UPAYA MENANAMKAN NILAI NILAI HAK ASASI MANUSIA MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA[1]

Ratna Hapsari[2]

 

[1] Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS di Bandung tanggal 18-20 Maret 2011

[2].Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI)

Latar Belakang

Realitas yang ada di dalam masyarakat seringkali jauh dari kondisi ideal yang diharapkan oleh individu individu yang menjadi bagian di dalamnya  seperti dalam kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia.  Jika kita menengok  perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari masa ke masa  sangat  banyak ditemukan peristiwa-peristiwa pelanggaran terhadap hak hak asasi manusia seperti pelanggaran terhadap kemerdekaan, kesetaraan, rasa hormat terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya masyarakat.  Sebagian dari perjalanan sejarah Indonesia telah mencatat   peristiwa  reformasi yang terjadi 13 tahun yang lalu, dimana saat itu telah disampaikan sejumlah agenda perubahan yang seharusnya telah dapat selesaikan oleh pemerintahan Republik Indonesia, sesudah era orde baru,  namun pada kenyataannya agenda reformasi yang telah disampaikan oleh para mahasiswa yang merupakan elemen masyarakat tersebut masih meninggalkan sejumlah catatan masalah yang tak kunjung  terselesaikan. Terutama kasus kasus pelanggaran HAM berat seperti misalnya kasus Trisakti yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998, sampai hari ini berbagai spekulasi masih tetap berkembang di masyarakat tentang siapa sesungguhnya aktor intelektual yang berperan di balik penembakan para mahasiswa tersebut..  Demikian pula dengan kasus Semanggi I dan II yang terjadi pada tanggal 13 November 1998 dan 24 September 1999, dimana telah terjadi pelanggaran HAM berat juga yang dilakukan oleh aparat yang bertugas mengamankan  demonstrasi, yang menyebabkan beberapa mahasiswa dan masyarakat sipil tewas.

Para orang  tua korban saat itu dengan didampingi  para aktivis HAM telah meminta kepada DPR untuk membentuk panitia khusus (pansus) agar pemerintah lebih fokus dalam menuntaskan permasalahan tersebut  telah menemui jalan buntu, terutama ketika pansus yang dibentuk DPR telah menyatakan bahwa kasus Semanggi I dan II tersebut tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat

Kematian aktivis HAM, Munir pada tanggal 7 September 2004, karena diracun dalam pesawat Garuda yang menuju Belanda, telah menambah deretan panjang dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat.  Munir yang lahir di Malang pada tanggal 8 desember 1965, adalah aktivis HAM yang telah menangani beberapa kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Tanjung Priok, Aceh dan Talangsari.  Nama Munir mulai dikenal ketika menangani kasus kematian buruh perempuan yang bernama Marsinah ketika itu Munir masih tinggal di Surabaya.  Di balik badannya yang kecil ia sering bersuara lantang untuk menyuarakan perasaan dari kelompok masyarakat yang takut bersuara dalam memperjuangkan hak-haknya untuk memperolah keadilan negara.

Dalam keseharian kita istilah tentang hak-hak asasi manusia telah sering kita dengar, yang menjadi dokumen terpenting meskipun bukan satu-satunya dalam bidang hak asasi manusia ini adalah Universal Declaration of Human Right yang lahir pada tanggal 10 Desember 1948, yang kemudian   dalam sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), disetujui untuk digunakan sebagi tolok ukur yang umum di seluruh dunia dalam setiap pembahasan mengenai hak-hak asasi manusia.  Karena di dalamnya terdapat gagasan inti  tentang hak hak asasi manusia , seperti  freedom of speech (kebebasan mengutarakan pendapat), freedom of religion (kebebasan dlam beragama). freedom from fear (kebebasan dari rasa takut) dan freedom from want ( kebebasan dari kekurangan ). Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ini sendiri telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang dimana penyusunannya telah banyak melibatkan tokoh filsafat, hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga apa yang tercantum di dalam deklarasi tersebut sesungguhnya merupakan kristalisasi dari sejumlah pemikiran pemikiran sebelumnya.  Kesadaran tentang  hak asasi manusia telah diawali oleh Hammurabi (2100 SM) raja dari Babylonia ini  telah menciptakan kodefikasi hukum yang pertama untuk rakyatnya. Dalam mukadimahnya Hammurabi menuliskan bahwa kodefikasi ini diundangkan untuk membawa keadilan bagi seluruh negari, memberantas semua kejahatan, dan mengingatkan agar yang kuat tidak melakukan penindasan terhadap yang lemah.  Asas yang sama atau persamaan di dalam hukum ini juga terdapat dalam perintah raja Thutmose (1500 SM) dari Mesir yang ditujukan kepada ketua mahkamah agungnya yang bernama Rakhmire.  Demikian juga asas asas yang sama didapati pula dalam perintah raja Asoka dari India sekitar abad ke tiga.  Confusius, seorang filsuf terkemuka dari Cina dan lahir pada sekitar tahun 551 SM, telah menekankan ajarannya, terhadap keharusan seseorang untuk memperlakukan orang lain dengan baik ,adil dan sesuai dengan sifat sifat luhur manusia.

Di Indonesia sendiri prinsip-prinsip pokok tentang hak hak asasi manusia telah tercakup di dalam Undang Undang Dasar 1945, meskipun hal itu harus melewati sebuah perdebatan yang panjang diantara para penggagasnya. Lihat saja dalam pasal 27 ayat 2, tertulis bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (freedom from want), pasal 28, mencantumkan tentang negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengemukakan pendapat baik dengan secara lisan maupun tulisan (freedom of speech), pasal 29 ayat 2 , menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (freedom of religion), dan masih banyak pasal pasal lainnya. Uraian ini  telah memberikan gambaran kepada kita bahwa the four freedom dari presiden Rosevelt yang telah mendasari isi dari Universal Declaration of Human Right  ternyata telah  pula menjiwai UUD 1945 seperti yang tercantum di dalam pasal pasal  yang telah disebutkan di atas  tadi.

Jika demikian, bagaimana pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia, selain kasus kasus pelanggaran HAM berat seperti telah diuraikan di atas tadi, terjadinya berbagai konfllik horizontal yang bernuansa SARA masih sering terjadi pada masyarakat kita.  Ini berarti bahwa pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia belum sepenuhnya dipahami sebagai tuntutan yang bersifat universal tetapi hanya sekedar sebagai nilai moral yang berlaku atau memang baru sebatas retorika ?

 

Tujuan Pendidikan Sejarah

Pendidikan sejarah di sekolah menengah memiliki arti yang strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat , serta pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.  Hal ini seperti yang diuraikan di dalam rambu-rambu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dimana materi pendidikan sejarah meliputi :

  1. Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotism, nasionalisme dan semnagat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik.
  2. Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa bangsa termasuk peradaban Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pertumbuhan dan penciptaan peradaban Indesia di masa depan.
  3. Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman desintegrasi bangsa
  4. Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam menghadapi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
  5. Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

Intinya pendidikan sejarah merupakan media pendidikan yang ampuh untuk memperkenalkan peserta didik tentang bangsanya di masa lampau.  Melalui pelajaran sejarah peserta didik dapat melakukan kajian mengenai apa, bila, mengapa, bagaimana serta akibat apa yang dilakukan pelaku sejarah yang tidak mampu mencapai tujuan sehingga dapat dianggap sebagai suatu kesadaran atau bahkan kegagalan, perbuatan apa yang mereka lakukan yang mampu mencapai tujuan, sehingga dianggap sebagai suatu keberhasilan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan kebangsaan sesudahnya maupun masa kini (S.hamid Hassan, dalam Pendidikan Sejarah : Kemana dan Bagaimana, makalah hal 3, 2010)

Dari apa yang telah disampaikan di atas maka dapatlah dikatakan bahwa tujuan pendidikan sejarah memiliki dua acuan pokok yang penting yaitu,  pertama, bahwa pendidikan sejarah sebagai pendidikan yang dapat mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa dengan mencotoh tindakan positif dari para pelaku sejarah. Yang  ke dua bahwa pendidikan sejarah adalah pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir melalui pemaknaan peristiwa eristiwa sejarah yang didasarkan kepada fakta, data, peristiwa dan hukum sebab akibat.

Dengan demikian apa yang sebenarnya diharapkan dari mempelajarai sejarah ?  Selain mengembangkan kemampuan kognitif melalui pemahaman fakta sejarah, juga meningkatkan kemampuan menganalisis dan kemampuan menggunakan semua yang dipelajari melalui peristiwa sejarah dalam kehidupan yang sekarang dan di masa yang akan datang.

 

Mengembangkan Silabus Sejarah Berwawasan Nilai Nilai Hak Asasi Manusia

Masalah utama yang terdapat dalam mengembangkan silabus adalah bagaimana  guru dapat mengembangkan berbagai kemampuan peserta didik dalam  kegiatan belajar pada sebuah proses pembelajaran.  Pengembangan kemampuan  yang dimaksud adalah kemampuan di dalam mencari dan mengumpulkan informasi, memahami informasi serta kemampuan menerapkan atau menggunakan informasi tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.  Kedudukan guru saat ini tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi , informasi saat ini dapat diperoleh dengan mudah dari berbagai sumber, maka yang diperlukan sekarang adalah kemampuan melakukan kritik terhadap sumber-sumber informasi tersebut.  Untuk memperoleh informasi yang relevan yang dibutuhkan dan yang terkait dengan materi yang sedang dibahas.  Memahami informasi menjadi menjadi bagian dari proses pembelajaran yang penting, karena dalam hal ini peserta didik dituntut untuk mampu memahami fakta, konsep, definisi, makna dari peristiwa sejarah dan lain-lain.  Kembali menurut S. Hamid Hassan, pembelajaran sejarah tidak dilepaskan dari berbagai keadaan dan masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga kegiatan penggunaan dan penerapan informasi adalah kegiatan menerapkan apa yang sudah dipahami peserta didik dari dalam proses pembelajaran yang berlangsung, untuk menyelesaikan masalah masalah baru yang dihadapinya di dalam kehidupannya sehari-hari.  Sehingga dalam rangka kebermaknaan belajar sejarah adalah dilihat dari relevansinya terhadap kehidupan peserta didik di dalam masyarakat. Maka prinsip pengembangan silabus dalam pendidikan sejarah bahwa pelajaran sejarah harus dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut di atas dengan menggunakan berbagai macam metode pembelajaran yang tepat  pada saat penyampaiannya.

Kesadaran terhadap nilai-nilai yang ada di dalam hak hak asasi manusia dapat disisipkan melalui peristiwa peristiwa sejarah yang berlangsung sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia sendiri.  Materi pendidikan HAM tidak perlu  menjadi materi yang berdiri sendiri,  sehingga semakin memperpadat kurikulum sejarah yang memang sudah terasa sangat padat.  Materi tersebut harus terintegrasi ke dalam materi ajar sejarah (peristiwa) dan bersifat pengetahuan dasar. Bagaimana menyisipkan nilai-nilai sadar HAM ke dalam peristiwa sejarah, hal itu dapat dilakukan melalui bercerita, memberikan tugas membaca, menganalisis , sebagai contoh misalnya tentang penerapan kebijakan gubernur jendral De Jonge tentang berlakunya ordonansi atau undang-undang sekolah liar, yang didasarkan kepada pandangan bahwa sekolah-sekolah yang didirikan secara mandiri oleh rakyat dianggap berbahaya bagi pemerintahan Belanda saat itu. Karena keberadaan sekolah sekolah ini dianggap sebagai bagian dari gerakan politik radikal, hal mana yang membuat Ki Hajar Dewantara mengirimkan telegram kepada De Jonge dengan sedikit nada memperingatkan : “karena terpaksa boleh jadi kami akan melakukan perlawanan sekuat kuatnya dengan cara tidak menggunakan kekerasan (lijdelijk verzet) “ karena saat itu Ki Hajar Dewantara telah mengembangkan perguruan Taman Siswa yang memiliki konsep pendidikan yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan konsep pendidikan barat yang diselenggarakan pemerintahan kolonial. Mengapa Belanda sampai perlu mengeluarkan undang undang ini, apakah pendidikan yang diselenggarakan memang secara murni ditujukan bagi peningkatan dan kesempatan bagi pribumi untuk memperoleh pendidikan, dan apakah  ordonansi bertentangan dengan hak asasi manusia ?  Semua akan menjadi sebuah diskusi yang menarik jika guru mampu mengemasnya dalam cerita yang mampu mendorong imajinasi peserta didik.

Yang penting diingat lagi bahwa cerita yang disajikan tidak perlu secara tajam atau  secara eksplisit mengemukakan bentuk-bentuk tindakan represif yang dilakukan pemerintah terhadap orang-orang sipil sehingga dapat menimbulkan perasaan anti pemerintah, atau mengkaitkannya dengan persoalan-persoalan yang bersifat politik praktis.  Dan yang lebih penting tidak menjadi beban tambahan bagi guru tetapi lebih kepada pemberian pengayaan terhadap  bahan ajar.

 

Kesimpulan

Jika pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari berbagai keadaan dan masalah yang terjadi di masyarakat, maka peristiwa peristiwa sejarah dapat diberikan pemaknaan yang ada relevansinya dengan kehidupan yang akan dihadapi peserta didik ketika mereka terjun ke masyarakat.  Bahwa materi pembelajaran yang diberikan sisipan tentang nilai-nilai hak asasi manusia, bertujuan agar peserta didik dapat mengenali konsep konsep dasar tentang hak hak asasi manusia yang dikembangkan dari peristiwa sejarah, sehingga mereka dapat mengambil nilai nilai yang positif untuk diteladani.  Apakah semua ini nantinya  tidak bertentangan dengan kurikulum sejarah yang berlaku saat ini ?  Tentu saja tidak, karena jika kembali kepada tujuan pendidkan sejarah sangat memungkinkan terjadinya pengembangan kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum) yang sesuai dengan ajuran pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Dan ini didukung  oleh apa yang tercantum dalam UU nomor 20 tahun 2003 pasal 37 ayat (1) dan penjelasannya dikatakan bahwa pendidikan sejarah adalah bagian dari ilmu pengetahuan sosial (IPS) . dan bahan kajian IPS dimaksudkan adalah untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *