Pendidikan yang Berwawasan Lingkungan Masyarakat Terasing: Beberapa Pengalaman di Indonesia

Oleh: Didin Saripudin

Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak

Keperluan belajar secara minimum perlu ditingkatkan dalam masyarakat terasing melalui nilai-nilai asli yang telah mapan dan berakar dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) harus masuk ke dalam kurikulum pendidikan sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Setiap proses pendidikan pada hakekatnya merupakan ikhtiar mengarahkan dan mengerahkan dua daya; di satu sisi daya untuk melestarikan dan di sisi lainya daya untuk memajukan. Untuk memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pengkhidmatan pendidikan terutama pendidikan dasar 9 tahun, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia mengembangkan dua jalur pendidikan, yakni pendidikan melalui sekolah dan pendidikan luar sekolah (non formal). Pendidikan luar sekolah terdiri dari program paket A (setara Sekolah Dasar), paket B (setara Sekolah Menengah Pertama), paket C (setara Sekolah Menengah Atas) dan berbagai keterampilan hidup. Pendidikan luar sekolah lebih fleksibel dibandingkan dengan pendidikan sekolah dari segi kurikulum, waktu, tempat, pelajar dan tenaga pendidik. Pendidikan luar sekolah menjadi salah satu alternatif kerana tidak terlalu mengekang aktivitas peserta didik untuk belajar sekaligus  menekuni kehidupan nyata di lingkungannya.

  1. Pendahuluan

Menurut data dari Departemen Sosial Republik Indonesia tahun  2003, populasi suku terasing di Indonesia sebanyak 208,277  keluarga atau 1,041,000 orang. Mereka tersebar di 18 Provinsi, terutama berada diwilayah pedalaman dan pulau-pulau terpencil. Masyarakat terasing ini ada yang masih mengembara, semi menetap dan menetap. Terhadap pengaruh luar (modern), masyarakat terasing ini ada yang terbuka, semi terbuka dan tertutup (Kompas, 29 September 2003).

* ­­ Makalah disajikan dalam International Conference Indigenous Pedagogies, Tanggal 10-12 Nopember 2008  di Mega Hotel, Miri, Sarawak, Malaysia.

Untuk memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pengkhidmatan pendidikan terutama pendidikan dasar 9 tahun, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia mengembangkan dua jalur pendidikan, yakni pendidikan melalui sekolah dan pendidikan luar sekolah (non formal). Pendidikan luar sekolah terdiri dari program paket A (setara Sekolah Dasar), paket B (setara Sekolah Menengah Pertama), paket C (setara Sekolah Menengah Atas) dan berbagai keterampilan hidup. Pendidikan luar sekolah lebih fleksibel dibandingkan dengan pendidikan sekolah dari segi kurikulum, waktu, tempat, pelajar dan tenaga pendidik.

Pembangunan pendidikan modern diharapkan tidak mengarah pada perubahan degeneratif yang dapat menimbulkan sikap apriori masyarakat terasing terhadap sekolah. Perubahan degeneratif  adalah perubahan yang telah merusak keseimbangan dari kehidupan sosial suatu masyarakat dan sering kali juga merusak keseimbangan ekologi lingkungan alamnya (Koentjaraningrat, 1993:347). Menurut Koentjaraningrat, bahwa dalam pembangunan masyarakat terasing di Indonesia, sikap itu dapat mengakibatkan keadaan seperti yang terjadi pada orang Badui di Banten, atau dapat menimbulkan gerakan kargo (cargo) yang bersifat pasif maupun agresif, seperti yang terjadi pada beberapa masyarakat terasing di Irian Jaya. Program-program pembangunan yang dipaksakan dari luar, jarang sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi suatu komunitas (Judistira, 1993:160). Pengamatan yang dilakukan oleh Judistira (1993:160) mengenai orang Badui, menjelaskan bahwa komunitas Badui memiliki mekanisme sosial-kultural yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melestarikan eksistensi mereka.

Oleh itu perlu pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) di masukkan ke dalam kurikulum pendidikan sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat.

  1. Sistem Belajar Asli

Sistem belajar asli (indigenous learning system) adalah sistem belajar yang digunakan masyarakat tradisional sebagai upaya mempertahankan dan memelihara sistem sosial masyarakatnya demi kelangsungan hidupnya. Sistem belajar asli, secara tradisional digunakan untuk memenuhi keperluan-keperluan praktis dan untuk meneruskan warisan sosial budaya dan keterampilan serta teknologi masyarakat pedesaan dari generasi ke generasi (Coombs, 1973: 41).

Freire (1973:123), mengemukakan bahwa pendidikan import yang merupakan suatu bentuk kebudayaan teralienasi atau terasing semata-mata merupakan barang tempelan bagi masyarakat yang mengimpornya. Selanjutnya, menurut Paulo, pendidikan semacam itu bukanlah pendidikan sejati, karena tidak berada dalam hubungan dialektis dengan konteksnya dan tidak memiliki kekuatan untuk mengubah realitas. Sistem belajar asli dalam masyarakat tradisional memiliki kekuatan sendiri. Secara minimum, ada enam kebutuhan belajar yang esensial (Coombs, 1973: 14-15), yaitu; (1) sikap positif terhadap kerja sama sesama manusia, (2) kemampuan membaca dan berhitung yang fungsional,        (3) memiliki pandangan ilmiah dan pengertian dasar proses terhadap alam,         (4) pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk mendapatkan penghasilan,    (5) pengetahuan dan keterampilan untuk menghidupkan keluarga, (6) pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk partisipasi warga negara dalam kehidupan nasional.

Keperluan belajar secara minimum perlu ditingkatkan dalam masyarakat tradisional melalui nilai-nilai asli yang telah mapan dan berakar dalam kehidupan masyarakat. Soriano (1981:9) menganjurkan agar secara spesifik perlu dilihat gaya belajar, bahan dan prosedur yang membuat nenek moyang kita mampu mengembangkan kebudayaan lengkap dengan pengetahuan-pengetahuan yang berguna dan keterampilan-keterampilan serta membangun kehidupan melalui nilai-nilai asli yang telah berlangsung dan bertahan terhadap pengikisan akibat dissonant atau pengaruh-pengaruh modern yang bersifat merusak. Masyarakat tradisional telah mengaembangkan sendiri pendidikan tradisi melalui sistem belajar asli dalam proses transaksi dan adaptasi antara mereka dengan lingkungannya dan terhadap dunianya. Proses belajar seperti ini dapat difahami dengan menggunakan teori “experiential learning” dari Kolb (1984). Menurut Kolb (1984:38) bahwa belajar adalah suatu proses dimana pengetahuan dibangun melalui transformasi pengalaman. Kolb mengemukakan empat tahapan dalam proses belajar berdasarkan pengalaman yang melibatkan cara belajar adaptif, yaitu: concrete experiences, reflective observation, abstract conceptualization, dan active experimentation. Model concrete experiences / abstract conceptualization di satu pihak dan active experimentation / reflective observation di lain pihak merupakan dua dimensi yang masing-masing mewakili dua orientasi adaptip yang berlawanan secara dialektis (Kolb, 1984:40). Proses pendidikan semacam ini sebenarnya merupakan proses belajar yang manusiawi (sesuai dengan kodrat dan perkembangan manusia). Manusia memiliki potensi ke-empatnya, dimana proses belajar seseorang akan mencakup proses-proses; mengalami sesuatu secara konkret, memikirkan secara konseptual, mengamati sesuatu sambil merenungkannya dan mencobakan sesuatu dalam situasi lain yang lebih luas. Hal ini bertolak belakang dengan proses belajar dalam konteks pendidikan sekolah yang cenderung melakukan proses belajar secara deduktif, dari proses konseptualisasi abstrak (abstract conceptualization) ke proses pengalaman konkret (concrete experience).

Dalam setiap masyarakat yang sederhana sekalipun, pendidikan itu tumbuh sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan melalui sistem belajar asli yang bersumber dari akar budaya masyarakatnya dan senantiasa berkembang atau berubah secara alami. Sistem dan tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat, harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri, berdasarkan identitas, pandangan hidup dan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat tersebut (Quraish, 1992: 173). Sentuhan-sentuhan informasi dan berbagai media komunikasi yang mereka terima dapat diserap secara selektif sesuai keperluannya. Ada yang diserap seluruhnya atau sebagian saja dan ada pula yang ditolaknya bilamana bertentangan dengan sistem nilai budaya yang sudah berakar dalam masyarakatnya.

Jika pendidikan modern harus menjadi sarana untuk perubahan sosial dan kebudayaan, pendidikan harus memperhitungkan pentingnya kesinambungan antara instruksi-instruksi di sekolah dengan klehidupan masyarakat dimana sekolah tersebut berada (Soriano, 1981:16). Penyebaran pendidikan sekolah dan luar sekolah ke dalam masyarakat majemuk tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas horizontal (adanya perbedaan etnik, sub-sub etnik) dan pluralitas vertical (adanya pelapisan-pelapisan sosial). Diharapkan agar upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui jalur-jalur sekolah maupun luar sekolah, benar-benar menjadi suatu keperluan masyarakat. Pendidikan itu bertanggung jawab penuh mengenai perikehidupan anggota masyarakat sejak awal hingga akhir hayatnya baik dalam hal etika, moral, kejiwaan, pelaksanaan ilmu pengetahuan mereka dan berbagai kemahiran atau keterampilan/kejuruan yang senantiasa berkembang (Nazili, 1989:57). Jadi, pendidikan sebagai harapan mencerdaskan bangsa tidak semestinya hanya terpaku pada sekolah melalui rekayasa kurikulum. Peluang lain melalui pendekatan pendidikan luar sekolah untuk masyarakat di desa-desa pedalaman dan gugusan pulau-pulau terpencil geografis dan sosial, tidak seharusnya direkayasa secara formal, tetapi sebaiknya penataannya disesuaikan dengan keperluan masyarakat

Kurikulum pendidikan dapat disusun dengan memasukkan sekelompok tema yang memungkinkan pendidik dan terdidik sebagai subjek-subjek dalam proses pengetahuan mengambangkan kemampuan untuk tahu (Paulo, 1967:123-126). Rekayasa kurikulum sekolah yang mengadaptasi nilai-nilai budaya impor yang kemudian disodorkan kepada anak didik dari lingkungan dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat tersebut. Apalagi kalau kurikulum itu terlalu uniform, kaku, proses belajar mengajar berorientasi pada pengalihan informasi dengan cara penyajian satu arah dan verbalistik (Achmad Sanusi, 1984:17). Pencampuran antara dua sistem budaya yang berbeda secara dipaksakan akan menyebabkan terjadinya kontaminasi budaya, sehingga dapat merusak sistem nilai budaya asli masyarakat tradisional.

Transformasi budaya melalui sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang tidak berorientasi pada realitas totalitas kehidupan dan lepas dari akar budaya masyarakat, akan sulit mengantisipasi masa depan pengembangan sumber daya manusia. Seperangkat kurikulum baku sebagai instrument nasional yang diberlakukan secara masal dan kurang memperhatikan relevansinya dengan faktor geografis dan sumber daya alamnya, dapat menyebabkan peserta didiknya kehilangan kemandiriannya untuk menangkal dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Individu harus memiliki pendidikan yang berwawasan lingkungan, agar ia menjadi jati dirinya, menyadari keberadaannya sehingga dapat hidup, berubah dan berkembang kemandiriannya. Tidaklah keliru untuk mengatakan bahawa upaya pendidikan adalah ikhtiar untuk member kesempatan “to have” serta memantapkan kesadaran “to be” (Fuad Hasan, 1986:40). Memiliki (to have) dan ada (to be) merupakan dua kategori fundamental kemanusiaan. Agar manusia dapat berada, dapat hidup, dapat berkembang sebagai pribadi ia harus memiliki sesuatu (Sastrapratedja, 1986:103). Tugas mulia pendidikan berupaya untuk mengembangkan aspek pribadi manusia baik jasmaniah maupun rohaniah, agar ia dapat mempertahankan keberadaannya sebagai manusia. Melalui transformasi, diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku individu untuk mewujudkan suatu pribadi yang berkualitas sesuai kenyataan keberadaannya sebagai manusia seutuhnya.

  1. Pendidikan Masyarakat Kampung Naga

Kampung Naga berada di lembah Sungai Ciwulan, Desa Neglasari, Tasikmalaya, Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga sekitar 400 Meter dari Jalan Bandung-Garut-Tasikmalaya. Mata pencaharian utamanya adalah pertanian. Di lihat dari lokasinya tidak termasuk daerah terisolasi, masuknya pengaruh modern bukan hal yang sukar. Tetapi sistem sosial budaya masih mempertahankan nilai-nilai adat leluhur mereka.  Walaupun masyarakat Kampung Naga termasuk etnik Sunda, tetapi sistem sosial budayanya memiliki perbedaan  dengan masyarakat etnik Sunda di sekitarnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari model, kontruksi, dan bahan bangunan rumah, peralatan pertanian dan pakaian yang digunakan (Awan Mutakin dan Didin Saripudin, 2005:16).

Rumah masyarakat Kampung Naga berupa rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu, bambu dan bahan atapnya ijuk dan daun tepus. Alat-alat pertanian  yang digunakan masih tradisional seperti cangkul, bajak, garu. Mereka tidak menggunakan alat-alat pertanian modern. Pakaian yang digunakan yaitu baju kampret berwarna putih atau hitam, ikat kepala terbuat dari kain batik, kain dan celanan komprang berwarna putih atau hitam.

Sebagian besar ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga yang digunakan untuk memberi makna, fungsi, dan media untuk menginterpretasikan lingkungannya.  Aspek-aspek ilmu pengetahuan  yang dimiliki masyarakat kampung Naga yang berbeda dari masyarakat lain di sekelilingnya adalah: cara penataan lahan perkampungan, penataan lahan pertanian, cara memelihara kebersihan lingkungan, kepedulian terhadap unsur-unsur ekologis dan keterampilan sebagai pengrajin anyaman bambu.

Di Kampung Naga terdapat satu Sekolah Dasar Negeri, sebagaian besar anak-anak usia sekolah masuk ke sekolah tersebut. Sekolah tersebut melakukan kegiatan belajar mengajaranya sesuai dengan sekolah-sekolah lain yang menggunakan standar nasional. Kurikulum dan mata pelajaran yang diberikan pun sama dengan Sekolah Dasar (SD) lainnya seperti Bahasa Indonesia, IPA (Sains), IPS (Social Studies), Matematika, Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Sukan. Hanya   pada SD di Kampung Naga ini, diberikan mata pelajaran muatan lokal, selain Bahasa Sunda yang merupakan muatan lokal untuk Etnis Sunda (Jawa Barat) yang diberikan mulai darjah satu, juga diberikan kemahiran mengayam bambu, pertanian dan seni beladiri pencak silat yang diberikan mulai darjah empat.

Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), anak-anak Kampung Naga harus pergi dari luar kampungnya, kerana tidak ada SMP di kampung Naga. Jadi anak-anak Kampung Naga berbaur dengan anak-anak dari kampung lainnya dalam satu sekolah. Begitu juga apabila akan melanjutkan pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk SMP dan SMA tersebut tentunya memilliki sitem dan kurikulum yang sama dengan SMP dan SMA lainnya di Indonesia, hanya untuk muatan lokalnya ditambah dengan Bahasa Sunda.

Berdasarkan hasil penelitian Didin Saripudin (2006) pengalaman pendidikan generasi muda masyarakat Kampung Naga lebih tinggi dibandingkan dengan ibu bapa mereka. Beberapa orang pemuda sudah mengikuti pendidikan pada tingkat universitas, bahkan dalam program kerjasama pemuda Indonesia dan Jepang beberapa orang pemuda kampung Naga mengikuti pendidikan dan pelatihan di Jepang selama 12 bulan.

Rupa-rupanya di kalangan generasi muda masyarakat Naga tengah terjadi pergeseran sikap baik terhadap bentuk-bentuk lama mahupun bentuk-bentuk baru. Mereka tengah merekontruksi persepsi yang berkenaan denga nilai-nilai yang paling bermakna bagi diri mereka terutama dalam menyongsong masa depan mereka sendiri. Mereka semakin menyadari bahwa mereka tidak hidup dalam masyarakat Naga sendiri, tetapi mereka dan masyarakat itu sendiri berada di tengah-tengah masyarakat lain. Beberapa tuntutan harus dipenuhi untuk mempertahanakan keberadaan masayarakat di tengah-tengah kehidupan masyarakat lainnya yang lebih maju. Hasil pengamatan Awan Mutakin dan Didin Saripudin (2005) dan Didin Saripudin (2006) menunjukkan bahwa respon atau sikap masyarakat Naga terhadap unsur-unsur baru seperti Program Panca Usaha Tani (pembaharuan dalam bidang pertanian)  adalah positif. Dengan demikian memeprlihatkan bahwa melalui pendidikan yang diperoleh oleh generasi muda masyarakat Naga maka mulai terjadi transformasi budaya modern, terutama dalam mengembangkan pemilikan dan pemanfaatan teknologi di kalangan warga masayarakat Naga.

  1. Pendidikan Orang Laut

Di kepulauan Riau, kelompok Orang Laut disebut oleh masyarakat setempat sesuai dengan nama pulau yang mereka tempati misalnya Orang Mantang tinggal di sekitar pulau mantang, Orang Barok bermukim di selat Barok, Orang Galang tinggal di sekita pulau Galang, Orang Pusek berdiam di sekitar pulau Pusek.  Di wilayah Indonesia bagian Timur, Orang Laut dikenal sebagai Orang Bajau yang dapat ditemukan di perairan selat Makasar di pantai Timur Kalimanatan, di Teluk Bone, di wilayah Nusa Tenggara Timur, di Teluk Tomini, di Maluku Utara dan di peraiaran Laut Sulawesi. Orang laut adalah sekelompok manusia yang berbudaya lauat (aquaculture) baik sebagai pengembara laut dalam sampan Kajang, semi menetap di pemukiman rumah terapung, mahupun menetap di pesisir pantai atau daratan pulau-pulau terpencil.

Menurut Mohamad Zen (2002) yang melakukan penelitian pendidikan pada Orang Laut di Kepulauan Riau bahwa putus sekolah dasar masih cukup tinggi di kalangan anak-anak usia 9-10 tahun. Lingkungan alamnya, terutama di sektor “aquaculture” dengan karakteristik ekosistemnya telah memaksa mereka memilih kehidupan praktis di lauatan daripada terbelenggu di bangku sekolah. Jalur pendidikan sekolah yang secara formal terpaku pada seperangkat kurikulum baku, batas usia dan waktu belajar yang diprogramkan secara ketat, belum menarik minat belajar anak-anak mereka. Alternatif yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah dengan mengembangkan jalur pendidikan luar sekolah yang tidak terlalu mengekang aktivitas peserta didik untuk menekuni kehidupan nyata di lingkungannya.

Pendidikan sekolah bukanlah satu-satunya upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia  dan tidak perlu dipaksakan kepada suatu masyarakat tradisional yang telah memilki pendidikan tradisi dan sistem belajar asli. Sistem belajar asli dalam masyarakat tradisional secara dominant cenderung dipengaruhi oleh proses belajar melalui pengalaman konkret (concrete experinces), dimana mereka menangkap sesuatu obyek apa adanya, tergantung penglihatannya. Proses belajar demikian dapat dilihat dalam kehidupan Orang Laut yang masih mengembara di lautan, semi menetap dan menetap di gugusan pulau-pulau terpencil. Kebisaaan mengembara di lautan, telah menempa dan membentuk sikap dan perilaku Orang laut untuk beradaptasi dengan lingkungan pengembaraannya yang selalu dipengaruhi oleh pergeseran angin dan musim. Pengenalan dan pemahaman mereka terhadap siklus ikan dan biota laut, telah mereka pelajari sejak anak-anak secara turun-temurun melalui sistem belajar asli (indigenous learning sistem) yang ditularkan oleh orang tuanya. Kemampuan mereka menangkap gejala-gejala alam tanpa makna apa adanya (apprehension), merupakan proses belajar melalui pengalaman konkret (concrete experiences) yang berkembang dalam sistem belajar asli lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pengetahuan mengenai letak dan susunan bintang-bintang yang dipelajarinya melalui pengalaman konkret, merupakan pedoman yang dapat menuntun mereka untuk menentukan waktu, keadaan cuaca, siklus ikan, arah pelayaran, pergeseran angin, peredaran arus, perubahan musim, dan sebagai petanda alam yang selalu dikaitkan dengan ruang gerak dan aktivitas sosial-budaya dalam kehidupan kelompoknya.

Indra mereka sangat sensitif terhadap situasi lingkungan alam yang berubah dan mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Secara intuitif, mereka dapat meraba getaran dan kondisi air laut dengan menggunakan sentuhan tangan atau kakinya untuk menentukan siklus ikan berdasarkan temperatur air dan peredaran arus laut. Penciuman mereka ternyata peka terhadap hembusan angin yang membawa aroma laut sebagai petanda perubahan musim. Mereka mempunyai kemampuan mengamati tanda-tanda yang menuntunnya untuk menentukan secara tepat lokasi berbagai biota laut yang terdapat di sekitar terumbu karang. Keterampilan Orang Laut mengendalikan perahu dalam cuaca jelek, kemampuan bertahan dalam air dan menentukan tempat-tempat perburuan ikan dan biota laut serta kemampuan membaca gejala-gejala alam dan menafsirkannya, merupakan pendidikan tradisi yang mereka peroleh sejak masa kanak-kanak melalui proses sosialisasi dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya. Sistem pengetahuan gejala alam itu dimiliki secara turun-temurun melalui suatu proses sosialisasi dan langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sejak awal pada masa kanak-kanak hingga akhir hayat mereka (Potter, 1988:7).

Kelompok Orang Laut yang hidupnya tergantung pada sektor “aquaculture”, memiliki sejumlah media belajar berupa; cerita rakyat, pantun-pantun, petatah-petitih, peribahasa dan nyanyian ritual. Sistem belajar asli ini dilengkapi dengan seperangkat bakuan nilai, berupa pantang-larang sebagai tuntunan dalam ikatan kelompok dan tanggungjawab sosial seperti; menghormati leluhur, orang tua, bertingkah laku sesuai tingkat usia, mematuhi norma-norma yang berlaku, saling memberi dan berbagi. Francisco (1918:127), mengidentifikasi paling sedikit ada tiga mekanisme dari sistem belajar asli (indegenous learning sistem) yaitu “life cycle complex”, “social control mechanism” dan “ritual” yang diwujudkan dalam sistem kepercayaan (belief sistem) dari orang-orang asli. Anak-anak mematuhi pantang-larang, mengikuti upacara ritual, dan melakukan tindak-tanduk yang dapat diterima dalam masyarakatnya melalui sosialisasi dari lingkungan keluarganya. Mereka menerima dan mempelajari nilai-nilai dari masyarakat yang dibutuhkannya sebagai mekanisme kehidupan dalam kelompoknya (Mohamad Zen, 2002).

Keberadaan sekolah di pemukiman Orang Laut yang terletak  di pulau-pulau terpencil dapat menyita waktu anak-anak usia sekolah untuk akrab dengan lingkungannya alamnya, karena dibelenggu oleh kegiatan rutinitas dalam proses belajar mengajar di sekolah. Lingkungan sekolah dan masyarakat yang berbeda, di mana transformasi diberikan telah menempatkan anak-anak menentukan pilihannya sesuai keperluan praktis  yang lebih menguntungkan menurut pertimbangan rational mereka, walaupun keputusan tersebut tidak rational menurut pertimbangan penyelenggara pendidikan. Oleh itu Departemen Pendidikan Indonesia mengembangkan Pendidikan luar sekolah (non formal) yang lebih fleksibel dibandingkan dengan pendidikan sekolah dari segi kurikulum, waktu, tempat, pelajar dan tenaga pendidik.  Pengaturan Pendidikan Luar Sekolah diberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk mengembangkannya sesuai dengan karakteristik lingkungan alamiah, sosial dan budaya (Didin Saripudin dan Abdul Razaq Ahmad, 2008).

Melalui jalur pendidikan luar sekolah ini, masyarakat pun dilibatkan secara lansung dalam pengelolaan pendidikan dengan mendirikan Sanggar Kegiatan Belajat (SKB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Masyarakat sendiri yang merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kegiatannya, pemerintah hanya mendukung dan memfasilitasinya.  Pendidikan luar sekolah terdiri dari program paket A (setara Sekolah Dasar), paket B (setara Sekolah Menengah Pertama), paket C (setara Sekolah Menengah Atas) dan berbagai keterampilan hidup. Ijazah (Sijil) dari program pendidikan luar sekolah diiktiraf sama dengan pendidikan sekolah. Sehingga, apabila ada pelajar yang akan melanjutkan ke tingkat universiti pun tidak menjadi masalah.

Pada pendidikan luar sekolah para guru (tutor) selain diangkat oleh pemerintah juga melibatkan masyarakat itu sendiri dan pihak NGO. Tempat belajar tidak selalu harus di gedung sekolah, tetapi boleh di rumah,  diatas perahu, di bawah pokok atau di tempat-tempat yang memungkinkan sesuai dengan lingkungannya . Selain kemahiran 3 M (membaca menulis , menghitung) sesuai dengan kurikulum sekolah, juga di beri materi pelajaran mengenai geometri, navigasi, biologi laut, oseanografi, ilmu perbintangan, dan pengolahan ikan serta biota laut lainnya sesuai dengan perkembangan anak didik.

  1. Kesimpulan dan Cadangan

Di Indonesia masih banyak dijumpai masyarakat tradisional dalam kelompok-kelompok kecil di desa­-desa pedalaman dan gugusan pulau terpencil.  Untuk memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pengkhidmatan pendidikan terutama pendidikan dasar 9 tahun, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia mengembangkan dua jalur pendidikan, yakni pendidikan melalui sekolah dan pendidikan luar sekolah (non formal). Setiap jalur pendidikan yang ditawarkan kepada kelompok masyarakat tradisional terpencil geografis dan sosial budaya, diharuskan mengangkat sistem belajar asli (indigenous learning system) yang telah tumbuh sebagai potensi pendidikan dalam kehidupan mereka. Pendidikan terpadu berwawasan lingkungan akan menciptakan suasana keserasian belajar yang dapat menghindari terjadinya kontaminasi atau benturan-benturan antar nilai-nilai baru yang ditawarkan secara nasional dengan nilai-nilai lokal tradisional.

Bagi masyarakat tradisional yang sudah dapat menerima sekolah seperti masyarakat Kampung Naga, dalam kurikulum sekolah dapat dimasukan pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) dalam mata pelajaran muatan lokal sebagai  sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan keberadaan sekolah di pemukiman  Orang Laut yang terletak di pualau-pulau terpencil dapat menyita waktu kanak-kanak usia sekolah untuk akrab dengan lingkungan alamnya, karena dibelenggu oleh kegiatan rutinitas dalam proses belajar-mengajar di sekolah, pendidikan luar sekolah (non formal) dapat menjadi salah satu alternatif. Mereka dapat belajar tanpa batas tempat, waktu, umur, lingkungan sosial budaya dimanapun mereka sedang berada dan bekerja dibawah bimbingan seorang tutor pegawai negeri,  dari tokoh masyarakat atau NGO.

Operasionaliasasi sistem pendidikan nasional diharapkan dapat menjabarkan ide vital dan nilai-nilai sentral bangsa Indonesia dengan tidak mengabaikan sistem belajar asli sebagai suatu potensi yang sudah berakar dalam pendidikan tradisi masyarakat tradisional. Sistem belajar asli perlu dipelihara untuk diangkat ke permukaan sejauh tidak bertentangan dengan ide nasional, agar proses pendidikan yang terjadi dalam masyarakat tradisional tetap utuh dalam negara kesatuan. Setiap proses pendidikan pada hakekatnya merupakan ikhtiar mengarahkan dan mengerahkan dua daya; di satu sisi daya untuk melestarikan dan di sisi lainya daya untuk memajukan.

Untuk meningkatkan perkhidmatan pendidikan terutama pendidikan dasar 9 tahun bagi masyarakat terasing di Indonesia, penulis mengusulkan beberapa cadangan:

  1. Wajib belajar sekolah dasar tidak harus ditata seragam melalui lingkungan sekolah saja, boleh dilakukan melalui jalur pendidikan luar sekolah (non formal), tetapi jalur pendidikan luar sekolah bukanlah sekedar pelengkap tetapi harus mendapatkan tempat yang sama.  Melalui jalur pendidikan luar sekolah, kesenjangan peluang perolehan dari sekolah dapat diupayakan secara terpadu agar masyarakat dapat menentukan sendiri alternatif pilihannya sebagai suatu jalan  mendapatkan kesempatan belajar sesuai dengan tuntutan program wajib belajar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan produktivitas individu dalam masyarakat di daerah terpencil, kepulauan dan daerah perbatasan. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan berwawasan lingkungan secara terpadu perlu meningkatakan keterlibatan seluruh aktivitas masyarakat melalui Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Adat dan NGO, agar upaya transformasi dapat menyentuh dan menjadi keperluan setiap individu dalam masyarakat.
  2. Keberadaan sekolah di desa-desa pedalaman dan pulau-pulau terpencil dengan fasilitas serba kekurangan (guru, buku-buku dan peralatan belajar) selama ini, merupakan suatu kendala yang sukar diatasi. Oleh itu setiap pulau-pulau terpencil yang ribuan jumlahnya tidak perlu diberikan seperangkat sekolah, cukup di kota kecamatan saja, karena biaya pengelolaannya cukup tinggi. Perlu dipertimbangkan pengelolaan sistem belajar jarak jauh melalui perangkat telekomunikasi satelit seperti, radio dan televisi pendidikan tenaga surya yang dimonitoring oleh perangkat studio mini interaktif sebagai pembelajaran tanpa batas yang dapat menjangkau desa-desa pedalaman dan pulau-pulau terpencil.
  3. Bagi kelompok masyarakat pengembara (nomad) di darat dan lautan perlu disiapkan suatu program pendidikan bermusim sesuai keadaan musim dimana mereka terpaksa menetap, seperti diwaktu kemarau panjang dan lautan sedang kencang ombaknya. Pada musim-musim tertentu biasanya pengembara lautan tidak turun ke laut dan mereka menetap pada pulau-pulau tertentu menunggu cuaca. baik untuk melakukan perburuannya kembali. Memaksa mereka untuk merubah kebiasaan mengembara dengan menetap, di pemukiman yang disediakan, merupakan masalah tersendiri dan memerlukan suatu pendekatan persuasif dalam mengajak serta membujuk mereka agar hidup menetap. Bukan mereka tidak memikirkan untuk bertempat tinggal secara menetap tetapi kemiskinan yang membelenggu menyebabkan mereka bersikap pragmatik untuk melakukan kegiatan praktis yang secara ekonomis lebih menguntungkan dan dapat mengurangi beban kehidupan setiap harinya.

Rujukan

Achmad Sanusi, 1984, Masalah Mutu Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung: P3M Uninus.

Awan Mutakin dan Didin Saripudin 2005, Profil Kehidupan Masyarakat Kampung Naga di Tengah-tengah Arus Modernisasi, Bandung: Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS UPI.

Coombs, P.H., 1973, New Paths to Learning for Rural Children and Youth, USA: International Council for Educational Development.

Didin Saripudin, 2006, Mobilitas dan Perubahan Sosial, Bandung: Masagi Foundation.

Didin Saripudin dan Abdul Razaq Ahmad, 2008, Masyarakat dan Pendidikan: Perspektif Sosiologi, Pahang: Yayasan Istana Abdulaziz.

Francisco, J.R., 1981, Indigenous Learning System, The Philippines in Regional Seminar in Indigenous Learning System for Deprived Areas, Manila: Seameo Regional Center for Education and Technology.

Freire, P., 1973, Education for Critical Consciousness, New York:” Continuum Publishing Company.

Fuad Hasan, 1986, Mendekatkan Anak Didik pada Lingkungannya, Prisma,2 :39-44.

Judistira K. Garna, 1993. Orang Badui di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli Terhadap Pembangunan, di dalam Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara (Penyunting Lim Teck Ghee, dkk), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kolb, D.A., 1984, Experiental Learning: Experiece as The Source of Learning and Development, New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Koentjaraningrat, dkk, 1993, Membangun Masyarakat Terasing di dalam Masyarakat terasing di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kompas, 29 September 2003.

Mohamad Zen, 2002, Orang Laut: Studi Etnopedagogi, Jakarta: Yayasan Bahari Nusantara.

Nazili, 1989, Pendidikan dan Masyarakat, Yogyakarta: Bina Usaha.

Potter, I.B. 1988, Penelitian tentang Kehamilan dan Kelahiran pada Suku Laut di Kepualauan Riau-Lingga, Bonn: Ruhralle Essen.

Quraish Shihab, 1992, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.

Sastrapratedja, 1984, Konsep Manusia dalam Antropologi Filsafat, dalam Mencari Konsep Manusia Indonesia, Jakarta: Erlangga.

Soriono, L.B., 1981, Opening Statement in regional Seminar on Indigenous Learning System for Deprived Areas, Manila: Seameo Regional Center for Education and Technology.

Spencer, M. 1979, Foundation of Modern Sociology, New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Comments are closed.