REDEFENISI PEMBELAJARAN SEJARAH MELALUI STRATEGI BELAJAR MENGAJAR[*]

Najamuddin**

 

[*]Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS di Bandung tanggal 18-20 Maret 2011

**) Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, Sekarang menjabat Ketua Jurusan Pendidikan

Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas  Negeri Makassar.

Latar Belakang

Sejarah adalah guru kehidupan. Siapa yang belajar sejarah maka dia akan menjadi bijak. ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah perjuangan bangsanya”. Kalimat-kalimat di atas dan sejenisnya sering menjadi buah bibir dalam untaian kalimat pidato di setiap acara resmi. Pemerintah Indonesiapun berusaha menjadikan sejarah sebagai alat pembangunan karakter anak bangsa. Demikian strategisnya pembelajaran sejarah di kalangan generasi muda, maka sangat perlu diterapkan strategi yang tepat bagi seorang guru dalam menyampaikan proses belajar mengajar sejarah.

Kedudukannya yang penting dan strategis dari pembelajaran sejarah dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak dapat digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Oleh karena itu, sepanjang seluruh eksponen dan komponen bangsa masih menginginkan eksistensi sebuah bangsa dan negaranya, upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran sejarah sampai kapanpun masih menemukan signifikansinya. Dengan demikian, seorang guru sejarah menduduki posisi yang penting dan strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran sejarah.

Berkait dengan posisi strategis dari mata pelajaran di atas, maka guru dihaharuskan selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah di kelas. Tetapi realitas yang terjadi adalah, tujuan pembelajaran sejarah itu tidak sepenuhnya dapat tercapai yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berkaitan dengan proses pembelajarannya. Karenanya seorang guru sejarah senantiasa memperhatikan empat pilar pembelajaran sebagaimana telah dideklarasikan oleh UNESCO (1988), yaitu: 1) learning to know (pembelajaran untuk tahu), learning to do (pembelajaran untuk berbuat), 3) learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri, dan 4) learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis) (Soedijarto, 2010).

Sikap profesionalisme seorang guru telah dinyatakan didalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mempertegas tentang kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan yang dituangkan dalam pasal 40 Ayat 2 butir a, dengan menyatakan bahwa pendidik berkewajiban “menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”, sehingga interaksi belajar yang monotong dan tidak komunikatif yang mengandalkan hubungan komunikasi satu arah dalam bentuk berceramah kepada peserta didik tidak lagi menjadi satu-satunya model pembelajaran, melainkan hanyalah salah satu alternatif yang sudah mulai ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan paradigma pendidikan. Sikap profesionalisme guru dinyatakan kembali melalui Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang didalamnya dipertegas tentang kompetensi berdasarkan profesionalisme, yang menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dan dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Tugas keprofesionalan yang dimaksud adalah kemampuan mengemas perangkat pembelajaran dan mengaplikasikannya di depan kelas melalui strategi pembelajaran yang bias diserap oleh seluruh peseta didik dalam kelas.

  Berdasarkan uraian di atas, maka guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri agar meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah kepada peserta didik, sehingga tujuan pembelajaran sejarah  dapat tercapai. Tujuan pembelajaran sejarah yang dimaksud bertumpu kepada makna watak tridimensi waktu, yakni: masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Sehingga dengan memperhatikan ketiga unsur tersebut, berarti sejarah (cenderung) praxis, artinya nilai guna sejarah menjadi hal yang utama. Nilai guna paling utama pada bagian ini adalah: bagaimana belajar dari sejarah, sehingga peserta didik dapat tanggap (responsif) terhadap hari ini, dan masa mendatang.

   Menurut Brunner (1960) yang dikutip Widja (Widja, I Gde, 1989), menyebutkan, bahwa sasaran utama dari setiap kegiatan belajar, terlepas dari kesenangan yang mungkin diberikannya, adalah bahwa kegiatan belajar itu harus membantu kita dimasa depan. Sebagai kesadaran sejarah yang kontinuitas dan diperkuat pendapat psikolog tersebut, maka strategi pembelajaran sejarah yang lebih segar dan visioner merupakan suatu kebutuhan yang harus terpenuhi bagi peserta didik.

 

Paradigma Model Pembelajaran Sejarah

Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi berbagai tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global, seiring dengan itu maka paradigma pembelajaan juga mengalami perubahan. Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada murid (student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori terutama dalam proyek penelitian; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut diaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan (Trianto, 2010).

Dalam proses pembelajarannya, kompetensi akademis guru, minat dan bakatnya, sangat menentukan apakah pelajaran sejarah dapat bermakna ataupun monotong. Hal ini sesuai dengan keinginan dari Guru dan Dosen (UU Nomor 20 tahun 2003 dan UU Nomor 14 tahun 2005). Umumnya kita mengatakan bahwa mengajar adalah suatu profesi, sedangkan guru adalah pelaksana dari profesi mengajar itu. Dengan demikian, proses belajar mengajar membutuhkan syarat-syarat profesionalisme dari seorang guru didalam menyampaikan proses pembelajaran. Karena itu, metode pengajaran hendaknya janganlah berkisar kepada hafalan belaka, namun inqury atau problem solving (Amien, Moh., 1979) dengan suasana dialogis demokratis yang diawali oleh guru, untuk diterapkan bersama peserta didik di dalam kelas. Metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan siswa aktif dan guru sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme dan cooperatif learning. Pembelajaran sejarah model kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan penggunaan model pembelajaran cooperatif learning menempatkan guru sebagai fasilitator, directormotivator dan evaluator bagi siswa dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosialnya dan kemampuan berfikir secara kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat.

Model alternatif lain adalah model pendekatan partisipatori dapat diterapkan melalui proyek penelitian yang melibatkan peserta didik, terutama penelitian sejarah lokal atau sejarah perjuangan para tokoh lokal yang berada di wilayah peserta didik. Dengan demikian, daya tarik peserta didik terhadap mata pelajaran sejarah akan muncul dengan sendirinya dalam diri pribadi peserta didik oleh karena mereka dilibatkan dalam menyelami, merasakan dan memaknai sejarah daerahnya. Model partisipatori ini dapat dipadukan dengan menerapkan didalamnya metode pengajaran inquiry atau problem solving. Dalam model pembelajaran seperti ini diperlukan kolaborasi antara guru, agen atau pelaku peristiwa dengan peserta didik. Metode pembelajaran ini juga sesuai dalam pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam model pembelajaran seperti ini unsur pengiring tidak terabaikan dalam sebuah pembelajaran karena terutama terbangunnya kerjasama melalui sebuah proyek penelitian mini yang digagas melalui kelas atau sekolah.

Kedudukan guru yang sangat sentral sebagai fasilitator dan model bagi terciptanya pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik menuntut seorang Guru untuk membekali dirinya dengan sejumlah penguasaan materi dan fakta-fakta hasil-hasil penelitian sejarawan di kampu-kampus dan lembaga penelitian sejarah lainnya. Dengan demikian, guru sejarah diharapkan mampu menemukan dan mengungkapkan berbagai kelemahan-kelemahan fakta yang ada di berbagai peristiwa sejarah yang biasanya sangat mudah didapatkan di buku-buku paket yang beredar di sekolah-sekolah. Dengan demikian, seorang guru selain menguasai, mengungkapkan dan menganalisis fakta-fakta sejarah yang sungguh-sungguh terjadi berdasarkan peristiwa, juga dapat menyampaikan pembelajaran yang menyenangkan sesuai dengan model dan strategi pembelajaran berdasarkan paadigma pendidikan yang sedang berkembang sekarang ini.

Materi sejarah sangat berbeda dengan materi pembelajaran lainnya, karena fakta-fakta sejarah yang diajarkan lahir dari manusia sebagai agen pembuat sejarah, sehingga perlu kehati-hatian didalam menganalisis dan menyampaikannya. Karena kapan terjadi kesalahan penyampaian, bukan saja kekeliruan yang sampai kepada peserta didik tetapi dapat berakibat ”dosa-dosa turunan” yang ditanamkan oleh guru kepada peserta didik secara terus-menerus sebelum ada pelurusan fakta kembali dari hasi penyampaian guru sebelumnya. Kerumitan masa lalu dalam materi sejarah dikarenakan banyaknya aspek yang melingkupinya, apalagi ketika kita berhadapan dengan materi sejarah kontemporer yang banyak mengandung fakta-fakta  kontroversial. Karenanya, seorang guru sejarah diharuskan menggunakan pola kajian multidimensi dan interdisipliner dalam proses pembelajaran yang ia lakukan. Dengan kata lain, pembelajaran sejarah sama seperti halnya memasak satu menu makanan “setengah matang” yang akan disajikan untuk dinikmati oleh pelanggang/peserta didik, banyak low fact yang terpaksa diungkapkan karena tuntutan kurikulum. Disinilah salah satu pilar utamanya, bahwa pembelajaran sejarah harus kritis, no taken for granted (Reiner, 1997: 91-169) yang prosesnya melalui kritik sumber (intern dan ekstern). Sehingga fakta-fakta yang diungkapkan dan disampaikan dalam proses pembelajaran bisa tersaring dengan baik.

Sartono Kartodirjo  telah merintis penulisan sejarah dalam bentuk lain dari penulisan sejarah sebelumnya, yakni dari pola penulisan tradisional yang hanya membalikkan sistem penulisan jaman kolonial menjadi penulisan dengan ”sistem nasional” ke arah penulisan multidimensional dan pendekatan interdisipliner. Ide Sartono Kartodirjo ini selayaknya menjadi inspirasi bagi guru-guru sejarah baik didalam melakukan proyek penelitian, maupun menerapkannya didalam proses pembelajaran di depan kelas. Sehingga materi sejarah yang disampaikan tidak kering karena dibantu berbagai disiplin ilmu, seperti: Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, Politik, ekonomi, pendidikan, dan agama (Kartodirdjo, Sartono, 1995). Dengan metode ini, juga diharapkan adanya perubahan persepsi baik dari peserta didik maupun dari masyarakat umum yang beranggapan materi sejarah sangat membosankan, kaku, dan jelimet serta penuh dengan angka-angka tahun. Sebab dengan metode ini selain guru berpikir analitis, kritis dan multidimensioanal secara historis, peserta didik juga seakan dibawa memahami kompleksitas berbagai bentuk kehidupan yang relevan dan kontekstual sesuai dengan pengalaman hidupnya di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, baik guru maupun peseta didik diharapkan dapat berpikir historis, yakni cara pikir sejarah yang menawarkan  berbagai alternatif, minimal menjadi orang yang kritis, memiliki daya interpretasi dan pertimbangan yang matang terhadap masa lalu dan masa kini yang terkadang mengandung sumber dan fakta yang kontroversial. Dengan kata lain, berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu, mencoba memahami konteks jamannya (historical minded), dan pada bagian lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan” manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif, bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jelih, teliti sekaligus kritis (Gayrogu, Kostas and Renn Jürgen: 2007). Dengan cara berpikir historis, peserta didik diharapkan dapat lebih bijak dan menjadikan sumber sejarah sebagai dasar untuk  mengambil tindakan dan berbagai solusi terhadap persoalan bangsa yang kian rumit. Hal ini dapat terjadi karena dipaham sejarah adalah cermin masa lalu yang dapat dijadikan pedoman untuk memahami masa depan bangsa.

Karena itu, strategi dan mode  mengajar guru sejarah, sangat berpengaruh dsn dapat memberi efek yang besar terhadap perubahan imej ataupun dapat mengatasi kekurangmenarikan dalam proses pembelajaran sejarah seperti yang disinyalir sekarang ini. Hal ini dapat terjadi jika guru mengupayakan seluruh kemampuannya untuk dapat menerapkan berbagai metode pengajaran didalam kelas, dengan tidak lagi mengandalkan metode pembelajaran monoton berupa ceramah bervariasi. Tetapi menggunakan pendekatan yang multidimensional dengan mengunakan multimedia, sehingga peserta didik dapat mencurahkan seluruh keterlibatannya dalam proses belajar mengajar.

 

Prespektif Baru Pendekatan Pembelajaran Sejarah

Perspektif pembelajaran baru sejarah, dimasa kini harus progresif dan berwawasan tegas ke masa depan dengan tidak melupakan masa lalu sebagai dasar pijakan. Pembelajaran sejarah harus merupakan bagian dari tuntutan Undang-Undang Guru dan Dosen, Sistem Pendidikan Nasional, serta tuntutan global yang merubah paradigma pendidikan abad 21. Dalam paradigma ini sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran sejarah yang penekanannya, selain unsur kesadaran identitas diri yang menjadi tujuan utama, juga pembelajaran sejarah progresif mengacu pada pengembangan segala potensi manusia yang salah satu kemampuan utamanya, adalah kemampuan bernalar. Kemampuan bernalar adalah unsur penentu bagi proses pendidikan yang antisipatif terhadap tantangan masa depan yang semakin mengglobal. Dalam pemahaman ini, pembelajaran sejarah harus mampu merubah dan menjadikan peserta didik peka terhadap masa lalu, masa kini, dan terhadap masa depan. Kata kuncinya adalah kemampuan daya nalar, sebab jika  daya nalar tidak dimiliki maka seorang guru sejarah dan peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya tidak akan memiliki empati terhadap masa depannya. Disinilah letak pentingnya kedudukan Guru Sejarah didalam membangkitkan daya nalar peserta didik.

Tidak kalah pentingnya adalah pendekatan kreatif sebagai prespektif baru dalam pembelajaran sejarah. Pendekatan kreatif diarahkan sebagai pendekatan yang diharapkan mampu mengembangkan kreativitas, pemikiran kreatif, dan pada akhirnya dapat merubah kearah prilaku kreatif bagi peserta didik. Kreativitas perlu dikembangkan karena mencerminkan perwujudan diri, memupuk kemampuan berpikir divergen, memberi kepuasan dan dapat meningkatkan kualitas diri (Hartwell, Ernest C., 2005). Model pembelajaran sejarah dengan pendekatan kterative ini merupakan perpaduan antara kemampun kognitif dengan kemampuan afektif, dimana merupakan hal yang sangat fundamental. Kedua kemampuan ini saling terintegrasi dalam rangka membangun sikap kreatif, sekaligus untuk membangkitkan minat dalam mengatasi kebosanan didalam pembelajaran sejarah.

Dari berbagai argumen di atas, sangat jelas terihat jika pembelajaran sejarah lebih menekankan pada analisis dibandingkan dengan fakta sejarah, maka akan membuat peserta didik memiliki pemikiran kreatif, divergen yang pada dasarnya dapat menumbuhkan kegembiraan dan kebahagiaan, sebab ia dapat melahirkan kombinasi-kombinasi baru sebagai ciri kreativitas. Keadaan ini, dapat diawali dalam pendeskripsian materi sejarah oleh guru dengan menggunakan metode eksplanasi yang kritis dan analitis dalam metode sejarah (Joni, T. Raka, 1983). Metode lain yang dapat membantu seorang guru sejarah adalah Metodologi individualis yang dapat menjelaskan bagaimana proses perlawanan dan alam pikiran tokoh sejarah sebagai agen peristiwa yang melatarinya dalam bertindak atau menyejarah, misalnya perjuangan sosok ”tokoh lokal” yang tidak dikenal di tingkat nasional tapi peranannya di tingkat lokal sangat basar, seperti: Sultan Hasanuddin, Syekh Yusuf Al Makassari, Ranggong Daeng Romo, dan I Tolok Daeng Magassing. Tokoh nasional seperti: Soekarno, Hatta, dan Kahar Muzakkar.

Pendekatan tergolong baru yang perlu mendapat perhatian dari guru sejarah adalah pendekatan atau metodologi Strukturis. Dalam buku ”The Structures of History” (1993), Lloyd menjelaskan bahwa; perkembangan ilmu sejarah tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu-ilmu sosial dan begitu pula sebaliknya. Untuk memperkuat pandangannya, Lloyd menelusuri perkembangan kehidupan di Eropa sejak abad ke-17 ketika struktur-struktur Ekonomi dan sosial belum terjangkau dan dipahami, namun keberadaannya memperlihatkan hakekat dan karakter sejarahnya. Sejak itu, para pemikir telah menerapkan konsep struktur-struktur ekonomi dan sosial yang disebut ekonomi politik (political Economy) dan masyarakat sipil (civil society), dan bagaimana struktur-struktur itu berkembang sepanjang sejarah kemanusiaan.

Lloyd juga mengemukakan bagaimana kita membangun aspek-aspek metodologis dan teoritis secara lebih baik mengenai domain sejarah struktural, dan bagaimana landasannya atau kerangka metodologi dan konsep-konsepnya harus dirumuskan dan diperkuat. Untuk memahami domain dalam praktek sejarah struktur sosial, Lioyd membuat retorika yang menggambarkan bahwa; jika studi sejarah sosial dianggap mempunyai obyek penyelidikan yang jelas, maka obyeknya harus sejarah masyarakat yang didefinisikan sebagai suatu kenyataan, berkesinambungan, dan mempunyai kesatuan struktural.

Paham Strukturis bagi Lloyd merupakan metodologi yang paling cocok untuk menjelaskan pokok persoalan sejarah struktural sosial, tiada lain menurutnya karena penjelasan metodologi individualisme dan holisme tidak memadai lagi. Yang pertama ontologinya mengatakan hanya peristiwa individu, orang perorang dengan tindakan, kepercayaannya saja yang dianggap sebagai kenyataan. Sedangkan yang terakhir ontologinya melihat masyarakat sebagai tertutup, sistemnya berada di atas (supra) individu dan mempunyai kekuatan-kekuatan untuk mengatur. Dengan demikian, kedudukan metodologi strukturis sangat strategis untuk menjelaskan persoalan sejarah yang semakin kompleks baik dari skop waktu, geografis, agen peristiwa, maupun berbagai aspek kehidupan yang mengitari peristiwa sejarah tersebut.

 

Tinjauan Akhir

Pembelajaran sejarah sangat strategis dan selalu menjadi salah satu faktor penentu dalam menemukan dan pembentukan jatidiri serta identitas suatu bangsa. Kedudukannya yang strategis ini menjadikan metodologi sejarah juga terus mengalami perkembangan bersamaan dengan munculnya berbagi model dan strategi pembelajaran progressif dan kreatif dalam dunia pendidikan.  Pertemuan antara metodologi sejarah dan strategi pembelajaran dalam dunia pendidikan yang semakin berubah, progressif dan mengglobal tidak menjadikan keduanya saling terpisah tetapi dapat melahirkan metode dan strategi baru yang lebih kreatif sesuai tuntutan paradigma pendidiakn abad 21. Pembelajaran sejarahpun menjadi harapan pemerintah dalam membangun identitas dan rasa kebangsaan  ataupun nasionalisme dikalangan guru melalui tangan-tangan kereatif guru yang dapat mengakomodir metodologi baru dalam sejarah dan strategi baru dalam dunia pembelajaran.

Melalui kurikulum KTSP yang bernuansa lokal sangat memungkinkan bagi seorang guru sejarah meredefenisi pembelajaran sejarah kearah yang lebih kreatif, dan memberikan pembelajaran sejarah yang lebih profesional. Artinya adalah, mendidik peserta didik agar memiliki kemampuan berpikir sejarah yang responsif terhadap tantangan masa kini, dan masa depan, terutama yang bersifat kontekstual atau yang ada di lingkungan sekitarnya (daerah dimana peserta didik tersebut lahir dan dibesarkan). Tentu dengan menerapkan pendekatan multidimensional dengan penggunaan multimedia dalam proses pembelajarannya dean bersandar pada metodologi sejarah yang kritis dan analitis.

Dengan demikian, pendekatan kreatif merupakan alternatif jawaban, terhadap prinsip pembelajaran yang bersifat progresif yang diharapkan mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan merubah imej peserta didik yang menganggap bahwa belajar sejarah adalah sangat membosangkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Amien, Moh. 1979. Apakah Metode Discovery-Inquiry Itu?, Jakarta: Proyek Normalisasi Kehidupan Kampus

Gayrogu, Kostas and Renn Jürgen. 2007: Positioning The History Of Science. The Netherlands: AA Dordrechtwww.springer.com

Hartwell, Ernest C. 2005. The Teaching of History. Houghton Mifflin Company Boston, New York and Chicago: The Riverside Press Cambridge

Joni, T. Raka. 1983. Strategi Belajar-Mengajar Tinjauan Pengantar. Jakarta: P2LPTK Ditjen Pendidikan Tinggi Depdikbud

Kartodirdjo, Sartono, 1995. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia

Reiner, G.J., 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Soedijarto, Sunday 29 August 2010. Paradigma Pembelajaran Menjawab Tantangan Jaman, , diposting dari [email protected]

Widja, I Gde. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi erta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta Depdikbud-DIKTI-Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *