaksanaan Pelaksana Keter.
1. Proses pengajuan proposal peneltian, seleksi di Jurusan, dan penetapan pemenang hibah penelitian. 1 April 2002 Pimpinan Jurusan dan Tim Penilai Hibah Penelitian DUE-like Jurusan.  
2. Pertemuan koordinasi antara ketua peneliti, anggota (mahasiswa 5 orang), dan konsultan penelitian (Guru Besar 2 orang). 6 Mei 2002 Suwirta,

Ismaun,

Helius Sjamsuddin,

Ina Karlina,

Meti Ernawati,

Eva Marviana,

Eryka Shofia,

Mumu Kulsum.

 
3. Diskusi dan koordinasi tentang: pembagian topik-topik penelitian, desain penelitian, dan penyempurnaan proposal penelitian. 15 Mei 2002 Suwirta,

Ina Karlina,

Meti Ernawati,

Eva Marviana,

Eryka Shofia,

Mumu Kulsum.

 
4. Bimbingan penyempurnaan proposal penelitian, rencana penelitian lapangan, dan desain instrumen penelitian. 17-21 Juni 2002 Suwirta,

Ismaun,

Helius Sjamsuddin,

Nana Supriatna,

Ina Karlina,

Meti Ernawati,

Eva Marviana,

Eryka Shofia,

Mumu Kulsum.

 
5. Penelitian lapangan di Bandung dan Jakarta (Perpustakaan Nasional RI). 24 Juni –23 Agustus 2002. Suwirta,

Ina Karlina,

Meti Ernawati,

Eva Marviana,

Eryka Shofia,

Mumu Kulsum.

 
6. Proses bimbingan penulisan dan pelaporan penelitian. 3 September 2002 Suwirta,

Ismaun,

Helius Sjamsuddin,

Nana Supriatna,

Ina Karlina,

Meti Ernawati,

Eva Marviana,

Eryka Shofia,

Mumu Kulsum.

 
7. Laporan kemajuan penelitian ke pimpinan proyek DUE-like UPI. 21 September 2002 Suwirta. Hasil penelitian masih belum final.
8. Proses bimbingan penulisan dan pelaporan penelitian. Oktober 2002 Suwirta,

Ismaun,

Helius Sjamsuddin,

Nana Supriatna,

Ina Karlina,

Meti Ernawati,

Eva Marviana,

Eryka Shofia,

Mumu Kulsum.

 
9. Penyerahan laporan hasil ahir penelitian ke pimpinan proyek DUE-like UPI. 19 November 2002 Suwirta.  
10. Seminar, diseminasi, dan ujian sidang hasil penelitian di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Minggu kedua November 2002. Suwirta,

Ismaun,

Helius Sjamsuddin,

Nana Supriatna,

Ina Karlina,

Meti Ernawati,

Eva Marviana,

Eryka Shofia,

Mumu Kulsum.

 

 

Dari tabel kegiatan penelitian di atas menjadi jelas bahwa penelitian ini masih belum selesai sepenuhnya. Masih ada beberapa data di lapangan yang masih harus dicari dan dikonformasi dan proses bimbingan untuk penyelesaian laporan penulisan dalam penelitian juga masih terus dilakukan. Ditambah lagi oleh kesibukan, terutama para peneliti dari kalangan mahasiswa, untuk membagi waktu antara menyelesaikan penelitian dan studi dengan menjalankan kegiatan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) di sekolah-sekolah. Walaupun begitu diyakini oleh semuanya bahwa pada bulan November 2002 – di mana akan diadakan kegiatan Ujian Sidang di Jurusan dan ini sejalan dengan Kalender Akademik UPI – penelitian itu akan selesai seluruhnya.

 

 

REFERENSI

 

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

  1. Instrumen Penelitian
  2. Ringkasan Penelitian Mahasiswa

 

12) Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 2-3.

13) Lihat Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo (ed.), Ilmu Sejarah dan Historiografi, Arah dan Perspektif (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. ix-xxiv.

14) Sartono Kartodirdjo, Op.Cit., hlm. 2.

15) Siegfried Mandel (ed.), Modern Journalism (Toronto: Pitman Publishing Corporation, 1962), hlm. 105.

16) Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hlm. 115-16.

17) Sebagaimana dikutip oleh Sabam Siagian, “Fungsi Tajuk Surat Kabar” dalam Herald Tidar dan Petrus Suryadi (ed.), Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), hlm. 29.

18) Akhmadsyah Naina, “Analisa Isi Tajuk Rencana” dalam Don Michael Flournoy (ed.), Analisa Isi Suratkabar-suratkabar Indonesia, terjemahan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), hlm. 128.

19) Lihat Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Harian Kompas dan Suara Karya (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 6-9.

20) Masmimar Makah, “Pojok sebagai Penyalur Kritik” dalam Prisma, No.10 (Jakarta: LP3ES, Oktober 1977), hlm. 3.

21) Lihat Rosihan Anwar, Menulis dalam Air, Sebuah Otobiografi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983), hlm. 200.

22) Lihat Omi Intan Naomi, Anjing Penjaga, Pers di Rumah Orde Baru (Jakarta: Gorong-gorong Budaya, 1996), hlm. 287-307; dan FX. Koesworo, JB. Margantoro, dan Ronnie S. Viko, Di Balik Tugas Kuli Tinta (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994), hlm. 110.

23) J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 1048.

24) Safrin, “Media Massa dan Pembentukan Persepsi Mengenai Realitas Sosial”, Tesis Magister (Jakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana UI, 1993), hlm. 36.

25) Tentang fungsi konflik sebagai sumber perubahan dan integrasi sosial, lihat Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Sebuah Analisa Kritik, terjemahan (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 256; dan Maurice Duverger, Sosiologi Politik, terjemahan (Jakarta: Rajawali Pers, cet.keempat, 1989), hlm. 275-406.

26) Lihat Denis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa, terjemahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, cet.kedua, 1991), hlm. 57-60.

27) Bandingkan dengan “Pengantar Dr. Kuntowijoyo” dalam buku Soe Hok Gie, Zaman Peralihan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hlm. xix-xxiii.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *