TRANSFORMASI SISTEM POLITIK DI CIANJUR: DARI TRADISIONAL KE MODERN

Reiza D. Dienaputra

Artikel ini telah dipublikasikan di  HISTORIA:  No.5, Vol.III (Juni 2002)

 

ABSTRAKSI

Transformasi sistem politik yang terjadi di Cianjur, setelah lepas dari kekuasaan Mataram, secara umum dapat dikatakan berlangsung dalam tiga periode besar: masa VOC, masa pemerintah kolonial Inggris, dan masa pemerintah kolonial Belanda. Transformasi sistem politik tersebut tidak hanya ditandai oleh perubahan wilayah administratif, pranata-pranata tradisional, tetapi juga oleh adanya perubahan struktur sosial-politik yang bersifat modern di Cianjur. Sebuah studi yang menarik untuk melihat proses perubahan dan kesinambungan dalam sejarah kabupaten Cianjur untuk dikomparasikan dengan sejarah kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Barat.

Pengantar

Dalam masa-masa akhir kekuasaan Mataram di Priangan atau setidaknya pada tahun yang bersamaan dengan proses penyerahan pertama sebagian wilayah Priangan (Priangan Barat) dari Mataram kepada VOC,[1] di bagian wilayah yang diserahkan Mataram ini lahirlah sebuah wilayah politik baru yang bernama Padaleman Cianjur, dengan pusat pemerintahan berada di Cikundul. Sepeninggal dalem pertama, Aria Wira Tanu, atau semasa Aria Wira Tanu II memerintah, Cianjur kemudian menjadi sebuah kabupaten. Perkembangan Cianjur menjadi sebuah kabupaten ditandai oleh adanya pengakuan VOC terhadap keberadaan Aria Wira Tanu II sebagai regent (bupati) Cianjur pada tahun 1691. Aria Wira Tanu II menjabat bupati Cianjur hingga tahun 1707. Ia sekaligus bisa dikatakan sebagai bupati pertama Cianjur yang mendapat pengakuan dari VOC. Dengan demikian, kelahiran Cianjur sebagai sebuah kabupaten jelas memiliki keunikan tersendiri, setidaknya bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain yang dibentuk oleh Mataram.

Perubahan yang dialami Cianjur semasa VOC bukanlah perubahan politik besar satu-satunya yang terjadi di Cianjur. Berbagai perubahan politik kembali dialami Cianjur seiring dengan terjadinya perubahan politik di tingkat “pusat”. Dinamika perubahan politik yang terjadi di Cianjur tersebut jelas menjadi sesuatu yang menarik untuk diamati lebih lanjut. Selanjutnya, mengingat begitu banyaknya komponen-komponen yang dapat diamati dalam hal perubahan politik di Cianjur ini, jelaslah perlu dilakukan pembatasan-pembatasan. Untuk itu, tulisan ini lebih memfokuskan bahasan komponen struktur politik dalam membedah transformasi sitem politik di Cianjur. Komponen struktur politik memiliki dua unsur utama, yakni suprastruktur dan infrastruktur politik.

Sistem Politik di Cianjur Sebelum Masuknya

Penetrasi Asing

Saat pertama kali wilayah politik yang bernama padaleman mulai dikenal di Cianjur, wilayah Cianjur dapat dikatakan terdiri dari beberapa padaleman. Tiap-tiap padaleman yang ada di Cianjur saat itu dipimpin oleh seorang kepala padaleman yang disebut dalem. Wilayah kekuasaan para dalem tersebut meliputi beberapa nagri, kampung, dan lembur. Adapun Jayasasana, yang pada awalnya menjadi kepala cacah dari kesatuan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai Cikundul, seiring dengan terbentuknya wilayah politik yang bernama padaleman Cikundul, kemudian diangkat menjadi dalem Cikundul. Segera setelah memangku jabatan dalem Cikundul, Jayasasana memakai gelar Aria Wira Tanu. Kapan pastinya Jayasasana mulai memangku jabatan dalem Cikundul ataupun memakai gelar Aria Wira Tanu, belum diperoleh keterangan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Di samping padaleman Cikundul, di Cianjur saat itu juga dikenal beberapa padaleman lain, seperti Cipamingkis, Cimapag, Cikalong, Cibalagung, dan Cihea. Sebagaimana halnya padaleman Cikundul, padaleman-padaleman lain yang ada saat itu juga memiliki pemimpin-pemimpin sendiri, terpisah dari kekuasaan dalem Cikundul. Barulah setelah terjadi pertemuan di antara para kepala padaleman, seperti Aria Wira Tanu (dalem Cikundul), Nalamerta (dalem Cipamingkis), Nyilih Nagara (dalem Cimapag), Wangsa Kusumah (dalem Cikalong), Natamanggala (dalem Cibalagung), dan Wastu Nagara (dalem Cihea), tercapailah kesepakatan untuk menyatukan wilayah politiknya masing-masing dalam sebuah wilayah politik baru, yang bernama padaleman Cianjur.[2] Sebagai orang yang dipandang paling tua di antara para dalem, Aria Wira Tanu mendapat kepercayaan untuk menjadi dalem pertama Cianjur. Sejak menjadi dalem Cianjur, kekuasaan Aria Wira Tanu berkembang jauh lebih luas, meliputi seluruh padaleman Cianjur, termasuk wilayah-wilayah baru yang sebelumnya merupakan padaleman-padaleman tersendiri.

Berbeda dengan saat terbentuknya padaleman Cikundul atau naiknya Jayasasana sebagai dalem Cikundul, terbentuknya padelaman Cianjur atau naiknya Aria Wira Tanu sebagai dalem Cianjur, waktunya bisa diperkirakan. Bila digunakan pendapat Otto van Rees, terbentuknya padaleman Cianjur kemungkinan besar terjadi sesudah tahun 1619. Hal ini didasarkan atas pernyataan Otto van Rees yang mengatakan bahwa hingga tahun 1619, belum dikenal adanya suatu wilayah yang bernama Cianjur.[3] Sementara itu, menurut catatan Cikundul-bond, terbentuknya padaleman Cianjur ini terjadi sekitar tahun 1677.[4] Bila pendapat yang terakhir ini bisa diterima, maka dengan demikian baru sejak tahun 1677 Cianjur memiliki sistem politik yang terpusat.

Transformasi Sistem Politik di Era VOC

Sebagaimana wilayah politik lain yang baru dikuasai VOC, tidak berapa lama setelah Mataram menyerahkan Priangan Barat kepada VOC, segera VOC mengadakan penjajagan-penjajagan ke wilayah Cianjur. Penjajagan pertama yang dilakukan VOC ke Cianjur diperkirakan terjadi pada tahun 1680. Kurang lebih sepuluh tahun kemudian atau tepatnya tahun 1691, VOC kembali mengirimkan utusannya ke Cianjur. Kedatangan utusan VOC, Kapten Winckler, segera diikuti oleh adanya pengakuan VOC terhadap dalem Cianjur, Aria Wira Tanu II, sebagai regent (bupati) Cianjur.[5] Pengakuan VOC terhadap dalem Cianjur sebagai bupati sekaligus merupakan pertanda masuknya Cianjur dalam jaringan sistem politik VOC. Sebuah perubahan mendasar pun secara otomatis telah terjadi, yakni digantikannya secara formal istilah dalem sebagai jabatan tradisional tertinggi yang mandiri dengan istilah regent atau bupati yang terintegrasi ke dalam sistem politik VOC.

Aria Wira Tanu II, yang naik sebagai dalem menggantikan ayahnya, Aria Wira Tanu I, memiliki nama asli Raden Aria Wiramanggala. Aria Wira Tanu II yang juga dikenal dengan sebutan dalem Tarikolot merupakan putra pertama dari sebelas orang putra-putri Aria Wira Tanu I. Sebelum naik menjadi bupati Cianjur, Raden Aria Wiramanggala sempat memegang jabatan sebagai umbul Cilaku.[6] Sepeninggal Raden Aria Wira Tanu II pada tahun 1707, naiklah Raden Astramanggala sebagai bupati. Raden Astramanggala yang kemudian bergelar Aria Wira Tanu III adalah putra pertama dari 14 orang putra-putri Aria Wira Tanu II.[7] Dengan naiknya Raden Astramanggala sebagai bupati Cianjur berarti ia melanjutkan tradisi penggantian bupati sebelumnya. Pada era pemerintahan Aria Wira Tanu III ini, ibukota kabupaten Cianjur dipindahkan dari Pamoyanan ke kampung Cianjur.

Di samping ditandai oleh adanya perpindahan ibukota kabupaten, masa pemerintahan Aria Wira Tanu III juga ditandai oleh upaya besar Aria Wira Tanu III untuk memperluas wilayah Cianjur serta mempertegas batas-batas wilayahnya. Hal lain yang juga dilakukan Aria Wira Tanu III adalah berkaitan dengan gelar bupati Cianjur. Pada tahun 1720, Aria Wira Tanu III mengajukan permohonan kepada VOC agar dirinya diberi gelar Pangeran Aria Dipati Amangkurat Di Datar. Namun, permohonan perubahan gelar ini tidak sepenuhnya dikabulkan VOC. VOC hanya mengabulkan penambahan kata Datar sebagai tambahan nama Aria Wira Tanu III. Dengan demikian, sejak Aria Wira Tanu III, kata Datar mulai dipakai sebagai nama tambahan resmi bupati Cianjur.

Setelah Aria Wira Tanu III meninggal, yang naik sebagai penggantinya adalah putera tertuanya, Raden Sabirudin. Tidak seperti para pendahulunya, ketika naik sebagai bupati Cianjur, Raden Sabirudin menggunakan gelar Raden Adipati Wira Tanu Datar IV. Dengan demikian, di samping menambah kata Datar, ia juga mengganti gelar Aria dengan Adipati. Perubahan gelar dari Aria menjadi Adipati ini secara tidak langsung memperlihatkan naiknya status bupati Cianjur di mata VOC. Perubahan gelar ini pun kelak dirasakan manfaatnya oleh bupati Cianjur lainnya yang memerintah pasca hengkangnya VOC. Sebagai contoh, pada era Daendels dan juga Komisaris Jenderal, gelar yang dimiliki seorang bupati sangat menentukan besarnya jumlah abdi yang boleh dimiliki. Semasa Daendels berkuasa, untuk seorang bupati yang bergelar Adipati, seperti halnya bupati Cianjur, maka ia berhak untuk memiliki abdi hingga 140 orang. Bila gelarnya Tumenggung, bupati tersebut berhak memiliki 140 orang abdi, dan bila gelarnya Angabehi jumlah abdinya ditetapkan hanya sebanyak 70 orang. Semasa Komisaris Jenderal memerintah, jumlah abdi yang boleh dimiliki bupati dikurangi secara drastis. Untuk bupati yang bergelar Adipati, hanya boleh memiliki abdi 60 orang. Untuk bupati yang bergelar Tumenggung, hanya boleh mempunyai abdi 50 orang.[8]

Setelah berkuasa selama kurang lebih 34 tahun, kedudukan Raden Adipati Wira Tanu Datar IV sebagai bupati Cianjur digantikan oleh putera tertuanya, Raden Muhyidin. Gelar yang dipakai Raden Muhyidin adalah Raden Adipati Wira Tanu Datar V. Berbeda dengan Raden Adipati Wira Tanu Datar IV yang dikenal taat dalam menjalankan ibadah agama, Raden Adipati Wira Tanu Datar V, lebih dikenal sebagai bupati yang memiliki perhatian besar terhadap perkembangan seni budaya, khususnya seni pencak silat.

Sepeninggal Raden Adipati Wira Tanu Datar V, putera tertuanya, Raden Noh alias Wiranagara, naik menggantikan sebagai bupati Cianjur. Sebagaimana orang tuanya, Raden Noh juga memakai gelar Raden Adipati Wira Tanu Datar atau lengkapnya Raden Adipati Wira Tanu Datar VI. Hingga berakhirnya kekuasaan VOC, Raden Adipati Wira Tanu Datar VI masih menyandang jabatan sebagai bupati Cianjur. Ia memerintah hingga tahun 1813. Dengan demikian, Raden Adipati Wira Tanu Datar VI merupakan satu-satunya bupati Cianjur yang mengalami masa-masa transisi dari VOC kepada pemerintah kolonial Belanda.

Melihat jalannya proses peralihan dari bupati pertama hingga bupati kelima, secara eksplisit terlihat bahwa pola peralihan jabatan bupati Cianjur tersebut berlangsung secara turun-temurun. Berbeda dengan peralihan dari Aria Wira Tanu I kepada Aria Wira Tanu II, yang relatif bebas dari pengaruh VOC, peralihan kekuasaan bupati-bupati Cianjur selanjutnya sedikit banyaknya turut ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh VOC. Betapapun tradisi pewarisan jabatan bupati ini telah dimulai sejak sebelum mantapnya kehadiran VOC di Cianjur, namun apabila sistem politik yang dibangun VOC tidak mendukungnya bisa jadi pola pewarisan jabatan bupati ini akan terhenti di tengah jalan atau setidaknya tidak akan berlangsung mulus hingga Raden Adipati Wira Tanu Datar VI. Dengan demikian, setidaknya untuk kasus Cianjur, sangatlah tepat pendapat yang dikemukakan Sartono Kartodirdjo bahwa dalam hal proses penggantian bupati, secara umum VOC menganut kebijakan untuk menunjuk putera tertua sebagai bupati. Di luar pengangkatan secara turun-temurun, setidaknya masih ada dua model pengangkatan yang dijalankan VOC. Pertama, dalam kondisi putera tertua belum dewasa saat ayahnya meninggal maka saudara lelakinya diangkat untuk sementara waktu atau tetap. Kedua, pola pengangkatan yang didasarkan atas loyalitas dan kesetiaan seseorang. Model ini di antaranya pernah ditempuh VOC ketika mengangkat Raden Wiranata dari Cianjur sebagai bupati Kampung Baru pada tahun 1749. Pengangkatan Raden Wiranata sebagai bupati Kampung Baru merupakan penghargaan atas jasa Raden Wiranata dalam berperang melawan Banten.[9]

Struktur pemerintahan yang berlaku di Cianjur pada era VOC pada dasarnya mengikuti struktur politik umum yang berlaku di Priangan. Selama berkuasa di Priangan, VOC bisa dikatakan melaksanakan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Dengan demikian, kekuasaan pemerintahan di daerah diserahkan kepada para bupati yang memang telah turun temurun menjalankan pemerintahan di wilayahnya. VOC tidak mencampuri urusan pemerintahan dalam wilayah para bupati, kecuali yang berkaitan dengan perdagangan, seperti penyerahan kopi. Di luar sistem wajib tanam kopi, campur tangan VOC dalam batas-batas tertentu hanya terlihat dalam bidang pengadilan dan pengangkatan pejabat. Sejak tahun 1706, pengangkatan patih dilakukan oleh Gubernur Jenderal dan sejak tahun 1790 pengangkatan kepala distrik perlu mendapat persetujuan Komisaris Jenderal.[10]

Dalam hal struktur politik tradisional, VOC juga bisa dikatakan tidak banyak melakukan perubahan terhadap struktur yang telah ada. Bahkan, sejalan dengan kepentingan eksploitasi ekonominya, VOC cenderung semakin memperkuat struktur yang telah ada, khususnya dalam hal kedudukan bupati. Kalau pun ada pengaruh VOC dalam hal jabatan bupati, pengaruh itu antara lain hanya tampak dalam masalah sebutan bupati dan bupati alit. Sebutan bupati diberikan oleh VOC kepada kepala pemerintahan yang memiliki cacah antara 800 hingga 1.300 orang. Bila jumlah cacah yang dimiliki kurang dari 800 orang maka ia disebut bupati alit. Sepanjang VOC berkuasa di Cianjur, bisa dikatakan Cianjur tidak pernah mengenal adanya jabatan bupati alit. Dengan demikian, sewaktu adanya pengakuan VOC terhadap dalem Cianjur, Aria Wira Tanu II, penduduk Cianjur berjumlah kurang-lebih antara 800 hingga 1.300 orang.

Secara hirarkis, di samping bupati sebagai penguasa tradisional tertinggi, terdapat pula penguasa-penguasa lain di bawahnya, seperti patih, kepala cutak atau umbul, dan camat. Patih pada dasarnya memiliki tugas-tugas yang tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas yang dijalankan bupati. Kepala cutak atau umbul pada dasarnya hanya berfungsi sebagai pelaksana perintah bupati untuk bagian-bagian tertentu dari kabupaten. Oleh karenanya, kepala cutak atau umbul lebih sering tinggal di ibukota kabupaten. Dalam tahun 1790, karena adanya perintah dari VOC, kepala cutak Cianjur  pernah mengadakan tiga kali perjalanan ke distrik-distrik yang dikuasainya. Perjalanan pertama diadakan ke perkebunan kopi. Perjalanan kedua diadakan ketika berlangsung proses pemetikan kopi. Perjalanan ketiga dilakukan ketika ia mengantar tugas pengawas kopi (koffieopziener). Untuk kelancaran tugas-tugasnya, kepala cutak menempatkan seorang camat di tiap-tiap ibukota distrik. Dengan demikian, seorang kepala cutak tidak hanya membawahi seorang camat tetapi membawahi beberapa orang camat. Camat sendiri pada dasarnya memiliki fungsi sebagai pemimpin perantara yang dibebani tugas tertentu oleh kepala cutak. Sejalan dengan fungsi yang diembannya, para camat lebih banyak tinggal di ibukota distrik. Hak untuk mengangkat camat berada di tangan bupati.[11]

Strategisnya fungsi dan tugas yang diemban oleh kepala cutak dalam abad ke-18, tidaklah mengherankan bila jabatan tersebut, seperti halnya jabatan patih, biasanya dipegang oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan bupati. Sebagai contoh, Raden Wiranata, yang merupakan saudara bupati Cianjur, Raden Adipati Wira Tanu Datar IV, sebelum menjabat patih Cianjur dan kemudian bupati Kampung Baru, sempat menjabat umbul Jampang. Bahkan salah seorang putera bupati Cianjur pertama, Raden Wiramanggala, sempat memegang jabatan umbul Cilaku pada tahun 1685 sebelum menjadi bupati Cianjur.[12]

Kedudukan bupati Cianjur semasa VOC, seperti halnya para bupati lain di Priangan, adalah sebagai ministerialis. Ia juga memperoleh surat pengangkatan (aanstellings acte).[13] Mengingat pemberian surat pengangkatan baru dimulai sejak Desember 1704, maka bupati Cianjur pertama yang memperoleh surat pengangkatan adalah Raden Aria Wira Tanu III. Kewajiban utama bupati adalah memungut verplichte leveranties, yaitu hasil-hasil tanaman wajib tertentu yang diproduksi oleh rakyat dan menyerahkannya kepada VOC. Dengan demikian, sebagaimana halnya bupati-bupati Priangan lainnya, hubungan utama antara bupati Cianjur dengan VOC bersifat hubungan dagang. Dalam pola hubungan seperti ini, bupati berperan sebagai perantara atau leveransir, sekaligus pegawai dan bawahan VOC. Bupati di era VOC tidak menerima gaji dan hanya menerima uang imbalan dari penyerahan kopi, yang besarnya 6 ringgit per pikul, pendapatan dari pungutan pajak, dan dari hasil panen yang besarnya 1/10 atau 1/20.[14] Khusus untuk bupati Cianjur, di samping memperoleh imbalan sebagaimana disebutkan di atas, masih memiliki beberapa sumber penghasilan lain, seperti pemberian cap untuk kerbau, penyeberangan di atas sungai Citarum, izin pindah rumah, dan sewa tempat tinggal di ibukota ketika ada kunjungan resmi dari para pejabat yang lebih rendah.[15]

Meskipun VOC menjalankan sistem pemerintahan tidak langsung, tidaklah berarti VOC mempercayakan sepenuhnya pengawasan pemerintahan di wilayah-wilayah yang dikuasainya pada para pemimpin pribumi. Sebagaimana wilayah lainnya di Priangan, untuk Cianjur pun VOC menunjuk orang-orangnya sebagai pengawas pemerintah. Di samping opzieners, khususnya koffieopzieners, VOC juga mengangkat seorang pejabat yang berkedudukan sebagai De Gecommitteerde tot en over de Zaken der Inlanders (Pegawai untuk Urusan Pribumi) sejak dasawarsa ketiga abad ke-18. Biasanya pejabat yang memegang jabatan ini dikenal dengan sebutan landscommissaris. Bahkan, di kalangan pribumi lebih dikenal dengan sebutan komisaris atau kumetir.[16]

Dalam pelaksanaan tugas di lapangan, komisaris VOC memiliki pengaruh besar atas bupati. Wewenang yang dimiliki komisaris untuk memberikan penilaian terhadap bupati menjadi faktor penyebab utama besarnya pengaruh komisaris tersebut. Kedudukan strategis yang dimiliki komisaris tampaknya disadari betul oleh komisaris itu sendiri. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan komisaris VOC dalam memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri. Salah satu cara yang sering ditempuh oleh komisaris adalah dengan cara meminjamkan uang kepada para pejabat pribumi. Dengan cara itu, meskipun sejak tahun 1766 komisaris tidak memperoleh gaji, ia dapat tetap hidup senang dari bunga uang yang dipinjamkannya. Perhatian terhadap rakyat yang diberikan komisaris bisa dikatakan sangat kurang karena dalam kesehariannya, komisaris lebih sering tinggal di Batavia.[17]

Transformasi Politik di Era Pemerintah

Kolonial Belanda

Pasca VOC mengalami kebangkrutan pada akhir abad ke-18 hingga menjelang datangnya pemerintah kolonial Belanda, bisa dikatakan tidak ada perubahan politik cukup mendasar yang terjadi di Cianjur. Masa transisi yang berlangsung hampir satu dasawarsa baru berakhir setelah datangnya Gubernur Jenderal Daendels. Dinamika penataan wilayah yang dialami Cianjur pada era Daendels maupun Raffles tidaklah secara otomatis membawa pengaruh besar terhadap keberadaan struktur politik di Cianjur. Selama masa penataan wilayah itu, bisa dikatakan tidak ada perubahan yang cukup berarti pada struktur politik di tingkat kabupaten. Bupati tetap merupakan pemegang kekuasaan tradisional tertinggi di Cianjur serta tetap pula menjadi jabatan politik tertinggi di Cianjur. Namun demikian, dilihat dari hak dan kewenangan bupati, baik pada masa Daendels maupun Raffles, terjadi perubahan yang sangat mendasar yang mengarah pada terjadinya degradasi kedudukan bupati. Bupati tidak saja diturunkan kedudukannya menjadi pegawai pemerintah semata, tetapi juga mengalami modifikasi prinsip pewarisan jabatan yang memaksanya untuk tunduk kepada pengangkatan (era Daendels) serta kehilangan hak untuk memungut pajak (era Raffles).

Perubahan lain yang cukup mendasar, terjadi pada struktur politik di bawah kabupaten. Sejak Daendels berkuasa, mulailah diperkenalkan struktur yang lebih tegas pada pemerintahan di tingkat desa. Dengan demikian, Cianjur pun mulai mengenal adanya struktur politik pada tingkat desa. Unit teritorial yang mencakup lebih dari sepuluh keluarga dipimpin oleh seorang kuwu atau mantri dan petinggi atau lurah. Unit teritorial yang berpenduduk kurang dari 10 keluarga dikepalai oleh lurah. Satu-satunya tugas yang diberikan Daendels kepada kepala desa adalah memelihara keamanan di dalam wilayahnya.[18]

Memasuki dasawarsa kedua abad ke-19, sebuah fungsi baru diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada Cianjur, yakni fungsi sebagai pusat kekuasaan kolonial. Cianjur dijadikan sebagai ibukota karesidenan Priangan. Dengan adanya fungsi baru tersebut, maka kedudukan Cianjur di mata pemerintah kolonial Belanda secara otomatis mengalami peningkatan. Pasca Cianjur menjadi pusat pemerintah kolonial di karesidenan Priangan, secara politis status Cianjur setidaknya berada setingkat lebih tinggi dibanding kabupaten-kabupaten lain yang ada di Priangan.

Dalam hal transformasi sistem politik, perubahan-perubahan politik yang terjadi di Cianjur sejak dasawarsa kedua abad ke-19 ini secara umum dapat dibagi dalam dua bagian, yakni perubahan dalam struktur politik kolonial dan perubahan dalam struktur politik tradisional. Perubahan dalam struktur politik kolonial secara jelas terlihat saat Cianjur menjadi ibukota karesidenan Priangan dan saat Cianjur tidak lagi menjadi ibukota karesidenan Priangan. Pada saat Cianjur menjadi ibukota karesidenan Priangan, pejabat kolonial tertinggi yang berkedudukan di Cianjur adalah residen. Pada masa-masa awal berlangsungnya pemerintahan karesidenan di Cianjur, struktur politik kolonial ini bisa dikatakan masih sangat sederhana. Di samping residen, hanya ada seorang pejabat kolonial lain yang menyertai residen, yakni inspektur penanaman kopi. Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya struktur politik kolonial ini dilengkapi pula dengan seorang sekretaris, seorang kommies kelas satu, seorang kommies kelas dua, seorang kommies kelas tiga, dan tiga orang asisten untuk membantu tugas-tugas inspektur penanaman kopi. Menjelang terjadinya perpindahan ibukota karesidenan, struktur politik kolonial di Cianjur terdiri dari: C. van der Moore (residen), W.J. Pahud (sekretaris residen), W.F. Betz (2e kommiezen), dan J.H. Scipio (3e kommiezen).[19] Di luar residen C. Van Moore (1858-1864), selama Cianjur menjadi ibukota karesidenan Priangan, setidaknya masih ada 10 orang residen yang pernah bertugas di Cianjur. Kesepuluh residen tersebut adalah P.W.L. van Motman (1816-1820), R.L.J. Baron van der Capellen (1820-1825), P. Le Clercq (1825-1828 dan 1837-1839), O.C. Holmberg de Beckfeld (1828-1837), Jhr.J.F. Hora Siccama (1839-1841), J.B. Cleerens (1841-1846), P.J. Overhand (1846-1850), C.P.C. Steinmetz (1851-1855), dan Jhr.Mr.H.C. van der Wijck (1855-1858).

Pasca Cianjur tidak lagi menjadi ibukota karesidenan Priangan, sebuah perubahan mendasar terjadi pada struktur politik kolonial di Cianjur. Sejak ibukota karesidenan Priangan pindah dari Cianjur ke Bandung, pejabat kolonial tertinggi yang ditempatkan di Cianjur tidak lagi seorang residen melainkan seorang asisten residen. Ia merupakan wakil residen untuk kabupaten Cianjur. Asisten residen sendiri pada dasarnya memiliki fungsi utama untuk mengawasi tugas-tugas yang dilaksanakan bupati. Berdasarkan penataan wilayah yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1871,[20] jumlah asisten residen yang ditempatkan di kabupaten Cianjur ditambah 1 orang hingga menjadi 2 orang. Para asisten residen kelas dua, yang memiliki penghasilan f 12.180 per tahun masing-masing ditempatkan di afdeling Cianjur dan afdeling Sukabumi.[21] Jumlah asisten residen sebanyak dua orang ini terus berlangsung hingga tahun 1921. Setelah itu, sejalan dengan terjadinya perubahan status administratif afdeling Sukabumi menjadi kabupaten Sukabumi, di kabupaten Cianjur hanya ditempatkan seorang asisten residen. Dari kenyataan ini secara implisit terlihat bahwa secara politis sejak tahun 1871 sebenarnya wilayah kabupaten Cianjur ini telah terbagi menjadi dua. Penempatan dua orang asisten residen di dua afdeling yang ada di bawah kabupaten Cianjur merupakan pertanda terpisahnya afdeling Sukabumi dari kabupaten Cianjur. Keberadaan Cianjur sebagai sebuah kabupaten yang membawahi afdeling Sukabumi dan afdeling Cianjur, dengan demikian terlihat benar-benar hanya sekedar proforma belaka.

Untuk membantu tugas-tugas asisten residen, struktur politik kolonial pada awalnya hanya dilengkapi dengan kommies kelas tiga, yang memiliki penghasilan sebesar f. 150 setiap bulan atau f. 1.800 setiap tahun. Seiring dengan terjadinya perluasan tugas asisten residen, terjadi pula perubahan pada pejabat-pejabat kolonial yang mendampingi asisten residen. Perubahan ini diantaranya ditandai oleh munculnya jabatan-jabatan baru seperti: controleur, politieopziener 1e klasse (pengawas polisi kelas satu) dan luitenant der chineezen.[22] Menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial di Cianjur, struktur politik kolonial di Cianjur, antara lain, terdiri dari: J.E. Ijsebaert (asisten residen), K. Huizenga (adspirant-controleur), Raden Supriyo (commies-redacteur), dan J. Fabriek (veldpolitie Cianjur, inspecteur van politie).[23]

Berbeda dengan perubahan yang terjadi pada struktur politik kolonial, yang hanya tampak terjadi pada suprastruktur politik saja, perubahan yang terjadi pada struktur politik tradisional bisa dikatakan jauh lebih mendasar dan lebih dinamis. Perbedaan ini sejalan pula dengan beragamnya penataan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, dari mulai perubahan wilayah administratif hingga peraturan- peraturan yang secara khusus ditujukan bagi para pejabat pribumi yang ada dalam struktur politik tradisional.

Semasa Cianjur menjadi ibukota karesidenan, kedudukan bupati bisa dikatakan mengalami perubahan yang cukup berarti. Bila pada era Komisaris Jenderal kedudukan bupati Cianjur bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan era Daendels dan Raffles, maka  tidak demikian halnya pada era Sistem Tanam Paksa yang diintroduksikan Van den Bosch pada tahun 1830. Dalam era Sistem Tanam Paksa, kedudukan bupati Cianjur bisa dikatakan mengalami peningkatan kembali setelah pemerintah kolonial Belanda mengembalikan kedudukan bupati seperti pada era VOC dengan kekuasaan penuh dan hak mewariskan jabatan.[24]

Pasca terjadinya perpindahan ibukota karesidenan, keberadaan bupati Cianjur sebagai penguasa tradisional tertinggi kembali mengalami perubahan-perubahan yang cukup mendasar, khususnya bila dilihat dari pasang-surut kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional. Berbeda dengan semasa menjadi ibukota karesidenan, perubahan kedudukan bupati yang terjadi pasca Cianjur tidak lagi menjadi ibukota karesidenan justru berlangsung sebaliknya, dalam arti dari kedudukan tradisional yang semula kuat menjadi lemah. Lebih dari itu, penataan wilayah administratif yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap wilayah Cianjur pasca terjadinya perpindahan ibukota karesidenan Priangan, secara perlahan tapi pasti juga telah mengakibatkan berkurangnya kekuasaan politik bupati Cianjur. Perubahan kekuasaan politik yang terbilang paling besar, dialami bupati Cianjur ketika pemerintah Belanda membagi wilayah kabupaten Cianjur ke  dalam dua buah afdeling, yakni afdeling Cianjur dan afdeling Sukabumi, sejak tahun 1871.

Berkaitan dengan pembagian wilayah kabupaten Cianjur atas afdeling Cianjur dan afdeling Sukabumi, sebenarnya bila dilihat secara sepintas tampak tidak ada pengaruh yang cukup berarti terhadap kedudukan bupati Cianjur karena wilayah kekuasaannya seperti tidak mengalami perubahan berarti. Namun bila diamati lebih seksama, penataan wilayah ini telah mengurangi wilayah kekuasaan bupati Cianjur mengingat wilayah pecahan kabupaten Cianjur, yakni afdeling Sukabumi, sejak terbentuk tahun 1871, secara administratif sudah tidak lagi berada di tangan bupati Cianjur tetapi telah berada di tangan patih afdeling.[25] Dengan demikian, perubahan afdeling Sukabumi menjadi kabupaten Sukabumi pada tahun 1921, pada dasarnya hanya sekedar penegasan formal dari terjadinya pengurangan kekuasaan politik bupati Cianjur.

Sebelum itu, sejak ditempatkannya asisten residen di Cianjur pada tahun 1864, bupati Cianjur pun pada dasarnya telah mengalami pengurangan kekuasaan di bidang pemerintahan. Pengurangan kekuasaan di bidang pemerintahan ini diikuti pula oleh penghapusan hak bupati untuk memungut pajak dari rakyat dalam bentuk uang, hasil bumi, dan tenaga kerja.[26] Sebagai gantinya, bupati Cianjur kembali menerima surat pengangkatan dari Gubernur Jenderal sebagai pegawai pemerintah, berdasarkan besluit Gubernur Jenderal  tanggal 5 Mei dan 20 Juni 1871. Adapun gaji tetap untuk bupati Cianjur ditetapkan sebesar f 20.000 ditambah tunjangan sebesar f 24.000 sehingga jumlah total gaji bupati Cianjur adalah f 44.000. Di samping penghasilan tersebut, bupati Cianjur juga masih memperoleh pemasukan tambahan dari prosentase hasil penyerahan kopi kepada pemerintah. Besarnya prosentase adalah f. 1 untuk setiap pikul. Maksimum prosentase dari penyerahan kopi yang ditetapkan untuk bupati Cianjur adalah f. 30.000. Prosentase maksimum yang ditetapkan untuk bupati Cianjur ini jauh di bawah prosentase maksimum yang ditetapkan untuk bupati Bandung, yakni sebesar f. 82.000. Di luar kedua bupati tersebut, prosentase maksimum dari penyerahan kopi yang ditetapkan untuk tiga bupati lainnya adalah f. 30.000 untuk bupati Sumedang, f. 10.000 untuk bupati Limbangan, dan f. 6.000 untuk bupati Sukapura.[27] Akhirnya, sejak tahun 1913, sebagaimana bupati-bupati lain di Priangan, bupati Cianjur juga kehilangan hak tradisional untuk mewariskan jabatan.[28]

Pada struktur politik di bawah bupati, perubahan yang terjadi bisa dikatakan tidak hanya berupa perubahan yang sifatnya kuantitatif tetapi juga berupa perubahan yang sifatnya perluasan birokrasi pemerintahan tradisional. Pada masa-masa awal Cianjur menjadi ibukota karesidenan Priangan, struktur politik tradisional yang berkembang di Cianjur tampak belum terlalu rumit. Di samping bupati, pejabat tradisional lain yang ada di Cianjur adalah hoofd-jaksa dan jaksa. Untuk mengelola wilayah Cianjur yang demikian luas, bupati Cianjur dibantu pula oleh kepala distrik, kepala onderdistrik, kepala desa, dan kepala kampung. Di luar kepala-kepala wilayah itu, terdapat pejabat-pejabat tradisional lain yang sebagian besar di antaranya merupakan bawahan langsung kepala distrik, yaitu pangarang, ingabehi, lengser, patingggi, mandor kebon kopi, dan juru tulis. Pada tahun 1832, di luar bupati, penduduk pribumi yang menduduki struktur politik tradisional, terdiri dari 6 orang hoofd-jaksa, 46 orang jaksa, 22 orang kepala distrik (kapala cutak), 32 orang kepala onderdistrik (camat), 601 orang kepala desa (lurah), 1.751 orang kepala kampung, 48 orang pangarang, 31 orang ingabehi, 186 orang lengser, 119 orang patinggi, 444 orang mandor kopi, dan 51 orang juru tulis.

Memasuki tahun 1864, seiring dengan berlangsungnya penataan-penataan wilayah administratif, terjadi pula perubahan pada struktur politik tradisional di bawah bupati. Kepala distrik yang pada tahun 1832 berjumlah 22 orang, pada tahun 1864 tinggal 17 orang. Sebutannya pun sejak tahun 1849 telah berubah, dari kapala cutak menjadi wedana. Camat, yang pada tahun 1832 berjumlah 32, pada tahun 1864 bertambah satu, menjadi 33 orang. Lurah, yang pada tahun 1832 ada 601 orang, pada tahun 1864 berkurang lebih dari setengahnya, hingga tinggal 270 orang. Jabatan baru pada lapis atas struktur politik tradisional yang muncul pasca tahun 1832 adalah jabatan patih. Pada lapis bawah, setelah tahun 1832, struktur politik tradisional dilengkapi pula dengan jabatan-jabatan lain yang relatif baru, seperti: pancalang, mantri ulu-ulu, mantri gudang kopi, jagasatru, gebaijan, dan santana. Hingga akhir tahun 1864, di Cianjur setidaknya ada 17 orang jagasatru, 17 orang gebaijan, 145 orang mandor kebon kopi, 12 orang mantri gudang kopi, 17 orang mantri ulu-ulu, 348 orang pancalang, dan 135 orang santana.[29]

Untuk tugas-tugas di bidang keagamaan, struktur politik tradisional di Cianjur mengenal pula pejabat-pejabat tradisional, seperti penghulu dan kleine penghulu (penghulu kecil). Para penghulu ini dalam tugasnya juga dibantu oleh ketibs (khatib) dan modins (muadzin). Jumlah pejabat tradisional yang bertugas di bidang keagamaan ini pada tahun 1832 tercatat sebanyak 705 orang, yang terdiri dari 31 orang penghulu, 474 kleine penghulu, 65 orang ketibs, dan 135 orang modins.[30] Dalam perkembangan selanjutnya, di samping penghulu, ketibs, dan modins, muncul pula jabatan-jabatan lain di bidang keagamaan, yakni chalifah, amil, dan marbot.[31] Di luar para pemimpin agama yang berada dalam suprastruktur ada pula para pemimpin agama yang berada dalam infrastruktur, yakni para haji. Dari perkembangan ini, pada tahun 1856 di Cianjur setidaknya tercatat ada 893 orang pemimpin agama, yang terdiri dari 1 orang hoofdpenghulu, 26 orang penghulu, 32 orang chalifah, 79 orang ketibs (khatib), 131 orang modins, 422 orang amil, 32 orang marbot, dan 170 orang haji.[32]

Pasca Cianjur tidak lagi menjadi ibukota karesidenan Priangan, struktur politik tradisional di Cianjur pada dasarnya tetap memperlihatkan perkembangan yang menarik. Perkembangan ini tidak hanya ditandai oleh terjadinya peningkatan jumlah pegawai pada pos-pos pekerjaan yang lama tetapi juga kembali ditandai oleh munculnya pos-pos jabatan baru bagi penduduk pribumi, meskipun peningkatannya tidak sebanyak peningkatan yang terjadi sebelum tahun 1864. Pos-pos jabatan baru yang muncul di Cianjur sesudah tahun 1864 di antaranya adalah mantri kabupaten, ondercollecteur, opas, dan mantri voor waterleidingen.[33] Sejak 1 Januari 1871, jabatan-jabatan dalam struktur politik tradisional di Cianjur yang diakui oleh pemerintah kolonial, di luar bupati dan patih, terdiri dari, mantri kabupaten, jaksa, wakil jaksa, penghulu kepala (hoofdpenghulu), kepala distrik, kepala onderdistrik, ondercollecteur, mantri voor waterleidingen, juru tulis, dan opas. Bersamaan dengan keluarnya ketentuan ini, pemerintah kolonial juga memutuskan untuk menghapus semua jabatan lain dalam struktur politik tradisional yang pernah dikenal sebelumnya, kecuali jabatan-jabatan dalam pemerintahan desa.[34]

Untuk pemimpin keagamaan, perkembangan paling menarik terjadi pada tokoh agama yang berada dalam infrastruktur. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Cianjur yang berangkat ke tanah suci relatif terus bertambah. Hal ini juga terus berlangsung pasca terjadinya perpindahan ibukota Priangan. Peningkatan jumlah penduduk Cianjur yang berangkat ke tanah suci berpengaruh terhadap jumlah haji di Cianjur. Pada tahun 1873, jumlah haji yang dimiliki Cianjur mencapai 907 orang. Bila dibandingkan dengan tahun 1856, jumlah haji pada tahun 1873 ini memperlihatkan adanya penambahan haji sebanyak 737 orang.[35] Tidak seperti halnya haji, para pemimpin agama yang berada dalam suprastruktur, baik penghulu maupun pegawai yang bertugas membantu penghulu, terlihat mengalami penurunan. Penghulu yang pada tahun 1856 berjumlah 27 orang, memasuki tahun 1873 jumlahnya tinggal 21 orang, yang terdiri dari seorang hoofd-penghulu (ditempatkan di afdeling Cianjur), seorang penghulu (ditempatkan di afdeling Sukabumi), dan 19 penghulu distrik (12 di Cianjur dan 7 di Sukabumi). Chalifah, yang pada tahun 1856 berjumlah 32 orang, tahun 1873 jumlahnya berkurang hingga tinggal 30 orang. Ketibs, yang pada tahun 1856 berjumlah 79 orang, pada tahun 1873 jumlahnya menurun hampir setengahnya hingga tinggal 40 orang. Modins, yang pada tahun 1856 berjumlah 131 orang, pada tahun 1873 jumlahnya juga menurun secara drastis hingga tinggal 59 orang. Amil, yang pada tahun 1856 berjumlah 422 orang, pada tahun 1873 menurun hingga tinggal 288 orang. Merbot, yang pada tahun 1856 berjumlah 32 orang, pada tahun 1873 juga terlihat mengalami pengurangan hingga tinggal 30 orang. Belum diperoleh keterangan tentang faktor penyebab berkurangnya jumlah pemimpin agama yang berada dalam suprastruktur ini.

Sejalan dengan terjadinya penataan wilayah administratif pada tingkat distrik, terjadi pula perubahan-perubahan yang sifatnya kuantitatif pada jabatan-jabatan setingkat kepala distrik, kepala onderdistrik, dan kepala desa. Pasca reorganisasi pemerintahan yang berlangsung pada tahun 1882, di kabupaten Cianjur terdapat 16 orang kepala distrik (wedana) dan 39 orang kepala onderdistrik (asisten wedana). Dari 16 orang wedana yang memerintah di kabupaten Cianjur, 9 orang berada di afdeling Cianjur, dan 7 orang berada di afdeling Sukabumi. Dari 39 orang asisten wedana yang bertugas di kabupaten Cianjur, 21 orang bertugas di afdeling Cianjur, dan 18 orang bertugas di afdeling Sukabumi.[36] Bila diamati lebih lanjut, jumlah kepala onderdistrik yang ada di kabupaten Cianjur tampak tidak sebanding dengan jumlah onderdistrik. Perbedaan jumlah kepala onderdistrik dan jumlah onderdistrik ini terjadi dikarenakan tidak semua onderdistrik memiliki kepala onderdistrik setingkat asisten wedana. Di luar onderdistrik yang diperintah oleh asisten wedana, ada beberapa onderdistrik, khususnya onderdistrik yang menjadi tempat kedudukan ibukota distrik, yang diperintah langsung oleh wedana sehingga tidak memiliki asisten wedana.

Keberadaan asisten wedana sebagai kepala onderdistrik sekaligus pula semakin menegaskan adanya perubahan sebutan pejabat pemerintah yang mengepalai onderdistrik, yang telah dimulai sejak tahun 1874. Sebagai kepala onderdistrik, seorang asisten wedana masih membawahi lagi kurang lebih 15 desa.[37] Dalam kedudukannya sebagai pegawai pemerintah, para kepala distrik dan onderdistrik mendapat gaji tetap dari pemerintah. Untuk wedana, diberikan gaji sebesar f 2.400 setiap tahun; asisten wedana kelas satu f 1.200 setiap tahun; dan asisten wedana kelas dua diberikan gaji f 780 setiap tahun.[38]

Menyertai berbagai penataan pada tingkat distrik dan onderdistrik, terjadi pula perubahan-perubahan pada tingkat desa. Sebagaimana halnya perubahan pada tingkat distrik dan onderdistrik, perubahan jumlah desa secara otomatis akan membawa perubahan pula terhadap jumlah kepala desa. Pengurangan jumlah desa dari 270 desa di tahun 1864 menjadi 157 desa pada dasawarsa terakhir abad ke-19, secara otomatis menyebabkan berkurangnya jumlah kepala desa di Cianjur dari 270 menjadi 157 kepala desa. Demikian pula halnya ketika jumlah desa yang ada di Cianjur berkurang menjadi 133 desa pada tahun 1926. Pada dasawarsa ketiga abad ke-20 tersebut, jumlah seluruh pamong desa yang ada di Cianjur ada 1.318 orang. Di luar kepala desa yang berjumlah 133 orang, pamong desa yang bertugas di Cianjur terdiri dari 27 orang wakil kepala desa, 684 orang kepala kampung, 133 orang juru tulis, 55 orang pegawai pengairan, 216 orang pegawai polisi, dan 203 orang modin.[39] Dari 133 kepala desa yang ada di Cianjur, sebanyak 45 orang kepala desa memiliki penghasilan antara f 1.200 hingga f 1.800; 28 orang kepala desa memiliki penghasilan antara f 900 hingga f 1.200; 27 orang kepala desa memiliki penghasilan antara f 1.800 hingga f 2.400; 20 orang kepala desa memiliki penghasilan antara f 600 hingga f 900; 11 orang kepala desa memiliki penghasilan di atas f 2.400; dan 2 orang kepala desa memiliki penghasilan di bawah f 600.[40] Memasuki dasawarsa terakhir abad ke-19, jumlah pamong desa di kabupaten Cianjur meningkat menjadi 1.549 orang, termasuk di dalamnya 132 orang juru tulis. Berbeda dengan para kepala desa lainnya yang ada di Priangan, para kepala desa yang ada di Cianjur ini tidak memperoleh tanah bengkok. Oleh karena itu, sumber penghasilan para kepala desa di Cianjur, antara lain berasal dari upah memungut pajak, iuran tidak tetap, dan uang jasa dari bank dan lumbung desa.[41]

Memasuki awal abad ke-20, sebagai dampak penataan wilayah administratif di kabupaten Cianjur, struktur politik tradisional di kabupaten Cianjur, secara umum terbagi atas dua struktur besar. Pertama, struktur politik tradisional yang ada di afdeling Cianjur. Kedua, struktur politik tradisional yang ada di afdeling Sukabumi. Di samping bupati, pada lapis atas struktur politik tradisional yang ada di afdeling Cianjur terdapat pula pejabat tradisional lain, yakni patih. Untuk jabatan patih, dipegang oleh Raden Demang Natakusumah. Ia menjadi patih Cianjur sejak tanggal 3 Juli 1894. Di bawah patih terdapat pula jabatan ondercollecteur dan wedana. Jabatan ondercollecteur dipegang oleh Mas Rangga Wira Di Sastra. Untuk jabatan wedana, pada awal abad ke-20 ada 8 orang wedana yang memerintah di Cianjur.[42]

Sedikit berbeda dengan afdeling Cianjur, untuk afdeling Sukabumi, struktur politik tradisionalnya tidak memiliki pejabat tradisional setingkat bupati. Sebagai gantinya, di afdeling Sukabumi ditempatkan seorang patih afdeling. Dengan demikian, kekuasaan tertinggi pada struktur politik tradisional di afdeling Sukabumi berada di tangan patih afdeling. Patih afdeling Sukabumi membawahi tujuh orang kepala distrik. Pada awal abad ke-20, jabatan patih afdeling Sukabumi dipegang oleh Raden Suria Nata Pamekas. Ia memegang jabatan patih afdeling Sukabumi sejak tanggal 8 Oktober 1895.[43]

Memasuki dua dasawarsa terakhir kekuasaan kolonial Belanda, struktur politik tradisional di Cianjur kembali ditandai oleh adanya berbagai perubahan. Di luar jabatan bupati dan patih, dikenal pula jabatan lain yang relatif baru, yakni regentschapssecretaris 1e klasse (sekretaris kelas 1 kabupaten), dan adjunct-regentschapssecretaris (wakil sekretaris kabupaten). Untuk jabatan patih, dipegang oleh Raden Sumawirya. Sumawirya, yang merupakan patih terakhir Cianjur di era kolonial Belanda, diangkat menjadi patih sejak tanggal 30 Juni 1936. Untuk jabatan sekretaris kelas 1 kabupaten dan wakil sekretaris kabupaten,  masing-masing dipegang oleh Mas Abdurachman dan Entol Junaedi Satiawiharja. Mas Abdurachman memegang jabatan sekretaris kelas 1 kabupaten sejak tanggal 9 Desember 1832. Entol memegang jabatan wakil sekretaris sejak tanggal 23 April 1938.[44]

Untuk tingkat distrik, di samping wedana, terdapat pula jabatan asisten wedana dan mantri polisi.[45] Pada akhir kekuasaan kolonial hanya ada lima orang wedana yang memerintah di kabupaten Cianjur. Kelima wedana tersebut masing-masing mengepalai sebuah distrik. Untuk distrik Cianjur, jabatan wedana sejak tanggal 23 Desember 1938 dipegang oleh Raden Abas Wilagasumantri. Untuk distrik Pacet, jabatan wedana dipegang oleh Raden Danu Sumawilaga sejak tanggal 8 Oktober 1937. Untuk distrik Ciranjang, dipegang oleh Raden Adikusumah sejak tanggal 4 April 1939. Untuk distrik Sukanagara, sejak tanggal 10 Januari 1938 dipegang oleh Raden Kahpi Sutadikusumah. Untuk distrik Sindangbarang, dipegang oleh Raden Sueb Suriaatmaja sejak tanggal 2 Agustus 1939.[46]

Di luar perubahan-perubahan di atas, keberadaan struktur politik di Cianjur diwarnai pula oleh sebuah perubahan yang sangat mendasar, yakni berdirinya dewan kabupaten (regentschapsraad). Berdasarkan artikel 2 dan 3, jumlah anggota dewan kabupaten Cianjur ditetapkan sebanyak 25 orang, yang terdiri dari 4 orang Belanda, 19 pribumi, dan 2 orang non pribumi yang bukan Belanda. Dari 19 anggota pribumi, 13 orang merupakan anggota dewan hasil pemilihan, dengan perincian: hasil pemilihan dari distrik Cianjur 2 orang, distrik Ciranjang 1 orang, distrik Cikalong Kulon 1 orang, distrik Pacet 2 orang, distrik Cibeber 2 orang, distrik Sukanagara 2 orang, dan hasil pemilihan dari distrik Sindangbarang 2 orang.[47] Dengan demikian, bila dilihat dari proses menjadi anggota dewan, dari 25 anggota dewan kabupaten di Cianjur, 13 orang merupakan hasil pemilihan dan 12 orang merupakan hasil pengangkatan. Dari 25 orang anggota dewan kabupaten yang ditetapkan tanggal 2 Oktober 1929, hingga akhir Mei 1933 hanya tinggal 21 orang yang masih aktif menjalankan tugasnya. Empat orang anggota dewan yang tidak lagi aktif menjalankan tugas, tiga orang merupakan anggota dewan hasil pemilihan dan seorang merupakan anggota dewan hasil pengangkatan. Dilihat dari latar belakang pekerjaan, di samping pejabat pemerintah seperti asisten residen, wedana, dan asisten wedana, ada pula anggota dewan yang berasal dari kalangan non pemerintahan seperti guru, pedagang, dan pengusaha perkebunan. Adapun daftar lengkap anggota dewan kabupaten Cianjur, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

 

 

Daftar Nama Anggota Dewan Kabupaten Cianjur

(Keadaan Hingga Akhir Mei 1933) [48]

 

 

Nama

 

Pekerjaan

Pemilihan

atau

Pengangkatan

1. M. Soerapradja Guru pemilihan
2. R.H. Mubarak Swasta pengangkatan
3. M. Kartamihardja kepala desa pemilihan
4. M. Soekartaatmadja asisten wedana pemilihan
5. R. Martadisastra Guru pemilihan
6. Liauw Han Liang Pedagang pengangkatan
7. M. Djajadikarta asisten wedana pemilihan
8. Oeij Liang Tiam Pedagang pengangkatan
9. H. Kartawidjaja asisten wedana pemilihan
10. L.E. van Hecking

Colenbrander

asisten residen pengangkatan
11. F.J.L. Claassen planter pengangkatan
12. M. Soedarga adspirant boscharchitect pengangkatan
13. M. Alka adjunct landbouw

consulent

pengangkatan
14. D. Platt administrateur

 landbowhouve

pengangkatan
15. R. Rg. Wangsaatmadja Wedana pemilihan
16. R. Marijoen hoofdopzichter

 prov. irigatie

pengangkatan
17. M. Wirasendjaja guru pemilihan
18. R.D. Soemawilaga asisten wedana pemilihan
19. R.H. Abdoeladjiz swasta pemilihan
20. M. Th. Laupman planter pengangkatan
21. R.H. Mh. Saleh hoofdpenghulu pengangkatan

 

 

Perubahan politik lain di Cianjur, yang tidak kalah menarik untuk diamati, adalah perubahan yang menyangkut keberadaan trah (kelompok keturunan) Wira Tanu Datar. Walaupun trah Wira Tanu Datar masih tampak mendominasi struktur politik kabupaten Cianjur, baik saat Cianjur menjadi ibukota karesidenan Priangan maupun sesudah tidak lagi menjadi ibukota karesidenan Priangan, akan tetapi tampak terjadi pergeseran dalam pola penggantian jabatan bupati.[49] Pada masa VOC, jabatan sebagai bupati bisa dikatakan seluruhnya diturunkan kepada  putera lelaki tertua bupati yang tengah berkuasa. Memasuki abad ke-19 dan abad ke-20, ternyata pola penggantian bupati dari orang tua kepada putera lelaki tertua ini tampak tidak pernah terjadi lagi. Namun demikian, tidak dikenalnya pola penggantian jabatan bupati dari orang tua kepada putera lelaki tertua ini, tidak berarti menandakan bahwa pola peralihan jabatan bupati yang diturunkan oleh orang tua kepada anak, sudah tidak dikenal sama sekali. Dari tujuh orang bupati yang berkuasa di Cianjur dalam kurun waktu 1816 hingga 1942, setidaknya ada dua orang bupati yang masih menurunkan kekuasaannya kepada putera lelakinya, yakni R.A.A. Prawiradireja I (1813-1833) dan R.A.A. Kusumahningrat (1834-1862).

R.A.A. Prawiradireja I digantikan oleh putera lelakinya nomor lima, Raden Hasan atau R.A.A. Kusumahningrat (1834-1862). Sebenarnya, sebelum Raden Hasan naik sebagai bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradireja I, dengan persetujuan Residen Priangan O.C. Holmberg de Beckfeld, sempat memberi kesempatan kepada putera lelakinya yang nomor empat, Raden Wiranagara, untuk menjabat bupati Cianjur. Namun, dalam masa percobaan selama dua tahun yang diberikan pemerintah kolonial Belanda, Raden Wiranagara ternyata gagal memperlihatkan kemampuannya kepada pemerintah kolonial untuk memimpin kabupaten Cianjur. Atas dasar itu, maka diangkatlah adik lain ibu Raden Wiranagara, yakni Raden Hasan, sebagai bupati Cianjur. Peralihan kekuasaan bupati dari R.A.A. Prawiradireja I kepada Raden Hasan di samping merupakan pergantian bupati pertama yang terjadi dalam kurun waktu 1816-1942, sekaligus memperlihatkan tetap bertahannya trah Wira Tanu Datar sebagai pemegang puncak kekuasaan di kabupaten Cianjur. R.A.A. Kusumahningrat, digantikan oleh putera lelaki nomor tiga yakni Raden Alibasah atau R.A.A. Prawiradireja II. Peralihan kekuasaan bupati dari R.A.A. Kusumahningrat kepada R.A.A. Prawiradireja II ini sekaligus pula merupakan peralihan kekuasaan bupati terakhir di Cianjur yang memiliki pola peralihan dari orang tua kepada putera lelakinya.

Di luar R.A.A. Prawiradireja I dan R.A.A. Kusumahningrat, pola peralihan kekuasaan yang dilakukan tiga bupati lainnya tampak berbeda-beda. R.A.A. Prawiradireja II, meskipun memiliki putera lelaki, tetapi tidak menurunkan kekuasaannya kepada putera lelakinya. Penggantinya adalah menantunya, Raden Muharam Wiranatakusumah, bekas camat Cibeureum, kabupaten Bandung. Naiknya Raden Muharam Wiranatakusumah atau Raden Aria Adipati Wiranatakusumah sebagai bupati Cianjur (1912-1920), bisa dikatakan telah menjadikannya sebagai bupati Cianjur pertama yang bukan berasal dari trah Wira Tanu Datar. Ketika R.A.A. Wiranatakusumah dialihkan tugasnya sebagai bupati Bandung, jabatan bupati Cianjur dialihkan kepada Suriadiningrat atau Raden Aria Adipati Suriadiningrat (1920-1935).[50] Suriadiningrat bisa dikatakan tidak memiliki hubungan darah sama sekali dengan R.A.A. Wiranatakusumah. Dengan demikian, R.A.A. Suriadiningrat bisa dikatakan merupakan bupati kedua di Cianjur yang bukan berasal dari trah Wira Tanu Datar.

Sama halnya dengan R.A.A. Wiranatakusumah, R.A.A. Suriadiningrat pun ketika turun dari jabatannya sebagai bupati Cianjur, tidak menurunkan kekuasaannya kepada putera lelakinya, tetapi menyerahkannya kepada Raden Abas atau R.A.A. Suria Nata Atmaja.[51] Meskipun bupati yang menggantikannya tidak memiliki hubungan darah dengan bupati yang digantikan, tetapi bupati yang berkuasa hingga akhir kekuasaan kolonial Belanda ini masih merupakan keturunan trah Wira Tanu Datar. Bahkan, ia merupakan keponakan dari R.A.A. Wira Tanu Datar VIII dan buyut dari R.A.A. Wira Tanu Datar VI. Dengan naiknya R.A.A. Suria Nata Atmaja sebagai bupati Cianjur berarti pula menunjukan kembalinya trah Wira Tanu Datar sebagai pemegang puncak kekuasaan kabupaten Cianjur setelah kurang lebih selama 22 tahun sempat dijabat oleh orang di luar trah Wira Tanu Datar.

Di samping mendominasi kedudukan bupati Cianjur, trah Wira Tanu Datar juga terlihat mendominasi beberapa jabatan penting di dalam struktur politik kabupaten Cianjur. Jabatan-jabatan patih, wedana, asisten wedana, dan penghulu, merupakan jabatan-jabatan penting yang sebagian besar dikuasai trah Wira Tanu Datar. Jabatan penting lain yang juga sering diduduki trah Wira Tanu Datar adalah kumetir penanaman kopi. Trah Wira Tanu Datar yang pernah memegang jabatan sebagai kumetir penanaman kopi, antara lain, adalah Raden Wiranagara. Trah Wira Tanu Datar yang pernah memegang jabatan wedana, yakni Wedana Pesser, adalah Raden Anhar Surianingrat. Trah Wira Tanu Datar yang pernah menjabat patih umumnya adalah mereka-mereka yang kemudian menjabat sebagai bupati Cianjur.

Di luar Kabupaten Cianjur, trah Wira Tanu Datar juga pernah memainkan peran cukup penting di tiga kabupaten lain yang ada di Priangan, yakni Sumedang, Garut, dan Sukapura. Di tiga kabupaten tersebut, tidak hanya jabatan setingkat camat dan wedana yang diduduki trah Wira Tanu Datar tetapi juga jabatan bupati. Mobilisasi lateral trah Wira Tanu Datar di kabupaten Sumedang dimulai ketika terjadi perkawinan antara Raden Suranagara, cucu Bupati Sumedang Dalem Adipati Surianagara (1761-1765), dengan Lenggang Kusumah, cucu Bupati Cianjur R.A.A. Wira Tanu Datar IV (1727-1761), ketika Raden Suranagara mengasingkan diri ke Cianjur. Atas peran besar yang dimainkan R.A.A. Wira Tanu Datar VI, beberapa waktu kemudian Adipati Suranagara berhasil memangku jabatan bupati Sumedang, dengan gelar Pangeran Kusumah Dinata atau lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Kornel. Setelah Pangeran Kusumah Dinata turun dari jabatannya sebagai bupati Sumedang (1791-1828), salah seorang putera dari hasil perkawinannya dengan trah Wira Tanu Datar (Lenggang Kusumah), yakni Raden Ewok, naik menggantikan kedudukannya. Setelah menjadi bupati, anggota trah Wira Tanu Datar ini menggunakan gelar Adipati Kusumah Yuda. Adipati Kusumah Yuda menjadi bupati Sumedang hingga tahun 1833. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya, Tumenggung Kusumah Ningrat alias Adipati Kusumah Dinata,  bekas bupati Limbangan.

Bila di kabupaten Sumedang, trah Wira Tanu Datar yang menjadi bupati hanya satu orang maka tidak demikian halnya dengan di kabupaten Garut. Trah pertama Wira Tanu Datar yang menjadi bupati Garut adalah Raden Abas, yang semasa kecil diasuh oleh Bupati Sumedang Pangeran Kusumah Dinata. Sebelum menjadi bupati Garut, dengan gelar Adipati Suria Natakusumah (1837-1871), putra bungsu  R.A.A. Wira Tanu Datar VI ini sempat memangku jabatan patih Limbangan dan bupati Limbangan. Raden Abas beristrikan Nyi Raden Purnama, puteri Bupati Limbangan Tumenggung Kusumah Ningrat, dan buyut Pangeran Kusumah Dinata alias Pangeran Kornel. Sepeninggal Adipati Surianata Kusumah, kedudukan bupati Garut dipegang oleh putera lelakinya, Raden Jenon. Berbeda dengan orang tuanya, sewaktu naik menjadi bupati Garut, Raden Jenon menggunakan gelar Raden Adipati Wira Tanu Datar VIII. Hal ini tampaknya dilakukan oleh Raden Jenon untuk menegaskan keberadaannya sebagai salah seorang keturunan trah Wira Tanu Datar. Kekuasaan Raden Adipati Wira Tanu Datar VIII sebagai bupati Garut dipegang hingga tahun 1916.

 

 

Penutup

Wilayah politik Cianjur terbentuk ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Mataram kepada VOC. Dalam perkembangan selanjutnya,     wilayah politik yang didirikan pada tahun 1677 ini, tidak hanya mengalami penetrasi dari VOC tetapi juga mengalami penetrasi dari pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Tanpa bisa dihindari, selama berlangsungnya penetrasi kekuatan-kekuatan asing tersebut, banyak perubahan yang terjadi di Cianjur. Salah satu perubahan cukup fundamental yang terjadi dalam kurun waktu tersebut adalah perubahan dalam sistem politik, khususnya suprastruktur dan infrastruktur politik.      Transformasi sistem politik yang terjadi di Cianjur secara umum dapat dikatakan berlangsung dalam tiga periode besar: masa VOC, masa pemerintah kolonial Inggris, dan masa pemerintah kolonial Belanda. Khusus transformasi sistem politik yang terjadi semasa pemerintah kolonial Belanda dapat dibagi lagi dalam dua bagian besar, yakni masa Cianjur sebagai ibukota karesidenan Priangan dan masa ketika Cianjur tidak lagi menjadi ibukota karesidenan Priangan.

Transformasi politik yang terjadi di Cianjur selama berlangsungnya penetrasi ketiga kekuatan asing tersebut secara umum di antaranya ditandai oleh perubahan wilayah administratif dan perubahan struktur politik. Khusus perubahan wilayah administratif yang terjadi semasa Cianjur menjadi ibukota karesidenan, perubahan wilayah administratif tersebut bisa dikatakan hanya berupa penataan distrik-distrik yang ada di kabupaten Cianjur. Pasca Cianjur tidak lagi menjadi ibukota karesidenan, di samping mengalami perubahan wilayah administratif pada tingkat distrik, Cianjur juga mengalami perubahan wilayah pada tingkat kabupaten. Selain kehilangan afdeling Sukabumi pada tahun 1921, sejak dasawarsa keempat abad ke-20, Cianjur juga tidak lagi dimasukkan dalam wilayah Priangan tetapi dimasukkan ke dalam wilayah Buitenzorg (Bogor).

Dalam abad ke-20, perubahan sistem politik di Cianjur juga ditandai oleh adanya perubahan yang cukup signifikan, yakni berdirinya sebuah suprastruktur politik baru yang bernama regentschapraad. Dewan kabupaten yang dibentuk berdasarkan staatsblad 1925 No.387 ini, memiliki 25 anggota, yang terdiri dari 12 anggota hasil pengangkatan dan 13 anggota hasil pemilihan. Hingga Mei 1933, dari 25 anggota dewan kabupaten yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1929, tinggal 21 orang yang masih aktif menjalankan tugas. Dilihat dari latar belakang pekerjaanya, para anggota dewan yang masih aktif ini tidak hanya berasal dari kalangan pemerintahan seperti asisten residen, wedana, dan asisten wedana, tetapi ada pula yang berasal dari kalangan non pemerintahan seperti pedagang, guru, dan pengusaha perkebunan. Di luar perubahan-perubahan sebagaimana yang telah terungkap di atas, tidak tertutup kemungkinan masih banyak perubahan-perubahan lain yang belum terungkap. Untuk itu, jelas masih cukup terbuka peluang untuk melakukan pengamatan yang lebih mendalam terhadap komponen-komponen lainnya yang menjadi unsur sistem politik Cianjur. Melalui studi tentang transformasi sistem politik di Cianjur ini diharapkan pula dapat melahirkan studi-studi sejenis di wilayah lain atau dapat menjadi pembanding bagi studi-studi sejenis yang telah dilakukan sebelumnya sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih utuh tentang jalannya transformasi politik di berbagai wilayah di Indonesia. Sebuah perkiraan bisa dikedepankan bahwa dalam hal transformasi politik yang terjadi semasa berlangsungnya penetrasi asing, besar kemungkinan, betapapun kecilnya, setiap daerah akan memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang akan membedakannya dengan daerah lain.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, R.A.A. Soeria Nata. 1940. De Regenten-Positie. Bandoeng: Uitgave A.C. Nix & Co..

de Haan, F.. 1911. Priangan: De Preanger-Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Tweede Deel. Batavia: G. Kolff  & Co., 1911.

de Klein, Jacob Wouter. 1931. Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking: Proefschrift. Leiden: ‘s-Gravenhage.

Ekadjati, Edi S.. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium, Jilid I. Jakarta: PT Gramedia.

Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1953. Desa. Jogjakarta: t.p..

Pijper, G.F.. 1984. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Terjemahan. Jakarta: UI-Press.

Pronk, L.. 1929. De Bestuursreorganisatie-Mullemeister op Java en Madoera en Haar Beteekenis voor het Heden. Leiden: M. Dubbeldeman.

Schrieke, B.J.O.. 1974. Penguasa-penguasa Pribumi. Terjemahan. Jakarta: Bhratara.

Surianingrat, Bayu. 1982. Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Jakarta: Rukun Warga Cianjur.

Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya sebuah Elite Birokrasi. Terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan.

van Rees, Otto. 1880. Overzigt van de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen. Batavia: t.p..

 

 

ARSIP

Almanak en Naamregister van Nederlandsch Indie voor 1864. Batavia: Ter Lands Drukkerij.

ANRI. Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1856. Bundel 1/2.

ANRI. Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1864. Bundel No.1/10.

ANRI. Koleksi Arsip Priangan: Algemeen Verslag Nopens den Staat der Preanger.

ANRI. Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1872. Bundel No.1/18.

ANRI. Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1873 (Bundel No.1/19).

ANRI. 1933. Koleksi Mikrofilm MvO Seri 2e: Memorie van Overgave der Residentie Buitenzorg van den Aftredenden Residen van Buitenzorg, Mr. P.M. Letterie. (8 Juni).

Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia. Weltevreden: Landsdrukkerij.

Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia. Batavia: Landsdrukkerij, 1906.

Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia. Batavia: Landsdrukkerij, 1940.

Regentschappen Loopende over den Jare 1830 den Jare 1831 en Meer Specialijk over den Jare 1832. Bundel No.2/3.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1870, No.124.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie overr het Jaar 1882, No.252.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1882, No.253.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over hert Jaar 1883, No.169.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1913, No.459.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1925, No.387.

 

 

[1]Penyerahan wilayah yang pertama dari Mataram kepada VOC dilakukan pada tahun 1677 atau kurang lebih 57 tahun setelah Mataram menguasai wilayah Priangan. Serah terima selanjutnya dari Mataram kepada VOC terjadi tahun 1705. Berdasarkan perjanjian yang dibuat tanggal 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon. Selanjutnya lihat F. de Haan, Priangan: De Preanger-Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Tweede Deel (Batavia: G. Kolff  & Co., 1911), hlm.261.

[2]Bayu Surianingrat, Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur (Jakarta: Rukun Warga Cianjur, 1982), hlm.49.

[3]Lihat Otto van Rees, Overzigt van de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen (Batavia: t.p., 1880), hlm.26.

[4]Bayu Surianingrat, 1982, Op.Cit., hlm.49.

[5]Ibid., hlm.53 dan 92.

[6]Ibid., hlm.71 dan 85.

[7]Ibid., hlm.153-54.

[8]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium, Jilid I (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm.299.

[9]Ibid., hlm.247.

[10]Ibid., hlm.243-49.

[11]Jacob Wouter de Klein, Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking: Proefschrift (Leiden: ‘s-Gravenhage, 1931), hlm.14-6.

[12]Bayu Surianingrat, 1982, Op.Cit., hlm.87.

[13]Secara sederhana ministerialis bisa diartikan sebagai pengabdi-pengabdi yang memiliki pangkat tinggi. Berbeda dengan para bupati di Priangan, para bupati Pantai Utara Pulau Jawa atau Pantai Timur Laut Jawa, ketika naik sebagi bupati oleh VOC diharuskan menandatangani Surat Perjanjian Ikatan (Acte van Verband). Perbedaan ini kemudian dihapuskan sejak era Daendels. Lihat B.J.O. Schrieke, Penguasa-penguasa Pribumi, Terjemahan (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm.59-62; dan R.A.A. Soeria Nata Atmadja, De Regenten-Positie (Bandoeng: Uitgave A.C. Nix & Co., 1940), hlm.7.

[14]Ibid., hlm.49; dan Sartono Kartodirdjo, 1987, Op.Cit., hlm.247-48.

[15]Jacob Wouter de Klein, 1931, Op.Cit., hlm.46-7.

[16]Lihat Bayu Surianingrat, 1982, Op.Cit., hlm.104; dan Jacob Wouter de Klein, 1931, Op.Cit., hlm.21-8.

[17]Sartono Kartodirdjo, 1987, Op.Cit., hlm.245-49.

[18]Lihat J.W. de Klein, 1931, Op.Cit., hlm.49-51; dan Sartono Kartodirdjo, 1987, Op. Cit., hlm.248.

[19]Lihat Almanak en Naamregister van Nederlandsch Indie voor 1864 (Batavia: Ter Lands  Drukkerij), hlm.85-6.

[20]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1870, No.124. Penataan wilayah ini, dengan demikian, dilakukan setelah dihapuskannya Sistem Tanam Paksa tahun 1870 dan Sistem Priangan tahun 1871. Khusus untuk Sistem Priangan, penghapusannya hanya berlaku untuk komoditi di luar kopi. Penanaman wajib kopi di Priangan baru berakhir tahun 1917. Lihat Jacob Wouter de Klein, 1931, Op.Cit., hlm.119-25.

[21]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1870, No.124.

[22]Berdasarkan bersluit 30 Juni 1883, pengangkatan luitenant der chineezen di kabupaten Cianjur  baru dilakukan sejak tahun 1883. Selanjutnya lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie over hert Jaar 1883, No.169.

[23]Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1940), hlm.310-21.

[24]B.J.O. Schrieke, 1974, Op.Cit., hlm.35.

[25]Hingga akhir abad XIX, untuk seluruh Jawa dan Madura, setidaknya ada 11 afdeling yang memiliki patih afdeling. Di samping Sukabumi, 10 afdeling lainnya yang memiliki patih afdeling adalah afdeling Anyer, Cicalengka, Tasikmalaya, Jombang, Sukapura Kolot, Salatiga, Kraksaan, Lumajang, Bawean, dan Jember. Penempatan patih afdeling di sebuah afdeling tidak selalu disebabkan karena adanya pembagian wilayah kabupaten menjadi lebih dari satu afdeling (seperti kasus kabupaten Cianjur), tetapi ada juga yang disebabkan karena terjadinya penggabungan dua buah kabupaten. Hal ini misalnya terjadi pada tahun 1895 ketika kabupaten Salatiga digabungkan dengan kabupaten Semarang. Pasca penggabungan, kabupaten Salatiga berubah menjadi afdeling Salatiga. Di afdeling hasil bentukan baru ini kemudian ditempatkan seorang patih afdeling. Selanjutnya lihat L. Pronk, De Bestuursreorganisatie-Mullemeister op Java en Madoera en Haar Beteekenis voor het Heden (Leiden: M. Dubbeldeman, 1929), hlm.10.

[26]Jacob Wouter de Klein, 1931, Op.Cit., hlm.124.

[27]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1870, No.124.

[28]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1913, No.459.

[29]ANRI, Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1864 (Bundel No.1/10).

[30]ANRI, Koleksi Arsip Priangan: Algemeen Verslag Nopens den Staat der Preanger Regentschappen Loopende over den Jare 1830 den Jare 1831 en Meer Specialijk over den Jare 1832 (Bundel No.2/3).

[31]Penghulu memiliki arti sebagai seorang ahli dalam agama Islam yang diakui dan diangkat oleh pemerintah. Penghulu memiliki tugas-tugas, antara lain, mengadili soal-soal agama menurut hukum Islam, memberi penerangan tentang hukum agama, memimpin mesjid, mengawasi pendidikan agama, dan mengurus serta mencatat pernikahan, perceraian, dan rujuk menurut hukum Islam. Ketibs (khatib) adalah orang yang bertugas menyampaikan khutbah pada hari Jumat dan hari-hari besar Islam. Modins (muadzin) adalah orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Chalifah atau adjunct-penghulu adalah orang yang bertugas untuk mewakili penghulu. Amil adalah orang yang bertugas mengumpulkan zakat, infaq, dan shadaqah. Marbot adalah orang yang memiliki tugas untuk menjaga kebersihan mesjid. Selanjutnya lihat G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Terjemahan (Jakarta: UI-Press, 1984), hlm.67-100.

[32]ANRI, Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1856 (Bundel 1/2).

[33]ANRI, Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1872 (Bundel No.1/18).

[34]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1870, No.124.

[35]ANRI, Koleksi Arsip Priangan: Politiek Verslag 1873 (Bundel No.1/19).

[36]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1882, No.252.

[37]Lihat Heather Sutherland, Terbentuknya sebuah Elite Birokrasi, Terjemahan (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm.53.

[38]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1882, No.253.

[39]Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa (Jogjakarta: t.p., 1953), hlm.380-81 dan 386.

[40]Ibid., hlm.386.

[41]Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm.179 dan 185; dan Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1953, Op.Cit., hlm.387.

[42]Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia (Batavia: Landsdrukkerij, 1906), hlm.165.

[43]Ibid., hlm.166.

[44]Ibid., hlm.316.

[45]ANRI, Koleksi Mikrofilm MvO Seri 2e: Memorie van Overgave der Residentie Buitenzorg van den Aftredenden Residen van Buitenzorg, Mr. P.M. Letterie (8 Juni 1933), hlm.69-70.

[46]Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia (Batavia: Landsdrukkerij, 1940), hlm.316.

[47]Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1925, No.387.

[48]ANRI, Koleksi Mikrofilm MvO Seri 2e: Memorie van Overgave der Residentie Buitenzorg van den Aftredenden Residen van Buitenzorg, Mr. P.M. Letterie (8 Juni 1933), hlm.43-4.

[49]Bayu Surianingrat, Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur (Jakarta: Rukun Warga Cianjur, 1982).

[50]ANRI, Koleksi Mikrofilm MvO Seri 2e: Memorie van Overgave der Residentie Buitenzorg van den Aftredenden Residen van Buitenzorg, Mr. P.M. Letterie (8 Juni 1933), hlm.69.

[51]R.A.A. Suria Nata Atmaja naik menjadi bupati Cianjur sejak tanggal 13 Juni 1935. Lihat Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia (Batavia: Landsdrukkerij, 1940), hlm.293.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *