Pengembangan Bahan Ajar Sejarah Berbasis Muatan Lokal[1]

 

 

Djono[2]

 

[1] Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS di Bandung tanggal 18-20 Maret 2011

[2] Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: [email protected]

 

Pendahuluan

Dalam era otonomi daerah yang diterapkan pemerintah pasca reformasi juga menyentuh bidang pendidikan. Bentuk otonomi dalam pendidikan diantaranya  daerah diberi kewenangan untuk mengembangakan pendidikan berbasis keunggulan daerah dan diberlakukanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pendidikan berbasis keunggulan daerah dan KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum. Salah satu point dari beberapa otonomi itu, yakni pengembangan kurikulum termasuk  pada pelajaran sejarah.

Arah kebijakan KTSP  sejalan dengan diperlukannya pembenahan serta pengembangan mata pelajaran sejarah, mengingat selama ini pokok kajian pelajaran sejarah terfokus  pada objeks kajian skala nasional dengan tema politik. Pembelajaran sejarah yang konvensional telah mengalami perkembangan dengan model tematis dengan pendekatan multidimensional belum sepenuhnya berjalan.

Sementara praktek pembelajaran sejarah semakin dimarjinalkan dengan pengurangan waktu serta perubahan kurikulum yang mengurangi substansi materi. Dilain pihak cakupan materi yang sangat luas maka terabaikannya tujuan pembelajaran. Dengan kondisi yang demikian maka diperlukan pengembangan materi bahan ajar yang disesuaikan dengan kapasitas serta berorientasi pada  makna peristiwa sejarah sehingga tujuan pembelajaran sejarah dapat tercapai. Beranjak dari KTSP maka dalam pengembangan bahan ajar sejarah potensi keunggulan daerah yang berupa kearifan lokal dapat dikembangkan melalui seleksi serta penyesuaian dengan kurikulum nasional. Dengan proses penyusunan bahan ajar sejarah yang tepat maka fungsi sejarah sebagai mata pelajaran pembentukan kepribadian dapat berlangsung dengan baik. Pentingnya pengembangan bahan ajar sejarah yang memasukkan nilai-nilai kearifan lokal, siswa akan lebih mudah mengapresiasi sejarah yang diajarkan guru. Melalui contoh-contoh peristiwa di sekitar (lingkungan) siswa, maka sejarah tidak hanya sebagai sebuah pengajaran yang menekankan aspek kognitif, namun juga penghayatan terhadap nilai-nilai peristiwa sejarah. Dari penghayatan itu, maka nilai-nilai local wisdom akan terinternalisasi pada siswa yang nantinya mampu berdampak pada sikap serta tindakan siswa.

 

Pentingnya Kajian Sejarah Lokal dalam Pengembangan Bahan Ajar Sejarah

Meningkatnya arus desentralisasi pendidikan, melalui KTSP maka peluang untuk menghadirkan sejarah lokal dalam pengajaran di sekolah semakin terbuka.  Realitas sejarah lokal yang selama ini cenderung diabaikan, telah membuat minimnya akses masyarakat untuk mengetahui secara detail peristiwa sejarah lokal daerahnya. Tidak mengherankan bila masyarakat awam melupakan dan bahkan sama sekali tidak tahu tentang sejarah local, hal ini disebabkan tidak masuknya materi pelajaran sejarah daerahnya di tingkat nasional. Sebenarnya banyak aspek yang dapat diambil dari peristiwa sejarah local, seperti keteladan dari peristiwa lampau, sehingga memberikan azas manfaat dalam kelangsungan hidup manusia supaya lebih maju.

Esensi sejarah lokal hampir sama dengan sejarah nasional, hanya saja kajian sejarah lokal dibatasi pada spasial tertentu, sehingga juga dikenal dengan istilah sejarah mikro. Beberapa sejarah mikro, seperti sejarah Kota Jakarta, sejarah Aceh, sejarah DIY, sejarah Surakarta, dan sebagainya. Ciri sejarah mikro selain lebih mendalam (detail) juga mengusung keunggulan-keunggulan lokal. Tentu saja keunggulan yang dihadirkan mencakup aspek kearifan lokal masing-masing daerah. Seperti halnya di Jakarta, siswa akan lebih mengapresiasi sejarah kebangkitan nasional jika guru menghadirkan contoh sejarah Gedung Stovia dan tokoh-tokoh di dalamnya, atau Situs Lubang Buaya untuk tema sejarah awal berdirinya Orde Baru. Apresiasi siswa tidak hanya pada materi sejarah namun juga terhadap peninggalan-peninggalan yang mempunyai peran dalam sejarah nasional. Di Surakarta misalnya siswa dalam mempelajari sejarah Indonesia pada awal peradaban, akan lebih interest jika yang dihadirkan mengenai Sangiran atau peran Sungai Bengawan Solo dalam perdagangan masa kerajaan-kerajaan. Materi sejarah Indonesia masa kerajaan-kerajaan, guru dapat membahas sejarah Keraton Surakarta atau Mangkunegaran. Materi sejarah Indonesia masa kolonialisme selain diajarkan materi sejarah nasional, siswa diterangkan juga mengenai sejarah Benteng Vantenberg, hingga pabrik-barik gula milik pemerintah kolonial. Bahkan dalam pembahasan materi sejarah pergerakan nasional, siswa di Surakarta diajarkan lebih detail tentang peran tokoh-tokoh pergerakan di Surakarta seperti, Hadji Samanhudi, Hadji Misbach, Mas Marco, dsb. Baik objek sejarah yang dijadikan contoh maupun tokoh yang dihadirkan tentu saja memiliki pengaruh besar dalam perkembangan masyarakat. Siswa akan lebih mudah dalam mempelajari sejarah bahkan out come dari kegiatan pembelajaran siswa akan memiliki jiwa menghargai serta ikut merasa memiliki peninggalan sejarah di lingkungan siswa. Dalam pembelajaran sejarah siswa dapat diajak ‘napak tilas’, untuk mengenal lebih mendalam latar belakang berbagai peristiwa di daerahnya. Jika nilai-nilai kebanggaan lokal sudah tertanamkan, dimungkinkan  cagar budaya atau situs-situs sejarah lokal akan terselamatkan

Dalam mengajarkan sejarah lokal atau mikro, yang diperlukan adalah bahan ajar sejarah yang sesuai dengan muatan lokal di setiap daerah. Bahan ajar menjadi penting dalam pengajaran sejarah karena selama ini materi-materi sejarah lokal yang relevan dengan sejarah nasional belum tersusun dengan baik, kalaupun ada masih bersifat spasial pada peristiwa atau objek tertentu saja. Disadari memang tidak semua peristiwa sejarah lokal dapat diakomodasi ke dalam kurikulum muatan lokal yang diintegrasikan dalam mata pelajaran sejarah. Diperlukan proses pemilihan serta penyesuaikan dengan kompetensi dasar kurikulum nasional.

 

Arti Penting Sumberdaya Budaya Lokal untuk Pembelajaran Sejarah

Ada satu pertanyaan penting mengapa sumberdaya budaya lokal perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah? Jawabannya adalah karena pemanfaatan khasanah sumberdaya budaya lokal dalam pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai  kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga, pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah bangsa.

Sementara itu, kesadaran budaya ditandai  oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua,  sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional  (Sedyawati, 2006: 330-331). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa sumberdaya budaya (lokal) merupakan sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya.

 

Pengembangan Bahan Ajar

Ada  beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pemanfaatan sumberdaya lokal untuk menyusun bahan ajar sejarah berbasis muatan lokal. Sumberdaya lokal dapat dilihat baik dari aspek proses keberadaan maupun substansinya. Pemanfaatan local wisdom dalam bahan ajar memerlukan manajemen sumberdaya budaya (cultural management resources) yang  baik. Dalam upaya penyusunan bahan ajar, para guru dapat memanfaatkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pengelolaan sumberdaya lokal itu. Ketika sumberdaya lokal telah dikelola dengan baik melalui manajemen warisan budaya, dalam bentuk museum dan situs peninggalan sejarah/ budaya, para guru dapat memanfaatkan museum dan situs peninggalan sejarah/ budaya sebagai sumber penulisan bahan ajar.

Pemanfaatan sumberdaya budaya lokal untuk pembelajaran sejarah juga dapat dilakukan melalui kegiatan inventarisasi dan kajian-kajian mendalam  tentang peristiwa-peristiwa daerah yang mempunyai kaitannya dengan skala nasional. Inventarisasi dapat dilakukan terhadap sumberdaya budaya lokal baik yang tangible maupun intangible. Para guru sejarah dapat memanfaatkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi  atau Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten/Kota. Apabila belum dilakukan, para guru sejarah melalui wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dapat berinisiatif dan melakukan kegiatan inventarisasi ini. Dari kegiatan inventarisasi itu akan diperoleh data dan informasi yang memadai yang dapat dijadikan sebagai tambahan bahan ajar sejarah. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah bahwa kegiatan inventarisasi sumber daya budaya lokal dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah. Prinsip yang harus diperhatikan dalam dalam penyusunan bahan ajar yaitu antara lain, objektivitas, karena seringkali tokoh maupun peristiwa sejarah masih terdapat polemik, sehingga seringkali siswa tidak menerima sejarah yang disampaikan guru. Sebagai contoh, sejarah kepahlawanan di Makassar tokoh Sultan Hasanudin, Gowa dan Bone terdapat polemik antara pahlawan dan penghianat, atau kepahlawanan R. Mas Said bagi sejarah Surakarta, mungkin bagi Kasunanan dianggap pembelot, namun bagi Mangkunegaran itu sebagai seorang pioneer modernisasi.

Kehati-hatian dalam penyusunan bahan ajar dari keterjebakan polemik ketokohan, penting juga diperhatikan sikap empati dalam pemilihan topik yang akan disesuaikan dengan kompetensi dasar kurikulum nasional. Empati menjadi penting jika dalam penyusunan bahan ajar sejarah tentang Surakarta tidak memasukkan Mangkunegaran sebagai entitas pemangku otoritas Surakarta dan hanya mengkaji Kasunanan semata akan menjadi bumerang dalam pembelajaran sejarah. Siswa di Surakarta dari kalangan Mangkunegaran tidak akan mempersalahkan bahan ajar itu namun lain halnya dengan siswa dari kalangan Mangkunegaran. Bisa jadi bahan ajar yang telah disusun tidak diacuhkan oleh sebagian siswa, bahkan akan berimbas pada minat siswa dalam belajar sejarah.

Sementara itu juga tidak bisa dipungkiri kapasitas muatan lokal dalam kurikulum nasional sejarah, sehingga kurikulum muatan lokal tetap menjadi pelengkap kurikulum nasional. Mulai dari kompetensi dasar hingga indikatornya tidak boleh lepas dari substansi sejarah. Misalkan bahan ajar tentang Keraton Surakarta harusnya tetap pada kapasitas sejarahnya, sehingga hal-hal yang lain tetap harus dibatasi.

 

Penutup

Pemanfaatan kearifan lokal untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah sebagai muatan lokal  merupakan salah satu strategi kebudayaan yang penting dilakukan. Pertama, melalui pengelolaan, inventarisasi, dan penelitian kearifan, kita setidaknya dapat melakukan pelestarian statis terhadap sumberdaya lokal itu. Kedua, dengan pemanfaatan kearifan lokal untuk materi penunjang dan media pembelajaran sejarah di sekolah, berarti secara simultan juga telah dilakukan pelestarian dinamis, karena nilai-nilai yang terdapat dalam budaya lokal diinternalisasikan kepada siswa melalui proses pembelajaran. Dari proses internalisasi ini pada gilirannya akan membuahkan hasil, yaitu adanya kesadaran sejarah dan kesadaran kultural pada para siswa. Dengan adanya kesadaran sejarah dan kesadaran kultural, kearifan lokal dapat dikembangkan untuk tujuan-tujuan positif dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya pemahaman terhadap kearifan lokal, para siswa akan dapat mengetahui dan menghormati adanya keanekaragaman budaya dalam masyarakat Indonesia, tidak terjebak pada etnosentrisme sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis yang kita cita-citakan dapat terwujud.

 

Daftar Pustaka

Bambang Purwanto, dan Asvi Warman Adam. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta. Ombak

Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak

Edi Sedyawati. 2006b. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Press.

________. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Elly M. setyadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Cetakan ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.

Notosusanto, Nugroho. 1979. Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta: UI press.

Nursam, M. dkk (ed). 2008. Sejarah yang Memihak : Mengenang Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta : Ombak

Restu Gunawan (ed). 1998. Simposium Pengajaran Sejarah (kumpulan makalah diskusi). Jakarta : Depdikbud

Sartono Kartodirdjo. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sartono Kartodirdjo. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.

Sevilla, Consuelo, dkk..1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.

Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.

Widja, G.. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

________. 1989. Dasar – Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta : Debdikbud

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *