Robert Bridson Cribb dan Sejarah Sosial: Suatu Tinjauan Historiografi

Oleh: Agus Mulyana

Konstruksi penulisan sejarah akan terlihat historiografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian sejarah akan tergambar dari historigrafi yang dilakukan. Seorang sejarawan atau peneilti sejarah, dalam penulisannya akan menggunakan teori atau konsep-konsep dari ilmu lain untuk melakukan eksplanasi terhadap sumber-sumber sejarah.

Dalam makalah ini penulis, mencoba akan menganalisis terhadap salah satu karya Robert Bridson Gribb yang berjudul, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemon, yang diterbitkan oleh Grafiti. Buku ini berisi tentang bagaimana revolusi yang terjadi di Jakarta pada awal proklamasi. Gribb dengan pendekatan sejarah yang struktural mencoba melihat bagaimana gejolak yang terjadi di Jakarta pada awal kemerdekaan dan melihat kekuatan-kekuatan kelompok mana yang menggerakan revolusi tersebut.

Tentang Orangnya

Robert Bridson Gribb lahir pada tahun 1957 di Brisbane Australia. Ia belajar pada University of Queesnland tahun 1975-1978. Kemudian ia belajar pada School of Oriental and Africa Studies di London pada tahun 1979-1985, dan mendapatkan gelar Ph.D di tempat tersebut. Mengajar sejarah dan politik pada Griffith University di Brisbane pada tahun 1983-1986. Kini ia bekerja sebagai Research Fellow pada Australian Nasional University. Karya ilmiah lainnya yaitu The Politics of Eviromental Protection In Indonesia (1988).

Sejarah Sosial : Persepsi dan Metodologi

Perhatian utama dari sejarah sosial ialah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya (seperti status dan wibawa) dan bagaimana pula memecahkan masalah dalam berhadapan dengan lingkungannya (alamiah atau sosial) dan dengan tetangga. Jadi bukanlah untaian dan tindakan-tindakan para aktor sejarah yang terlalu dipentingkan tetapi pola dari perilaku itu. Bagaimanakah kaitan antara perilaku yang menghasilkan “event”, yang merupakan bahan cerita sejarah dengan situasi sosial yang mengitarinya (Taufik Abdullah, 1990 : 316).

Dari definisi tersebut tentang sejarah sosial, maka karya R.B. Gribb ini termasuk ke dalam katagori sebuah karya sejarah sosial, karena Gribb mencoba mengungkap gejolak revolusi khusus pada lokalitas   tertentu yaitu kota Jakarta dan sekitarnya pada periode 1945-1949. Struktur sosial yang menjadi kajian R.B. Gribb ini adalah kelompok  perampok, jawara atau dalam teori E.J. Habsbown dikenal dengan nama Bandit Sosial (Sartono Kartodirdjo, 1985 : 74).

Tulisan R.B. Gribb ini mencoba menampilkan peristiwa lokal atau daerah sebagai peristiwa sejarah dalam keseluruhan sejarah nasional, khususnya yang berkaitan dengan Revolusi Indonesia pada awal kemerdekaan. Walaupun penamaan Sejarah Nasional atau “sejarah Indonesia” menurut Taufik Abdullah ialah mencakup zaman dari seluruh daerah yang kini disebut Republik Indonesia haruslah diterima tak lebih dari berdasarkan konsensus saja. Konsensus ini tak lepas dari pendekatan normatif, yang ditentukan bukan oleh keharusan logis dari “Subject matter” atau sasaran studi tetapi oleh tuntutan ideologis (Taufik Abdullah, 1990 : 316). R.B. Gribb menilai suatu kelemahan apabila mengkaji Revolusi Indonesia, aspek kedaerahan diabaikan, walaupun ada alasan-alasan tertentu mengapa harus demikian.

“Dalam telaah mengenai Revolusi Indonesia, pada umumnya titik perhatian hanya difokuskan pada perkembangan pelbagai peristiwa nasional, gejolak daerah hanya berperan sebagai paduan suara yang mengiringi tema-tema dominan dalam sejarah Nasional. Terdapat banyak alasan mengapa perspektif kadaerahan itu secara relatif diabaikan. Pertama-tama dalam upaya menguraikan sejarah Indonesia yang kompleks itu, otomatis orang mengutamakan persepktif nasional. Selain itu kelangkaan informasi mengenai pelbagai peristiwa di tingkat daerah, menyebabkan banyak orang yang tidak begitu bergairah untuk melakukan pengkajian yang begitu serius di bidang ini. Akan tetapi, yang lebih penting adalah kelangkaan gagasan yang jelas tentang peristiwa di tingkat daerah tersebut dalam keseluruhan latar sejarah Nasional (R.B. Gribb, 1990 : 1).

Demikian pula R.B. Gribb menilai sebagai suatu kelemahan dalam mengungkap peristiwa kedaerahan yang hanya semata-mata bergolak di daerah tersebut, tanpa menyinggung peristiwa yang bersifat nasional. Tulisan seperti ini ia contohkan pada pengkajian John Smail Tentang Revolusi di Bandung pada awal kemerdekaan. Hal ini terjadi menurut Gribb, karena sebagian disebabkan oleh sulitnya melakukan ekstrapolasi dari suatu daerah ke daerah yang lain.

R.B. Gribb mencoba menyajikan suatu peristiwa sejarah bukan hanya sebagai kejadian yang berdiri sendiri, tetapi ia merupakan peristiwa yang berkait dengan peristiwa lain. Misalnya R.B. Gribb melihat keterkaitan gejolak revolusi di Jakarta dengan daerah-daerah di pinggiran Jakarta yang termasuk ke dalam daerah-daerah Jawa Barat. Daerah-daerah tersebut yaitu Karawang, Cikampek, Bekasi, Purwakarta, Subang dan yang lainnya.

Metode sejarah yang R.B. Gribb gunakan untuk mengkaji sejarah seperti ini ialah  dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Fokus kajian yang dilakukan ialah dengan melihat struktur sosial yang ada dalam masyarakat yang berperan sebagai aktor sejarah. Tepatlah kiranya dalam hal ini, menggunakan teori yang khususnya dalam ilmu sosiologi. Metode seperti ini merupakan tema yang penting dalam penulisan sejarah sosial.

Bandit Sosial

Sebagaimana diungkapkan dalam bahasan sebelumnya, kajian struktur sosial R.B. Gribb mengenai Gejolak Revolusi di Jakarta adalah peran para perampok, jawara, yang dalam teori E.J. Habsbown dikenal dengan nama Bandit Sosial (Sartono Kartodirdjo, 1984 : 74). Kelahiran kelompok Bandit ini, khususnya di Jakarta tidak lepas dari proses sejarah kota Jakarta itu sendiri sebagai kotanya kaum pendatang.

Sejarah sebagai suatu proses perubahan menurut teori konflik bisa dilihat sebagai suatu proses perubahan situasi konflik antara pelbagai golongan sosial, suatu hal yang umum terjadi di dalam pelbagai masyarakat dengan lingkungan kebudayaannya masing-masing. Pergolakan yang terjadi karena akibat baik dari pengaruh luar maupun dari dinamika internal menimbulkan krisis kepemimpinan yang berkedudukan karena desakan dari unsur-unsur protogonis struktur sosial yang baru. Bandit sosial sebagai suatu struktur tipe kepemimpinan sosial secara wajar muncul dalam celah-celah ruang sosial dimana penguasa resmi tidak dapat melakukan pengawasan (Sartono Kartodirdjo, 1984 : x).

Peranan kelompok Bandit sosial merupakan “counter-elite” yang bergerak di bawah tanah sehingga merupakan ancaman “latent” bagi yang sedang berkuasa. Seseorang menjadi Bandit karena ia melakukan sesuatu yang oleh adat kebiasaan di daerahnya tidak dianggap sebagai tindakan kejahatan, melainkan negaralah atau penguasa setempat yang menganggapnya demikian (E.J.Habsbown, 1984 :76). Dengan demikian status Bandit di mata masyarakatnya dianggap sebagai pahlawan, sedangkan di mata penguasa dianggap sebagai pembangkang.

Fenomena kehidupan Bandit merupakan suatu pola pedesaan dan bukan perkotaan. Masyarakat petani tempatnya berlangsung mengenaal perbedaan antara golongan kaya dan miskin, golongan kuat dan golongan lemah, golongan pemerintah dan yang diperintah. Kehidupan Bandit lahir dalam kehidupan pra-kapitalis (E.J.Habsbown, 1984 : 85).

R.B. Gribb melihat feomena kehidupan Bandit dengan cara melihat struktur sosial budaya masyarakat yang ada di Jakarta dan sekitar kota-kota pinggirannya baik secara etnis maupun geografis. Menurut Gribb, Batavia (sebutan kota Jakarta yang diberikan oleh Belanda) adalah kota yang tidak memiliki kota lama atau kota pribumi dalam pengertian lain, yakni tidak memiliki alun-alun di muka Istana Sultan atau raja. Batavia adalah kota yang diciptakan untuk Belanda. Penjajah Belanda menjadikan Batavia sebagai pos perdagangan bersenjata, yang sebagian penduduknya berasal dari Jepang, India, Cina, Pampangan (Luzon), Ambon, Banda, Bugis, Timor, Bali, Melayu dan India. Bahkan dari daerah-daerah lainnya banyak berdatangan kaum imigran, yang kebanyakan mereka ini untuk mencari pekerjaan dari sektor yang telah diciptakan oleh Belanda seperti buruh pelabuhan. Dengan demikian Batavia memperlihatkan suatu struktur kota yang multi etnis (R.B. Gribb, 1990 : 27).

Secara geografis di Batavia memperlihatkan terciptanya kelompok-kelompok etnis. Orang Cina, Arab dan India kebanyakan berstatus sebagai pedagang kelas menengah ke atas yang banyak mendiami daerah Glodok. Orang-orang Eropa banyak mendiami pusat-pusat kota yang penuh dengan bangunan-bangunan pusat perkantoran bisnis dan rumah-rumah yang sangat mewah. Sedangkan kaum pribumi baik para pendatang maupun orang Jakarta yang sudah lama tinggal, kebanyakan mereka menjadi pekerja-pekerja kasar dan tingkat pendidikannya rendah. Kaum pribumi ini tinggal di kampung-kampung daerah padat yang rumahnya tidak permanen, kumuh dan tersembunyi di jalan-jalan besar. Keadaan kota seperti ini, sengaja diciptakan kolonial Belanda sehingga nyatalah struktur komersial, administrasi, budaya dan militer kota itu direncanakan tanpa memperdulikan penduduk Indonesianya sendiri atau kaum pribumi (R.B. Gribb, 1990 : 26).

Masyarakat Betawi tidak memiliki elit aristrokrasi tradisional. Sebagaimana R.B. Gribb katakan :

“Pada kenyataannya kekuasaan masyarakat Betawi berada dalam cengkraman bos setempat (Gembong, Jawara atau jagoan), yang dalam prakteknya menggantikan peran kapitan pada masa lampau. Kaum pendatang di Batavia dapat dengan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka berhak bantuan orang-orang seetnik, yang lebih dahulu menetap di Betawi. Oleh sebab itu, daerah tertentu di dalam kota, dan jenis pekerjaan tertentu pada akhirnya didominasi oleh kaum migran dari daerah tertentu (hlm. 29).

Di daera-daerah yang terdominasi itu yang menjadi penguasanya adalah para bos setempat yang pengaruhnya sangat besar terhadap pengadaan lapangan pekerjaan. Para Bos ini merupakan bagian integral dari dunia hitam yang lebih luas di Betawi (R.B.Gribb, 1990 : 29).

Begitu pula kondisi di daerah-daerah pedalaman dan pinggiran-pinggiran kota Jakarta banyak dikuasai oleh para jagoan atau bos. Pangkalan mereka di kampung-kampung, di daerah yang berpaya-paya, di pantai sebelah utara Karawang dan di hutan-hutan sebelah selatan. Kekuatan kriminal mereka merupakan gangguan bagi pelaksanaan administrasi kekuasaan kolonial Belanda di desa-desa. Banyak para aparat desa yang tidak berpengaruh di mata rakyatnya di daerah ini, karena para kepala desa dianggap sebagai wakil kolonial (R.B. Gribb, 1990 : 31). Justru yang berpengaruh di daerah-daerah tersebut adalah para bos atau Jawara, yang mereka anggap banyak membela rakyat yang terjajah.

Identifikasi R.B. Gribb terhadap adanya kelompok bos, jawara atau bandit sosial, merupakan suatu upaya untuk menampilkan kelompok bandit ini sebagai struktur sosial yang ada di masyarakat Betawi. Kelompok ini merupakan aktor sejarah penggerak lahirnya revolusi di Jakarta pada awal kemerdekaan.

Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemoni : Suatu Pendekatan Teori Konflik

R.B. Gribb mengkaji revolusi sebagai proses perubahan dalam perjalanan peristiwa sejarah pada masyarakat dilihat sebagai pergulatan antara dua kepentingan yaitu “kepentingan negara” di satu pihak dan pada pihak lain “kepentingan bangsa”. Kedua jenis kepentingan ini oleh Benedict Anderson (1983), diberi nama sebagai “kepentingan representatif” dan “kepentingan partisipatoris” (R.B. Gribb, 1990 : v).

Kalau kita merujuk pada teori-teori ilmu sosial dari kajian R.B. Gribb ini, maka kita akan melihat bahwa R.B. Gribb mengkaji revolusi di Jakarta pada awal kemerdekaan menggunakan teori konflik. Menurut Dahrendorf konflik merupakan faktor penentu dalam proses perubahan sosial masyarakat. Kaitannya dengan kekuasaan, ia mengatakan bahwa kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan dan pemegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan status-quo. Hal ini merupakan kepentingan objektif, yang terbentuk di dalam peran-peran itu sendiri; bersamaan dengan kepentingan atau fungsi dari semua peran dalam mempertahankan organisasi itu sebagai keseluruhan. Dunia sosial distruktur ke dalam kelompok-kelompok yang secara potensial mengandung konflik (Ian Craib, 1992 : 94).

Jadi setiap peran memiliki harapan-harapan yang bertentangan yang dikaitkan dengannya. Suatu peran yang mengandung kekuasaan membawa harapan bahwa kekuasaan itu dilaksanakan untuk kepentingan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan (Ian Craib, 1992 : 97).

Analisa konflik yang digunakan oleh R.B. Gribb, berangkat dari lahirnya masyarakat kota Jakarta yang multi etnis. Gribb melihat terdapat peran-peran yang heterogen dalam kelompok-kelompok sosial yang ada di Jakarta, yaitu kelompok timur asing (Cina, Arab dan India) yang banyak berperan sebagai kelas pedagang menengah, kelompok bangsa Eropa khususnya Belanda berperan sebagai penguasa administrasi pemerintahan dan kelompok pribumi yang banyak berperan sebagai kaum buruh, pekerja kasar dengan tingkat pendidikannya yang sangat rendah. Kelompok orang Indonesia ini atau kaum pribumi, otoritas kekuasaannya banyak dipegang oleh para bos, jawara atau bandit. Kelompok bandit ini memiliki akar kekuasaan yang kuat di masyarakat kelompoknya.

Pemerintah kolonial Belanda sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, telah menciptakan struktur masyarakat yang heterogen secara geografis. Konflik yang terbangun dalam struktur masyarakat yang berada di Jakarta bermula dengan sikap antagonostik antara kelompok orang Indonesia yang berada di Jakarta yang dikuasai oleh para bos, jawara atau bandit, dengan kelompok orang Belanda atau orang yang dianggap Belanda yang terstruktur dalam administrasi kekuasaan kolonial. Misalkan para kepala desa di daerah pedalaman tidak memiliki pengaruh atau wibawa di mata masyarakatnya, karena mereka dianggap sebagai kaki tangan Belanda, bahkan hal yang dikhawatirkan oleh Belanda yaitu pada awal abad ke-19 sering terjadi perampokan-perampokan terhadap orang-orang Eropa, sehingga apabila orang Eropa ingin melakukan perjalanan harus dengan pengawalan bersenjata (R.B. Gribb, 1990 :31).

Kedatangan pendudukan Jepang ke Jakarta memberikan warna lain terhadap kelompok-kelompok yang dikuasai oleh para bos ini. Kelompok ini oleh Jepang banyak dikutsertakan dalam latihan-latihan militer Jepang, seperti Seinendan, Keibodan dan Peta. Oleh sebab itu pada akhir pendudukan Jepang di daerah Jakarta, terdapat sejumlah besar kelompok kecil yang kompak, yang masing-masing saling berhubungan dan memiliki tingkat latihan militer tertentu. Meskipun secara formal mereka berada di bawah naungan pemerintah, namun eksistensi mereka pada hakekatnya bebas dari hierarki pemerintah (R.B. Gribb, 1990 : 34).

Lahirnya Proklamasi 17 Agustus 1945 membawa keadaan kota Jakarta yang serba dilematis. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II melawan Sekutu, membuat Jepang harus melakukan status-quo terhadap negeri yang dijajahnya termasuk Indonesia. Sementara itu, pada pihak lain setelah proklamasi 17 Agustus 1945 diiringi dengan perebutan-perebutan atau pelucutan terhadap kekuasaan oleh kalangan nasionalis di Jakarta terhadap Jepang yang masih tetap ada di Jakarta. Pelucutan ini tidak sedikit menggunakan aksi kekerasan. Sukarno dan M. Hatta yang terpilih pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sukarno dan M. Hatta merupakan orang yang banyak berhubungan dengan Jepang, pada masa awal kemerdekaan meminta kepada rakyat khususnya di Jakarta agar bersikap tenang dan tertib tidak membuat keributan atau aksi-aksi yang konfrontatif.

“Strategi Republik memberikan kepada Jakarta suatu peran yang pada pokoknya bersifat pasif di dalam revolusi; kota itu mencerminkan “kota damai” dalam rangka diplomasi internasional. Dan pada akhirnya kata itu pula harus mencerminkan sikap pro terhadap kembalinya kolonialisme, demi mempertahankan Republik. Kaum urban di Jakarta dalam waktu yang relatif singkat, bersedia menerima peran itu. Namun rakyat di Jakarta dalam tempo beberapa minggu setelah proklamasi menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap para pemimpin Republik. Ketika Republik terpaksa mundur, mereka itu bertindak atas inisiatif sendiri. Oleh sebab itu terhadap dikhotomi antara daerah pendudukan dan pedalaman ditambahkan unsur ketiga yakni sikap menolak perlunya Jakarta  diduduki. Menjelang awal tahun 1946, landasan perpecahan praktis-strategis di dalam barisan nasionalis mulai diletakkan. Perpecahan itu terus menerus berlangsung “(R.B. Gribb, 1990 : 40).

Penolakan kelompok masyarakat asli di Jakarta terhadap sikap para pemimpin Nasional bisa dilihat dalam kasus-kasus pemberontakan sosial yang dipimpin oleh kelompok para jawara atau bos terhadap status-quo Jepang setelah proklamasi. Misalkan pada tanggal 18 Oktober 1945 di Curug sisi barat daya Tanggerang H. Achmad Chaerun yang menamakan dirinya bapak rakyat. Dia mengkoordinasikan pemberontakan rakyat dan berhasil menumbangkan seluruh aparat pemerintahan yang masih tersisa. Di Bekasi H. Darip orang kuat setempat yang daerah kekuasaannya meliputi Bekasi, Klender sampai Jatinegara, melakukan aksi-aksi perampokan di sekitar jalur lalu lintas Jakarta terhadap orang-orang yang berkulit terang (Cina, Indo, Eropa) atau berkulit gelap (Ambon dan Timor). Masih di daerah Bekasi juga terdapat gerombolan perampok yang sering melakukan aksinya yang dipimpin oleh seorang jagoan bernama Bantir. Di Cibarusa sisi tenggara Jakarta dikuasai oleh seorang Bandit terkemuka bernama pak Maceum. Ia mengepalai segerombolan perampok yang sebagian besar terdiri para pejuang yang sudah berpengalaman (R.B. Gribb, 1990 : 45-46).

Dari kelompok pemuda radikal dan terpelajar terbentuk pula kelompok perlawanan dengan membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia). Kelompok ini mendorong dan memelopori sejumlah tindakan sabotase, menyabot dan mengambil alih sistem kereta api dan trem, telepon dan banyak gedung pemerintahan atau perusahaan swasta (R.B. Gribb, 1990 : 47). Kekuatan badan perjuangan oleh API dikoordinasikan dalam sebuah organisasi gabungan yang bernama Lasykar Rakyat Djakarta Raja (LRDR).

Kedatangan kembali Belanda setelah kemerdekaan melalui pasukan Sekutu, banyak mengganggu kondisi sosial politik di Indonesia. Belanda banyak melakukan aksi-aksi yang merugikan bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Aksi-aksi Belanda ini banyak dilakukan di Jakarta, sebab Belanda sendiri tidak mengakui kedaulatan wilayah Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Akibat aksi-aksi Belanda ini, maka pada awal kemerdekaan tahun 1947 Republik meninggalkan Jakarta dan memindahkan pemerintahan ke Yogyakarta. Strategi Republik ini membuat rakyat di Jakarta tidak menghargai lagi para pemimpin formal. Ketika Republik meninggalkan Jakarta. Kaum Nasionalis Jakarta mengalami berantakan, ada yang ikut ke Jawa Tengah berjuang bersama Republik dan ada yang tetap melanjutkan perjuangannya di Jakarta menghadapi Belanda.

Perjanjian Renvile 1948  berakibat pada daerah Jakarta dan Jawa Barat harus dikosongkan dan TNI ditarik (hijrah) ke Jawa Tengah. Dengan demikian Belanda telah mengakhiri otonomi Republik sebagai negara di Jawa Barat dan termasuk di Jakarta. Kekosongan daerah Jakarta dan Jawa Barat oleh kelompok nasionalis di Jakarta yang dari dulu tidak setuju dengan sikap pemimpin Republik, dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan aksi-aksi perlawanan mereka terhadap daerah-daerah pendudukan Belanda.

Pendekatan teori konflik dari R.B.Gribb ini nampak dengan menampatkan dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu antara kelompok Nasionalis Jakarta yang terdiri dari kelompok bandit dan sebagian juga kelompok pemuda terpelajar, dengan kelompok kepentingan Pemerintah Republik. Kelompok Nasionalis Jakarta menghendaki adanya otonomi atau kebebasan mereka dalam upaya mempertahankan dan membebaskan Jakarta dari cengkraman Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia yang baru diproklamirkan. Sementara kelompok Republik demi keberlangsungan hegemoni/kekuasaan suatu negara yang baru merdeka dan eksistensinya di mata dunia internasional banyak melakukan politik diplomasi. Salah satu dampak politik diplomasi ini ialah harus rela meninggalkan kota Jakarta sebagai ibu kota negara dan secara tidak langsung memberikannya kepada Sekutu. Sudah barang tentu sikap Republik ini sangat bertentangan dengan sikap kelompok Nasionalis di Jakarta.

Kesimpulan 

Tinjauan historiografi terhadap karya R.B. Gribb ini dapat ditarik kesimpulan yaitu pertama dia menampilkan tulisan Revolusi di daerah sebagai bagian integral dari Sejarah Nasional. Kedua dia tidak setuju apabila penulisan sejarah Revolusi di daerah hanya dilihat dari perspektif kedaerahan saja. Ketiga sejarah perpolitikan Indonesia sebagai pergulatan terus menerus antara dua kepentingan yaitu “kepentingan negara” di satu pihak dan “kepentingan bangsa” di lain pihak. Keempat Gribb mencoba menampilkan peran-peran kelompok Bandit yang menjadi salah satu aktor penggerak lahirnya Revolusi di Jakarta pada awal kemerdekaan. Kelima pergulatan antara otonomi dan hegemoni dalam revolusi di Indonesia khususnya di Jakarta, R.B. Gribb mencoba mengkajinya dengan menggunakan teori konflik yaitu konflik kepentingan.

DAFTAR PUSTAKA

Craib, Ian, (1992), Teori-Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Habermas, Jakarta : Rajawali Pres.

Gribb, Robert Bridson, (1990), Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemoni, Jakarta : Grafiti.

Habsbown, E.J., “Bandit Sosial”. Dalam Sartono Kartodirdjo, (1990), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, Jakarta : LP3ES.

Sartono Kartodirdjo, (1990), Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, Jakarta : LP3ES.

Taufik Abdullah,(1990), Sejarah Lokal Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Comments are closed.